Anda di halaman 1dari 3

Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan menyalurkan informasi.

Informasi
dikumpulkan oleh sistem sensorik, diintegrasikan oleh otak, dan digunakan untuk menghasilkan sinyal
kejalur motorik dan autonom untuk mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan endokrin.
Berbagai kegiatan ini dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan untuk membentuk jaringan sinyal
yang membentuk sistem motorik dan sensorik. Selain neuron, sistem saraf mengandung sel neuroglia
yang memiliki beragam fungsi imunologis dan penunjang serta memodulasi aktivitas neuron.1

Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa

atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut,

progresif cepat, serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta

gangguan sensoris.2

Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan

arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk

demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan

dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3

Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan

pada usia antara 30-50 tahun. SGB dialami laki-laki dan perempuan sama

seringnya. Kesembuhan terjadi spontan dan komplet pada 95% pasien sekalipun

gangguan motorik atau refleks yang ringan dapat menetap pada kaki dan tungkai.

Prognosis sindrom ini paling baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang

sebelum 15 hingga 20 hari sesudah awitan penyakit.2

Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang

cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan

penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada

beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya

mempunyai prognosa yang baik.4

Suatu penyakit dianggap sebagai auto-imunologik jika faktor persyaratan di

bawah ini terpenuhi.8

Lesi yang mendasari penyakit mengandung unsur-unsur respon imunologik

yang terdiri dari respon antibody dan respon CMI (cel-mediated immunity) 8

1. Sel plasma mengandung antibodi


2. B-sel dan T sel harus terbukti aktif melaksanakan respon imunologik

3. Limfoblas serta fagosit harus ikut melengkapi gambaran radang

setempat.

Antibody harus ditemukan dan pembuatannya harus ditiru, penyakitnya

harus dapat ditularkan kepada binatang percobaan dengan pemasukan

limfosit yang berasal dari penderita, faktor yang menghilangkan toleransi

imunologik harus ada, serta masa bebas gejala yang merupakan masa

berlangsungnya proses penyerapan substansi auto-antigen dan pembuatan

auto-antibody harus ada.8

Adapun penyakit-penyakit susunan saraf yang memenuhi syarat tersebut di

atas ialah Ensefalomielitis diseminata Akuta, Skeloris multipleks,

Polineuritis akuta postinfeksiosa (sindrom Guillain-Barre-Strohl), Miastenia

gravis, dan Polimielitis.9

Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan informasi ke sel lain.
Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan memanjang yang menerima informasi dari
lingkungan atau dari neuron lain; badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang
panjangnya dapat mencapai 1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain.
Sebagian besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa dendrit.
Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di ganglion cochleare dan
vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion sensorik spinal mengandung neuron-neuron
pseudounipolar yang memiliki suatu tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua
cabang, satu memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan
dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya. Percabangan dendrit
dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat menerima ribuan masukan. Setiap
cabang akson berakhir di sel berikutnya di sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan
informasi dari akson ke otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di
sepanjang akson.1 Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin terutama
terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet yang membungkus kabel
listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian membran yang bermielin. Mielin sebenarnya
bukan bagian dari sel saraf tetapi terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus
diri mengelilingi akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls
pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan kerusakan mielin dapat
juga merusak akson dibawahnya yang semakin menggangu perambatan potensial aksi.7 Susunan
saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang berasal dari susunan saraf itu
sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi
karena suatu sebab, toleransi imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-
imunopatologik yang mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T
itu ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida. Menurut teori
yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh proses imunopatologik dan
auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap imunologik atau autoimunologik dapat
diperbaiki dengan farmaka yang dinamakan imunosupresor.8
Guillain-Barré Syndrome merupakan penyakit neurologi yang cukup jarang,
angka insidensi GBS dari 2 penelitian epidemiologi terdahulu dapat dilihat pada
penelitian yang dilakukan Ress, dkk (1998) dengan metode dan subyek yaitu
prospektif 1 tahun, 97 pasien didiagnosa GBS dimana angka insiden per 100.000
penduduk adalah 1,2 dan peneltian yang dilakukan Casmiro dkk (1998) dengan
metode dan subyek yaitu prospektif studi 2 tahun, 87 pasien didiagnosa GBS,
dimana angka insiden per 100.000 penduduk adalah 1,1.4
Penelitian yang dilakukan oleh Ress, dkk (1998) menunjukkan bahwa rasio
laki-laki dan perempuan adalah 0.8/1. Rata-rata umur (SD) adalah 47.7 tahun
(19.5) dan berkisar antara 5 sampai 85 tahun. Sementara penelitian Casmiro, dkk
(1998) menunjukkan bahwa puncak insidensi adalah pada usia 60-69 tahun
dengan angka insidensi 2,34/100.000 penduduk.3 Data di Indonesia mengenai
gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa
8

insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun)


dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian
di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan
usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.4

Anda mungkin juga menyukai