Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi kedaulatan

hukum, sehingga jelas Indonesia disebut sebagai negara hukum. Sebagai

negara hukum, berarti di negara kita hukumlah yang mempunyai arti penting

terutama dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat. Segala

penyelenggaraan yang dilaksanakan oleh negara dengan perantaraan

pemerintahnya harus sesuai dan menurut kaidah-kaidah yang telah ditentukan

terlebih dahulu oleh hukum.

Sebagai salah satu contoh secara materil, Peraturan perundang-

undangan yang telah diadakan lebih dahulu merupakan batas kekuasaan

penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma

hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati dengan tidak memandang

bulu, baik oleh masyarakat, pemerintah sendiri maupun badan-badan

penyelenggaranya.

Berdasarkan hal tersebut, untuk “memayungi” segala perkara yang

telibat di dalamnya, semisal permasalahan dengan Pejabat Pemerintahan

tentang dikeluarkannya suatu kebijakan yang merugikan kepentingan

individu/ pribadi, maka salah satu jalan untuk menyelesaikannya adalah

dengan mengajukan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Seperti

perbuatan pejabat negara terkait perizinan (vergunning), dispensasi, konsensi,

dan pengurusan surat-surat dituangkan dalam putusan pejabat (beschikking).

1
Hal ini telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo

Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang Undang Nomor 51 Tahun

2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini merupakan salah satu

upaya yang dilakukan negara untuk memberikan pelayanan publik bagi semua

kalangan, apalagi pengajuan gugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara

terbilang lebih murah dari pada menyelesaikan dalam peradilan umum, yakni

dengan membayar panjar biaya gugatan. (Lawangpos// M. Ibrahim on Sunday,

December 5th, 2010). Dengan demikian, Peradilan Tata Usaha Negara itu

diadakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada rakyat pencari

keadilan, yang merasa dirinya dirugikan akibat suatu keputusan tata usaha

negara.

Kemudian seiring dengan terus berkembangnya zaman, Undang-

Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang bermula termuat dalam

UU Nomor 5 Tahun 1986 ini, perlu diadakannya revisi kembali. Dari berbagai

aspek permasalah perihal UU Nomor 5 Tahun 1986 sampai pada Undang

Undang Nomor 51 Tahun 2009, perlu kiranya kita pahami sehingga dapat

membuka wawasan kita mengenai HTUN (Hukum Tata Usaha negara), baik

menyangkut bagaimana sejarah adanya HTUN di Negara Indonesia, maupun

muatan-muatan yang terkandung didalam perundang-undangan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, diperoleh beberapa

rumusan masalah diantaranya :

a. Apa definisi hukum tata usaha Negara ?


b. Apa tujuan pembentukan peradilan tata usaha Negara ?

2
c. Bagaimana sejarah Peradilan Tata Usaha Negara ?
d. Bagaimana Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas
UU Nomor 9 Tahun 2004 ?
e. Bagaimana Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas
UU Nomor 9 Tahun 2004?
f. Bagaimana Kompetensi pengadilan tata usaha Negara ?
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :

a. Mengetahui dan memahami definisi Hukum Tata Usaha Negara

b. Mengetahui tujuan pembentukan peradilan Hukum Tata Usaha Negara

c. Mengetahui sejarah Peradilan Tata Usaha Negara

d. Mengetahui dan memahami muatan perubahan dalam undang- undang

mengenai Hukum Tata Usaha Negara

e. Mengetahui kompetensi pengadilan tata usaha Negara

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Tata Usaha Negara

Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah

aturan atau hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di suatu

negara. Hukum tersebut mengatur adanya tata pelaksanaan pemerintah dalam

suatu masa dalam menjalankan kewajibannya dan juga tugasnya. Hukum tata

usaha negara itu sendiri menitik beratkan kepada hal-hal yang terkait dengan

kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah. Untuk hukum

tata usaha negara sendiri terkadang orang kebingungan untuk

membedakannya dengan Hukum Tata Negara. Hukum tata negara sendiri

lebih fokus kepada hal mengenai konstitusi atau hukum dasar yang di

gunakan oleh suatu negara untuk mengatur suatu negara mengeluarkan

kebijakan pemerintah.

Apa yang di maksud dengan keputusan Tata Usaha Negara menurut

Udang-Undang No 5 tahun 1986 terdapat dalam pasal 1 angka 3 yang

menentukan bahwa keputusan Tata usaha Negara adalah suatu penetapan

tertulis yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang

berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Jika di urai, apa yang di maksud dengan Keputusan Tata Usaha

Negara tersebut, akan di temukan unsur-unsurnya sebagai berikut:

4
a. Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara.

b. Berisi tindakan hukum Tata Usaha negara

c. berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

d. Bersifat konkret, individual atau fnal

e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.

Rumusan unsur atau elemen diatas sebenarnya dituliskan dengan

muatan sama, hanya saja ada poin-poin tertentu yang dalam buku satu

dijadikan satu poin misal, poin A dalam buku Siti Soetami dijadikan dua poin

berbeda, sedangkan dalam buku Marbun poin itu digabungkan menjadi satu

kesatuan.

Penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa “istilah penetapan

tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan

yang di keluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Dengan

adanya penjelasan pasal 1angka 3 tersebut dapat di ketahui bahwa menurut

pengertian undang-undang Negara yang tidak tertulis, kecuali Keputusan Tata

Usaha Negara (KTUN). KTUN itu memang di haruskan tertulis, namun yang

di syaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan

pengangkatan dan sebagainya.

Sebab keputusan Tata Usaha Negara harus dengan bentuk tertulis.

Karena untuk memudahkan bagi kebijakan. Dari penjelasan pasal 1 angka 3

juga dapat diketahui bahwa formal suatu penetapan tertulis tidak menjadi

5
syarat mutlak agar suatu penetapan tertulis dapat disebut atau termasuk

Keputusan Tata Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3.

Oleh karena bentuk formal, tetapi pada “isi” dari suatu penetapan

tertulis yang di keluarkan oleh Badan atau pejabat Tata Usaha negara tidak

menjadi syarat mutlak agar penetapan tertulis tersebut dapat disebut atau

termasuk keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang di maksud dalam

pasal 1 angka 3, maka penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan lebih lanjut

bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara.

2.2. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara


Terjadinya peningkatan peranan pemerintah baik dalam makna

kuantitatif maupun kualitatif merupakan konsekuensi eksistensi sebuah

Negara Hukum berdasarkan teori Negara Hukum Modern. Manakala peranan

yang berwujud keterlibatan aktif Pemerintah untuk mengimbangi dinamika

perkembangan masyarakat menjadi pilihan, maka sebenarnya ide-ide

mengenai Pemerintah yang bersih, birokrasi yang efisien dan pemerintahan

berlandaskan hukum merupakan faktor-faktor yang inheren dengan pilihan

yang diambil.

Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan

sengketa antara Pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang

timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan Pemerintah yang

dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan

Peradilan Tata Usaha Negara adalah:

6
1) Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber

dari hak-hak individu.

2) Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang

didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup

dalam masyarakat tersebut.

Tujuan tersebut di atas, kemudian ditampung dalam Penjelasan

Umum Angka ke-1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara.

Peradilan Tata Usaha Negara tersebut diharapkan mampu nenegakkan

keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum, sehingga dapat

memberikan pengayoman kepada masyarakat, khususnya dalam hubungan

antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan masyarakat.

Adapun putusan-putusan yang dapat diambil oleh suatu badan

peradilan tata usaha negara dapat berupa:

a. Pembatalan suatu keputusan dari seorang pejabat tata usaha negara

yang melanggar salah satu keriterium tersebut di atas.

b. Koreksi terhadap suatu keputusan dari seseorang pejabat tata usaha

negara yang keliru.

c. Membetulkan interpresi yang keliru.

d. Memberi pentah pembayaran atau penagihan kepada seseorang pejabat

atau suatu instansi tata usaha negara.

7
e. Memerintahkan suatu tindakan disiplin kepada seorang pejabat atau

suatu istansi administrasi negara terhadap sesorang pegawai negeri

yang melakukan pelanggaran disiplin.

f. Penetapan suatu validitas (berlaku tidaknya) dari suatu dokument yang

dibuat/diterbitkan oleh suatu instansi tata usaha negara.

g. Membetulkan suatu prosedur atau metode pelaksanaan suatu undang-

undang yang melanggar salah satu kriteria tersebut diatas.

Jelaslah, bahwa Peradilan Hukum Tata Usaha Negara merupakan

salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang diberi tugas untuk

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha

negara, kecuali sengketa tata usaha di lingkungan militer atau angkatan

senjata, dan dalam soal-soal ini yang menurut ketentuan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 1953 dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1958 diperiksa,

diputus dan diselesaikan oleh peradilan militer, sedangkan tata usaha negara

lainnya yang menurut undang-undang ini tidak menjadi wewenang Perdilan

Tata Usaha Negara, diselesaikan oleh peradilan umum. Dengan demikian,

Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka memberikan

perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirinya dirugikan

akibat suatu keputusan tata usaha negara.

2.3. Sejarah Peradilan Tata Usaha Negara


Mengenai eksistensi lembaga peradilan tata usaha negara, mau tidak

mau kita harus melihat ke negara Perancis, suatu negara yang memuat fakta

sejarahnya merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini untuk pertama

8
kali. Peranan negara ini terasa sampai sekarang. Antara lain negara ini

berperan sebagai pemuka dalam. "association internationale of supreme

administrative jurrisditions". Sejarah kelahiran lembaga peradilan

administrasi di Pranscis ini dimulai sekitar tahun 1790, dengan undang-

undang tanggal 16 dan 24 agustus 1790, yang memberi fungsi kepada conseil

d'etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawasan (judiciil controle)

terhadap administrasi/ pemerintah dan lembaga peradilan untuk dilepaskan

wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi, dan

saat itulah dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang

mengakibatkan lahirnya sistem prancis tentang kontrol administrasi yang

dilakukan suatu peradilan administrasi yang bebas dan terpisah.

Pada mulanya pula lembaga conseil d'etat merupakan satu-satunya

lembaga peradilan administrasi dalam arti umum untuk seluruh Prancis, yang

berarti bahwasannya semua sengketa administratif diadili oleh conseild'etat

kecuali sengketa-sengketa secara tegas diserahkan penyelesaiannya kepada

badan-badan peradilan administrasi khusus lainnya. Akibatnya, beban

lembaga conseil d'etat tiap hari kian banyak, sehingga pada tahun 1953 saja

jumlah Perkara yang diajukan kepada lembaga ini mencapai 26.000 perkara,

yang mengakibatkan hal-hal tersebut justru sangat merugikan kepada semua

pihak, sehingga perlu jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai jalan

keluarnya pada tahun 1953 dibentuklah apa yang kita kenal sekarang sebagai

"tribunal administratif", yang kedudukan di daerah tersebut dan merupakan

lembaga peradilan administrasi dalam tingkat pertama.

9
Selanjutnya mengenai peradilan tata usaha negara di indonesia awal

mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya peradilan tata usaha

negara yakni dengan adanya undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang

peradilan tata usaha negara. Kemudian dilakukannya perubahan dengan

adanya undang-undang nomor 9 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-

undang nomor 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara. Selanjutnya

dilakukan Perubahan lagi dengan adanya undang-undang nomor 51 tahun

2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 5 tahun 1986

tentang peradilan tata usaha negara.

Mengenai konsep rancangan undang-undang hukum acara peradilan

tata usaha negara sebenarnya sudah lama dibicarakan bahkan pada tahun

1948 sudah dibicarakan tentang konsep rancangan hukum acara ini. Pada

waktu itu. "rencana undang-undang ini disusun oleh prof. Dr, Eirjono

projodikoro, SH., kira-kira pada tahun 1948 atas perintah menteri

kehakiman Drs. Susanto tirtoprodjo, SH di Yogyakarta sebelum ada

penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada penghabisan tahun 1949.

Pernah juga disusun rancangan undang-undang tentang peradilan tata

usaha negara yang dirumuskan dan dimatangkan oleh lembaga pembinaan

hukum nasional/ LPHN (sekarang badan pembinaan hukum nasional/ BHPN)

pada tanggal 10 januari 1966, dan dipublikasikan dalam penerbitan 1 LPHN

1967. Tetapi rancangan undang-undang tersebut belum sempat dimajukan

oleh pemerintah kepada DPR GR, oleh DPR pernah diusahakan sebagai

10
unsur inisiatif oleh DPR GR tahun 1967. Tetapi rancangan itu gagal tidak

dapat menyelesaikan.

Ditempat yang sama pernah juga dilaksanakan simposium dimana

dalam simposium tersebut membahas konsep naskah rancangan undang-

undang tentang peradilan tata usaha negara juga pernah dibahas dalam

simposium tentang peradilan tata usaha negara yang diselenggarakan oleh

badan pembinaan hukum nasional di jakarta tanggal 5-7 februari 1976.

Keinginan untuk segera membentuk perdilan tata usaha negara ini

dipertegas lagi dalam pidato kenegaraan presiden rebuplik indonesia,

soeharto, dihadapan sidang pleno DPR pada tanggal 16 agustus 1978 yang

isinya tentang mekanisme untuk meratakan keadilan, yaitu:

1. Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-cepatnya


2. Bantuan hukum untuk mereka yang kurang mampu
3. Segera akan dibentuknya peradilan tata usaha negara
Lebih lanjut presiden republik Indonesia (Bapak Soeharto) mengirim

surat kepada pemimpin dewan perwakilan rakyat republik indonesia di

Jakarta dengan nomor: R.07/ PU / V / 1982, tanggal 13 mei 1982 perihal

rancangan undang-undang tentang peradilan dalam lingkungan peradilan tata

usaha negara. Dimana isi surat tersebut pada pokoknya “untuk mohon

dibicarakan dalam sidang dewan perwakilan rakyat guna mendapatkan

persetujuan pada sidang 1981-1982. Selanjutnya untuk keperluan

pembicaraan dalam persidangan mengenai rancangan undang-undang

tersebut, kami persilahkan saudara menghubungi saudara menteri

kehakiman” dan dalam surat tersebut tembusanya disampaikan kepada wakil

11
presiden, ketua mahkamah agung dan menteri kehakiman13. Selanjutnya

pada tahun 1986 pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tersebut

kepada DPR dan pada waktu itu DPR menyetujui.

Pada tanggal 29 Desember 1986 disahkan undang-undang nomor 5

tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara lembaran negara republik

indonesia tahun 1986 nomor 7 dan di undangkan di Jakarta pada tanggal 29

desember 1986 oleh menteri sekretaris negara republik indonesia

(Sudharmono SH).

Dengan disahkanya undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang

peradilan tata usaha negara, maka ada angin segar tentang pembekuan

peradilan tata usaha negara di Indonesia waktu itu. Sejak mulai efektif

diopersikan undang-undang tersebut pada tanggal 14 januari 1991

berdasarkan peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1986 tentang peradilan tata

usaha negara, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikan tiga pengdilan

tinngi tata usaha negra (PTTUN) dijakarta, medan, dan ujung pandang. Serta

lima pengadilan tata usaha negara (PTUN) di jakrta, medan, palembang,

surabaya, dan ujung pandang maka sejak itu terbentuklah pengadilan tata

usaha negara di indonesia.

Kemudian seiring dengan perkembangan dan kebutuhan maka

semakin banyak pula dibentuk pengadilan dikota-kota lainya (Seperti di

pengadilan tata usaha negara (PTUN) di seluruh ibukota provinsi sebagai

pengadilan tingkat pertama, dan juga banyak pula dibentuk pengadilan tinggi

tta usaha). Sedangkan mengenai susunan pengadilan tata usaha negara terdiri

12
atas pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pimpinan pengadilan

terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua. Sedangkan hakim anggota

pada pengadilan tinngi tata usaha negara adalah hakim tinggi.

UU No 5 Tahun 1986 perlu di ganti :

Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan yakni, Undang-Undang No 5 Tahun 1986 Tentang PTUN,

selanjutnya mengalami perubahan pertama dirubah dengan Undang-Undang

No 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal itu dilakukan untuk

memenuhi syarat untuk menjadikan lembaga PTUN yang professional guna

menjalankan fungsinya melalui kontrol yudisialnya. Dalam praktek kemudian

ternyata Undang-Undang No 5 tahun 1986 tersebut, ternyata masih banyak

kekurangan. Kekurangan tersebut antara lain sering tidak dipatuhi putusan

PTUN oleh pejabat. Hal itu disebabkan tidak adanya lembaga eksekutor dan

juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yang menyebabkan

inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan

peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel

van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi

pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid

van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi

kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas.

Untuk mengatasi kekuarangan-kekurangan yang ada di UU No 5

tahun 1986 tersebut, pemerintah bersama-sama dengan lembaga legislatif

13
berinisiatif melakukan perubahan beberapa substansi undang-undang

tersebut. Adanya perubahan pertama UU No 9 Tahun 2004 diharapkan dapat

memperkuat eksistensi PTUN. Kenyataaan yang terjadi walaupun sudah

dilakukan perubahan terhadap UU No 5 tahun 1986, dengan hadirnya UU No

9 Tahun 2004 ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme

publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara

paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan

prosedur dalam UU No 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat

tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya

paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Lemah

dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara. Untuk itu pemerintah dan

pihak lembaga legislatif mengeluarkan perubahan kedua dari UU No 5 tahun

1986 yakni dengan perubahan kedua lewat UU No 51 tahun 2009.

Makna Perubahan Undang-Undang TUN Maksud perubahan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2004 antara lain sebagai berikut:

1. Hal yang utama yakni dari segi penguatan pengawasan hakim, baik

pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan

eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial,

serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim.

2. Berikut menyangkut persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim

pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan

14
Tinggi Tata Usaha Negara yakni antara lain proses seleksi hakim yang

transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus melalui proses yang

ketat.

3. Adanya pengadilan khusus dan hakim ad hoc.

4. Persyaratan mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian

hakim.

5. Adanya usaha peningkatan kesejahteraan hakim.

6. Transparansi dan akuntabilitas putusan.

7. Waktu pemberian salinan putusan;

8. Kejelasan biaya perkara dan pengelolaan serta

pertanggungjawabannya.

9. Prosedur bantuan hukum

Berdasarkan poin-poin tersebut, dapat dikatakan bahwa perubahan ini

pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa. Selain itu makna

perubahan ini tidak lain melakukan penataan sistem peradilan (peradilan satu

atap), terlebih pengadilan tata usaha negara yang secara konstitusional di

bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tata usaha negara tingkat terakhir.

Indonesia sebagai negara hukum dan memiliki peradilan administrasi

untuk mendukung terwujudnya cita-cita rechtstaats. UU No 5 Tahun 1986

menjadi dasar awal munculnya peradilan administrasi di Indonesia yang

dikenal dengan UU Peradilan Tata Usaha Negara. UU ini sudah

15
disempurnakan dua kali yakni dengan UU No 9 Tahun 2004 dan UU No. 51

Tahun 2009. Terkait dengan pelaksanaan putusan peradilan administrasi

dalam UU PTUN telah diubah juga selama tiga kali, pengaturannya sendiri

diatur dalam Pasal 116.

2.4. Muatan Perubahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 Atas UU Nomor 9

Tahun 2004

Dalam penyesuaiannya, UU Nomer 5 Tahun 1986, terdapat beberapa

perubahan dengan UU N OMOR 9 Tahun 2004 dengan perincian sebagai

berikut:

 Perubahan pada pasal 2, pasal 4, pasal 6, pasal 7, pasal 12 – 22, pasal

26, pasal 28- 38, pasal 42, pasal 44 – 46, pasal 53, pasal 116.

 Penambahan pasal 9A sampai dengan pasal 39E, pasal 143A.

 Penghapusan pasal 118

 Penggantian pada penjelasan Umum yang menyebut “Pemerintah”

menjadi “Ketua Mahkama Agung”.

Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari UU Nomor 5 Tahun 1986 telah

mengeluarkan:

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan

Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.

Keputusan Mentri Keungan RI Nomor 1129/KKM.01/1001 tentang

Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha

Negara.

16
Atas dasar ketentuan yang terdapat dalam pasal 32 ayat 4 UU Nomor

14 Tahun 1985, MA telah mengeluarkan beberapa petunjuk, salah satunya

“Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk

Pelaksanaan beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1986 tentan

HTUN”.

Salah satu aspek terpenting dalam revisi Undang-Undang tersebut

ialah dalam muatan Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya

pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang

kekuasaan kehakiman, termaksud perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986.

Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam

usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas

dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan

kehakiman yang telah dilakukan adalah dengan disahkannya Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai

17
pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Sehubungan dengan hal tersebut

telah diubah pula Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung perlu pula dilakukan

perubahan. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara telah meletakkan dasar kebijakan bahwa

segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknis yudisial

maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di

bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan tersebut bersumber dari

kebijakan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dikehendaki oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan penting

lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara antara lain sebagai berikut :

 Ketentuan syarat menjadi hakim dalam pengadilan di lingkungan

peradilan Tata Usaha Negara.

 Batasan umur pengangkatan seorang hakim dan pemberhentian hakim.

18
 Peraturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim.

 Pengaturan tentang pengawasan terhadap hakim.

 Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak

ketiga dalam suatu perkara sengketa.

 Pemberian sanksi terhadap pejabat karena tidak dilaksanakannya

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk menyesuaikan

terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

2.5. Muatan Perubahan dalam UU Nomor 9 Tahun 2004 Atas UU Nomor 51

Tahun 2009

Penyempurnaan atas pengaturan UU Nomor 5 Tahun 1986 terus

dilakukan, UU Nomor 51 Tahun 2009 merupakan kali kedua revisi atas

undang-undang tersebut, sehingga pelaksanaan putusan dapat berjalan

efektif.

Menitik beratkan pada kekuasaan kehakiman, UUD 45 telah

mengatur secara jelas bahwasannya kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

19
Landasan diatas menjadikan perlu ditinjaunya kembali segala UU

yang berkenaan langsung dengan kekuasaan kehakiman, sehingga

berdasarkan perihal tersebut perlu adanya perubahan mengenai segala

perundang-undangan kekuasaan kehakiman. Tujuannya tak lain untuk

menguatkan menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan salah

satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung. Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ini,

meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata

Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu

urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Perubahan lain yang cukup penting atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:

 Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh

Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim

yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

20
 Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada

Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang

dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus

melalui proses atau lulus pendidikan hakim.

 Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.

 Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian

hakim.

 Kesejahteraan hakim.

 Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan.

 Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan

pertanggung jawaban biaya perkara.

 Bantuan hukum.

 Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah upaya untuk mewujudkan

penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang

bersih serta berwibawa, dengan melalui penataan sistem peradilan

berdasarkan peraturan yang signifikan. Terlebih pengadilan tata usaha

negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di

21
bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa,

mengadili dan memutus perkara tata usaha Negara.

Kemudian dalam keberlangsungannya, Undang-Undang Nomor 51

tahun 2009 dilakukan uji materi oleh MK atas permohonan Iwan

Kurniawan, S.H. sehingga MK memberikan putusan melakukan

Pencabutan terhadap UU No. 51 Tahun 2009 yang dilakukan oleh

Mahkama Konstitusi karna adanya permohonan Pengujian Pasal 1 butir 3,

Pasal 77 ayat (1), dan Pasal 109 ayat (3) Undang Undang Nomor 5 Tahun

1986 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan

diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara, serta Pasal 226 ayat (1) Undang Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945. Bahwa NOP a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon,

yaitu:

1. Hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil

sebagaimana yang dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

2. Hak mendapat kemudahan untuk memperoleh keadilan sebagaimana

dimaksud Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Sebab, Pasal 1 butir 3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah kembali

dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN) (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 77

22
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344) bersifat meluas dan multi tafsir,

sehingga mencakup atau memasukkan Sertipikat Hak (Milik) atas tanah

sebagai obyek pemeriksaan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Padahal,

sengketa pembatalan Sertipikat Hak (Milik) atas tanah tidak pernah berdiri

sendiri sebagai sengketa yang hanya menyangkut kewenangan dan prosedur

penerbitannya an sich, tapi pasti memiliki substansi sebagai sengketa hak

atas tanah yang menurut sistem peradilan masuk kewenangan absolut

peradilan umum (Pengadilan Negeri). Karenanya, sengketa hak atas tanah

dapat diadili oleh dua pengadilan yang berbeda baik secara paralel maupun

secara berlanjut (voorgezette), yaitu PTUN dan Pengadilan

Negeri. Akibatnya, terbuka peluang munculnya dua putusan pengadilan

yang saling bertentangan antara putusan PTUN dan putusan Pengadilan

Negeri yang secara niscaya memunculkan ketidak pastian hukum.

2.6. Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara

Untuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai sub sistem

dari sistem peradilan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 5

tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah

terakhir dengan Undang-Undang RI Nomor 51 tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun) dalam Pasal 47 mengatur tentang

kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam sistem peradilan

di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Kewenangan Pengadilan untuk

23
menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan

kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili.

Menurut Sjachran Basah, istilah kompetensi berasal dari bahasa

Latin “competentia” yang berarti “hetgeen aan lemand toekomt” yang

artinya apa yang menjadi wewenang seseorang. Dalam bahasa Indonesia

sering istilah kompetensi diterjemhkan sebagai kewenangan, kekuasaan atau

hak, yang dikatkan dengan badan yang menjalankan keuasaan di bidang

kehakiman, sehingga kekuasaan itu menjadi competere.

Kompetensi dalam KBBI adalah kewenangan (keuasaan) untuk

menentukan (memutuskan sesuatu). Kompetensi dari suatu pengadilan untuk

memeriksa, mengadili dan mumutus suatu perkara berkaitan dengan jenis

tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Sjachran Basah menyatakan bahwa kompetensi merupakan

pemberian kekuasaan, kewenangan atau hak kepada badan dan atau

pengadilan yang melakukan tugas atau fungsi di bidang peradilan.

Pentingnya kompetensi dalam hubungannya dengan kekuasaan atau

kewenangan suatu badan pengadilan, adalah untuk mengetahui berwenang

atau tidak suatu badab pengadilan mengadili dan memutus suatu perkara

atau sengketa yang diajukan kepadanya.

Kekuasaan dan atau kewenangan mengadili suatu badan peradilan

atau pengadilan dilihat dari segi jenis operkara danatau obyek sengketa serta

yuridiksi atau wilayah hukum suatu pengadilan, dapat dibedakan kedalam

24
dua bagian, yaitu kekuasaan atau kewenangan absolut dan kewenangan

relatif. Menurut Sjachran Basa, kompetensi pengadilan ada dua macam

sebagai berikut :

a. Absolut

Berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat

(absolut) mengenai materinya atau pokok sengketa, yang dapat

dibedakan secara horizontal dan vertikal sebagai berikut :

1) Secara horizontal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang

melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan

lainnya, yang mempunyai kedudukan yang sederajat, misalnya

antara pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Negeri.

2) Secara vertikal, merupakan wewenang yang bersifat bulat yang

melekat dari suatu jenis pengadilan yang secara berjenjang atau

hirarki mempunyai kedudukan lebih tinggi, misalnya Pengadilan

Tata Usaha Negara dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

dan Mahkamah Agung.

b. Relatif

Berkaitan dengan pembagian wewengan, yang bersifat

terperinci (relatif) diantara badan-badan yang sejenis mengenai

wilayah hukum, misalnya Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar

dengan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan atau Jakarta.

Umumnya telah disepakati bahwa menganai kompetensi atau

wewenang suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili

25
suatu perkara dibedakan atas kompetensi absulut dan kompetensi

relatif, maka demikan pula halnya dengan Pengadilan Tata Usaha

Negara sebagai salah satu badan peradilan yang menjalankan fungsi di

bidang kekuasaan kehakiman di Indonesia. Berdasarkan penjelasan

UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor

5 Tahun 1986 bahwa pengadilan tata usaha negara secara

konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah

Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa,

mengadili, dan memutus perkara atau sengketa tata usaha negara.

Dalam kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara diatur

dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5

Tahun 1986 Pada Pasal 6 ayat (1) dinyatakan kedudukan Pengadilan

Tata Usaha Negara berada di Ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah

hukumya meliputi wilayah Kapubaten/Kota. Pengadilan Tata Usaha

Negara merupakan Pengadilan tingkat pertama (pasal 8 UU no 5 tahun

1986 angka a) dan dibentuk dengan keputusan presiden (pasal 9).

Pasal 1 angka 10 UU Nomor 51 Tahun 2009 menjelaskan

tentang pengertian sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang

timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum

perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat

maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputisan tata usaha

negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undannngan.

26
Adapun obyek sengketa tersebut adalah keputusan tata usaha

negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan

atau pejabat tata usah negara yang berisi tindakan hukum tata usaha

negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat

hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Isi Pasal-Pasal dalam UU Nomor 51 Tahun 2009 berkaitan

dengan pengadilan.

Subyek sengketa yaitu penggugat dan tergugat.


 Pada Pasal 144C

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan

hukum

(2) Negara menanggung biaya pekara bagi pencari keadilan yang tidak

mampu

(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana pada ayat (2) harus

melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat

domisili yang bersangkutan

 Pasal 144D

(1) Pada setiap pengadilan tata usaha negara dibentuk pos bantuan

hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh

bantuan hukum.

27
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan

secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan

terhadap perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.

Penjelasan pada ayat (2) terkait “Bantuan hukum secara cuma-

cuma” adalah bantuan hukum yang diberikan sampai pada eksekusi

putusan

 Pasal 51 A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk

memperolerh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya

perkara dalam proses persidangan.

(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putisan kepada para pihak

dalam jangka waktu paling lambat 14 hari kerja sejak putusan

diucapkan.

(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana

dimaksudkan pada ayat (1) dan (2), ketua pengadilan dikenai sanksi

sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan-undangan.

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1) Pengertian Hukum Tata usaha Negara bisa di artikan sebagai sebuah

aturan atau hukum yang mengatur mengenai jalannya administrasi di

suatu negara. Hukum tersebut mengatur adanya tata pelaksanaan

pemerintah dalam suatu masa dalam menjalankan kewajibannya dan

juga tugasnya. Hukum tata usaha negara itu sendiri menitik beratkan

kepada hal-hal yang terkait dengan kebijakan-kebijakan yang

dikeluarkan oleh sebuah pemerintah.

2) Tujuan peradilan Tata Usaha Negara adalah memberikan perlindungan

terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu,

serta memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang

didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup

dalam masyarakat tersebut.

3) Sejarah mengenai adanya HTUN di Indonesia berkiblat pada Prancis,

yang kemudian diatur oleh UU Nomor 5 Tahun 1986 dan direvisi

sebanyak dua kali.

Dalam penyesuaiannya, UU Nomer 5 Tahun 1986, terdapat

beberapa perubahan dengan UU N OMOR 9 Tahun 2004 dengan

perincian sebagai berikut:

29
a. Perubahan pada pasal 2, pasal 4, pasal 6, pasal 7, pasal 12 – 22,

pasal 26, pasal 28- 38, pasal 42, pasal 44 – 46, pasal 53, pasal

116.

b. Penambahan pasal 9A sampai dengan pasal 39E, pasal 143A.

c. Penghapusan pasal 118

d. Penggantian pada penjelasan Umum yang menyebut

“Pemerintah” menjadi “Ketua Mahkama Agung”

4) Muatan perubahan kedua atas UU Nomor 5 Tahun 1986 ini, penulis

Menitik beratkan pada kekuasaan kehakiman, UUD 45 telah mengatur

secara jelas bahwasannya kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

5) Kompetensi Peradilan disebut dalam dua pembagian oleh pakar

humum yaitu relatif dan absolut.

30
DAFTAR PUSTAKA

Franciska Romana H. & Sunarya R. Jurnal, Mimbar Hukum Vol. 26, Nomor 2,
Juni 2014.
Soetami, Siti. 2001. Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: Refika
Aditma.
SF Mrbun. 2003. Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: LIBERTY.
R. Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar
Grafika.
Tjandra, W. Riawan. 1999. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Situmorang, Victor. 1992. Pokok-Pokok Peradilan Tata
Usaha Negara. Jakarta: Rineka Cipta.
Yanto, Nur. 2015. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Mitra
Wacana.
Wantu, Force M. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Gorontalo:
UNG Press.
Wijaya, Adhy. Analisis Perbandingan Perubahan Antara UU No. 5 Tahun 1986,
UU No. 9 Tahun 2009, dan UU No. 51 Tahun 2009.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-IX/2011
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 5, Nomor 1, Maret 2016: 136 – 137
Qamar, Nurul. 2011. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara. Makassar: Pustaka Refleksi.
Tim Permata Press, Undang-Undang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Panjaitan, Bernat. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) Pada
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Jurnal Ilmiah “Advokasi”.
Vol.03.No.02, September 2015.

31

Anda mungkin juga menyukai