PENYUSUN:
K1A1 15 099
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2019
A. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling banyak terjadi
pada anak. Sindrom nefrotik adalah salah satu penyakit glomerulus yang
ditandai dengan proteinuria masif (>40 mg/m2/jam), hipoalbuminemia
(<2.5g/dL), edema, dengan atau tanpa hiperkolestrolemia (>200mg/dL).
Sindrom nefrotik termasuk dalam suatu kelainan yang bersifat kronis yang
memerlukan perhatian khusus dalam evaluasi dan tatalaksananya.1
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di
Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per
tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Dinegara
berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Pada anak, sebagian
besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan
minimal (SNKM). Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar
SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-
85% tidak responsif (resisten steroid).2
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut
sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak.
Insiden sindrom nefrotik ini ada 2 sampai 7 kasus per tahun tiap 100.000
anak berumur kurang dari 16 tahun dengan angka prevalensi kumulatif 16
tiap 100.000 anak. Di bagian anak RSUP Dr. Sarjito di Yogyakarta, penserita
laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu laki-laki 74,4% dan
perempuan 25,6% (rasio2,9:1). Kelainan minimal adalah yang terbesar
dibanding yang lain yaitu 46,4% mempunyai prognosis yang lebih baik bila
dibandingkan dengan jenis yang lain.4
B. DEFINISI
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden penyakit sindrom nefrotik primer yaitu 2 kasus per tahun tiap
100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun. Dengan angka prevalensi
kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insiden di indonesia diperkirakan 6 kasus per
tahun tiap 100.00 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara laki-laki dan
perempuan pada anak sekitar 1:2. Laporan dari luar negeri menunjukan
duapertiga kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2%
menunjukkan KM. 5
Data penelitian di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
menunjukan prevalensi terbanyak anak dengan sindrom nefrotik berusia 4-6
tahun. Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang menunjukan
jenis kelamin laki-laki lebih banyak (67,7%) menderita sidrom nefrotik dari
pada perempuan (32,3%). Selain itu penelitian yang dilakukan di RS Hasan
Sadikin Bandung juga menujukan bahwa mayoritas (70%) penderita sindrom
nefrotik adalah laki-laki.1 Anak dengan SNKM biasanya berumur > 1 tahun
sampai kurang dari 10 tahun sekitar 90% kasus berumur kurang dari 7 tahun
dengan usia rerata 2 – 5 tahun, terutama anak lelaki.3
3. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein,
sinstesis albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan
sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil
menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal hati
memiliki kapasitas sintesis untuk meningkatkan albumin total sebesar 25
gram per hari. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati
tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.
Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan
katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.6
Pada pasien dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG
menurun Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan
hiperlipidemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan
KM. Umumnya terdapat korelasi terbalik antara konsentrasi albumin
serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat
normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan.5
4. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan
overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan
faktor kunci terjadinya edema pad SN. Hipoalbuminemia menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari
intravaskuler ke jaringan interstitium mengikuti hukum starling dan terjadi
edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi
dengan merangsang sistem renin angiotensin sehingga terjadi retensi
natrium dan air di tubulus distal . mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskuler tetapi juga akan mengeksaserbasi
terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.6
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek
utama renal. Terjadi defak primer pada kemampuan nefron distal untuk
mengekskresikan natrium, hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas kanal
natrium epitel (EnaC) oleh enzim proteolitik yang memasuki lumen
tubulus pada keadaan proteinuria masif. Akibatnya terjadi peningkatan
volume darah, penekanan renin angiotensin dan vasopresin dan
kecenderungan untuk terjadinyahipertensi dibandingkan hipotensi. Ginjal
juga relatif resisten terhadap natriuretik peptide. Meningkatnya volume
darah akibat tekanan onkotik yang rendah memicu transudasi cairan ke
ruang ekstraseluler dan edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat
kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua
mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien SN.
Faktor seperti asupan natrium, efek diuretik atau terapi steroid,derajat
gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus dan keterkaitan dengan
penyakit jantung atau hati akan mennetukan mekanisme mana yang lebih
berperan.6
Pasien dengan SNKM biasanya menderita hipovolemia disertai
renin dan aldosteron yang tinggi responsif steroid, sedangkan mereka
dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan
aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif
steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna
untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau
tidak di samping adanya SNKM.5
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Edema
Edema merupakan gejala klinis utama pada 95% anak dengan
SNKM. Edema timbul perlahan-lahan pada fase awal, biasanya mulai
tampak di daerah resistensi jaringan rendah seperti palpebra,skrotum,
atau labia dan berkembang menjadi edema umum dan masif yang
disebut anasarca. Edema bersifat piting dan bergantung posisi tubuh
sehingga tampak jelas dimuka saat bangun pagi dan di tungkai pada
siang hari.3
Pada anak dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan
progresif dalam beberapa hari atau minggu dan lebih perlahan dan
intermiten pada kelainan glomerulus jenis lainnya Edema berpindah
dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka
sesudah tidur sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi
berdiri. Edema pada anak pada awal perjalanan penyakit SN umumnya
dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada edema ringan dapat
dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit Kadang
pada edema yang masif teijadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluamya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua
jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia,
bahkan efusi pleura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas
dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnutrisi sebagai tanda
adanya edema menyeluruh sebelumnya.5
2. Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN.
Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan
keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga
penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien,
nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN
yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus
disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila
komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui
namun dapat disebabkan karena edema. Kadang nyeri dirasakan terbatas
pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang
berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai
akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan
malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif
steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat teijadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani.5
3. Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi
pleura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang
menjadi gawat Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin
dan obat furosemid.5
4. Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada
penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap
anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang
tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Perasaan-perasaan ini
memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya.
Kecemasan orang tua dan perawatan yang sering dan lama
menyebabkan anak berkembang menjadi mandiri dan bertanggung jawab
terhadap dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi
terbatas. Anak dengan SN ini akhimya menimbulkan beban pikiran karena
akan membentuk pengertian dan bayangan yang salah mengenai
penyakitnya. Para dokter yang sadar akan masalah ini dapat berbuat
sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha mendorong meningkatkan
perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha
menolong mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.5
F. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan laboratorium
Proteinuria, merupakan tanda utama pertama SNKM, bersifat
selektif dengan rasio albumin/globulin urin tinggi. Menurut ISKDC, jumlah
proteinuria yang konsisten dengan diagnosis SNKM yaitu > 40 mg/m/am
atau > 50 mg/kg berat badan /hari atau uji dipstix– SSA > 2. Bila ada
mikrohematuria tidak menyingkirkan SNKM karena dapat dijumpai pada
2030% anak dengan SNKM pada onset awal penyakit tapi kemudian
menghilang. Hipoalbuminemia, dengan kadar albumin serum < 2.5 g/dL,
merupakan tanda utama kedua SNKM. Kadar Hb dan hematokrit
meningkat bila sudah terjadi hipoalbuminemia berat. Hiperkolesterolemia
dengan kadar > 250 mg/dl biasanya ditemukan dan dapat menetap 1-3
bulan sesudah remisi. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat
sedangkan HDL menurun atau normal. Fungsi ginjal umumnya normal
walaupun kadar kreatinin serum sedikit meningkat pada 25-30% kasus
SNKM pada onset awal penyakit tapi normal kembali pada saat diuresis.
+Komplemen C3 serum umumnya normal.3
2. Pencitraan
Pencitraan rutin tidak dianjurkan pada anak dengan SNKM. Foto
toraks biasanya menunjukkan efusi pleura yang berkorelasi langsung
dengan derajat edema dan tidak langsung dengan kadar albumin serum.
Pemeriksaan USG biasanya menunjukkan kedua ginja normal atau sedikit
membesar dengan ekogenitas normal.3
3. Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal tidak dilakukan pada anak dengan SNKM karena 93.1-
97% kasus sensitif terhadap steroid. Indikasi biopsi ginjal yaitu SNKM
resisten steroid, umur anak < 1 tahun atau >10 tahun pada saat onset
penyakit atau SNI dengan gejala klinis hematuria, hipertensi, dan
azotemia persisten dan hipokomplemenemia.3
c. Mikroskop imunoflouresensi
Tatalaksana Spesifik
Pemberian kortikosteroid pada SNKM
Pemberian kortikoseroid baik prednison maupun prednisolon sebaiknya tidak
segera dimulai setelah onset gejala karena remisi spontan dapat terjadi pada
5% kasus SNKM; kecuali kalau edema menetap atau gejala berat pada onset
awal. Semua glukokortikoid efektif, namun prednison oral yang paling banyak
digunakan dan umumnya lebih disukai dari prednisolon. Cara kerja spesifik
tidak diketahui walaupun prednison menekan sistem imun. Sampai saat ini,
prednison tetap merupakan pilihan pertama pada anak dengan SNKM dan
obat imunosupresif lain digunakan bila tidak respons dengan pengobatan
standar prednison atau pada relaps frekuen atau dependen steroid. 3
H. KOMPLIKASI
1. Keseimbangan Nitrogen Negatif
Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen
menjadi negative, secara klinis biasanya diukur dengan menggunakan
kadar albumin plasma. Sindrom nefrotik adalah suatu wasting illness.
Namun derajat kehilangan massa otot tertutupi oleh gejala edema
anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa
otot sebesar 10-20% dari massa tubuh tanpa lemak (lean body mass)
tidak jarang dijumpai pada SN. Turnover albumin meningkat bukan hanya
sebagai respon terhadap kehilangan protein dalam urin namun juga akibat
katabolisme protein dalam urin namun juga akibat katabolisme protein
terfiltrasi di tubulus. Diet tinggi protein tidak terbukti memperbaiki
metabolisme albumin karena respon hemodinamik terhadap asupan yang
meningkat adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang menyebabkan
kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah protein
akan mengurangi proteinuria namun juga menurunkan kecepatan sintesis
albumin, dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko
memburuknya keseimbangan nitrogen negative.6
2. Hiperkoagulasi
Komplikasi trombo emboli sering ditemukan pada SN akibat
peningkatan koagulasi intravascular. Kadar berbagai protein yang terlibat
dalam kaskade koagulasi terganggu pada SN, serta agregasi platelet turut
meningkat. Selain itu juga terjadi peningkatan fibrinogen dan penurunan
fibrinolysis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan oleh
peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urine.
Hasil akhirnya adalah kondisi hiperkoagulasi yang diperberat dengan
adanya imobilisasi, koinsi densi infeksi, dan hemokonsentrasi.6
Insiden trombosis arteri dan vena (terutama thrombosis vena dalam
dan vena renalis) meningkat sebesar 10-40% pada pasien SN. Kadar
protein koagulasi tidak banyak membantu dalam memperkirakan risiko
tromboemboli, dan kadar albumin serum sering dipakai sebagai petanda
kejadian tromboemboli meningkat tajam jika kadar albumin serum kurang
dari 2 g/dl. Kondisi hipoproteinemia dan disproteinmenia menyebabkan
peningkatan LED. Kadar LED hingga 100 mm/jam tidak lazim ditemukan,
sehingga disimpulkan bahwa LED bukan merupakan petanda respon fase
akut pada SN. 6
Pada SN akibat nefropati membranosa kecenderungan terjadinya
thrombosis vena renalis cukup tinggi terutama pada pasien dengan
ekskresi protein dalam urin melebihi 10 gram per hari, sedangkan SN
padalesi minimal dan membrano proliferatif frekuensinya kecil. Sebagian
besar pasien asimtomatik, dan dicurigai terjadi thrombosis vena renalis
apabila ditemukan tromboemboli paru. Emboli paru dan trombosis vena
dalam (deep vein thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut
disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai factor koagulasi
intrinsik dan ekstrinsik. 6
3. Hyperlipidemia dan Lipiduria
Hyperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN.
Respon hiperlipidemik sebagai dicetuskan oleh menurunnya tekanan
onkotik plasma, serta derajat hyperlipidemia berbanding terbalik dan
berhubungan erat dengan menurunnya tekanan onkotik. Kondisi
hyperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari SN yang
terjadi baik secara spontan maupun diinduksi dengan obat. Tekanan
onkotik yang rendah secara langsung menstimulasi transkripsi gen
apoprotein B di hepar. 6
Dugaan bahwa penyakit jantung koroner meningkat pada pasien SN
akibat adanya kombinasi hiperkoagulasi dan hyperlipidemia masih sulit
untuk dibuktikan. Banyak pasien yang menderita SN selama lebih dari 5-
10 tahun akan memiliki risiko kardiovaskular lain termasuk hipertensi dan
uremia. Sehingga sulit membedakan pengaruh dari keduanya. Tetapi telah
disadari bahwa pasien SN memiliki risiko lima kali lipat lebih tinggi untuk
terjadinya kematian akibat coroner, dengan perkecualian pada GN lesi
minimal. 6
Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar
kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein).
Lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi
dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain
itu pula ditemukan peningkatan IDL (intermediate density lipoprotein) dan
lipoprotein (LP), sedangkan HDL (high density lipoprotein) cenderung
normal atau rendah. Mekanisme hyperlipidemia pada SN dihubungkan
dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya
katabolisme. Semula diduga hyperlipidemia merupakan hasil stimulasi
non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis protein
tidak berkorelasi dengan hyperlipidemia disimpulkan bahwa
hyperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hypoalbuminemia.
Hyperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hypoalbuminemia
kadar kolesterol dapat normal. 6
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati
tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dangan ganguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi
pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga
merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN.
Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma
atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga
akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol
acyitransferase) yang berfungsi dalam katalisasi pembentukan HDL.
Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait
dengan hypoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering
ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel
dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan farty
cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria dari pada dengan
hyperlipidemia. 6
I. PROGNOSIS
Anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal memiliki prognosis yang
lebih baik dibandingkan dengan golongan yang lainnya. 7 Prognosis menjadi
lebih baik bila orang tua selalu memperhatikan keadaan anak dan kemajuan
pengobatan.3
DAFTAR PUSTAKA