Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

DENGAN AUTIS
(Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak II)

Disusun Oleh :
1. Ade Aryanto
2. Agis Cahyadi
3. Fahriza Rizqullah
4. Khaerul Ikbal B
5. Leli Nurlaeli
6. Lena Meldiana
7. Mega Utami
8. Milasari Dewi
9. NS. Anggie F.L
10. Resa Noviani
11. Teguh Subagja

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat limpahan rahmat,
karunia-Nya dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah “ Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan
Autis”. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Keperawatan Anak II. Makalah ini juga
disusun dengan maksud agar teman-teman mahasiswa dapat memperluas ilmu dan pengetahuan tentang Autis.

Pembahasan makalah ini dilakukan secara lugas dan sederhana sehingga akan mudah dipahami,
dalam pembuatannya kami mendapatkan informasi dari berbagai literature, yang berhubungan dan sesuai
dengan apa yang sudah disarankan demi untuk memperoleh hasil yang optimal walaupun masih banyak ada
kekurangan. Semoga makalah mengenai bermanfaat bagi semua pihak khususnya teman-teman mahasiswa,
Terimakasih.

Kuningan, Desember 2019

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang menyangkut masalah
komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi. Istilah autis hingga kini masih banyak masyarakat yang
belum mengenal secara baik apa yang dimaksud autis, sehingga seringkali permasalahan autisme ini
dianggap sebagai suatu hal yang negatif.
Menurut Rachmawati (dalam Setiafitri, 2014), autis merupakan kelainan perilaku dimana penderita
hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal. Gangguan perilakunya
dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan
bahasa, dan pengulangan tingkah laku.
Sutadi (dalam Hadis, 2006), juga mengungkapkan bahwa anak autis adalah anak yang mengalami
gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan
berhubungan dengan orang lain. Autisme juga merupakan gangguan perkembangan organik yang
mempengaruhi kemampuan anak dalam berinteraksi dan menjalani kehidupannya (Hanafi, 2002).
Menurut data dari Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh
dunia. Rata-rata, 6 dari 1000 orang di dunia telah mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki
oleh 11 dari 1000 orang. Sedangkan di Indonesia, perbandingannya 8 dari setiap 1000 orang. Angka ini 2
terhitung cukup tinggi mengingat pada tahun 1989, hanya 2 orang yang diketahui mengidap autisme.
Autisme masih menjadi mimpi buruk bagi sebagian besar orangtua. Beberapa orangtua langsung
merasa stress saat mendengar anaknya telah diagnosis autisme. Di kalangan masyarakat juga masih ada
pemahaman bahwa anak-anak autis bisa menularkan penyakitnya. Maka, beberapa orangtua justru
menyembunyikan anaknya yang mengidap autis. Salah satu faktor yang paling penting dalam keberhasilan
penanganan autisme adalah keterlibatan dan komunikasi orang tua.
Ketika mendapatkan diagnosa anak menyandang autisme, orangtua perlu menerima dengan tulus, dan
yang paling penting adalah menyiapkan diri dengan empati, karena hal tersebut penting dalam merawat dan
mengasuh anak penyandang autisme. Penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain
apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan atau penilaian. Apabila dalam keluarga
terutama pada ibu ada penerimaan, maka dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung
perkembangan pada anak. Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja kondisi
anak yang autis.
Ibu merupakan tokoh yang lebih rentan terhadap masalah penyesuaian. Hal ini dikarenakan ibu
berperan langsung dalam kelahiran anak. Biasanya ibu cenderung mengalami perasaan bersalah dan
depresi yang berhubungan dengan ketidakmampuan anaknya dan ibu lebih mudah terganggu secara
emosional. Ibu juga merasa stress karena perilaku yang ditampilkan oleh anaknya seperti tantrum, 3

4
hiperaktif, kesulitan bicara, perilaku yang tidak lazim, ketidakmampuan bersosialisasi dan berteman (Cohen
& Volkmar, dalam Hadis, 2006).
1.2 Tujuan penulisan

1.2.1 Tujuan umum


Setelah menyelesaikan makalah ini, mahasiswa mampu memahami konsep dan Asuhan
Keperawatan Anak dengan Autis.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi, etiologi, tanda & gejala, patofisiologi, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan medis, komplikasi,pencegahan primer, sekunder, dan tersier terkait
kasus Autis dalam asuhan keperawatan anak.
2. Mahasiswa mampu mengaplikasikan intervensi atau tindakan keperawatan terhadap pasien
anak dengan kasus Autis.
3. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan asuhan keperawatan anak.

1.3 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar (definisi, etiologi, tanda & gejala, patofisiologi, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan medis, komplikasi,pencegahan primer, sekunder, dan tersier) dari penyakit Autis?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada anak dengan Autis?
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini dengan diskusi kelompok. Pengkajian materi didapatkan melalui buku
referensi terkait dengan materi pembahasan. Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
 Bab I. Pendahuluan, berisi pendahuluan yang menjelaskan latar belakang masalah, tujuan
penulisan, rumusan masalah, manfaat, dan sistematika penulisan.
 Bab II. Tinjauan Teoritis, berisi konsep kasus dan asuhan keperawatan terkait kasus Autis
 Bab III. Kasus
 Bab IV. Asuhan Keperawatan Berbasis Kasus
 Bab V . Penutup, berisi kesimpulan dan saran
 DAFTAR PUSTAKA
1.5 Manfaat Penulisan
1. Penulis memperoleh suatu gambaran tentang penyakit Autis
2. Penulis memperoleh pengetahuan secara luas
3. Sebagai bahan evaluasi

5
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 KONSEP KASUS
A. Definisi
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri
sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan
(state).
Menurut Rachmawati (dalam Setiafitri, 2014), autis merupakan kelainan perilaku dimana
penderita hanya tertarik pada aktivitas mentalnya sendiri, seperti melamun atau berkhayal.
Gangguan perilakunya dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata,
kesulitan dalam mengembangkan bahasa, dan pengulangan tingkah laku.
Autisme adalah kelainan neuropsikiatrik yang menyebabkan kurangnya kemampuan
berinteraksi social dan komunikasi, minat yang terbatas, perilaku tidak wajar dan adanya gerakan
stereotipik, dimana kelainan ini muncul sebelum anak berusia 3 tahun (Teramihardja J, 2007).
Sutadi (dalam Hadis, 2006), juga mengungkapkan bahwa anak autis adalah anak yang
mengalami gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk
berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
DSM IV (Diagnpstic Statistical Manual yang dikembangkan oleh para psikiater dari Amerika)
mendefinisikan anak autis sebagai berikut :
1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurang-
kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b,
sekurang-kurangnya satu item dari kelompok
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit
dua diantara berikut :
1) Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku non verbal
seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh
lainnya yang mengatur interaksi sosial
2) Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman
sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan
mentalnya.
3) Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan
secara spontan dengan orang lain (seperti; kurang tampak adanya
perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang
menjadi minatnya).
4) Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang
timbal balik.

6
b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit
satu dari yang berikut :
1) Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak
(bukan disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya
melalui cara-cara komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau
lainnya)
2) Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai
pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan yang lain
3) Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau bahasa
yang aneh (idiosyncantric)
4) Cara bermain kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura
secara spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan
tahap perkembangan mentalnya
c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti yang
ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut :
1) Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan
stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.

1. Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang
khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.
2. Perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti :
memukul-mukulkan atau menggerakgerakkan tangannya atau
mengetuk-ngetukan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya).
3. Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (object).
2. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti yang
ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari
bidang-bidang berikut
3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder, Childhood Integrative Disorder,
atu Asperger Syndrom.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak autis yaitu anak-anak yang mengalami
kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi-fungsi: persepsi
(perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling) yang terjadi sebelum umur
tiga tahun dengan dicirikan oleh adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi
dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek yang mana mereka memerlukan layanan pedidikan
khusus untuk mengembangkan potensinya.

7
B. Etiologi
Penyebab Autisme diantaranya :
1. Genetik
Ada bukti kuat yang menyatakan perubahan dalam gen berkontribusi pada terjadinya
autis. Menurut Nasional Institute of Health, keluarga yang memiliki satu anak autisme
memiliki peluang 1-20 kali lebih besar untuk melahirkan anak yang juga autis.
Penelitian pada anak kembar menemukan, jika salah satu anak autis, kembarannya
kemungkinan besar memiliki gangguan yang sama. Secara umum para ahli
mengidentifikasi 20 gen yang menyebabkan gangguan spektrum autis. Gen tersebut
berperan penting dalam perkembangan otak, pertumbuhan otak, dan cara sel-sel otak
berkomunikasi. Namun gejala autis baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.
Bisa saja autis tidak muncul, meski anak membawa gen autis. Jadi terkadang
memerlukan faktor lain.
2. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki risiko lebih
besar mengalami autis. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan thalidomide.
Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk mengatasi gejala mual dan
muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia. Obat thalidomide sendiri di
Amerika sudah dilarang beredar karena banyaknya laporan bayi yang lahir cacat.
Namun, obat ini kini diresepkan untuk mengatasi gangguan kulit dan terapi kanker.
Sementara itu, valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan mood
dan bipolar disorder.
3. Usia Orangtua
Makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita
autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40
tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan
berusia 20-29 tahun.
4. Perkembangan Otak
Area tertentu di otak, termasuk serebal korteks dan cerebellum yang bertanggung jawab
pada konsentrasi, pergerakan dan pengaturan mood, berkaitan dengan autisme.
Ketidakseimbangan neurotransmiter, seperti dopamin dan serotonin, di otak juga
dihubungkan dengan autisme.
5. Faktor Kelahiran
Sebuah penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2008 menunjukan bahwa bayi yang
lahir dengan berat badan sangat rendah dan lama dalam kandungan ( lebih dari 9 bulan )
memiliki resiko lebih tinggi terhadap Autisme. Keadaan saat persalinanpun sangat
mempengaruhi terhadap autis, bayi yang mengalami hipoksa ( gagal nafas) saat

8
dilahirkan itu dapat memicu autisme. secara tidak langsung bayi yang lahir prematur juga
bisa menimbulkan autisme.beberapa bayi lahir prematur biasanya mengalami
pendarahan otak ada yang sebagian hidup dan ada yang mati dan yang hidup biasanya
akan mengalami kelainan otak yang menyebabkan autisme.
6. Faktor Lingkungan
Bayi yang lahir sehat belum tentu tidak mengalami autisme. Faktor lingkungan (eksternal)
juga bisa menyebabkan bayi menderita autisme, seperti lingkungan yang penuh tekanan
dan tidak bersih. Lingkungan yang tidak bersih dapat menyebabkan bayi alergi melalui
ibu. Karena itu, hindari paparan sumber alergi berupa asap rokok, debu atau makanan
yang menyebabkan alergi.
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh pada masa bayi terdapat
kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak
adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan
rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra
verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak. Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang
autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan
tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang
mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya
anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu.
Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara
sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera
penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.
Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapat menyita perhatiannya (berlonjak, memutar,
tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang
menyenangkan atau stress. Kelainann lain adalah destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat.
Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual
pada orang asing.
C. Manifestasi Klinis
1. Gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal
Meliputi kemampuan berbahasa dan mengalami keterlambatan atau sama sekali
tidak dapat bicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang
lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat
berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat dimengerti oleh orang lain.
Tidak mengerti atau tidak menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Ekolalia
(meniru atau membeo), meniru kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya. Bicara
monoton seperti robot.
2. Gangguan dalam bidang interaksi social

9
Meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila
dipanggil, sehingga sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak dipeluk. Bila
menginginkan sesuatu, menarik tangan orang yang terdekat dan berharap orang tersebut
melakukan sesuatu untuknnya. Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain. Saat
bermain bila didekati malah menjauh.
3. Gangguan dalam bermain
Diantaranya bermain sangat monoton dan aneh, misalnya menderetkan sabun menjadi
satu deretan yang panjang, memutar bola pada mobil dan mengamati dengan seksama
dalam jangka waktu lama. Ada kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar,
kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan
tidak mau mainan lainnya. Tidak menyukai boneka, gelang karet, baterai atau benda
lainnya. Tidak spontan, reflaks dan tidak berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru
tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura. Sering
memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin yang berputar atau angin yang bergerak.
Perilaku yang ritualistik sering terjadi, sulit mengubah rutinitas sehari-hari, misalnya bila
bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila bepergian harus melalui rute yang
sama.
4. Gangguan perilaku
Dilihat dari gejala sering dianggap sebagi anak yang senang kerapian harus
menempatkan barang tertentu pada tempatnya. Anak dapat terlihat hiperaktif misalnya
bila masuk dalam rumah yang baru pertama kali ia datangi, ia akan membuka semua
pintu, berjalan kesana kemari dan berlari-lari tentu arah. Mengulang suatu gerakan
tertentu (menggerakkan tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti
dirinya sendiri seperti memukul kepala di dinding. Dapat menjadi sangat hiperaktif atau
sangat pasif (pendiam), duduk diam bengong denagn tatap mata kosong. Marah tanpa
alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas
ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang
lain atau dirinya sendiri. Gangguan kognitif tidur, gangguan makan dan gangguan
perilaku lainnya.
5. Gangguan perasaan dan emosi
Dapat dilihat dari perilaku tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah tanpa sebab nyata.
Sering mengamuk tak terkendali (temper tantrum), terutama bila tidak mendapatkan
sesuatu yang diinginkannya, bahkan bisa menjadi agresif dan merusak. Tidak dapt
berbagi perasaan (empati) dengan anak lain.
6. Gangguan dalam persepsi sensori
Meliputi perasaan sensitif terhadap cahaya (penglihata), pendengaran, sentuhan,
penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat. Menggigit, menjilat atau

10
mencium mainan atau benda apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga.
Menangis setiap kali dicuci rambutnya. Merasakan tidak nyaman bila diberi pakaian
tertentu. Tidak menyukai pelukan, bila digendong sering merosot atau melepaskan diri
dari pelukan.
7. Intelegensi
Dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
Kecerdasan sering diukur melalui perkembangan nonverbal, karena terdapat gangguan
bahasa. Didapatkan IQ dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%.
Namun sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100. Anak autis sulit melakukan tugas yang
melibatkan pemikiran simbolis atau empati. Namun ada yang mempunyai kemampuan
yang menonjol di suatu bidang, misalnya matematika atau kemampuan memori.
D. Patofisiologi

11
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk mengalirkan impuls listrik (akson) serta
serabut untuk menerima impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna
kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf
berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada trimester ketiga, pembentukan
sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia
sekitar dua tahun. Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah
zat kimia yang dikenal sebagai brain growth factors dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat
tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar menunjukkan
pertambahan akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan
kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel
saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada penderita
autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor,
neurotrophin-4, vasoactive intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia
otak yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan,
dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth factors ini penting bagi pertumbuhan otak.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan pertumbuhan abnormal pada daerah
tertentu. Pada gangguan autisme terjadi kondisi growth without guidance, di mana bagian-bagian otak
tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel saraf lain. Hampir semua
peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan
impuls saraf) di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan
akson, glia (jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi pertumbuhan otak
secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara abnormal mematikan sel Purkinye. Yang
jelas, peningkatan brain derived neurotrophic factor dan neurotrophin-4 menyebabkan kematian sel
Purkinye.
Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor
genetik, gangguan sel Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan
karena ibu mengkomsumsi makanan yang mengandung logam berat.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang, kemudian terjadi gangguan yang
menyebabkan kerusakan sel Purkinye. Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol
berlebihan atau obat seperti thalidomide.

12
Penelitian dengan MRI menunjukkan, otak kecil anak normal mengalami aktivasi selama melakukan
gerakan motorik, belajar sensori-motorik, atensi, proses mengingat, serta kegiatan bahasa. Gangguan
pada otak kecil menyebabkan reaksi atensi lebih lambat, kesulitan memproses persepsi atau membedakan
target, overselektivitas, dan kegagalan mengeksplorasi lingkungan.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian depan yang dikenal sebagai
lobus frontalis. Menurut kemper dan Bauman menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus
(bagian depan otak besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian
samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori).
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain kecukupan oksigen, protein,
energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng, yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam
folat. Adapun hal yang merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan
timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa kehamilan.
E. Pemeriksaan Penunjang
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai
kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak
dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah
berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme :
a) Childhood Autism Rating Scale (CARS) : skala peringkat autisme masa kanak-kanak
yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan
perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya
dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan
mendengar dan komunikasi verbal
b) The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada
masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan
oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
c) The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala
item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan
komunikasi dan sosial mereka
d) The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2
tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang
kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-
hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf.
Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah.

13
Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan
stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis.
Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan
autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri,
stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur.
Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin
dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal,
merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2).
Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT
untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri.
Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor,
olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi
afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori, gangguan penggunaan bahasa,
perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan
cemas dan depresi.
Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis
perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut
dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi
untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan
perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-
integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan integrasi
pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara, intervensi
keluarga, dan sebagainya.
Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk kondisi
dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi pengaturan diet dengan
menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen
vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding
usus.
Dengan berbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup
sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan
berprestasi
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Terapi wicara : membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga
membantu anak berbicara yang lebih baik.
b. Terapi okupasi : untuk melatih motorik halus anak
c. Terapi perilaku : anak autis seringkali merasa frustasi. Teman-temannya
seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan

14
kebutuhannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan
sentuhan. Maka tak heran mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku
terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negative tersebut dan mencari
solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak
tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
G. Komplikasi
Beberapa komplikasi y ang dapat muncul pada penderita autis antara lain (Kim, 2015) :
1. Masalah sensorik
Pasien dengan autis dapat sangat sensitif terhadap input sensorik. Sensasi biasa dapat
menimbulkan ketidaknyamanan emosi. Kadang-kadang, pasien autis tidak berespon
terhadap beberapa sensai yang ekstrim, antara lain panas, dingin, atau nyeri.
2. Kejang
Kejang merupakan komponen yang sangat umum dari autisme. Kejang sering dimulai
pada anak-anak autis muda atau remaja.
3. Masalah kesehatan Mental
Menurut National Autistic Society, orang dengan ASD rentan terhadap depresi,
kecemasan, perilaku impulsif, dan perubahan suasana hati.
4. Tuberous sclerosis
Gangguan langka ini menyebabkan tumor jinak tumbuh di organ, termasuk otak.
Hubungan antara sclerosis tuberous dan autisme tidak jelas. Namun, tingkat autisme
jauh lebih tinggi di antara anak-anak dengan tuberous sclerosis dibandingkan mereka
yang tanpa kondisi tersebut.
H. Hambatan Autis
Gangguan-gangguan itu hampir meliputi seluruh aspek kehidupannya, antara lain komunikasi,
interaksi sosial, gangguan dalam sensoris, pola bermain, perilaku khas, dan emosi (Riyanti,
2002:10, Peeters, 2004:5; Hidayat, 2006:2; Sunardi dan Sunaryo, 2006:193). Gangguan-
gangguan tersebut jelas akan mengahambat perkembangan anak autis.
1. Hambatan dalam komunikasi
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
b. Anak tampak seperti tuli, sulit bicara, atau pernah bicara, tetapi kemudian sirna.
c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti oleh orang lain.
e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
f. Senang meniru atau membeo (echolalia)
g. Bila senang meniru, dapat hapal betul kata-kata atau nyanyian tapi tidak
mengerti artinya.

15
h. Sebagian dari anak autis tidak bicara (non verbal) atau sedikit berbicara sampai
usia dewasa.
i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan.
2. Hambatan dalam interaksi sosial
a. Anak autis lebih senang menyendiri.
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata atau menghindari untuk bertatapan.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
e. Gangguan dalam sensoris
f. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
g. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
h. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
i. Tidak sensitif terhadap rasa sakit atau rasa takut.
3. Hambatan dalam pola bermain
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c. Tidak kreatif dan tidak imajinatif.
d. Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya mobil-mobilan dielus-elus kemudian
diciumi dan diputar-putar rodanya.
e. Senang pada benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda, dan lain-
lain.
f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu kemudian dipegang terus dan
dibawa kemana-mana.
4. Gangguan perilaku khas
a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif).
b. Memperlihatkan stimulasi diri, seperti bergoyang-goyang, mengepakkan tangan
seperti burung, berputar-putar, mendekatkan pada pada layar TV, lari/berjalan
bolak-balik, melakukan gerakan yang berulang-ulang.
c. Tidak suka pada perubahan.
d. Dapat duduk benging dengan tatapan kosong.
5. Gangguan emosi
a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa
alasan.
b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau dipenuhi
keinginannya.
c. Kadang-kandang suka menyerang dan merusak.
d. Kadang-kadang anak autis berperilaku menyakiti dirinya sendiri.

16
e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain.
Hambatan-hambatan di atas tidak semuanya ada pada anak autis. Hambatan dapat
beraneka ragam sehingga hambatan yang dimiliki seorang anak autis belum tentu sama
dengan anak autis lainnya. Itulah yang menyebabkan tidak ada anak autis yang benar-benar
sama dalam semua tingkah lakunya.
I. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan adalah yang paling utama dalam menghindari resiko terjadinya
gangguan atau gangguan pada organ tubuh kita. Banyak gangguan dapat dilakukan strategi
pencegahan dengan baik, karena faktor etiologi dan faktor resiko dapat diketahui dengan jelas.
Berbeda dengan kelainan autis, karena teori penyebab dan faktor resiko belum masih belum jelas
maka strategi pencegahan mungkin tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam kondisi seperti ini
upaya pencegahan tampaknya hanya bertujuan agar gangguan perilaku yang terjadi tidak
semakin parah bukan untuk mencegah terjadinya autis. Upaya pencegahan tersebut berdasarkan
teori penyebab ataupun penelitian faktor resiko autis.
1. Pencegahan Sejak Kehamilan
Adapun cara untuk mencegah terjadinya gangguan tumbuh kembang sejak dalam
kehamilan tersebut diantaranya adalah periksa dan konsultasi ke dokter spesialis
kebidanan dan kandungan lebih awal, kalu perlu berkonsultasi sejak merencanakan
kehamilan. Melakukan pemeriksaan skrening secara lengkap terutama infeksi virus
TORCH (Toxoplasma, Rubela, Citomegalovirus, herpes atau hepatitis). Periksa dan
konsultasi ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan secara rutin dan berkala, dan
selalu mengikuti nasehat dan petunjuk dokter dengan baik. Bila terdapat peradarahan
selama kehamilan segera periksa ke dokter kandungan. Perdarahan selama kehamilan
paling sering disebabkan karena kelainan plasenta. Kondisi tersebut mengakibatkan
gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan pada
otak janin. Perdarahan pada awal kehamilan juga berhubungan dengan kelahiran
prematur dan bayi lahir berat rendah. Prematur dan berat bayi lahir rendah juga
merupakan resiko tinggi terjadinya autism dan gangguan bahasa lainnya.
Berhati-hatilah minum obat selama kehamilan, bila perlu harus konsultasi ke dokter
terlebih dahulu. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan terutama trimester
pertama. Peneliti di Swedia melaporkan pemberian obat Thaliodomide pada awal
kehamilan dapat mengganggu pembentukan sistem susunan saraf pusat yang
mengakibatkan autism dan gangguan perkembangan lainnya termasuk gangguan
berbicara. Bila bayi beresiko alergi sebaiknya ibu mulai menghindari paparan alergi
berupa asap rokok, debu atau makanan penyebab alergi sejak usia di atas 3 bulan.
Hindari paparan makanan atau bahan kimiawi atau toksik lainnya selama kehamilan. Jaga
higiene, sanitasi dan kebersihan diri dan lingkungan. Konsumsilah makanan yang bergizi

17
baik dan dalam jumlah yang cukup. Sekaligus konsumsi vitamin dan mineral tertentu
sesuai anjuran dokter secara teratur.
Adanya Fetal Atopi atau Maternal Atopi, yaitu kondisi alergi pada janin yang
diakibatkan masuknya bahan penyebab alergi melalui ibu. Menurut pengamatan penulis,
bila dilihat adanya gerakan bayi gerakan refluks oesefagial (hiccupps/cegukan) yang
berlebihan sejak dalam kandungan terutama terjadi malam hari. Diduga dalam kedaaan
tersebut bayi terpengaruh pencernaan dan aktifitasnya oleh penyebab tertentu termasuk
alergi ataupun bahan-bahan toksik lainnya selama kehamilan. Bila gerakan bayi dan
gerakan hiccups/cegukan pada janin yang berlebihan terutama pada malam hari serta
terdapat gejala alergi atau sensitif pencernaan salah satu atau kedua orang tua.
Sebaiknya ibu menghindari atau mengurangi makanan penyebab alergi sejak usia
kehamilan di atas 3 bulan. Hindari asap rokok, baik secara langsung atau jauhi ruangan
yang dipenuhi asap rokok. Beristirahatlah yang cukup, hindari keadaan stres dan depresi
serta selalu mendekatkan diri dengan Tuhan.
2. Pencegahan Saat Persalinan
Persalinan adalah periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi
selanjutnya. Beberapa komplikasi yang timbul selama periode ini sangat menentukan
kondisi bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan dalam persalinan maka yang
paling berbahaya adalah hambatan aliran darah dan oksigen ke seluruh organ tubuh bayi
termasuk otak. Organ otak adalah organ yang paling sensitif dan peka terhadap gangguan
ini, kalau otak terganggu maka sangat mempengaruhi kualitas hidup anak baik dalam
perkembangan dan perilaku anak nantinya
Beberapa hal yang terjadi saat persalinan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
perkembangan dan perilaku pada anak, sehingga harus diperhatikan beberapa hal
penting. Melakukan konsultasi dengan dokter spesialis kandungan dan kebidanan tentang
rencana persalinan. Dapatkan informasi secara jelas dan lengkap tentang resiko yang
bisa terjadi selama persalinan. Bila terdapat resiko dalam persalinan harus diantisipasi
kalau terjadi sesuatu. Baik dalam hal bantuan dokter spesialis anak saat persalinan atau
sarana perawatan NICU (Neonatologi Intensive Care Unit) bila dibutuhkan.
Bila terdapat faktor resiko persalinan seperti : pemotongan tali pusat terlalu cepat,
asfiksia pada bayi baru lahir (bayi tidak menangis atau nilai APGAR SCORE rendah < 6 ),
komplikasi selama persalinan, persalinan lama, letak presentasi bayi saat lahir tidak
normal, berat lahir rendah ( < 2500 gram) maka sebaiknya dilakukan pemantauan
perkembangan secara cermat sejak usia dini.
3. Pencegahan Sejak Usia Bayi
Setelah memasuki usia bayi terdapat beberapa faktor resiko yang harus diwaspadai
dan dilakukan upaya pencegahannya. Bila perlu dilakukan terapi dan intervensi secara

18
dini bila sudah mulai dicurigai terdapat gejala atau tanda gangguan perkembangan.
Adapun beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan. Amati gangguan saluran
cerna pada bayi sejak lahir. Gangguan teresebut meliputi : sering muntah, tidak buang
besar setiap hari, buang air besar sering (di atas usia 2 minggu lebih 3 kali perhari), buang
air besar sulit (mengejan), sering kembung, rewel malam hari (kolik), hiccup (cegukan)
berlebihan, sering buang angin. Bila terdapat keluhan tersebut maka penyebabnya yang
paling sering adalah alergi makanan dan intoleransi makanan. Jalan terbaik mengatasi
ganggguan tersebut bukan dengan obat tetapi dengan mencari dan menghindari makanan
penyebab keluhan tersebut. Gangguan saluran cerna yang berkepanjangan akan dapat
mengganggu fungsi otak yang akhirnya mempengaruhi perkembangan dan perilaku anak.
Bila terdapat kesulitan kenaikkan berat badan, harus diwaspadai. Pemberian vitamin
nafsu makan bukan jalan terbaik dalam mengobati penyandang, tetapi harus dicari
penyebabnya. Bila terdapat kelainan bawaan : kelainan jantung bawaan, kelainan genetik,
kelainan metabolik, maka harus dilakukan perawatan oleh dokter ahli. Harus diamati
tanda dan gejala autism secara cermat sejak dini. Demikian pula bila terjadi gangguan
neurologi atau saraf seperti trauma kepala, kejang (bukan kejang demam sederhana) atau
gangguan kelemahan otot maka kita harus lebih cermat mendeteksi secara dini gangguan
perkembangan.
Pada bayi prematur, bayi dengan riwayat kuning tinggi (hiperbilirubinemi), infeksi
berat saat usia bayi (sepsis dll) atau pemberian antibiotika tertentu saat bayi harus
dilakukan monitoring tumbuh kembangnya secara rutin dan cermat terutama gangguan
perkembangan dan perilaku pada anak. Bila didapatkan penyimpangan gangguan
perkembangan khususnya yang mengarah pada gangguan perkembangan dan perilaku
maka sebaiknya dilakukan konsultasi sejak dini kepada ahlinya untuk menegakkan
diagnosis dan intervensi sejak dini.
Pada bayi dengan gangguan pencernaan yang disertai gejala alergi atau terdapat
riwayat alergi pada orang tua, sebaiknya menunda pemberian makanan yang beresiko
alergi hingga usia diatas 2 atau 3 tahun. Makanan yang harus ditunda adalah telor, ikan
laut, kacang tanah, buah-buahan tertentu, keju dan sebagainya. Bayi yang mengalami
gangguan pencernaan sebaiknya juga harus menghindari monosodium glutamat (MSG),
amines, tartarzine (zat warna makanan), Bila gangguan pencernaan dicurigai sebagai
Celiac Disease atau Intoleransi Casein dan Gluten maka diet harus bebas casein dan
Gluten, Ciptakan lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang baik secara kualitas dan
kuantitas, hindari rasa permusuhan, pertentangan, emosi dan kekerasan.
Bila terdapat faktor resiko tersebut pada periode kehamilan atau persalinan maka kita
harus lebih waspada. Menurut beberapa penelitian resiko tersebut akan semakin besar
kemungkinan terjadi autism. Selanjutnya kita harus mengamati secara cermat tanda dan

19
gejala autism sejak usia 0 bulan. Bila didapatkan gejala autism pada usia dini, kalau perlu
dilakukan intervensi sejak dini dalam hal pencegahan dan pengobatan. Lebih dini kita
melakukan intervensi kejadian autism dapat kita cegah atau paling tidak kita minimalkan
keluhan yang akan timbul. Bila resiko itu sudah tampak pada usia bayi maka kondisi
tersebut harus kita minimalkan bahkan kalau perlu kita hilangkan. Misal kegagalan
kenaikkan berat badan harus betul-betul dicari penyebabnya, pemberian vitamin bukan
jalan terbaik untuk mencari penyebab kelainan tersebut.
Demikan pula gangguan alergi makanan dan gangguan pencernaan pada bayi, harus
segera dicari penyebabnya. Yang paling sering adalah karena alergi makanan atau
intoleransi makan, penyebabnya jenis makanan tertentu termasuk susu bayi. Pemberian
obat-obat bukanlah cara terbaik untuk mencari penyebab gangguan alergi atau gangguan
pencernaan tersebut. Yang paling ideal adalah kita harus menghindari makanan
penyebab gangguan tersebut tanpa bantuan obat-obatan. Obat-obatan dapat diberikan
sementara bila keluhan yang terjadi cukup berat, bukan untuk selamanya.

J. KLASIFIKASI
Dalam berinteraksi sosial anak autis dikelompokan atas 3 kelompok yaitu :
1. Kelompok Menyendiri
a) Terlihat menghindari kontak fisik dengan lingkungannya
b) Bertedensi kurang menggunakan kata-kata, dan kadang-kadang sulit berubah
meskipun usianya bertambah lanjut. Dan meskipun ada ada perubahan,mungkin
hanya bisa mengucapkan beberapa patah kata yang sederhana saja.
c) Menghabiskan harinya berjam-jam untuk sendiri, dan kalu berbuat sesuatu,akan
melakukannya berulang-ulang.
d) Gangguan perilaku pada kelompok anak ini termasuk bunyi-bunyi aneh,gerakan
tangan, tabiat yang mudah marah, melukai diri sendiri, menyerangteman sendiri,
merusak dan menghancurkan mainannya.
2. Kelompok Anak Autisme Yang Pasif
a) Lebih bisa bertahan dengan kontak fisik, dan agak mampu bermain dengan
kelompok teman bergaul dan sebaya, tetapi jarang sekali mencari temansendiri.
b) Mempunyai perbendaharaan kata yang lebih banyak meskipun masih agak
terlambat bisa berbicara dibandingkan dengan anak sebaya.
c) Kadang-kadang malah lebih cepat merangkai kata meskipun kadang-kadang
pula dibumbui kata yang kurang dimengerti.
d) Kelompok pasif ini masih bisa diajari dan dilatih dibandingkan dengan anak
autisme yang menyendiri dan yang aktif tetapi menurut kemauannya sendiri.
3. Kelompok Anak Autisme Yang Aktif Tetapi Menurut kemauannya Sendiri

20
a) Kelompok ini seperti bertolak belakang dengan kelompok anak autisme
yangmenyendiri karena lebih cepat bisa bicara dan memiliki perbendaharaan
kata yang paling banyak
b) Meskipun dapat merangkai kata dengan baik, tetapi tetap saja terselip kata-kata
yang aneh dan kurang dimengerti.
c) Masih bisa ikut berbagi rasa dengan teman bermainnya.
d) Dalam berdialog, sering mengajukan pertanyaan dengan topik yang
menarik,dan bila jawaban tidak memuaskan atau pertanyaannya dipotong, akan
bereaksi sangat marah.
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Sering kali
pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui
Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :
1. Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung
lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan
ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2. Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak memberikan
respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh,
dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa
dikendalikan.
3. Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak
terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang
dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak
memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang
tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa
kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).
2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa, tanggal,
jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
2. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan
atau sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan menggunakan

21
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak
senang atau menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada
kedekatan dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling,
terus dipegang dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak
mau mainan lainnya. Sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan
barang tertentu pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau
bend apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ
dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5%
mempunyai IQ diatas 100.
 Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
Sering terpapar zat toksik, seperti timbal, Cidera otak
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan.
Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
3. Status perkembangan anak.
 Anak kurang merespon orang lain.
 Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
 Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
 Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
 Keterbatasan kognitif.
4. Pemeriksaan fisik
 Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
 Terdapat ekolalia.
 Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
 Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
 Peka terhadap bau.
5. Psikososial
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
 Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
 Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
 Perilaku menstimulasi diri
 Pola tidur tidak teratur
 Permainan stereotip
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
 Tantrum yang sering

22
 Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
 Kemampuan bertutur kata menurun
 Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus
6. Neurologis
 Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
 Refleks mengisap buruk
 Tidak mampu menangis ketika lapar

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Townsend, M.C (1998) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan
padapasien/anak dengan gangguan perkembangan pervasive autisme antara lain :
a. Risiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan:
 Tugas-tugas perkembangan yang tidak terselesaikan dari rasa percaya
terhadap rasa tidak percaya
 Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
 Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap
kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu, fenilketonuria
tidak teratasi, ensefalitis, tuberkulosa sclerosis, anoksia selama kelahiran dan
sindroma fragilis X
 Deprivasi ibu.
 Stimulasi sensosrik yang tidak sesuai
 Sejarah perilaku-perilaku mutilatif/melukai diri sebagai respons
terhadapansietas yang meningkat
 Ketidakacuhan yang nyata terhadap lingkungan atau reaksi-reaksi yang
histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
b. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan :
 Gangguan konsep diri
 Tidak adanya orang terdekat
 Tugas perkembangan tidak terselsaikan dari percaya versus tidak percaya
 Perubahan-perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap
kondisi-kondisi fisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria
tidak teratasi, ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran
sindromfragilis X
 Deprivasi ibu
 Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
c. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan :

23
 Ketidakmampuan untuk mempercayai
 Penarikan diri dari diri
 Perubahan patofisiologis yang terjadi sebagai respons terhadap kondisi-
kondisifisik tertentu seperti rubella pada ibu fenilketonuria tidak teratasi,
ensefalitis, tuberous sclerosis, anoksia selama kelahiran sindrom fragilis X)
 Deprivasi ibu
 Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
d. Gangguan identitas diri/pribadi berhubungan dengan :
 Fiksasi pada fase prasimbiotik dari perkembangan
 Tugas-tugas tidak terselesaikan dari rasa percaya versus rasa tidak percaya
 Deprivasi ibu
 Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
C. Perencanaan Keperawatan
Nursing Care Planning
Diagnosa
No
Keperawatan
Tujuan keperawatan Intervensi keperawatan Rasional

1. Resiko terhadap Tujuan : Pasien akan 1. Jamin keselamatan 1. Perawat


mutilasi diri mendemonstrasikan anak dengan bertanggung jawab
perilaku-perilaku memberi rasa aman, untuk menjamin
alternative (misalnya lingkungan yang keselamatan anak
memulai interaksi kondusif untuk 2. pengkajian
antara diri dengan mencegah perilaku kemungkinan
perawat) sebagai merusak diri penyebab dapat
respons terhadap 2. Kaji dan tentukan memilih
kecemasan dengan penyebab perilaku – cara /alternative
kriteria hasil : perilaku pemecahan
mutilatif sebagai resp yang tepat.
a. Rasa gelisah
on terhadap 3. Untuk menjaga
dipertahankan
kecemasan bagian-bagian vital
pada tingkat anak
3. Pakaikan helm pada dari cidera
merasa tidak
anak untuk 4. Untuk dapat bisa
memerlukan
menghindari trauma lebih menjalin
perilaku-perilaku
saat anak memukul- hubungan saling
mutilatif diri
mukulkepala, sarung percayadengan
b. Pasien memulai
tangan untuk pasien
interaksi antara diri
mencegah menarik – 5. Dalam upaya untuk

24
dan perawat narik rambut, menurunkan
apabila merasa pemberian kebutuhan pada
cemas bantalyang sesuai perilaku-perilaku
untuk mencegah luka mutilasi diri dan
pada ekstremitas memberikan rasa
saat gerakan- aman
gerakan histeris
4. Membentuk
kepercayaan satu
anak dirawat oleh
satu perawat
5. Tawarkan pada anak
untuk menemani
selama waktu -
waktu meningkatnya
kecemasan agar
tidak terjadi mutilasi
2. Kerusakan interaksi Tujuan : Anak akan 1. Jalin hubungan satu- 1. Interaksi staf
sosial mendemonstrasikan satu dengan anak dengan pasien
kepercayaan pada untuk meningkatkan yang konsisten
seorang pemberi kepercayaan. meningkatkan
perawatan yang 2. Berikan benda-benda pembentukan
ditandai dengan sikap yang dikenal kepercayaan
responsive pada wajah (misalnya : mainan 2. Benda-benda ini
dan kontak mata dalam kesukaan, selimut) memberikan rasa
waktu yang ditentukan untuk memberikan aman dalam waktu-
dengan kriteria hasil : rasa aman dalam waktu aman bila
waktu-waktu tertentu anak merasa
a. Anak mulai
agar anak tidak distres
berinteraksi dengan
mengalami distress. 3. Karakteristik -
diri dan orang lain
3. Sampaikan sikap karakteritik ini
b. Pasien
yang hangat, meningkatkan
menggunakan
dukungan, dan pembentukan dan
kontak mata, sifat
kebersediaan ketika mempertahankan
responsive pada
anak berusaha untuk hubungan saling
wajah dan perilaku-
memenuhi percaya
perilaku nonverbal

25
lainnya dalam kebutuhan – 4. Pasien autisme
berinteraksi dengan kebutuhan dasarnya dapat merasa
orang lain untuk meningkatkan terancam oleh
c. Pasien tidak pembentukan dan suatu rangsangan
menarik diri dari mempertahankan yang gencar pada
kontak fisik dengan hubungan saling pasien yang tidak
orang lain percaya terbiasa
4. Lakukan dengan 5. Kehadiran seorang
perlahan-lahan, yang telah
jangan memaksakan terbentuk
interaksi-interaksi, hubungan saling
mulai dengan percaya dapat
penguatan yang memberikan rasa
positif pada kontak aman
mata, perkenalkan
dengan berangsur-
angsur dengan
sentuhan, senyuman,
dan pelukan
5. Dengan kehadiran
anda beri dukungan
pada pasien yang
berusaha keras
untuk membentuk
hubungan dengan
orang lain di
lingkungannya
3. Kerusakan Tujuan : Anak akan 1. Pertahankan 1. Hal ini
komunikasi verbal membentuk konsistensi tugas staf memudahkan
kepercayaan dengan untuk memahami kepercayaan dan
seorang pemberi tindakan-tindakan kemampuan untuk
perawatan ditandai dan komunikasi anak memahami
dengan sikap 2. Antisipasi dan penuhi tindakan-tindakan
responsive dan kontak kebutuhan- dan komunikasi
mata dalam waktu yang kebutuhan anak pasien
telah ditentukan sampai kepuasan 2. Pemenuhan

26
dengan kriteria hasil: pola komunikasi kebutuhan pasien
terbentuk akan dapat
a. Pasien mampu
3. Gunakan tehnik mengurangi
berkomunikasi
validasi konsensual kecemasan anak
dengan cara yang
dan klarifikasi untuk sehingga anak
dimengerti oleh
menguraikan kode akan dapat mulai
orang lain
pola komunikasi menjalin
b. Pesan-pesan
(misalnya :” Apakah komunikasi dengan
nonverbal pasien
anda bermaksud orang lain dengan
sesuai dengan
untuk mengatakan asertif
pengungkapan
bahwa…..?”) 3. Teknik-teknik ini
verbal
4. Gunakan pendekatan digunakan untuk
c. Pasien memulai
tatap muka memastikan
berinteraksi verbal
berhadapan untuk akurasi daripesan
dan non verbal
menyampaikan yang diterima,
dengan orang lain
ekspresi-ekspresi menjelaskan
nonverbal yang pengertian-
benar dengan pengertian yang
menggunakan tersembunyi di
contoh dalam pesan. Hati-
hati untuk tidak
“berbicara atas
nama pasien tanpa
seinzinnya”
4. Kontak mata
mengekspresikan
minat yang murni
terhadap dan
hormat kepada
seseorang

4. Gangguan Tujuan: Pasien akan 1. Membantu anak 1. Kegiatan-kegiatan


Indentitas Pribadi menyebutkan bagian- untuk mengetahui ini dapat
bagian tubuh diri hal-hal yang terpisah meningkatkan
sendiri dan bagian- selama kegiatan- kewaspadaan anda
bagian tubuh dari kegiatan perawatan terhadap diri
pemberi perawatan diri, seperti sebagai sesuatu

27
dalam waktu yang berpakaian dan yang terpisah dari
ditentukan untuk makan orang lain
mengenali fisik dan 2. Jelaskan dan bantu 2. Kegiatan-kegiatan
emosi diri terpisah dari anak dalam ini dapat
orang lain saat pulang menyebutkan meningkatkan
dengan kriteria hasil: bagian-bagian kewaspadaan anak
tubuhnya terhadap diri
a. Pasien mampu
3. Tingkatkan kontak sebagai sesuatu
untuk membedakan
fisik secara bertahap yang terpisah dari
bagian-bagian dari
demi tahap, orang lain
tubuhnya dengan
menggunakan 3. Bila gerak isyarat
bagian-bagian dari
sentuhan untuk ini dapat
tubuh orang lain
menjelaskan diintepretasikan
b. Pasien
perbedaan- sebagai suatu
menceritakan
perbedaan antara ancaman oleh
kemampuan untuk
pasien dengan pasien
memisahkan diri
perawat. Berhati-hati 4. Dapat memberikan
dari lingkungannya
dengans entuhan gambaran tentang
dengan
sampai kepercayaan bentuk tubuh dan
menghentikan
anak telah terbentuk gambaran diri pada
ekolalia
4. Tingkatkan upaya anak secara tepat.
(mengulangi kata-
anak untuk
kata yang di
mempelajari bagian-
dengar) dan
bagian dari batas-
ekopraksia (meniru
batas tubuhdengan
gerakan-gerakan
menggunakan
yang dilihatnya)
cermin dan lukisan
serta gambar-
gambar dari anak

28
BAB III
KASUS

Diego, anak laki-laki usia 30 bulan, dibawa ke klinik karena belum bisa bicara dan tidak bisa duduk diam.
Diego hanya bisa mengoceh dengan kata-kata yang tidak dimengerti oleh orang tuanya dan orang lain. Bila
dipanggil sering kali tidak bereaksi terhadap panggilan. Diego juga selalu bergerak kesana kemari tanpa tujuan.
Senang bermain dengan bola tetapi tidak suka bermain dengan anak lain. Diego anak pertama dari ibu usia 34
tahun. Lahir spontan pada kehamilan 38 minggu.Selama hamil ibu diego pernah mengalami demam dan sering
mengkonsumsi daging mentah tetapi periksa kehamilan dengan teratur ke SpOG.
Riwayat persalinan: lahir langsung menangis, Berat badan waktu lahir 3.500 gram. Diego bisa tengkurap
pada usia 6 bulan, berjalan pada usia 12 bulan, tidak ada riwayat kejang, dan tidak ada keluarga yang menderita
kelainan seperti ini.Pemeriksaan fisik dan pengamatan : Berat badan 17 kg, tinggi badan 92 cm, lingkaran
kepala 50 cm. tidak ada gambaran dismorfik. Anak sadar, tetapi tidak mau kontak mata dan tersenyum kepada
pemeriksa. Tidak menoleh ketika dipanggil namanya. Anak selalu bergerak kesana kemari tanpa tujuan. Ketika
diberikan bola, dia menyusun bola secara berjejer, setelah selesai lalu dibongkar, kemudian disusun berjejer
lagi, dan dilakukan berulang-ulang.Tidak ada gerakan aneh yang diulang-ulang. Tidak mau bermain dengan
anak lain.Bila memerlukan bantuan, dia menarik tangan ibunya untuk melakukan. Tidak bisa bermain pura-pura
(imajinatif). Tidak melihat ke benda yang ditunjuk, tidak bisa menunjuk benda yang ditanyakan oleh orang lain.
Pemeriksaan fisik umum, neurologis dan laboratorium dalam batas normal, tes pendengaran normal.

29
BAB IV
PEMBAHASAN ASUHAN KEPERAWATAN BERBASIS KASUS

30
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi
keperawatan dapat memahami asuhan keperawatan pada anak berkebutuhan khusus autisme dan bagi
orang tua yang memiliki anak autisme.

31
DAFTAR PUSTAKA

Kim, S. K. (2015). Recent update of autism spectrum disorders. Korean Journal of Pediatrics
Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sacharin, RM. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Behrman, Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15. Jakarta: EGC.

Anonim. Http:// www.Dikdasmen.Com/Pendidikan anak Autisme.Html

Soetjiningsih. 1994. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: FK Udayana.

Yupi, Supartini. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.

Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan 2. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika

PPNI, 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. DPP PPNI.
Jakarta.

Nugraheni,SA. (2012). Menguak Belantara Autisme. Bulettin Psikologi. 20(1-2): 9-17.

Http://www.journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/11944/8798

Andri Priyatna. (2010).Amazing Autism ! (Memahami, Mengasuh, dan Mendidik Anak Autis).Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.

Christopher Sunu. (2012). Unlocking Autism.Yogyakarta:Lintangterbit.

Joko Yuwono, M.Pd. Memahami Anak Autis. November 2012. Jakarta Barat : Alfabeta

Agus Suryana. Terapi Autisme. 2004. Jakarta : Progres

Nattaya Lakshita. Panduan Simpel Mendidik Anak Autis. 2012. Yogyakarta : Javalitera

Bloom, Emanuel dkk. The Developmental Neurobiology of Autism Spectrum Disorder. Diakses dari
http://www.jneurosci.org/content/26/26/6897 pada 14 September 2014 pukul 16.00
Diagnosa Keperawatan : buku saku. edisi 6 . Jakarata : EGC Doenges, Marilynn E. 1999.
Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Price. (1995).
Patofisiologi: Proses-proses Penyakit Edisi: 4, Editor peter Anugrah Buku II. Jakarta: EGC Wilkinson, M,
Judith; (1997).
Buku saku diagnosis keperawatan dengan NIC dan NOC. Edisi 7 .Jakarta : EGC
https://www.scribd.com/doc/97175113/ASKEP-AUTIS
Alih Bahasa Prof. DR. Dr. A. Samik Wahab, Sp. A (K). 1995. Kesehatan Anak Pedoman Bagi
orang Tua, Arcan. Jakarta: EGC
Baron & Kohen 1994
Behrman, Kliegman, Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15.

32
Sacharin, r.m. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. Jakarta: EGC

(DSM IV, sadock dan sadock 2000)

Safaria, T. 2005. Autisme Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua. Yogyakarta:
Graha Ilmu

(Teramihardja, J. 2007.

33

Anda mungkin juga menyukai