Epidural Hematom Referat Fix
Epidural Hematom Referat Fix
Pendahuluan
1
dalam ruang subarakhnoid. Parenkim otak dibagi menjadi serebrum (otak besar),
serebelum (otak kecil) dan batang otak. Tentorium merupakan struktur yang
membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (fossa kranii anterior dan
fossa kranii media) dan ruang infratentorial (fossa kranii posterior). (3)
2.3 Patofisiologi
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.
Penyebab utamanya adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang
paling ringan adalah fraktur linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Perdarahan epidural yang terjadi ketika
Gambar pembuluh darahmeningen
1 : Lapisan-lapisan ruptur biasanya arteri meningea media kemudian darah mengalir
ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang kranium sedangkan pada
perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang terjadi dalam ruangan
subdural.(4)
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada anak-
anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi arteri
maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi kronis
atau tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan perdarahan
atau hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat ketat, hanya
pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line. (4)
Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya arteri
meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa terlibat
dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus sigmoid pada
cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks. Perdarahan
epidural intrakranial bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus perdarahan epidural
akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada anak-anak. Perdarahan
epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari semua kasus perdarahan epidural.
(4)
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor,
seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat
berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati,
trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural
biasanya terlibat, meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di
daerah thorakal atau lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi terbatas
pada beberapa tingkat vertebra. (4)
Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi
menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan tumpul
pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma akselerasi-
deselerasi dan gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural intrakranial pada bayi
2
baru lahir dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps, dan tekanan kranium
berlebihan pada jalan lahir. Penyebab non trauma perdarahan epidural diantaranya
adalah obat antikoagulan, agen trombolisis, lumbal pungsi, anesthesia epidural,
koagulopati, penyakit hepar dengan hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik
malformasi vascular, herniasi diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever.
Gangguan sinus venosus dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat
menyebabkan perdarahan epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus
sagitalis superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber
perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic veins,
granulatio arachnoid dan sinus petrosus. (4)
2.4.1 Diagnosis
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa, gambaran
klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
2.4.1 Gambaran klinis perdarahan epidural
Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma yang
sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan bukti
eksternal cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala, cephalohematoma atau
kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Berdasarkan gaya benturan pasien bisa
saja tetap sadar, terjadi hilang kesadaran singkat atau kehilangan kesadaran
berkelanjutan.(4,5)
Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan epidural.
Hal ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-lepas
menyebabkan cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat lalu
kesadaran pulih kembali. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas
sampai efek massa perdarahan epidural menyebabkan peningkatan tekanan
Gambar 2 : perdarahan epidural dan perdarahan subdural
intrakranial sehinggal mulai terjadi penurunan tingkat kesadaran yang progresif dan
sindroma herniasi. Interval lucid bergantung pada luasnya cedera dan merupakan
kunci penting diagnosis perdarahan epidural intrakranial. (4,5)
Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan
tingkat kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali
tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan
yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang timbul akibat
dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak: penurunan kesadaran , bisa sampai
koma; bingung; penglihatan kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar
cairan dari hidung dan telingah; mual, pusing dan berkeringat. Pada hipertensi
intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan
hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul
ketika perfusi serebral, terutama sekali karena batang otak mengkompensasi
peningkatan tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin
menyebabkan iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa
mengurangi respon Cushing.(1,4,5)
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,
parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau
hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini karena berhubungan
dengan keluaran klinis akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena
pronator drift mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah ekstremitas ketika
3
pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar dengan kedua telapak tangan
menghadap keatas mengindikasikan efek massa. (4,5)
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran klinis
pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal yang terlibat.
Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan ekstrimitas
(unilateral atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia radikular (unilateral
atau bilateral), gangguan refleks tendon dalam, gangguan tonus sfingter kandung
kemih atau anal. (4,5)
2.4.2 Pencitraan Perdarahan Epidural
Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan
penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural
hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi yang
mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus
arteria meningea media.(5,6)
4
Gambar 4 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital sinistra (A,B), nampak
garis fraktur (C, anak panah)
epidural spinal MRI penting untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami
perdarahan. (1,5,6)
2.4.3 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
Gambar 7 : Perdarahan epidural di spinal
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa darah
juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi metabolik
perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa terkait
penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan operatif
darurat.(1,5,6)
2.4.4 Pemeriksaan penunjang lain perdarahan epidural
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan diantaranya angiografi, lumbal
pungsi, electroencephalography (EEG) dan somatosensory evoked potential (SSEP)
pada perdarahan epidural spinal. Angiografi dapat dikerjakan bila ada kecurigaan
adanya malformasi vaskular. Lumbal pungsi tidak rutin dikerjakan karena informasi
yang didapatkan hanya sedikit. SSEP perlu dikerjakan pada perdarahan epidural
spinal untuk penilaian prognosis maupun selama intraoperatif. (1,5,6)
2.4.5 Diagnosis banding perdarahan epidural
5
Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu disingkirkan
diantaranya adalah perdarahan subdural, abses epidural, perdarahan intracerebral,
epilepsi post traumatik, ensefalopati karena intoksikasi alkohol. Pada perdarahan
epidural spinal diagnosis banding yang perlu disingkirkan diantaranya perdarahan
medulla spinalis, abses epidural spinal, ankylosing spondylitis, spondilosis,
polineuropati. (1,5)
2.5 Tatalaksana perdarahan epidural
Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan
tatalaksana khusus. Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan terapi
operatif. (6,7)
2.5.1 Tatalaksana umum
Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari penyakit
itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah untuk memulai
sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit, dengan perhatian jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat pasien
segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh, dimulai dengam inspeksi fraktur,
evaluasi mekanisme cidera untuk menilai daya benturan baik pada kranium maupun
daerah spinal, imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis.
(6,7)
Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik dan
menjaga PO2 dan PCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk mendapatkan SpO2
> 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk menyadari langkah-langkah
yang sederhana seperti elevasi kepala tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat
untuk mencegah penekanan vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan
sedasi merupakan metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi
tekanan intrakranial (ICP). (6,7)
2.5.2 Tatalaksana Khusus
2.5.2.1 Terapi Medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi yang telah
ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas dengan memastikan
tidak ada lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila
perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang
terutama untuk membuka jalur intravena : gunakan cairan NaC10,9% atau Dextrose
in saline.(6,7)
2. Mengurangi tekanan intrakranial
Beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengurangi tekanan intrakranial:
a. Hiperventilasi.
6
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100
mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg. (7)
b. Cairan hiperosmoler.
Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik
dari jaringan otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu
melalui diuresis. Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% 0,25-
1g/KgBB diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil
dengan baik jika sawar darah otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna
pada kasus-kasus yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus
dipikirkan kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan
kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan harinya. Hati-hati
dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti gagal jantung, gagal ginjal
akut (AKI), hiperkalemia dan hipotensi. (7)
Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin
merupakan agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan terapi
manitol atau pada individu yang telah menjadi toleran terhadap manitol.
Namun pada studi terbaru ternyata hipertonik salin merupakan sebagai
pengukur utama untuk mengontrol tekanan intrakranial. Hipertonik saline
bertujuan untuk meningkatkan natrium serum dan osmolalitas, sehingga
membentuk gradien osmotik. Air dapat berdifusi secara pasif dari ruang
intraseluler dan interstitial otak ke kapiler sehingga menurunkan tekanan
intrakranial. Meskipun cara kerja mirip dengan manitol, natrium klorida
memiliki koefisien refleksi yang lebih baik (1.0) dibandingkan manitol (0,9)
dan membuatnya menjadi zat osmotik yang lebih baik selain itu juga dapat
menormalkan potensial istirahat pada membrane dan volume sel dengan
mengembalikan keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel yang rusak.
Dosis hipertonik salin dan administrasinya sangat bervariasi, bolus berkisar
antara 30 mL 23,4% NaCl dan 150 mL 3% NaCl, sedangkan yang lain telah
menganjurkan penggunaan infus kontinu baik 2% atau 3% NaCl hingga
mencapai tujuan Na serum 150 mmol / L. (7)
c. Kortikosteroid.
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan
bahwa kortikosteroid tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar
darah otak. Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4x4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah
digunakan dengan dosis 6x15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6x10 mg. (7)
d. Barbiturat.
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung
dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
e. Hipotermia
Terapi hipotermia masih menjadi pilihan untuk mengatasi
peningkatan tekanan intrakranial. Biasanya terapi hipotermia diberikan pada
7
pasien yang inteloran terhadap terapi hipertonik. Adanya perangkat modern
untuk memodulasi suhu tubuh memungkinkan terapi ini akan makin rutin
digunakan. Karena tekanan intrakranial sangat tergantung pada suhu tubuh
inti, setiap penurunan suhu kurang dari 37 ° C akan menurunkan tekanan
intrakranial mengakibatkan pengurangan ICP namun terapi ini umumnya
ditargetkan untuk mendapatkan suhu inti tubuh yang lebih rendah yaitu 32oC
sampai 34°C. Risiko komplikasi infeksi karena terapi hipotermia tergantung
durasi terapi, tingkat komplikasi infeksi meningkat tajam pada terapi lebih
dari 72 jam. Hipotermia juga dapat memicu koagulopati dan peningkatan
risiko pendarahan tapi saat ini belum ada peningkatan yang signifikan
kejadian perdarahan intrakranial karena hipotermia pada banyak Randomized
Controlled Trial (RCT). (7)
3. Terapi tambahan lain
Pasien dengan trauma kepala pasti mengalami nyeri kepala baik oleh karena
trauma jaringan peka nyeri maupun karena peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri
harus segera diatasi karena menahan rasa nyeri dapat memberat peningkatan tekanan
intrakranial. Transfusi dapat dikerjakan pada anemia karena kehilangan darah akibat
trauma dengan target Hb 10g/dL. Antikonvulsan dapat diberikan bila ada gejala
klinis kejang, tidak diberikan sebagai profilaksis. (7)
Pemakaian ventilator ditujukan untuk pengaturan kadar CO2 yang memiliki
dampak signifikan pada aliran darah otak (CBF) dan mengontrol volume intrakranial
dan tekanan intrakranial. Pada hiperventilasi ringan, peningkatan ekstrasi oksigen
ekstraksi dapat mengkompensasi penurunan aliran darah dan volume, sehingga
metabolisme sel yang normal dapat tetap berlangsung. Namun, hiperventilasi
berkepanjangan dapat meningkatkan asidosis metabolik sedangkan pada
hiperventilasi jangka pendek dapat menurunkan kadar CO2 di pembuluh darah otak
yang menyebabkan peningkatan pH sehingga mengurangi efek merugikan dari
asidosis. Proses ini tergantung pada ketersediaan bikarbonat dalam cairan
serebrospinal. Hiperventilasi berkepanjangan dapat menguras kadar bikarbonat yang
dapat menyebabkan iskemia dan memperburuk keluaran klinis. (7)
2.5.2.2 Terapi Bedah
Servadei dkk melaporkan sebuah studi yang dilakukan oleh ahli bedah saraf
pada 158 pasien yang mengalami trauma kepala minor dan pada hasil CT scan
kepala didapakan perdarahan epidural. Pada CT scan kepala tanpa kontras dinilai
ukuran dari hematom, pergeseran garis tengah dan lokasi untuk menilai keputusan
perlu tidaknya tindakan operatif. Terapi konservatif dikerjakan pada hematom
ketebalan < 10 mm dan pergeseran garis tengah < 5mm. Pada kedua kelompok baik
yang menerima terapi operatif maupun terapi konservatif memiliki keluaran klinis
yang tidak jauh berbeda pada studi ini. Chen Tzu-Yung dkk melaporkan 74 pasien
dengan perdarahan epidural, terapi nonoperatif dikerjakan pada pasien dengan nilai
GCS> 12 sedangkan sisanya mendapat tindakan operatif. Mereka melaporkan bahwa
hanya perdarahan epidural supratentorial dengan volume > 30cc, ketebalan > 15mm
dan pergeseran garis tengah > 5mm yang mendapat tindakan operatif. Sedangkan
Sullivan dkk melaporkan serial kasus 252 pasien dengan perdarahan epidural akut,
160 diantaranya mendapat terapi konservatif dan hasilnya cukup memuaskan.
Offner dkk dalam studinya pada 84 pasien dengan perdarahan epidural di Rumah
Sakit Trauma Saint antony didapatkan bahwa 87% dari 64% pasien yang mendapat
terapi nonoperatif memiliki keluaran klinis yang memuaskan dan dianggap sukses.
(8,9)
8
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang
disarankan Bullock dkk tahun 2006 yaitu :
-Volume hematom > 30 ml
- Keadaan pasien memburuk
- Pendorongan garis tengah > 5 mm
- Fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depresi dengan kedalaman
>1 cm
- Ketebalan hematom lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah dengan
GCS 8 atau kurang
- Terdapat tanda-tanda neurologis lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg
Tindakan bedah yang dikerjakan dapat berupa kraniotomi dekompresif maupun
prosedur dengan minimal invasif seperti burr hole dengan drainase tekanan negatif.
(1,9)
Bab 3
Penutup
3.1 Kesimpulan
Perdarahan Epidural merupakan komplikasi pada 2% dari seluruh trauma
kepala dan komplikasi pada 5-15% trauma kepala berat dengan rata-rata 40.000
kasus per tahun sedangkan perdarahan epidural spinal terjadi 1 diantara 1.000.000
populasi di USA. Angka mortalitas yang terkait dengan perdarahan epidural
9
diestimasikan 5-50% yang dipengaruhi oleh tingkat kesadaran, jumlah perdarahan
dan lokasi. Perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal banyak terjadi pada
laki-laki dengan rasio 4:1 namun tidak terkait dengan ras tertentu.
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.
Perdarahan epidural atau epidural hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh
rupturnya arteri meningea media, vena atau sinus dural. Penyebab perdarahan
epidural baik intrakranial maupun spinal dapat dibagi menjadi trauma dan non
trauma. Gejala klinis yang sering nampak yaitu: penurunan kesadaran , bisa sampai
koma; bingung; penglihatan kabur; susah bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar
cairan dari hidung dan telingah; mual, pusing dan berkeringat. Selain itu dapat
ditemukan adanya interval lucid dan trias Cushing. Terapi perdarahan epidural
meliputi tatalaksana umum terkait kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi serta
tatalaksan khusus yang terkait manajemen peningkatan tekanan intrakranial baik
konservatif maupun operatif. Perdarahan epidural intrakranial merupakan
komplikasi serius pada trauma kepala sehingga membutuhkan diagnosis yang segera
dan penanganan secepatnya.
Daftar Pustaka
1. Liebeskind David, Lutsep Helmi, Epidural Hematom in Emergency Medicine
www. emedicine.medscape.com/article/824029-overview : 2016
2. Prawirohardjo P, patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial pada cedera
otak traumatik. Dalam buku Neurotrauma. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2015;1-2
3. Netter, F. H., Craig, J. A., Perkins, J., Hansen, J. T., & Koeppen, B. M. (n.d.).
Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology Special Edition:Arteries to Brains and
Meningens, NJ : 2012
4. Ganz, Jeremy, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding, page 739–745, United Kingdom: 2013
5. Shah, M. V, Commentary Conservative Management of Epidural Hematoma:
Is It Safe and Is It Cost-Effective?, page 115–116, Indianapolis: 2011
6. Abelsen Nadine, Mitchell, Neurotrauma: Managing Patients with Head
Injuries, A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, Wichester USA:2013
7. Lee Kewon, NeuroICU book Neurocritical Care Disease Section :
Neurotrauma, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA : 2012
8. Visocchi, M., & Iacopino, D. G, Conservative vs . Surgical Management of
Post- Traumatic Epidural Hematoma : A Case and Review of Literature, 811–817:
2015, http://doi.org/10.12659/AJCR.895231
9. Bullock, Chesnut, R., & Gordon, D, Surgical Management of Acute Epidural
Hematome : 2006, http://doi.org/10.1227/01.NEU.0000210363.91172.A8
10. Lo, C., Chen dkk, Spontaneous Spinal Epidural Hematoma : A Case Report
and Review of the Literatures, 21(386), 31–34: 2012
11. Yi, K., Paeng dkk, Spontaneous Resolution of a Traumatic Lumbar Epidural
Hematoma with Transient Paraparesis, 2(October), 71–73: 2016
10