Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM NEFROTIK KELAINAN MINIMAL

PENYUSUN:

Nurdiyana Salim, S.Ked

K1A1 15 099

PEMBIMBING:

dr. Yeni Haryani, M.kes, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling banyak terjadi
pada anak. Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit glomerulus yang
ditandai dengan proteinuria masif (>40 mg/m2/jam), hipoalbuminemia
(<2.5g/dL), edema, dengan atau tanpa hiperkolestrolemia (>200mg/dL).
Sindrom nefrotik termasuk dalam suatu kelainan yang bersifat kronis yang
memerlukan perhatian khusus dalam evaluasi dan tatalaksananya.1
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Dinegara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Pada anak, sebagian
besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan
minimal (SNKM). Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar
SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-
85% tidak responsif (resisten steroid).2
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut
sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.
Insiden sindrom nefrotik ini ada 2 sampai 7 kasus per tahun tiap 100.000
anak berumur kurang dari 16 tahun dengan angka prevalensi kumulatif 16
tiap 100.000 anak. Di bagian anak RSUP Dr. Sarjito di Yogyakarta, penserita
laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu laki-laki 74,4% dan
perempuan 25,6% (rasio2,9:1). Kelainan minimal adalah yang terbesar
dibanding yang lain yaitu 46,4% mempunyai prognosis yang lebih baik bila
dibandingkan dengan jenis yang lain.4

B. DEFINISI

Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) merupakan Kelainan


histologik yang terbanyak pada anak dengan Sindrom Nefrotik Idiopatik.3
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) merupakan klasifikasi sindrom
nefrotik dari gambaran patologi anatomi dengan gambaran klinis berupa
edema, Proteinuria masif yaitu uji dipstix / SSA > 2+ atau >40mg/m2/jam/ >
50 mg/kg BB/hari. Hipoalbuminemia dengan kadar albumin serum < 2,5 g/dl
61, Dapat disertai hiperkolesterolemia dengan kadar > 250 mg/dl. Dalam
laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in Children), pada
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.2

C. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit sindrom nefrotik primer yaitu 2 kasus per tahun tiap
100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Dengan angka prevalensi
kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insiden di indonesia diperkirakan 6 kasus per
tahun tiap 100.00 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan
perempuan pada anak sekitar 1:2. Laporan dari luar negeri menunjukan
duapertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2%
menunjukkan KM. 5
Data penelitian di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
menunjukan prevalensi terbanyak anak dengan sindrom nefrotik berusia 4-6
tahun. Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukan
jenis kelamin laki-laki lebih banyak (67,7%) menderita sidrom nefrotik dari
pada perempuan (32,3%). Selain itu penelitian yang dilakukan di RS Hasan
Sadikin Bandung juga menujukan bahwa mayoritas (70%) penderita sindrom
nefrotik adalah laki-laki.1 Anak dengan SNKM biasanya berumur > 1 tahun
sampai kurang dari 10 tahun sekitar 90% kasus berumur kurang dari 7 tahun
dengan usia rerata 2 – 5 tahun, terutama anak lelaki.3

D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


1. Proteinuria
Ada 3 jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada SN termasuk ke dalam proteinuria glomerular.
Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya
filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering
diakibatkan oleh kelainan pada podosit gomerulus meliputi retrasi dari foot
process dan atau reorganisasi dari slit diaphragma. Perbedaan potensial
yang dihasilkan oleh arus transglomerular akan memodulasi flux
makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.6
Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran melekul (size barrier) dan yang
kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN, kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui membran
basal glomerulus. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria
selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya
albumin, sedangkan non selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul bedar seperti imunoglobulin. Selektifitas proteinuria dipengaruhi
oleh keutuhan struktur membran basal glomerulus.6
Pada SN yang disebabkan oleh lesi minimal ditemukan proteinuria
selektif. Pemeriksaan mikroskopik elektron memperlihatkan fusi FP sel
epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari struktur membran basal
glomerulus. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada
GN lesi menimal menyebabkan muatan negatif membran basal
glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke dalam urin.6
2. Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal
bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat
penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun
terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan utama pada SNKM ini ialah
hilangnya sawar muatan negatif selektif. Proteoglikan sulfat heparan yang
menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan ekstema
merupakan sawar utama penghambat keluamya molekul muatan negatif,
seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparin dengan
heparitinase mengakibatkan timbulnya albuminuria. Di samping itu
sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat pada tonjolan
kaki sei epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini
yang penting untuk mengatur sei viseral epitel dan pemisahan tonjolan-
tonjolan kaki sei epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000
dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat
ditemukan terbanyak pada daerah ini. Sialoprotein menurun ditemukan
pada berbagai kelainan glomerulus termasuk kelainan pada model
eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada SNKM, kandungan
sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.5

3. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein,
sinstesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan
sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil
menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal hati
memiliki kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin total sebesar 25
gram per hari. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.6
Pada pasien dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG
menurun Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan
hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan
KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin
serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan.5
4. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pad SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskuler ke jaringan interstitium mengikuti hukum starling dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi
dengan merangsang sistem renin angiotensin sehingga terjadi retensi
natrium dan air di tubulus distal . mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.6
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
utama renal. Terjadi defak primer pada kemampuan nefron distal untuk
mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas kanal
natrium epitel (EnaC) oleh enzim proteolitik yang memasuki lumen
tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi peningkatan
volume darah, penekanan renin angiotensin dan vasopresin dan
kecenderungan untuk terjadinyahipertensi dibandingkan hipotensi. Ginjal
juga relatif resisten terhadap natriuretik peptide. Meningkatnya volume
darah akibat tekanan onkotik yang rendah memicu transudasi cairan ke
ruang ekstraseluler dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN.
Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan
penyakit jantung atau hati akan mennetukan mekanisme mana yang lebih
berperan.6
Pasien dengan SNKM biasanya menderita hipovolemia disertai
renin dan aldosteron yang tinggi responsif steroid, sedangkan mereka
dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan
aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif
steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna
untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau
tidak di samping adanya SNKM.5

E. MANIFESTASI KLINIS
1. Edema
Edema merupakan gejala klinis utama pada 95% anak dengan
SNKM. Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai
tampak di daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra,skrotum,
atau labia dan berkembang menjadi edema umum dan masif yang
disebut anasarca. Edema bersifat piting dan bergantung posisi tubuh
sehingga tampak jelas dimuka saat bangun pagi dan di tungkai pada
siang hari.3
Pada anak dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan
progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan
intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya Edema berpindah
dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka
sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya
dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat
dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit Kadang
pada edema yang masif teijadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluamya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua
jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia,
bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas
dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda
adanya edema menyeluruh sebelumnya.5

2. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan
keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga
penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien,
nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN
yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan karena edema. Kadang nyeri dirasakan terbatas
pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang
berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif
steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat teijadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani.5

3. Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang
menjadi gawat Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin
dan obat furosemid.5
4. Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada
penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang
tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
Kecemasan orang tua dan perawatan yang sering dan lama
menyebabkan anak berkembang menjadi mandiri dan bertanggung jawab
terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi
terbatas. Anak dengan SN ini akhimya menimbulkan beban pikiran karena
akan membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai
penyakitnya. Para dokter yang sadar akan masalah ini dapat berbuat
sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha mendorong meningkatkan
perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha
menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.5

F. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan laboratorium
Proteinuria, merupakan tanda utama pertama SNKM, bersifat
selektif dengan rasio albumin/globulin urin tinggi. Menurut ISKDC, jumlah
proteinuria yang konsisten dengan diagnosis SNKM yaitu > 40 mg/m/am
atau > 50 mg/kg berat badan /hari atau uji dipstix– SSA > 2. Bila ada
mikrohematuria tidak menyingkirkan SNKM karena dapat dijumpai pada
2030% anak dengan SNKM pada onset awal penyakit tapi kemudian
menghilang. Hipoalbuminemia, dengan kadar albumin serum < 2.5 g/dL,
merupakan tanda utama kedua SNKM. Kadar Hb dan hematokrit
meningkat bila sudah terjadi hipoalbuminemia berat. Hiperkolesterolemia
dengan kadar > 250 mg/dl biasanya ditemukan dan dapat menetap 1-3
bulan sesudah remisi. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat
sedangkan HDL menurun atau normal. Fungsi ginjal umumnya normal
walaupun kadar kreatinin serum sedikit meningkat pada 25-30% kasus
SNKM pada onset awal penyakit tapi normal kembali pada saat diuresis.
+Komplemen C3 serum umumnya normal.3

2. Pencitraan
Pencitraan rutin tidak dianjurkan pada anak dengan SNKM. Foto
toraks biasanya menunjukkan efusi pleura yang berkorelasi langsung
dengan derajat edema dan tidak langsung dengan kadar albumin serum.
Pemeriksaan USG biasanya menunjukkan kedua ginja normal atau sedikit
membesar dengan ekogenitas normal.3
3. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak dilakukan pada anak dengan SNKM karena 93.1-
97% kasus sensitif terhadap steroid. Indikasi biopsi ginjal yaitu SNKM
resisten steroid, umur anak < 1 tahun atau >10 tahun pada saat onset
penyakit atau SNI dengan gejala klinis hematuria, hipertensi, dan
azotemia persisten dan hipokomplemenemia.3

4. Gambaran histopatologi SNKM


a. Mikroskop cahaya
Penyakit KM seperti juga tersirat pada nama penyakit ini adalah
gambaran morfologi glomerulus di bawah mikroskop cahaya (MC).
Namun beberapa kelainan junior lainnya ditemukan dan diterima oleh
Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai klasifikasi penyakit
KM. Termasuk di sini kadang-kadang glomerulus obsolesen (sampai
10% pada anak), tanpa disertai atrofi tubular, penebalan mesangium
ringan (sampai duakali lebar normal) dan peningkatan selularitas
ringan (sampai tlga sei per daerah mesangial). Sel epitel viseral
tampak bengkak dan dapat mengandung butir protein di dalam
sitoplasma yang dengan pewamaan PAS positif. Pemulasan besi
koloidal terhadap lapisan sel podosit menunjukkan mengurangnya
pemulasan di bawah mikroskop cahaya. Namun kelainan ini tampak
lebih nyata daripada yang sebenamya. Oleh karena hilangnya
tonjolan-tonjolan kaki podosit, maka luas permukaannya jadi
berkurang yang berakibat permukaan sei kurang dipulas Telah
dibuktikan bahwa muatan anion pada permukaan sei berfungsi
mempertahankan bentuk dan melekatnya podosit, sedangkan muatan
anion di tempat lain, seperti pada membran basal berfungsi sebagai
sawar glomerulus. Membran basal kapiler akan tetap tipis dan
lembut.3

Tubulus proksimal umumnya mengandung protein dan butir-butir


lipid didalam sitoplasma, silinder hialin di dalam . lumen dan kadan
kadang ditemukan daerah-daerah kecil dengan kalsifikasi. Fokus
atrofi tubulus biasanya tidak ditemukan, namun apabila ditemukan
menunjukkan adanya kelainan lain yaitu glomerulo sklerosis fokal
segmental di luar daerah tertentu. Kelainan vaskular,
terutama penebalan intima, dapat teijadi pada pasien yang berumur
lebih tua. Diagnosis histologis kelainan minimal adalah diagnosis
eksklusi, yang bergantung pada kepastian tidak adanya glomerulus
jukstamedularis. Di samping itu diperlukan pemeriksaan
imunofluorosensi dan mikroskop elektron untuk menyingkirkan
adanya glomerulopati membranosa stadium I.3
b. Mikroskop Elektron

Perubahan yang paling jelas pada penyakit KM ditemukan pada


ME adalah hilangnya tonjolan kaki sei epitel viseral, sehingga badan
sel berhubungan dengan membran basal lebih erat Keadaan ini
ditemukan pada KM secara konsisten, namun tidak spesifik, dijumpai
pada berbagai keadaan dengan proteinuria berat. Beratnya proteinuria
dan hilangnya tonjolan kaki mempunyai hubungan langsung
pada anak dengan KM. Sei podosit ini membengkak dan bervakuola,
mengandung butir-butir protein dan lipid yang diabsorpsi, dan sering
ditemukan mikrovili yang halus menonjol di permukaan yang
menghadap ruang Bowman. Daerah sitplasma yang menghadap
membran basal sering menebal karena adanya fibril yang
berwama gelap contractile fibrils. Lapisan polianion yang menutup sei
podosit seluruhnya dapat dipulas dengan pemulasan besi koloid dan
asam fosfotungsik, setidaknya sepanjang permukaan sel yang
menunjukkan terlindungnya glikokaliks. Namun daerah anionic
ditemukan juga di dalam membran basal, terutama di lamina rara.5

Bagian ini mempunyai morfologi dan sifat pulasan seperti


proteoglikans. Dengan pemeriksaan mikroskop elektron skaning
tampak bahwa hilangnya tonjolan kaki podosit bukan karena teijadinya
perpaduan seperti yang diduga semula, namun disebabkan karena
retraksi, melebar dan memendeknya tonjolan tiap sei, yang
membentuk lapisan sitoplasma berkesinambungan yang menutup
dinding kapiler. Membran basal menunjukkan lamina rara interna yang
sedikit melebar dan pada lamina densa terdapat bercak-bercak fokal
atau daerah-daerah kecil yang pecah Sei endotel sering edematus
atau bervakuol, dan permukaannya tidak teratur hampir tampak
seperti vili. Lumen kapiler kadang-kadang mengandung fibrin atau
agregat trombosit. Sei mesangial dapat membengkak dan matriks
sedikit meningkat. Deposit elektron padat umumnya tidak ditemukan
namun kadang-kadang ditemukan di daerah paramesangial. Endapan
ini tidak selalu mengandung imun ogjobulin imun atau komplemen.
Kelainan podosit ini, yang terlihat di bawah ME.5

c. Mikroskop imunoflouresensi

Umumnya (60-70%) tidak ditemukan adanya deposit


imunoglobulin atau komplemen. Pada beberapa pasien (30-40%) IgM,
IgG dan/atau C3 dapat dijumpai dalam jumlah kedl di daerah
mesangial atau paramesangial. Umumnya terdapat bercak-bercak
IgM di daerah paramesangial. Endapan IgE telah juga dilaporkan
namun penemuan ini tidak dapat dipastikan oleh peneliti lain.
Umumnya, endapan imunoglobulin pada beberapa pasien dengan KM
yang responsif steroid rupanya tak mempunyai arti klinis dalam hal
respons terhadap pengobatan, frekuensi relaps atau prognosisnya.5
G. PENATALAKSANAAN
Tata Laksana suportif3
1. Aktivitas tergantung keadaan umum anak, sedangkan tirah baring tidak
dianjurkan kecuali karena tirah baring potensial meningkatkan resiko
trombosis terhadap edema anasarka dan disertai komplikasi.
2. Asupan garam dibatasi untuk pencegahan dan pengobatan edema selain
mengurangi resiko hipertensi selama pengobatan prednison. Diit rendah
garam hanya pada kasus edema berat sedangkan kalori harus adekuat,
karbohidrat normal dan relatif rendah lemak. Asupan protein diusahakan
mencapai target 130-140% kebutuhan normal harian sesuai usia atau 1-
2g/kgBB/hari. Pembatasan cairan dianjurkan pada keadaan hiponatremia
sedang-berat.
3. Diuretik
Pemberian diuretik umumnya tidka diperlukan pada SNKM karena dapat
memicu renjatan hipovolemik namun pada kasus dengan edema berat
disertai kesulitan napas boleh diberikan furosemid oral 1-2mg/kg/hari
sesudah koreksi hipovolemia atau spironolakton 2-10 mg/kgBB/hari bila
kreatinin serum normal
4. Albumin
Meningkatkan tekanan onkotik dan membantu efek diuretik furosemid.
Hipovolemia yang timbul dnegan cepat akibat hilangnya protein plasma
dan dipicu oleh pemberian diuretik potensial menyebabkan syok pada
anak dengan SNKM. Manifestasi syok meliputi nyeri perut, akral dingin,
volume nadi kurang, hipotensi dan hemokonsentrasi. Untuk mencegah
renjatan diberikan infus albumin 0,5-1g/kg/dosis per infus (5mg/kg BB
albumin 20% atau 25%) selama 1-4 jam bersama dengan pemberian
furosemid . status hidrasi anak harus monitoring karena pernah dilaporkan
adanya edema paru dan gagal jantung kongestif akibat pemberian
albumin albumin tidak rutin diberikan pada semua anak dengan SNKM
atau SNKM relaps.
5. Obat penyekat ACE seperti kaptopril sebagai pengobatan tambahan dapat
mengurangi ekskresi proteiin urin sebanyak 50% . Namun kegunaan
jangka panjang pada anak belum terbukti mencegah progresifitas
penyakit. Obat ini jangan diberikan selama pemberian dosis awal
prednison karena dapat menimbulkan hipotensi dan resiko trombosis.
6. Hiperkolestrolemia umumnya bersifat transien dan normal kembali bila
pengobatan berhasil. Masih belum ada rekomendasi berbasis bukti untuk
pengobatan hiperkolestrolemia.

Tata laksana Komplikasi3


1. Pencegahan infeksi. Tidak dianjurkan antibiotik profilaksis karena tidak
efektif dalm mencegah peritonitis. Pemberian antibiotik hanya dianjurkan
bila ada bukti infeksi.
2. Imunisasi
Anak dalam pengobatan prednison atau imunosupresif lain hanya
mnedapat vaksin virus mati sedangkan vaksin virus hidup hanya boleh
diberikan 6 bulan sesudah prednison dihentikan
3. Gagal ginjal akut (GGA)
Jarang terjadi GGA pada anak dengan SNKM sensitif steroid. Penyebab
pasti belum diketahui walaupun hipovolemia mungkin sebagai salah satu
faktor pencetus selain faktor intrarenal lain. Pengobatan dengan koreksi
deplesi volume darah dengan infus albumin diikuti oleh furosemid 1-2
mg/kgBB intravena.
4. Trombosis
Bila curiga trombosis lakukan pemeriksaan lengkap dan segera obati
untuk mencegah komplikasi fatal karena trombosis vena, atau agak jarang
trombosis arteri, potensial menyebabkan emboli paru. Pengobatan terdiri
dari obat antikoagulan dan pada kasus dengan gejala tromboembolik
dianjurkan obat antitrombotik dan antikoagulan. Hati-hati pemakaian
diuretik pada kasus SNKM karena hipovolemia merupakan salah satu
faktor predisposisi trombosis dan sebaiknya dihindari pada kasus dengan
gejala tromboembolik. Pengobatan harus diberikan sesudah konsultasi
dengan konsultan nefrologi anak
5. Krisis adrenal akut
Keadaan ini dapat dijumpai pada anak dengan pengobatan kortikosteroid
lama dengan dosis 18 mg/m kortison per hari

Tatalaksana Spesifik
Pemberian kortikosteroid pada SNKM
Pemberian kortikoseroid baik prednison maupun prednisolon sebaiknya tidak
segera dimulai setelah onset gejala karena remisi spontan dapat terjadi pada
5% kasus SNKM; kecuali kalau edema menetap atau gejala berat pada onset
awal. Semua glukokortikoid efektif, namun prednison oral yang paling banyak
digunakan dan umumnya lebih disukai dari prednisolon. Cara kerja spesifik
tidak diketahui walaupun prednison menekan sistem imun. Sampai saat ini,
prednison tetap merupakan pilihan pertama pada anak dengan SNKM dan
obat imunosupresif lain digunakan bila tidak respons dengan pengobatan
standar prednison atau pada relaps frekuen atau dependen steroid. 3

Efek samping kortikosteroid


Efek samping prednison bergantung besar dosis, frekuensi pemberian, dan
lama pengobatan. Efek samping prednison ringan-sedang meliputi perobahan
sikap dan tingkah laku seperti emosi labil, nafsu makan bertambah, moon
face, obesitas, dan hirsutisme umumnya muncul 6 minggu pertama setelah
pengobatan prednison harian tapi berkurang selama pengobatan rumatan
atau selama penghentian prednison bertahap dan umumnya menghilang
dalam waktu 3-6 bulan. Bila prednison dosis tinggi diberikan jangka lama
maka risiko toksisitas bertambah berat meliputi perubahan tingkah laku hebat
sampai psikosis steroid, hipertrofi ginggiva, habitus cushingoid, iritasi lambung
sampai ulkus, hiperlipidemia, hiperglikemia, hiperkalsiuria, hipokalemia,
obesitas, retardasi pertumbuhan, osteopenia, osteoporosis, nefrolitiasis,
osteomalasia, hipertensi, fungsi imun menurun, pseudotumor serebri, atrofi
otak, alkalosis metabolik, miopati, dan DM steroid. Prednison tidak dianjurkan
bila ada bukti hipersensitivitas, infeksi bakteri, virus, atau jamur aktif. Bila
pengobatan antibakteri, antivirus, atau anti jamur telah memberikan respons
baik maka prednison boleh diberikan. Prednison mengurangi efek salisilat
dan vaksinasi toksoid sedangkan fenitoin, karbamazepin, luminal, dan
rifampin mengurangi efek prednison. 3
1. Pengobatan SNKM serangan pertama
a. Pengobatan SNKM menurut ISKDC 4-4 atau modifikasi 6-6 sebagai
berikut, Pengobatan induksi dengan prednison oral 2 mg/kg berat
badan/hari atau 60 mg/m luas permukaan badan /hari (maksimum 80
mg/hari) setiap hari dalam 1-3 dosis terbagi selama 4-6 minggu;
dilanjutkan dengan. Pengobatan rumatan dengan prednison oral 1,5
mg/kg berat badan /hari atau 40 mg/m permukaan badan dua – tiga
dosis setiap pagi selang sehari selama 4-6 minggu dan dapat langsung
dihentikan atau dihentikan secara bertahap. Pengobatan SNKM
menurut Konsensus UKK Nefrologi IDAI Pengobatan sesuai anjuran
ISKDC dengan prednison oral 60 mg/m luas permukaan badan/ hari
atau 2 mgk/kg berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan)
/hari (maksimal 80mg/hari) dibagi 3 dosis selama 4 minggu untuk
induksi remisi. Bila terjadi remisi dalam minggu pertama maka
prednison oral dilanjutkan selama 4 minggu kedua dengan dosis 40
mg/m2 luas permukaan badan /hari setiap pagi selang sehari diberikan
sesudah makan. Namun bila tidak terjadi remisi selama 4 minggu
pertama maka diagnosis dan pengobatan sebagai sindrom nefrotik
resisten steroid. Angka relaps dilaporkan lebih tinggi (61%) pada
regimen 4-4 minggu daripada regimen 6-6 minggu (36%).
Dosis harian lebih tinggi atau waktu lebih lama tidak mengubah
secara bermakna angka respons pada SNKM malahan toksisitas lebih
meningkat. Sekitar 90% anak dengan SNKM berikan respons
umumnya pada hari ke 10– 14. Bila tidak berikan respons dirujuk ke
konsultan nefrologi anak. Ueda dkk dan Ksiazek-Wysznska
melaporkan angka bebas relaps 2 tahun pada 50% kasus dengan
pengobatan prednison jangka panjang dan 27.3% jangka
pendek.Pengobatan prednison jangka panjang yaitu prednison 60
mg/m2/hari (maksimum 80 g/hari) selama 4 minggu; dilanjutkan
dengan 40 mg/m2/48 jam selama 4 minggu; dan kemudian dosis
dikurangi 25% setiap bulan selama 4 bulan sedangkan jangka pendek
menurut ISKDC yaitu prednison 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg/hari)
selama 4 minggu dan dilanjutkan dengan 40 mg/m2/48 jam selama 4
minggu. Laporan dari Cochrane Database menyimpulkan bahwa risiko
relaps selama 12-24 bulan lebih rendah secara bermakna dan tanpa
peningkatan toksisitas pada pengobatan prednison selama 3 bulan
atau lebih dari pada pengobatan prednison hanya 4-6 minggu.
Simpulan meta-analisis terakhir yaitu angka relaps berkurang
sebanyak 33% bila diberikan prednison setiap hari selama 4-6 minggu
dan dilanjutkan dengan dosis rumatan selang sehari selama 6 bulan.
b. Pengobatan SNKM jangka panjang 4-8-8-8.
• Pengobatan induksi dengan prednison oral 2 mg/kg /hari setiap hari
selama 4 minggu, dilanjutkan dengan
• Pengobatan rumatan dengan prednison oral 1,5 mg/kg setiap pagi
selang sehari selama 8 minggu; dilanjutkan dengan
• Prednison oral 1.0 mg/kg setiap pagi selang sehari selama 8 minggu ;
dilanjutkan dengan
• Prednison oral 0.5 mg/kg setiap pagi selang sehari selama 8 minggu
• Hentikan prednison.
2. Pengobatan SNKM relaps
Sekitar 92% anak dengan SNKM memberikan respons terhadap
pengobatan standar prednison. Duapuluh sampai limapuluh persen (rerata
30%) memberikan respons pada awal pengobatan, 20 - 50% mengalami
relaps tidak frekuen, dan 25 - 50% (rerata 35%) mengalami relaps frekuen.
Bila proteinuria muncul kembali sesudah infeksi dan tidak ada gejala
edema maka berikan antibiotik seperti amoksisilin atau sefaleksin selama
6-7 hari dan tidak perlu berikan prednison. Prednison diberikan bila
proteinuria tetap > 31 minggu sesudah infeksi sembuh. Relaps awal
umumnya terjadi = 3 bulan sesudah remisi, yang biasanya disebabkan oleh
infeksi atau alergi saluran napas, dan cenderung segera memberikan
respons terhadap prednison. meliputi;
• Pengobatan SNKM relaps.
• Pengobatan reinduksi dengan prednison oral 2 mg/kg BB/hari 60 mg/hari
(maksimum 80 mg/hari) sampai tercapai remisi; dilanjutkan dengan
• Pengobatan rumatan dengan prednison oral 1,5 mg/kg atau 40 mg setiap
pagi selang sehari selama 4-6 minggu dan kemudian
• Dosis diturunkan secara bertahap selama 4 minggu.

3. Pengobatan SNKM relaps frekuen


Anak dengan SNKM relaps frekuen mempunyai dampak yang serius terhadap
progresifitas penyakit dan toksisitas prednison. Relaps frekuen pada kasus
dengan gejala klinis toksisitas prednison sebaiknya dirujuk ke konsultan
nefrologi anak untuk pemberian obat sitotoksik seperti siklosfosfamid atau
klorambusil. Penelitian terkontrol siklofosfamid pada kasus relaps frekuen
menunjukkan bahwa > 50% kasus mengalami remisi selama 2-3 tahun dan
sekitar 20% gagal mencapai remisi. Bila obat sitotoksik tidak berhasil
mempertahankan remisi atau terjadi relaps frekuen, boleh dicoba dengan
bolus metilprednison intermiten. Anak dan orang tua harus diberitahu tentang
toksisitas obat sitotoksik seperti sterilitas atau teratogenesis. Pada anak
dengan SNKM relaps frekuen dapat digunakan beberapa pilihan pengobatan,
yaitu:
a. Pilihan pertama
Pengobatan reinduksi dengan prednison oral 2 mg/kgBB atau 60
mg/m/hari (maksimum 80 mg/hari) sampai remisi ; dilanjutkan dengan
pengobatan rumatan dengan prednison oral 1,5 mg/kg atau 40 mg/m
setiap pagi selang sehari selama 4 minggu dan hentikan bertahap.
b. Pilihan kedua.
Pengobatan dengan prednison oral 60 mg/m/hari atau 1,5 mg/kg berat
badan /hari sampai remisi dan selanjutnya dosis dikurangi secara
bertahap sampai dosis rendah 0,1- 0.5 mg/kg setiap pagi selang sehari
selama 3 - 6 bulan. Bila timbul relaps dengan dosis prednison rendah
selang sehari maka anak direinduksi sebagai relaps dan prednison
diturunkan lagi bertahap sampai dosis rendah selang sehari.
c. Pilihan ketiga.
Pengobatan dengan prednison oral 40-60 mg/m hari sampai 4-5 hari
bebas proteinuria; dilanjutkan dengan prednison oral setiap pagi selang
sehari dan dosis diturunkan bertahap sampai 15-20 mg/m selama 12-18
bulan.
d. Pilihan keempat.
Siklofosfamid 2–2,5 mg/kg/hari atau klorambusil 0,15– 0,20 mg/kg/hari
selama 8 minggu dapat dipertimbangkan pada kasus relaps frekuen dan
kasus dengan gejala klinis toksisitas prednison atau levamisol 2,5
mg/kg/hari selang sehari selama 6 - 12 bulan pernah dicoba padaanak
dengan SNKM relaps frekuen. Efek samping dini jarang meliputi
neutropenia, ruam, gangguan saluran cerna, dan kejang.

4. Pengobatan SNKM dependen steroid


Pada anak dengan SNKM dependen steroid dapat digunakan beberapa
pilihan pengobatan:
a. Pilihan pertama
Pengobatan reinduksi seperti pada kasus SN relaps dengan prednison
oral 2 mg/kg berat badan /hari atau 60 mg/m/hari sampai remisi ;
dilanjutkan dengan prednison oral 1,5 mg/kg berat badan atau
40mg/m/selang sehari selama 4 minggu. Hentikan bertahap
b. Pilihan kedua
Reinduksi dengan prednison oral 2 mg/kg berat badan /hari atau 60
mg/m/hari sampai remisi; dilanjutkan dengan prednison oral 1,5 mg/kg
berat badan /selang sehari dengan dosis diturunkan secara bertahap
sampai dosis rendah 0,1 – 0,5 mg/kg/selang sehari selama 6 – 12
bulan.
c. Pilihan ketiga
Pengobatan dengan prednison oral 40-60 m/hari sampai 4-5 hari bebas
proteinuria; dilanjutkan dengan prednison oral selang sehari dosis
diturunkan secara bertahap sampai 15-20 mg/m selama 12-18 bulan.
d. Pilihan keempat.
Pengobatan dengan siklofosfamid oral 2 – 2,5 mg/kg/hari atau
siklofosfamid puls intravena selama 6 bulan atau klorambusil 0,15- 0.20
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau siklosporin A 3-6 mg/kg/hari
selama 1 tahun. Anak dianjurkan minum banyak dan sering berkemih
untuk mengurangi iritasi kandung kemih. Toksisitas akut siklofosfamid
meliputi nausea, muntah, leukopenia, alopesia, infeksi, gangguan
saluran cerna.dan sistitis hemorhagik sedangkan toksisitas jangka
panjang meliputi kerusakan kromosom, neoplasia, azospermia, fibrosis
ovarium dan infertilitas terutama lelaki bila dosis kumulatif > 170 mg/kg
Berbagai penelitian termasuk ISKDC menunjukan keunggulan kombinasi
siklofosfamid dan prednisondibandingkan dengan prednison tunggal
dalam mempertahankan lama remisi. Sementara anak dalam
pengobatan siklofosfamid, dosis prednion dapat diturunkan secara
bertahap dan dihentikan bila pemberian siklofosfamid sudah lengkap
dan anak masih tetap remisi. laporan APN menunjukkan bahwa angka
remisi 2 tahun lebih tinggi pada SNKM dependen steroid (67%) bila
pemberian siklosfamid 2 mg/kg/hari selama 12 minggu dibandingkan
dengan (22%) 8 minggu, namun Ueda dkk tidak menemukan perbedaan
bermakna siklofosfamid 8 minggu dan 12 minggu. Periksa darah rutin
dan urinalisis setiap 2 minggu bila sedang dalam pengobatan
siklofosfamid oral.
5. Pengobatan SNKM resisten steroid
Pengobatan pada anak dengan sNKM yang terbukti resisten prednison
sebagai berikut,
a. Metilprednisolon 10-30 mg/kg BB diberikan dalam bentuk bolus intravena
selang sehari dengan total pemberian 6- 9-12 suntikan, diikuti oleh
prednison oral setiap pagi selang sehari. Pengobatan in sebaiknya
dilakukan oleh konsultan nefrologi anak.
b. Siklofosfamid 2 – 2,5 mg/kg/hari selama 8-12 minggu lebih disukai dosis
pagi hari, diberikan bersama prednison oral 0,5 mg/kg BB setiap pagi
selang sehari untuk mengurangi toksisitas siklofosfamid. atau dengan
siklofosfamid puls intravena selama 6 bulan. Klorambusil 0,15 - 0,20 mg/kg
(dosis kumulatif < 10mg/kg) selama 8 minggu. Toksisitas klorambusil lebih
sering daripada siklofosfamid berupa supresi sumsum tulang, infeksi,
kejang fokal dan risiko tinggi terjadi neoplasma seperti leukemia atau
limfoma maligna serta sterilitas terutama anak lelaki pada pemakaian
jangka panjang dengan kumulatif > 10 mg/kgBB. Sistitis hemorhagik
umumnya disebabkan oleh siklosfosfamid tapi tidak oleh klorambusil,
sedangkan kejang disebabkan oleh klorambusiltapi tidak oleh
siklofosfamid.
c. Siklosporin A 3-6 mg/kg/hari selama 1-2 tahun. Siklosporin A ternyata
dapat mempertahankan remisi pada 80% anak dengan SNKM. Efek
samping siklosporin A meliputi hipertensi, nefropati toksis, kreatinin serum
meningkat, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipertrikosis, dan hiperplasia
ginggiva.

6. Relaps pasca obat sitotoksik


Relaps yang terjadi sesudah pengobatan standar siklofosfamid dapat diobati
kembali sebagai kasus relaps bila tidak ada gejala toksisitas prednison.
Namun, bila relaps segera timbul sesudah henti prednison dan atau disertai
gejala toksisitas prednison maka sebaiknya dirujuk ke konsultan nefrologi
anak. Kasus SNKM yang termasuk kelompok ini hanya sekitar 10 – 20%.
Secara singkat, alur tatalaksana spesifik SNKM dapat dilihat pada Gambar 1.

Rawat inap dan rawat jalan


Sesudah diagnosis SNKM ditegakkan segera edukasi anak dan orang tua tentang
penyakit, tata laksana, dan perjalanan penyakit, serta aspek psikososial. Orang
tua sebaiknya berperan aktif di dalam keputusan pengobatan dan tata cara
pengobatan. Tidak semua kasus SNKM harus dirawat di RS. Indikasi medis bila
terdapat edema masif disertai kesulitan napas, anuria atau oliguria hebat,
peritonitis, Infeksi saluran napas signifikan, azotemia signifikan, atau karena
alasan sosial. Lama rawat inap biasanya singkat yang dilanjutkan dengan rawat
jalan secara teratur. Pemantauan keadaan umum anak dan respons pengobatan
selama rawat jalan merupakan aspek penting dari seluruh tata laksana SNKM.
Prognosis menjadi lebih baik bila orang tua selalu memperhatikan keadaan anak
dan kemajuan pengobatan. Hal ini harus dilakukan secara rutin dan dimulai pada
awal rawat jalan. Pemantauan dilakukan terhadap keadaan umum, gejala dan
derajat edema, tekanan darah, penyakit penyerta, produksi urin per 24 jam, hasil
pemeriksaan protein urin dan darah, serta hasil pengobatan. Pelacakan
albuminuria dapat dilakukan secara teratur di rumah menggunakan cara dipstix
dan di puskesmas atau RS dengan uji SSA dan cara kuantitatif dan hasil uji
dicatat di dalam buku kesehatan anak sehingga segera mengetahui relaps
sebelum timbul gejala edema dan pengobatan awal dapat segera dimulai. Anak
dengan SNKM resisten awal prednison, relaps awal selama dalam pengobatan
rumatan, relaps frekuen, dependen dan resisten steroid sebaiknya
dikonsultasikan dengan konsultan nefrologi anak.

H. KOMPLIKASI
1. Keseimbangan Nitrogen Negatif
Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negative, secara klinis biasanya diukur dengan menggunakan
kadar albumin plasma. Sindrom nefrotik adalah suatu wasting illness.
Namun derajat kehilangan massa otot tertutupi oleh gejala edema
anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa
otot sebesar 10-20% dari massa tubuh tanpa lemak (lean body mass)
tidak jarang dijumpai pada SN. Turnover albumin meningkat bukan hanya
sebagai respon terhadap kehilangan protein dalam urin namun juga akibat
katabolisme protein dalam urin namun juga akibat katabolisme protein
terfiltrasi di tubulus. Diet tinggi protein tidak terbukti memperbaiki
metabolisme albumin karena respon hemodinamik terhadap asupan yang
meningkat adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang menyebabkan
kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah protein
akan mengurangi proteinuria namun juga menurunkan kecepatan sintesis
albumin, dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko
memburuknya keseimbangan nitrogen negative.6

2. Hiperkoagulasi
Komplikasi trombo emboli sering ditemukan pada SN akibat
peningkatan koagulasi intravascular. Kadar berbagai protein yang terlibat
dalam kaskade koagulasi terganggu pada SN, serta agregasi platelet turut
meningkat. Selain itu juga terjadi peningkatan fibrinogen dan penurunan
fibrinolysis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan oleh
peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urine.
Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan
adanya imobilisasi, koinsi densi infeksi, dan hemokonsentrasi.6
Insiden trombosis arteri dan vena (terutama thrombosis vena dalam
dan vena renalis) meningkat sebesar 10-40% pada pasien SN. Kadar
protein koagulasi tidak banyak membantu dalam memperkirakan risiko
tromboemboli, dan kadar albumin serum sering dipakai sebagai petanda
kejadian tromboemboli meningkat tajam jika kadar albumin serum kurang
dari 2 g/dl. Kondisi hipoproteinemia dan disproteinmenia menyebabkan
peningkatan LED. Kadar LED hingga 100 mm/jam tidak lazim ditemukan,
sehingga disimpulkan bahwa LED bukan merupakan petanda respon fase
akut pada SN. 6
Pada SN akibat nefropati membranosa kecenderungan terjadinya
thrombosis vena renalis cukup tinggi terutama pada pasien dengan
ekskresi protein dalam urin melebihi 10 gram per hari, sedangkan SN
padalesi minimal dan membrano proliferatif frekuensinya kecil. Sebagian
besar pasien asimtomatik, dan dicurigai terjadi thrombosis vena renalis
apabila ditemukan tromboemboli paru. Emboli paru dan trombosis vena
dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut
disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai factor koagulasi
intrinsik dan ekstrinsik. 6
3. Hyperlipidemia dan Lipiduria
Hyperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.
Respon hiperlipidemik sebagai dicetuskan oleh menurunnya tekanan
onkotik plasma, serta derajat hyperlipidemia berbanding terbalik dan
berhubungan erat dengan menurunnya tekanan onkotik. Kondisi
hyperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari SN yang
terjadi baik secara spontan maupun diinduksi dengan obat. Tekanan
onkotik yang rendah secara langsung menstimulasi transkripsi gen
apoprotein B di hepar. 6
Dugaan bahwa penyakit jantung koroner meningkat pada pasien SN
akibat adanya kombinasi hiperkoagulasi dan hyperlipidemia masih sulit
untuk dibuktikan. Banyak pasien yang menderita SN selama lebih dari 5-
10 tahun akan memiliki risiko kardiovaskular lain termasuk hipertensi dan
uremia. Sehingga sulit membedakan pengaruh dari keduanya. Tetapi telah
disadari bahwa pasien SN memiliki risiko lima kali lipat lebih tinggi untuk
terjadinya kematian akibat coroner, dengan perkecualian pada GN lesi
minimal. 6
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar
kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein).
Lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain
itu pula ditemukan peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan
lipoprotein (LP), sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung
normal atau rendah. Mekanisme hyperlipidemia pada SN dihubungkan
dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya
katabolisme. Semula diduga hyperlipidemia merupakan hasil stimulasi
non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein
tidak berkorelasi dengan hyperlipidemia disimpulkan bahwa
hyperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hypoalbuminemia.
Hyperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hypoalbuminemia
kadar kolesterol dapat normal. 6
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati
tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dangan ganguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi
pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma
atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga
akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyitransferase) yang berfungsi dalam katalisasi pembentukan HDL.
Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait
dengan hypoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel
dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan farty
cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria dari pada dengan
hyperlipidemia. 6

4. Metabolisme Kalsium danTulang


Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisne kalsium dan
tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar
25(OH) D dan 1,25 (OH)₂ D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar
vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Efek fisiologis perubahan
tersebut pada metabolisme vitamin D dalam homeostasis kalsium belum
jelas diketahui. Hipokalsemia sering ditemukan pada SN oleh karena
berkurangnya kalsium yang terikat albumin akibat hypoalbuminemia.
Namun karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasia atau hiperparatiroid yang tidak terkontrol jarang dijumpai. 6

5. Efek Metabolik Lain dari Sindrom Nefrotik


Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein
(thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma.
Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-
stimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak
menimbulkan gangguan. Namun pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal maka dapat ditemukan kelainan fungsi tiroid yang lebih berat. Dan
jika dicurigai adanya hipotiroid secara klinis maka TSH serum sebaiknya
diperiksa. Tetapi steroid pada pasien SN bisa menghambat sekresi TSH
dan konversi T4 menjadi T3 di parifer. Akibatnya serum T3 dan TSH basal
rendah dan kadar rT3 meningkat. Pada kondisi ini maka kadar T4 bebas
merupakan petanda fungsi tiroid yang paling akurat. Apabila fT4 menurun
maka pengobatan untuk hipotiroid sebaiknya dimulai. 6
Anemia dapat terjadi pada SN dengan fungsi ginjal yang masih baik.
Hal ini disebabkan oleh defisiensi eritropoietin dan kehilangan protein
dalam urin. Pada kondisi ini pemberian eritropoietin dapat bermanfaat.
Ikatan obat dapat tenganggu akibat rendahnya albumin plasma. Meski
sebagian besar obat tidak memerlukan penyesuaian dosis namun khusus
untuk clofibrate dosis perlu diturunkan karena pada pemberian yang
normal pada pasien SN dapat menimbulkan miopati yang berat.
Menurunnya ikatan dengan potein juga mengurangidosis warfarin yang
dibutuhkan untuk mencapai efek antikoagulan yang adekuat atau dosis
furosemid yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan volume yang
optimal. 6
6. Infeksi
Sebelum era antibiotic, infeksi sering merupakan penyebab
kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated
organism). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular,
dan gangguan system komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma
globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang
menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya
yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang
menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan
keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat
berfungsi dengan normal. Factor risiko lain yang dapat mempermudah
terjadinya infeksi pada pasien SN yaitu akumulasi cairan dalam jumlah
besar yang merupakan tempat pertumbuhan yang baik untuk bakteri, kulit
pasien SN yang rapuh akan menyebabkan dilusi dari factor imun humoral
local. 6

I. PROGNOSIS
Anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan golongan yang lainnya. 7 Prognosis menjadi
lebih baik bila orang tua selalu memperhatikan keadaan anak dan kemajuan
pengobatan.3
DAFTAR PUSTAKA

1. Juliantika, R., Lestari, H. I., Kadir, M. R. 2017. Korelasi antara


Hipoalbuminemia dan Hiperkolestrolemia pada Anak dengan Sindrom
Nefrotik. Majalah Kedokteran Sriwijaya (2). Sumatera Selatan
2. Trihono, P. P., Alatas, H., Tambunan, T., Pardede, S. 2012.
Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia Ed. 2.
3. Albar Husein. 2006. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal
pada Anak. Sari Pediatri Vol 8 (1) 60-68. Makassar
4. Simatupang, D. F., Damanik, M.P., Sadjimin, T. 2007. Perbedaan
tingkat Kualitas Hidup Anak dengan Sindrom Nefrotik Primer Kelainan
Minimal dan Bukan Kelainan Minimal di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Sari Pediatri Vol 9 (3). Yogyakarta
5. Alatas H., Tambunan, T., Trihono, P.P., Pardede, S. 2002. Buku Ajar
Nefrologi Anak Ed. 2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Hal. 381-
426
6. Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S.
2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V. Internal Publishing.
Jakarta
7. Hasan, R., Alatas H. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2.
Bagian Ilmu kesehatan Anak FK UI. Infomedika. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai