Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hirabah atau disebut juga perampokan merupakan kejahatan yang sangat merugikan. Bisa dikatakan
perampokan termasuk bentuk pencurian, hanya saja perampokan dilakukan secara terang-terangan
kepada korban, karenanya perampokan disebut dengan perampokan besar.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kehormatan dan harta benda umat manusia.
Karenanya Islam memberikan hukuman kepada pelaku kejahatan secara tegas untuk bisa melindungi nilai
kehormatan dan harta benda umat manusia. Salah satunya adalah mengenai hirabah, perampokan atau
penodongan adalah salah satu bentuk kejahatan yang menyangkut harta benda.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu tindak pidana perampokan?

2. Bagaimana dasar hukum larangan dalam tindak pidana perampokan?

3. Apa saja unsur unsur dalam tindak pidana perampokan?

4. Macam macam perampokan dan bagaimana hukumannya?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Perampokan

Perampokan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Perampokan dapat dikatakan pencurian besar
karena hampir sama dengan mencuri, hanya saja jika dalam pencurian seseorang mengambil harta secara
diam diam dan dalam perampokan mengambil harta secara terang terangan dan disertai ancaman bahkan
kekerasan. Kejahatan inilah yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata yang suka menyergap.
Ini pula yang dalam Islam di sebut kejahatan perampokan atau “pencurian besar” untuk membedakannya
dari “pencurian kecil” yakni pencurian biasa.[1]

Merampok artinya menggedor rumah orang untuk berbuat jahat terhadap jiwanya atau hartanya atau
kehormatannya. Umumnya “merampok” ini dilakukan oleh lebih dari satu orang, sedangkan merampok
dijalanan sering disebut dengan “membegal” dan jika hal itu terjadi dilaut disebut “merompak”.[2]

Sedangkan penodong[3] adalah merampas atau mengambil harta milik harta orang lain dengan cara
memaksa korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak pidana yang
dilakukan diluar rumah. Jika perbuatan yang sama dilakukan oleh pelaku didalam rumah atau didalam
gedung disebut dengan merampok. Dalam hukum islam perilaku demikian (penodong atau perampokan)
diistilahkan sebagai muharib. Seorang dapat disebut muharib apabila (kriteria):

1. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara
anarkis sehingga membuat suasana menakutkan atau mencekam, walaupun ia tidak berhasil mengambil
harta dan atau membunuh pemilik harta.

2. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis dan
berhasil mengambil harta tetapi tidak membunuh pemilik harta

3. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang laindengan cara anarkis, tidak
berhasil mengambil harta tetapi membunuh pemilik harta.

4. Apabila ia keluar rumah dengan mengambil harta milik orang lain dengan cara anarkis, berhasil
mengambil harta dan membunuh pemiliknya.

Para fuqaha (ahli hukum islam) mengkategorikan penodongan atau perampokan dengan pencurian besar.
Namun, pengertian muharib saat ini di indonesia biasa disebut pelaku teroris. Pelaku teroris (muharib)
dimaksud, harus memenuhi dua syarat pokok yaitu jami’ dan mani’. Jami’ yakni segala tindakan kejahatan
perilaku manusia, sedangkan mani’ adalah segala tindakan pencegahan perilaku manusia untuk
berperilaku hirabah.[4]

Tindak pidana perampokan sendiri telah diatur hukuman serta larangannya dalam islam sebab tindakan
merampok dapat merugikan orang lain. Seorang korban perampokan tidak hanya terancam kehilangan
harta saja namun ia berpotensi terluka dan bahkan terancam kehilangan nyawa. Oleh sebab itu al qur’an
menuliskan beberapa ayat yang didalamnya terdapat larangan dan hukuman merampok. Penodongan
dijalan raya menurut al-aqauran merupakan suatu kejahatan yang gawat, yang dilakukan oleh sekelompok
atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang mussafir atau orang yang berjalan dijalan raya
atau ditempat manapun mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan bila
korbannya berusaha lari mencarai pertolongan. Dalam al-quran juga menyebutkan hal ini merupakan
suatu “peperangan melawan allah dan rasulnya” dan merupakan suatu usaha menyebar luaskan
kerusuhan didunia.[5]

Asbabun Wurud

Artinya: Dan Anas bin Malik, bahwasanya ada sekelompok orang dari suku Urainah yang
memasuki kota Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Mereka lalu sakit karena tidak
cocok dengan cuaca kota Madinah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, "Jika kalian mau
berobat, sebaiknya kalian menuju ke suatu tempat yang di sana terdapat beberapa ekor unta yang
berasal dari sedekah. Kalian dapat meminum air susu dan air seninya." Mereka melakukan apa
yang diperintahkan Nabi dan mereka pun sembuh. Setelah itu, mereka mendatangi orang-orang
yang menggembalakannya lalu membantai para penggembala. Mereka kemudian murtad dan
menggiring (merampok) beberapa, ekor unta milik Rasulullah SAW. Hal ini didengar oleh beliau.
Beliau pun mengutus pasukan untuk mengejar. Setelah tertangkap, mereka didatangkan kepada
Rasulullah, lalu beliau memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka. Mata mereka dicungkil
dan ditinggalkan di bawah terik matahari sampai akhirnya meninggal (HR. Muslim).

B. Larangan dan hukumnya merampok

Perbuatan merampok sangat diharamkan, hal ini berdasarkan pada Quran Surat Al-Maidah ayat
(33), yang berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan
pengacauan di muka bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau, tangan dan kaki mereka
dipotong selang-seling atau dibuang jauh. Demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia ini. Dan di
akhirat mereka akan mendapat siksa yang hebat”[6]
Imam bukhari meriwayatkan asbabul nuzul dari ayat ini. Beberapa orang suku ukul datang menghadap
rasulullah SAW di Madinah. Mereka berpura pura bahwa mereka ingin memeluk agama islam. Mereka
mengeluh kepada rasulullah SAW bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi mereka sehingga mereka
mengalami gangguan kesehatan. Karena itu nabi memerintahkan agar mereka dibawa keluar Madinah
untuk tinggal ditempat yang lebih bagi meeka dan minum susu dari sapi milik negara.

Mereka membunuh pemeliharanya dan melarikan diri dengan membawa serta sapi tersebut. Ketika
masalah tersebut dilaporkan kepada rasulullah SAW, beliau SAW memerintahkan agar mereka dikejar dan
dibawa kembali. Dan wahyu ini (dalam surat al-maidah (5): 33) dturunkan pada saat ini.[7]

Perampokan bukan hanya suatu pelanggaran terhadap manusia dan masyarakat melainkan juga
berdasarkan kutipan ayat di atas seakan-akan merupakan suatu pernyataan perang terhadap Allah
SWT dan rasulnya menggunakan kekerasan. Melakukan perang terhadap suatu masyarakat mungkin akan
mengakibatkan kekacauan, kekalutan, dan hilangnya rasa aman dipikirkan dan di hati. Oleh karena itu
perampok adalah orang yang menggunakan kekerasan (bersenjata) terhadap orang-orang yang yak
berdosa dan tak mempunyai rasa permusuhan terhadap mereka sebelumnya. Beratnya tindak perampok
ini tetap sama apakah ia dilakukan disebuah kota, desa ataupun dipadang pasir, dan korban tiada berdaya,
tidak memperoleh pertolongan atau dilarang berteriak tolong. Inilah bentuk perampokan yang sempurna
menurut Imam Malik perampokan yang dilakukan baik diluar maupun didalam kota, tetapi Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat darinya dalam hal ini bahwa jika tindakan semacam itu dilakukan dikota, maka
ia tak termasuk perampokan karena ada pihak berwenang yang akan melindungi warganya. Ulama yang
lain mengatakan sama saja halnya apakah dilakukan diluar atau didalam kota asalkan ia menggunakan
kekerasan maka itu temasuk perampokan. Sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pihak yang
berwenang lemah, tak dapat menolong atau melindungi warganya maka perampok bersenjata mungkin
saja terjadi didalam kota.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perampokan

1. Keluar untuk mengambil harta.

2. Dilakukan dengan terang-terangan dan disetai kekerasan.

3. Adanya realisasi, apakah itu dalam bentuk intimidasi (menakut-nakuti) saja, atau mengambil harta
saja, atau membunuh saja, atau mengambil harta, intimidasi dan membunuh.

4. Adanya niat (kesengajaan) dari pelaku.

Syarat-syarat seseorang dapat diberi hukuman pidana prampokan

1. Syarat pada Subjek:

a. Harus baligh dan berakal

b. Dilakukan atas kemauan sendiri

c. Pelaku mengetahui bahwa sanya perbuatan itu dilarang

d. Harus laki-laki semuanya (menurut Abu Hanifah. Sedang menurut yang lainnya tidak
mensyaratkannya.
2. Syarat pada Objek:

a. 100% milik orang lain

b. Yang diambil hanya harta mutaqawwim (bernilai dalam pandangan syar’i)

c. Harta yang bersifat bergerak

d. Harta harus mencapai nisab, nisabnya sama dengan nisab pada pencurian

3. Syarat pada korban, yaitu harus orang Islam[8]

D. Macam-macam perampokan dan hukumannya

Macam-macam perampokan dapat dikategorikan atau digolongkan sebagai berikut:

1. Jika perampok itu memeras harta korban dan membunuhnya pula maka perampoknya
dihukum dibunuh dan disalib

2. Jika perampok itu hanya membunuh korbannya dan tidak merampas hartanya maka
perampoknya dibunuh saja

3. Jika perampok itu hanya merampas harta kornbannya dan tidak membunuhnya maka
perampoknya dipotong tangan dan kakinya berselang-seling. Kalau tangan kanan yang dipotong maka
kaki kirinya juga dipotong

4. Jika perampok itu hanya menakut-nakuti orang-orang yang lalu atau mengganggu ketertiban umum
maka mereka dibuang jauh-jauh atau dipenjarakan saja.[9]

Had yang dijatuhkan atas pembegal, perampok dan penyerobot di jalan jalan raya, ialah menurut tertib
yang tersebut dalam Al qur’an. Pendapat ini disetujui Abu Hanifah dan Ahmad. Imam malik berbeda
pendapat. Ia berpendapat bahwa had diserahkan kepada ijtihad hakim (kepala negara). Maka boleh
dihukum bunuh, boleh dihukum salib, boleh dipotong tangan sebelah dan kaki sebelah dan boleh
dipenjarakan.[10]

Hukuman mati dijatuhkan kepada perampok (pengganggu keamanan) apabila mereka melakukan
pembunuhan. Hukuman ini merupakan hukum had dan bukan qishas. Oleh karena itu hukuman tersebut
tidak boleh dimaafkan.[11] Menurut Ahmad jika perampok tersebut telah membunuh maka hendaknya
ia dibunuh lalu disalibkan sesudah dibunuh. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat jika ia telah mengambil
harta dan membunuh maka imam boleh memilih antara memotong sebelah kaki dan sebelah tangan,
dengan membunuh mati tanpa menyalibnya.

Hukuman mati disalib ini dijatuhkan apabila perampok melakukan pembunuhan dan merampas harta
benda. Jadi hukuman tersebut dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta bersama sama dan
pembunuhan tersebut merupakan jalan untuk memudahkan pencurian harta. Hukuman tersebut juga
merupakan hukuman had yang tidak bisa dimaafkan.
Hukuman potong tangan dan kaki ini dijatuhkan apabila perampok hanya mengambil harta melakukan
pembunuhan. Dalam hal ini yang anggota badan yang dipotong adalah tangan kanan dan kaki kiri pelaku.

Hukuman pengasingan dijatuhkan apabila perampok (pengganggu keamanan) hanya menakut nakutin
orang orang yang lewat dijalan tetapi tidak mengambil harta benda tetapi tidak mengambil harta benda
dan tidak pula membunuh. Ahmad berkata bahwa diasingkan yang dimaksud adalah diusir dari kampung
dan tidak memberikan mereka berkediaman disuatu tempat. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa
jika mereka dapat ditangkap sebelum dapat mengambil harta orang dan sebelum dapat membuuh
seseorang, hendaklah imam (hakim) memenjarakan mereka sehingga mereka bertobat. Imam Malik jika
mereka dapat ditangkap, walaupun sebelum mereka membunuh atau merampas harta orang, maka
hakim boleh memutuskan mana yang dipandang baik. Jika yang ditangkap itu kepala perampok da
berpengaruh, boleh dibunuhnya. Kalau hanya mempunyai tenaga tapi tidak berpengaruh, cukuplah
dengan diasingkan.

Pendapat yang sama juga diutarakan Imam Malik dalam hal hukumannya, jika pelaku adalah seorang
wanita maka dia pun harus tetap dihukum. Hukuman-hukuman tersebut dapat diterapkan pada seorang
wanita yang merampok, dengan pengecualian bahwa dia tidak boleh diasingkan karena hal ini daapat
mengakibatkan mereka melakukan perzinahan yang merupakan pelanggaran yang lebih mengerikan.

Dalam hal Taubatnya Pelaku Perampokan

Bagaimana dalam hal ini jika seorang yang telah merampok/membegal telah melakukan taubat sebelum
ia tertangkap? Apakah dia dapat diampuni dari kesalahan dan dosa-dosa nya?. Jika ada pemberontak atau
pembegal yang berbuat kerusakan dimuka bumi ini melakukan taubat sebelum ia tertangkap, sedangkan
mungkin pemerintah akan dapat menangkap mereka, maka Allah akan mengampunkan dosa mereka yang
telah lewat dan hukuman mereka karena perampokan/pembegalan gugur karena allah telah berfirman
yang artinya: “Demikian itu bagi mereka suatu kehinaan dan dunia dan mereka akan mendapat siksaan
hebat di akhirat kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum dapat kamu tangkap. Maka ketahuilah
bahwa allah maha pengampun dan penyayang”.

Dalam keadaan bagaimanapun penyesalan yang mendalam sebelum pelaksanaan hukuman telah sangat
terlambat sebagai alasan untuk mohon keampunan tetapi dia pelaku tetap harus bertanggung jawab atas
semua pelanggaran selain mrampok dan harus mengembalikan harta korban yang tak berdosa itu.
Sebagaimana yang ada dalam Q.S Al-Maidah (34)

“Kecuali orang-orang yang bertaubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap)
mereka maka ketahuilah bahwasanya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.[12]

Adapun syarat-syarat taubat yang harus dilakukan agar diterima, taubat itu meliputi lahir dan batin tetapi
hukum melihat segi lahirnya, bukan batin yang hanya diketahui oleh Allah semata, jika
perampok/pembegal taubat sebelum tertangkap maka taubatnya diterima dan segala konsekuensinya
berlaku. Tetapi sebagian ulama mensyaratkan bahwa yang bertaubat menyerah pada pemerintah lalu
pemerintah menerimanya tetapi ada pula pendapat tanpa mensyaratkan demikian. Dan pemerintah wajib
menerima taubat setiap orang yang mau taubat. Dan ada pula pendapat mengatakan taubatnya cukup
dengan menanggalkan senjatanya dan meninggalkan tempat-tempat timbulnya
kejahatan (perampokan/pembegalan) tersebut dan menjaga keamanan masyarakat, tanpa perlu
menyerahkan diri kepada pemerintah. Perampok itu mungkin laki-laki atau perempuan sepanjang
mereka sadar, sehat ingatan, dan dewasa. Begitu mereka mengaku melakukan kejahatan itu kalau dua
orang saksi muslim dewasa memberikan bukti atas perbuatan mereka sekalipun andaikan saksi itu adalah
mereka yang menjadi korban maka hukuman bagi si pelaku harus dijatuhkan.

Ibnu Jarir menerangkan katanya: ali telah bercerita kepadaku bahwa walid bin muslim telah bercerita
kepada kami katanya: laits telah berkata: begitulah musa al madani – seorang amir kami- bercerita
kepadaku bahwa ali al asadi membegal, menakut-nakuti orang-orang berjalan, membunuh dan merampas
harta. Lalu ia dicari oleh pejabat-pejabat dan masyarakat. Tetapi ia lolos dan mereka tidak dapat
menangkapnya sampai dia datang kembali dalam keadaan taubat. Hal itu disebabkan karena ia
mendengar seorang laki-laki membaca ayat yang artinya:

“Katakanlah hai hamba-hambaku yang berbuat durhaka kepada dirinya! Janganlah kamu berputus
asa dari rahmat Allah. Allah sungguh mengampunkan segala dosa. Dia sungguh maha pengampun maha
penyayang”. (az-Zumar: 53)

Lalu ia berhenti di hadapanya seraya berkata: “hai hamba allah ulangi lah bacaanya”. Lalu ia ulangi
untuknya. Kemudian ia sarungkan pedangnya. Kemudian ia kembali dengan taubat dan tiba di madinah
wktu sahur. Lalu ia mandi. Kemudian datang ke masjid rasulullah lalu shalat subuh. Kemudian ia duduk
enghadap abu hurairah yang ada di tengah tengah muridnya. Tatkala orang-orang ini pergi, barulah orang-
orang mengenalnya lalu mereka berdiri dihadapannya. Maka ali al mazdi: kalian tidak ada alasan berbuat
kepada saya. Saya telah bertaubat sebelum kalian dapat menagkap saya. Lalu abu hurairah berkata: dia
benar. Dan beliau pegang tangannya sampai marwan bin hakam datang ketika itu beliau menjadi amir di
madinah pada jaman khalifah muawiyah. Lalu beliau berkata: ini adalah ali yang datang dengan bertaubat
dan tidak ada lagi bagi kalian bertaubat kepadanya, juga tidak ada hukuman bunuh terhadapnya lalu ali
meninggalkan semua kejahatannya. Kata (musa) selanjutnya: ali lalu keluar dalam keadaan taubat untuk
berjihad di jalan Allah di tengah laut. Lalu mereka (pasukan islam) berhadapan dengan tentara romawi
lalu mereka berada satu perahu dengan satu perahu lalu ali menyerang kedalam perahu mereka maka
merekapun melarikan diri ke sudut lain dan saling serang menyerang sehingga mereka dapat
ditenggelamkan semuannya.[13]

Para ulama telah pula memberikan pendapat mengenai tindakan perampokan dapat dikategorikan
menjadi:

1. Perampokan yang hanya dapat membunuh tetapi tak dapat membawa rampasannya, tetap dianggap
merampok

2. Kalau mereka membunuh dan membawa serta harta korbannya, inilah perampokan yang lengkap

3. Jika mereka merampas hart dengan menggunakan kekerasan tetapi tidak membunuh

4. Bahkan sekalipun mereka hanya menakut-nakuti tanpa memaksa merampok, namun ia tetap
dianggap merampok.[14]
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran dan
Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010

Thalib. M, Fiqih Nabawi, Surabaya: Al-Ikhlas, tth.

I Doi Abdur Rahman, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam ,Jakarta: Rineka Cipta, 1992.

http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40

Ali Zainuddin, Hukum Pidana Islam ,Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Ash-Shiddiqieqy Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
[1] Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad: Sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Quran
dan Sunnah, alih bahasa Ifran Maulana Hakim dkk, cet. Ke-1 (Bandung: PT MIzan Pustaka, 2010), hlm. 890.

[2] M. Thalib, Fiqih Nabawi (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), hlm. 290.

[3] Menodong adalah mengarahkan senjata (pistol dsb) sbg ancaman untuk merampok, merampas, dsb,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

[4] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 69

[5] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 56

[6]Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.70

[7] Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, hlm. 57

[8] http://trialbydoing.blogspot.com/2012/07/hirabah-perampokan.html , akses 07/10/2013 14:40

[9] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 291

[10] Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Hukum-Hukum Islam, (Jakarta :Bulan Bintang, 1978), hlm. 563-
564.

[11] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
hlm. 150-151

[12] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm.70

[13] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 292

[14] M. Thalib, Fiqih Nabawi, hlm. 59

Anda mungkin juga menyukai