Disusun Oleh
20174011103
Diajukan Kepada
2017
BAB I
KASUS
I. Identitas
Usia : 35 th
II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Wajah mencong.
Pasien mengeluhkan wajah sebelah kanan mencong sejak 6 jam SMRS. Keluhan ini pertama kali
disadari pasien saat pasien akan berkumur, tetapi tidak bisa karena air selalu keluar dari mulutnya.
Sebelumnya pasien tidur dengan menggunakan kipas angin. Pasien juga mengeluhkan lidahnya
kurang peka terhadap rasa makanan.
Nyeri di area kepala atau leher (-); kelemahan ekstremitas kanan (-); demam (-); gangguan
keseimbangan (-); gangguan pendengaran (-).
Penyakit serupa : diakui, sudah 2x dalam 5 th terakhir dan selalu sembuh total setelah terapi
dengan pengobatan dan fisioterapi. Sebelumnya, 1x di sisi kiri dan 1x di sisi
kanan
2
Hipertensi : disangkal
DM : disangkal
Merokok : disangkal
Alkohol : disangkal
Olahraga : disangkal
1. Keadaan Umum
2. Tanda Vital
RR : 19x
HR : 91x
3
3. Kepala & Leher
Kesan: sisi kanan wajah tampak tidak bergerak (hasil pemeriksaan neurologis lengkap ada di sub
BAB berikutnya)
4. Pulmo
Kesan: DBN
5. Cor
Kesan: DBN
6. Abdomen
Kesan: DBN
7. Ekstremitas
Kesan: DBN
1. Status Mental
Kuantitatif : E4V5M6
4
2. Nervi Cranialis
I : tidak dilakukan
III, IV, VI : gerakan kedua mata ke medial-atas, medial-bawah, dan lateral normal; pupil
isokor; reflex cahaya langsung (+) kesan normal
VII : mengangkat alis (-/+); mengerutkan dahi (-/+); ptosis (+/-); menutup mata (-/+);
menyeringai (-/+); menggembungkan pipi (-); pemeriksaan fungsi sensorik pada
lidah tidak dilakukan
VIII : mendengar suara gesekan jari (+/+); Tes Rinne, Weber, & Schwabach tidak
dilakukan kesan normal
X : nadi 96x, regular, isi & tegangan cukup; bersuara (+), menelan (+) kesan
normal
XI : memalingkan kepala N/N; mengangkat bahu N/N; sama kuat kanan dan kiri
kesan normal
XII : deviasi lidah (-); artikulasi jelas; tremor (-) kesan normal
D S D S
+5 +5 +2 +2
+5 +5 +2 +2
5
4. Fungsi Vegetatif
Miksi : inkontinensia urine (-), retensi urine (-), anuria (-), poliuria (-)
V. Diagnosis
Diagnosis klinis : paralisis akut motorik otot wajah dextra pada bagian atas dan bawah
VI. Penatalaksanaan
I. Definisi
Bell’s palsy atau idiopathic facial paralysis adalah paralisis nervus fasialis yang bersifat akut,
unilateral, perifer, dan mempengaruhi lower motor neuron (Anderson, 2012).
II. Etiologi
Penyebab pasti Bell’s palsy masih kontroversial, tetapi ada beberapa hal yang diduga
berhubungan, yaitu:
• Infeksi HSV. Otopsi PCR yang dilakukan pada pasien Bell’s palsy menunjukkan adanya
HSV pada ganglion geniculatum (Murakami, 1996). Meskipun demikian, infeksi HSV saja
tidak serta merta memunculkan Bell’s palsy, tetapi harus ada faktor pemicunya, yaitu
terpapar dengan suhu dingin (McCormick, 1972)
• Mikroangiopati pada DM (Peitersen, 2002)
• Infeksi herpes zoster (Peitersen, 2002)
• Riwayat keluarga menderita Bell’s palsy (Hemminki, 2007)
7
III. Anatomi
IV. Patofisiologi
Jalur yang dilalui nervus fasialis setelah keluar dari meatus acousticus interna sampai ke foramen
stylomastoideus disebut canalis fasialis. Patofisiologi dari Bell’s palsy adalah adanya edema yang
menyebabkan nervus fasialis mengalami kompresi di canalis fasialis (Seok, 2008).
8
Lokasi lesi sepanjang canalis fasialis menentukan manifestasi klinis yang dialami pasien sebagai
berikut:
V. Manifestasi Klinis
• Paralisis akut motorik otot wajah pada bagian atas dan bawah unilateral
• Nyeri di belakang telinga
• Nyeri okuler; penurunan produksi air mata; kelemahan kelopak mata
• Gangguan pengecap
• Sensasi tebal pada pipi atau mulut
• Ketika pasien mengangkat kedua alis, sisi yang terkena tetap rata
• Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi distorsi dan terjadi lateralisasi ke sisi yang normal
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja. Hal terpenting adalah menentukan
apakah paralisis nervus fasialis bersifat sentral (misalnya pada stroke) atau perifer (misalnya pada
Bell’s palsy). Bila manifestasi klinis menetap setelah 8 minggu, maka pemeriksaan MRI pons dan
EMG otot wajah perlu dilakukan.
9
VII. Penatalaksanaan
Farmakologi:
• Prednisolone 1 mg/kgBB per hari selama 6 hari, diikuti dengan tapering off. Lama
pengobatan maksimal 10 hari. Penggunaan kortikosteroid merupakan pilihan terbaik
(Anderson, 2012)
• Asiklovir 400 mg PO q5h selama 10 hari. Penggunaan antivirus terbukti bermanfaat, tetapi
masih kalah bila dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid. Penggunaan kombinasi
kortikosteroid dan asiklovir terbukti tidak memberikan hasil yang lebih baik daripada
penggunaan kortikosteroid saja (Anderson, 2012)
Non farmakologi:
• Fisioterapi (facial exercise) terbukti bermanfaat bila mulai dilakukan setelah hari ke-10
pengobatan (Teixeira, 2011)
• Akupuntur terbukti bermanfaat (Chen, 2010)
• Dekompresi nervus fasialis melalui pembedahan. Dekompresi dapat dipertimbangkan pada
pasien yang tidak responsive terhadap terapi farmakologi dan dengan degenerasi aksonal
> 90% yang dibuktikan dengan pemeriksaan EMG otot wajah (Julian, 1997)
10
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, P. (2012). New AAN Guideline on bells palsy. medscape medical news.
Hemminki, K. (2007). familial risk for nerve, nerve root, and plexus disorders in siblings based on
hospitalisation in sweden. epidemiol community health.
Julian, G. (1997). Surgical rehabilitation of facial nerve paralysis. otolaryngol clin north am.
Murakami, S. (1996). Bells palsy and herpes simplex virus: identification of viral dna in
endoneurial fluid and muscle. ann intern med.
Peitersen, E. (2002). Bells palsy: the spontaneus course of 2500 peripheral facial nerve palsies of
different etiologies. acta otolayngol suppl.
Seok, J. (2008). The usefulness of clinical findings in localising lesions in bells palsy: comparison
with MRI. neurol neurosurg psychiatry.
11