Anda di halaman 1dari 5

Nama : Helma Fauziah

Kelas : Matematika 1B

Mata Kuliah : Pancasila

ARTIKEL UIGHUR

Cina dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan mereka yang dianggap
menindas sejumlah besar warga suku Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu, antara
lain dengan menahan mereka di kamp-kamp khusus.

Pada Agustus 2018, sebuah komite PBB mendapat laporan bahwa hingga satu juta warga
Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di wilayah Xinjiang barat, dan di sana mereka
menjalani apa yang disebut program 'reedukasi, atau 'pendidikan ulang'.
 Investigasi BBC: Cina dirikan kamp-kamp rahasia untuk 'mendidik' umat Muslim Uighur
 Cina bantah menahan satu juta warga minoritas Muslim Uighur
 Muslim Uighur di Cina: Persekusi melalui kamp 'pendidikan-kembali'
 Massa demo Kedubes Cina, tuntut hentikan persekusi Muslim Uighur

Pemerintah Cina membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu. Pada saat yang
sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di
Xinjiang.

Siapa orang Uighur?

Mereka adalah Kelompok etnis minoritas yang sebagian besar beragama Islam, dan
terutama berbasis di wilayah Xinjiang, di barat laut China. Mereka cenderung memiliki lebih
banyak kesamaan budaya dengan orang-orang di negara-negara Asia Tengah dibandingkan
etnis Han di China. Bahasa mereka terkait dengan bahasa Turki dan juga memiliki kesamaan
dengan bahasa Uzbek, Mongol, Kazakh, dan Kyrgyz.

Islam adalah bagian penting dari identitas mereka. Sebagian besar mempraktekkan bentuk
moderat dari ajaran Sunni, dan beberapa meneladani aliran Sufi. Lebih dari itu, orang Uighur
cenderung memiliki lebih banyak ciri fisik Mediterania dibandingkan karakteristik Han
China.

Sensus penduduk China pada 2010 menempatkan jumlah penduduk Uighur, berada lebih
dari 10 juta jiwa, yakni kurang dari 1 persen dari total populasi Negeri Tirai Bambu. Meski
begitu, mereka adalah kelompok etnis terbesar di wilayah otonomi Xinjiang.

Dimana Mereka Tinggal?

Sebagian besar etnis Uighur tinggal di wilayah otonomi Xinjiang, yang merupakan
wilayah terluas di China. Xinjiang secara strategis penting bagi China, karena berbatasan
dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan,
Afghanistan, Pakistan, dan India. Hingga saat ini, penduduk Xinjiang didominasi oleh orang
Uighur, tetapi masuknya etnis Han ke wilayah itu, kian memicu ketegangan di antara kedua
kelompok.

Xinjiang kaya akan sumber daya alam, dan ekonominya sebagian besar berputar di sekitar
pertanian dan perdagangan. Kota-kotanya pernah menjadi titik penghentian utama di
sepanjang Jalan Sutra yang terkenal di masa lampau. Apa yang sekarang dikenal sebagai
Xinjiang berada di bawah kekuasaan China sejak Abad ke-18. Wilayah ini mengalami
periode kemandirian yang singkat di tahun 1940-an, tetapi Beijing kembali mendapat kontrol
ketika Komunis mengambil alih kekuasaan pada 1949.

Provinsi dengan mayoritas suku Uighur ini terletak di ujung barat Cina, dan merupakan
wilayah terbesar di negeri itu. Sebagai daerah otonom -setidaknya secara teori- Xinjiang
memiliki semacam pemerintahan sendiri, yang agak jauh dari kendali Beijing. Muslim
Uighur mencakup setengah dari sekitar 26 juta penduduk di wilayah ini.

Mengapa Uighur Berkonflik dengan China?

Xinjiang telah mengalami pergeseran demografi besar dalam 70 tahun terakhir. Orang
Uighur menjadi 75 persen yang mendominasi populasi di kawasan itu pada 1945, tetapi
kemudian turun menjadi sekitar 45 persen saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh eksodus
besar-besaran masyarakat etnis Han ke kota-kota di Xinjiang, di mana mereka tertarik oleh
proyek-proyek pembangunan besar yang telah membawa kemakmuran di wilayah tersebut.

Namun, orang Uighur mengeluh bahwa pekerjaan terbaik selalu diberikan kepada etnis
Han, yang kemudian memiliki tingkat ekonomi lebih baik. Hal tersebut, pada akhirnya,
memicu kebencian antar kelompok. Populasi Han China telah tumbuh dari 9 persen pada
1945 menjadi 40 persen saat ini. China juga mengerahkan sejumlah besar pasukan yang
ditempatkan di wilayah tersebut.

Seiring perubahan demografi, aktivis mengatakan kemampuan Uighur untuk terlibat


dalam kegiatan bisnis dan budaya telah secara bertahap dibatasi oleh pemerintah China.
Mereka juga mengatakan pemerintah menempatkan pembatasan keras terhadap Islam,
menuding tradisi muslim konvensional sebagai "ekstremisme".

Laporan media mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Xinjiang
menyelenggarakan upacara umum dan penandatanganan, di mana etnis minoritas
mengucapkan janji setia kepada Partai Komunis China.

Kapan Ketegangan Terjadi antara Uighur dan China?

Ketegangan antara orang Uighur dan pemerintah China meningkat pada 1990-an, ketika
dukungan untuk kelompok separatis meningkat di Xinjiang. Kelompok-kelompok itu
terinspirasi oleh runtuhnya Uni Soviet dan munculnya negara-negara muslim merdeka di
Asia Tengah.

Dunia internasional menuduh China mengintensifkan tindakan kerasnya terhadap orang-


orang Uighur menjelang Olimpiade Beijing pada 2008, tetapi ketegangan meningkat secara
dramatis pada 2009.
Kerusuhan terjadi pada tahun itu di ibu kota daerah, Urumqi, dan para pejabat China
mengatakan sekitar 200 orang terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah etnis Han. Beijing
berpendapat bahwa tindakan keras diperlukan untuk menghentikan penyebaran sentimen
separatis.

Ketegangan meningkat lagi pada 2016, ketika seorang sekretaris baru partai kala itu, Chen
Quanguo, berkunjung ke Xinjiang, untuk menetapkan kebijakan garis keras yang serupa
terjadi sebelumnya di Tibet.

Sejak itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh China sengaja menempatkan
satu juta orang Uighur di kamp-kamp pengasingan. China mengatakan telah menempatkan
Uighur di "pusat pendidikan kejuruan" untuk menghentikan penyebaran ekstremisme agama,
dan untuk menghentikan gelombang serangan teroris. Namun, kritik terlanjur meluas
terhadap kebijakan China, yang mengatakan tindakan tersebut bertujuan untuk
menghancurkan identitas Uighur.
Muslim Xinjiang merupakan wilayah administrasi Cina yang terbesar, berbatasan dengan
delapan negara: Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan,
dan India. Mayoritas penduduknya adalah etnis Uighur yang beragama Islam. Bagi warga
Uighur, Islam adalah bagian penting dari kehidupan dan identitas mereka. Bahasa mereka
terkait dengan bahasa Turki, dan mereka menganggap diri mereka secara kultural dan etnis
lebih dekat dengan negaranegara di Asia Tengah ketimbang Cina.

Di bawah pemerintahan Partai Komunis, terjadi pembangunan ekonomi yang sangat gencar,
namun kehidupan warga Uighur semakin sulit dalam 20-30 tahun terakhir akibat masuknya
banyak warga Cina muda dan memiliki kecakapan teknis dari provinsi-provinsi di bagian
timur Cina.

Operasi militer China yang senyap dan sistematis untuk membersihkan 15 juta etnis uyghur
Muslim di Xinjiang. Wilayah tersebut sebetulnya adalah turkistan timur hingga Cina mulai
menduduki dan menjajah area tersebut di tahun 1949. Lebih lanjut lagi, Cina tidak melakukan
menghilangkan jejak kekerasan mereka di kehidupan Muslim Uyghur sebelumnya. Hal ini
seperti mimpi buruk yang kembali muncul, menampilkan genosida yang dilakukan di abad
sebelumnya. Memori itu sengaja dihidupkan kembali di internet dan media, hari-hari
terkelam negara Komunis. Sebuah periode “revolusi kultur”, ketika orang-orang dan daerah-
daerah agamis dihapuskan dari negara tersebut.

Akan tetapi, selama tahun 1970 hingga 1980, Cina se makin terbuka dan melunakkan
sikapnya terhadap minoritas baik etnis maupun agama. Namun di balik itu, minoritas tetap
terjepit dari sisi ekonomi, politik dan keagamaan mereka. Muslim Uyghur mencoba
menyerukan kembali kemerdekaan mereka, karena memang status mereka sebagai negara
berdaulat Republik Turkistan Timur, sebah negara pecahan Uni Sovyet. Meski negara
tersebut hanya sesaat di tahun 1940 sebelum ada campur tangan Cina. Mengetahui hal itu,
Cina yang takut akan berkembangnya gerakan separatis di perbatasan barat, mulai melakukan
tindakan keras terhadap Xinjian di akhir 1990-an.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) menyebutkan konflik tersebut terjadi akibat
pengekangan kebebasan agama dan budaya yang seharusnya dinikmati Uighur. Kekerasan
yang dilakukan oleh Cina semakin menjadi-jadi ketika AS mendeklarasikan “perang terhadap
terorisme” di tahun 2001. Cina menggunakan kesempatan itu untuk menggambarkan Muslim
Uyghur sebagai bagian dari kebangkitan jihadis global, sampai-sampai mereka mengaitkan
mimpi nasionalisme Uyghur dengan tujuan kelompok teror Al-Qaeda.

Diskriminasi otoritas China terhadap Muslim Uighur dalam melakukan ibadah sehari-hari
terus berlangsung hingga detik ini. Apabila memasuki bulan Ramadhan, para pegawai negeri
sipil, mahasiswa, dan anak-anak setempat dilarang berpuasa oleh otoritas China di Xinjiang.
Kaum muslim Uighur sebagai pihak minoritas mengalami penindasan dan kezhaliman dari
pemerintah China. Kezaliman itu terus berlangsung sampai hari ini, tanpa henti, dan
melakukan aksi kekerasan senjata terhadap Muslim di wilayah itu.

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh, apabila
satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasakan sakit karena
demam”. (HR. Muslim).
MUSLIM Uighur kembali jadi sorotan dunia. Mereka diduga ditahan di kamp
konsentrasi oleh pemerintah China. Nasibnya mirip dengan etnis Rohingya. Mereka
mengalami diskriminasi di negara tempat tinggal mereka sendiri.

Siapa sebenarnya bangsa Uighur tersebut?

Uighur merupakan etnis minoritas di China yang secara kultural dekat dengan bangsa Turk,
daripada mayoritas bangsa Han. Bangsa Uighur mulai dikenal pada awal abad 20 ketika
mereka mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur.

Mengapa pemerintah China bersikap otoriter terhadap muslim Uighur? Menurut kajian yang
dilansir dari Global Voices, Beijing punya kecurigaan terhadap etnis Uighur sejak dua abad
lalu.

Nasib malang bangsa Uighur berawal saat perang dunia pecah. Saat itu warga Xinjiang,
termasuk Uighur, berusaha bergabung dengan Soviet. Namun tak berhasil, karena pasukan
nasionalis kiriman Beijing akhirnya kembali memaksa warga Uighur bertahan dalam wilayah
kedaulatan RRC pada 1949.

Sejak itu, warga Uighur dicap punya kecenderungan ‘memberontak’ oleh petinggi di Beijing.
Hal ini diperparah dengan kebijakan ekonomi China yang mengutamakan etnis Han.

Pemerintah China juga menaruh rasa curiga pada Uighur. Mereka dianggap ingin melepaskan
diri dari RRC. Human Right Watch melaporkan, lebih dari 10 juta warga Uighur dipersulit
untuk membuat paspor. Berbeda halnya dengan bangsa Han yang segala sesuatunya diberikan
kemudahan oleh pemerintah.

Akibat perlakuan diskirminasi itu, akhirnya bangsa Uighur menyerang balik bangsa Han.
Sasaran mereka adalah aparat dari etnis Han.

Pada Januari 2007, 18 orang Uighur ditembak mati dengan tuduhan bergabung dengan
jaringan teroris internasional. Mereka kemudian dilarang untuk menjalankan syariat Islam,
termasuk mengaji dan puasa.

Baru-baru ini, pemerintah China membangun sebuah kamp yang diduga menjadi tempat
untuk mengisolasi jutaan muslim Uighur. Kamp detensi tersebut disebut pemerintah China
sebagai sekolah vokasi untuk membekali mereka dengan keterampilan hidup.

Namun, seorang wanita muslim Uighur bernama Mihirigul Tursun membeberkan kisah pedih
yang dialaminya selama ditahan di kamp detensi milik pemerintah China tersebut. Kisah itu
diungkapkannya di forum National Press Club di Washington DC, Amerika Serikat (AS).

Tursun menuturkan, selain siksaan fisik, petugas keamanan China juga kerap melontarkan
ucapan diskiriminatif. Dia bahkan meminta mati karena tidak kuat menahan siksaan yang di
deritanya.

Anda mungkin juga menyukai