Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya laut yang sangat besar sehingga
menjadi salah satu negara yang diperhitungkan oleh negara-negara dunia. Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan Konstitusi, maka segenap kekayaan
sumber daya laut tersebut harus dikelola sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum dan disaat yang sama pula kelestariannya
tetap terjaga.1
Laut merupakan wilayah potensial dalam menunjang kehidupan bangsa maupun
masyarakatdunia, maka tidak menutup kemungkinan terjadi berbagai konflik atau
permasalahan dan pelanggaran atas wilayah tersebut.2 Selain itu, masyarakat secara umum
yang menjadi konsumen juga ikut dirugikan karena tidak bisa menikmati hasil laut di
negerinya sendiri.3 Disisi lain, kegiatan pencurian ikan ini selain merugikan masyarakat
umum juga merusak ekosistem laut dan juga mendorong hilangnya rantai-rantai sumber daya
perikanan. Pencurian ikan seringkali dilakukan dengan menggunakan alat penangkap ikan
yang dilarang dan berakibat rusaknya ekosistem laut. Kini tindak pidana perikanan menjadi
sorotan dikarenakan maraknya tindakan penangkapan ikan dengan alat yang dilarang,
pengeboman ikan, bisnis perikanan ilegal, serta kasus-kasus lainnya yang merugikan kegiatan
pengelolaan sumber daya perikanan. Kegiatan yangtermasuk dalam sumber daya perikanan
dimulai dari pra-produksi, produksi, pengelolaan sampaidengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan Negara
Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan.
Untuk Indonesia undang-undang ini amatlah penting mengingat luas perairan kita yang
1
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi dan Kesejahteraan Penduduk di Kawasan Pesisir
(Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1.
2
Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)Terhadap Eksistensi
Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2, no. 1 (2014).Hlm. 1.
3
Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.). Hlm. 210.
1
2
hampir mendekati 6 juta kilometer persegi yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi
nasional memerlukan perhatian dan kepedulian kita semua, utamanya yang menyangkut
upaya penegakan hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing.
Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif
danmerupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam
memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal Fishing, yang dampaknya sangat
merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak perekonomian bangsa.
Kasus illegal fishing di Indonesia sendiri sepertinya kurang mendapat perhatian dari
pemerintah Indonesia sendiri. Padahal kejahatan illegal fishing di ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif) Indonesia mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit bagi pemerintah Indonesia.
Selain itu sumber perikanan di Indonesia masih merupakan sumber kekayaan yang
memberikan kemungkinan yang sangat besar untuk dapat dikembangkan bagi kemakmuran
bangsa Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan protein rakyatnya, maupun untuk
keperluan ekspor guna mendapatkan dana bagi usaha-usaha pembangunan bangsanya. Hal ini
jelas menunjukan betapa pentingnya sumber kekayaan hayati dalam hal ini perikanan bagi
Indonesia.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di ZEE (Zona Ekonomi
Eksklusif) Indonesia. Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal
29 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat
(2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau
badan hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia
untuk melakukan usaha penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional. Selain itu, disebabkan karena tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur, sehingga berujung pada berbenturannya kepentingan
antara institusi negara yaitu penegak hukum dalam menangani permasalahan ini. Adanya
permasalahan tersebut menciptakan celah hukum bagi para pihak untuk melakukan kejahatan
ini.4 Beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan
ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang rumit dan tidak sistematis. Ketidakpastian
hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada,
inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal
asing yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak
4
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia, 2010). Hlm. 4.
3
peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korupsi oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggungjawab.
Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas
bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya adalah
ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di
laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar
dengan kongkalikong.
Pada tahap inilah peran hukum khususnya hukum pidana sangat dibutuhkan untuk
menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat menggangu
stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.
Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping
sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat
mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan
sumber daya peikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada sapek
operasionalnya. Disinilah peran sanksi yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan
untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi sanksi hukum pidana.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan
strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai
dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara
berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang
mutlak diperlukan. Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan lebih
memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di
bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi Perairan dan TNI AL juga
diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian ikan dan kejahatan
lainnya. Dibentuknya Pengadilan ad hoc Perikanan diharapkan juga mampu untuk menjawab
persoalan kejahatan pencurian ikan yang tercermin dalam putusan-putusan yang dihasilkan,
baik kejahatan yang dilakukan oleh warga negara maupun yang dilakukan oleh warga/negara
asing. Dan dari putusan-putusan ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan IUU
Fishing. Maka berdasarkan dari latar belakang tersebut sehingga penulis memilih judul
4
“Penegakan Hukum Perikanan Dan Kelautan Atas Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal
Fishing)” dalam penulisan tugas makalah ini.
5
Kementerian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, Laporan Kementerian Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Tahun 2014, (Jakarta: Sekretaris Jenderal Kkp Ri, 2014), Hlm. 18-20.
6
Riza Damanik, Dkk. Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut Indonesia), (Jakarta: Walhi, 2008),
Hlm. 33
5
6
sendiri, seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga
tersebut. Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang
akan diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal
tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga penegak hukum
atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted Criminal Justice System(ICSJ).
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan
laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang
ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi
berbagai pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh
pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan
melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk
diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden.
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini
perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi
pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor
Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan
Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005,
ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan
Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut.
Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I
melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran,
dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam
untuk kepentingan nasional maupun daerah.
Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI
Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004
tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional
sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah
diratifikasi;
3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung
kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;
5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
8
Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat
menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL
sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai
tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan
mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk
kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam
kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL
tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari
penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung
beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di
laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-
kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut
kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel laut serta perikanan tradisional negara
tetangga.
Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak
pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut.
10
DAFTAR PUSTAKA
Aditya Taufan Nugraha and Irman, “Perlindungan Hukum Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) Terhadap Eksistensi Indonesia Sebagai Negara Maritim,” Jurnal Selat 2, no. 1
(2014)
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan Dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia, 2010).
Daliyo et al., Pelestarian Sumber Daya Laut, Partisipasi dan Kesejahteraan Penduduk di
Kawasan Pesisir (Jakarta: Leusercita Pustaka, 2011). Hlm. 1.
Djoko Tibawono, Hukum Perikanan Indonesia (Jakarta: Citra Aditya Bakti, n.d.)
Kementerian Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia, Laporan Kementerian Kelautan
Dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2014, (Jakarta: Sekretaris Jenderal Kkp Ri,
2014), Hlm. 18-20.
Riza Damanik, Dkk. Menjala Ikan Terakhir (Sebuah Fakta Krisis Di Laut Indonesia),
(Jakarta: Walhi, 2008), Hlm. 33
https://www.academia.edu/34733333/PENEGAKAN_HUKUM_TINDAK_PIDANA_PERIK
ANAN.docx
http://tugasmakalahilegalfishing703.blogspot.com/