Anda di halaman 1dari 24

REFLEKSI PERILAKU AUDITOR MELAKUKAN ETIKA PROFESI

DENGAN MEMAKNAI FILOSOFI JAWA OJO DUMEH, ELING LAN


WASPODO

PROPOSAL PENELITIAN

Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah Metodologi Penelitian Non-Positif

Oleh:

Fitri Andriani
196020300111016

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
BAB I

KETERKAITAN FILOSOFI JAWA DAN ETIKA AKUNTAN

1. Latar Belakang

Etika menjadi sorotan yang penting dan menarik seiring dengan


berkembangnya waktu. Perilaku etis dan perilaku yang tidak etis selalu
berhubungan dengan etika. Perilaku tidak etis dapat menjadikan seseorang menjadi
individu yang ke arah lebih buruk dan dapat pula merugikan masyarakat
disekitarnya. Kerugian yang dapat dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh
perilaku tidak etis bisa dibilang tidak sedikit, namun sebenarnya apabila ditinjau
jauh lebih dalam justru yang merasakan dampak kerugian terbesar adalah seseorang
yang melakukan perilaku tidak etis itu sendiri. Tindakan yang melanggar etika
secara berulang kali dapat mengakibatkan kecenderungan untuk biasa dalam
melakukan suatu kebohongan atau memutarbalikkan fakta, akibatnya moral yang
dimiliki lambat laun menjadi makin merosot. Kebohongan yang dilakukan terus-
menerus akan menjadi sia-sia pada waktunya, karena sekali berbohong pasti akan
sibuk menutupi kebohongan tersebut dengan kebohongan lainnya. Seberapa besar
usaha untuk menutupi kebohongan, pasti dikemudian hari akan terungkap juga.
Seperti diketahui ada pepatah yang mengatakan “sepandai-pandainya tupai
melompat, pasti akan jatuh juga”.

Etika merupakan sebuah aturan mengikat secara moral hubungan manusia


yang dapat dituangkan dalam aturan hukum, pedoman maupun etika profesional.
Beberapa ahli filsafat memandang bahwa moralitas adalah sebagai hukum benar
salah yang dapat terkait dengan nilai dan perilaku manusia. Etika dan moral
merupakan ilmu dalam bidang filsafat dan psikologi yang digunakan dalam dunia
bisnis dan profesi akuntan.

Kasus mengenai perilaku tidak etis di Indonesia akhir-akhir ini kian


merajalela. Salah satu bentuk perilaku yang sudah sangat banyak ada di negeri ini
yaitu korupsi. Korupsi merupakan suatu tidakan tidak etis karena apa yang diambil
dari korupsi dapat di ibaratkan sebagai barang curian. Berbagai macam profesi telah
banyak melakukan korupsi dengan tujuan untuk mensejahterakan diri sendiri
dengan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Salah satu jenis profesi
yang berkembang cukup pesat di Indonesia adalah akuntan pubik yang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan profesi sebagai akuntan publik
sangat mungkin untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan etika untuk
memenuhi kepentingan pribadi.

Dalam kode etik profesional sebagai bagian dari hubungan khusus antara
anggota profesi dan klien mereka. Praktisi profesional tidak akan menjauhi orang-
orang yang mereka layani. Para klien harus mempercayai para profesional tersebut
berdasarkan perilaku etis mereka. Kepercayaan akan semakin meningkat apabila
para profesional dapat melayani klien dengan jujur, rajin, serta berperilaku etis
sesuai aturan yang telah ditetapkan. Kepercayaan juga akan meningkat apabila
organisasi yang membutuhkan jasa profesional telah yakin bahwa para profesional
yang melanggar kode etik mereka akan dikenakan sanksi. Jadi setiap profesi
apapun, kode etik yang ditetapkan oleh lembaga profesional akan menambah nilai
bagi profesi yang bersangkutan (Sawyer,2005).

Akuntan publik dalam perusahaan sektor swasta ataupun sektor publik


merupakan suatu profesi yang telah diakui memiliki andil besar dalam hal keuangan
perusahaan, maka dari itu akuntan publik dapat dikatakan rentan terhadap perilaku
yang tidak etis. Contohnya dalam melakukan audit membutuhkan pengabdian yang
besar terhadap masyarakat serta dibarengi dengan komitmen moral yang tinggi.
Masyarakat selalu menuntut untuk memperoleh jasa auditor publik dengan standar
kualitas yang tinggi sehingga menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Dari situlah mengapa profesi auditor menetapkan standar teknis dan standar etika
yang harus dapat dijadikan sebuah panduan oleh para auditor dalam melaksanakan
audit.

Akuntabilitas dan transparansi manajemen menjadi tuntutan publik, karena


hal tersebut akan membawa pengaruh besar untuk informasi yang akan di
sampaikan. Laporan keuangan merupakan informasi akuntansi yang bersifat
mutlak. Penggunaan laporan keuangan menginginkan adanya laporan keuangan
yang andal dan dapat dijadikan dasar dalam pembuatan suatu keputusan yang tepat.
Dalam menilai keandalan sebuah laporan keuangan yang telah dibuat oleh
manajemen, sangat di perlukan pengawasan secara independen terhadap kinerja
pertanggungjawaban bisnis dengan menunjuk auditor eksternal yang dilakukan
oleh komite audit perusahaan yang bersangkutan. Peran auditor untuk menilai
tingkat kepatuhan laporan keuangan perusahaan sering dianggap sebagai seseorang
yang paham dengan semua masalah yang terjadi dalam suatu perusahaan

Para pengguna laporan keuangan secara tidak sadar terlalu mempercayakan


pada peran seorang akuntan publik, dari masalah yang terkait ataupun masalah yang
tidak terkait dengan isi di dalam laporan keuangan. Kredibilitas laporan keuangan
mempunyai relevansi dengan keberadaan laporan keuangan, khususnya terkait
dengan pendeteksian adanya tidak kecurangan (Sidani,2007). Auditor juga
merupakan seorang manusia dengan segala kekurangan seta keterbatasannya.
Namun publik mengharapkan peran yang lebih besar dari seorang auditor. Sehingga
memunculkan celah antara peran yang dipersepsikan pengguna laporan keuangan
dengan auditor.

Kasus-kasus perilaku tidak etis akuntan publik secara global dapat dilihat
seperti kasus Enron dan Worldcom yang sempat menjadi sorotan dalam dunia
akuntan. Enron dan Worldcom merupakan salah satu perusahaan terbesar di
Amerika dan kedua perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan beserta skandal-
skandal yang telah terjadi. Keserakahan merupakan perwujudan dari perilaku tidak
etis yang terjadi di dalam kasus tersebut. Keserakahan tersebut berimplikasi negatif
bagi banyak pihak, salah satunya yaitu terhadap citra pekerjaan dalam akuntan itu
sendiri. Di Indonesia juga terdapat kasus yang serupa yaitu kasus Kimia Farma
dimana etika akuntan publik juga menjadi sorotan.

Di dalam maupun di luar negri ternyata akuntan dalam melakukan


pekerjaannya tidak dapat terlepas dari permasalahan etika. Dari permasalahan etika
tersebut, maka IAI menerbitkan kode etik IAI. Menurut IAI, “Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota,
baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha,
pada instansi pemerintah, maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam
pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.” Di dalam kode etik IAI terdapat
prinsip akuntan, aturan etika akuntan, dan interpretasi aturan etika akuntan.

Prinsip etika akuntan adalah prinsip yang harus ditaati oleh semua anggota
IAI. Prinsip etika akuntan dapat memberikan kerangka dasar bagi aturan etika yang
mengatur pelaksanaa pemberian jasa profesional oleh anggota. Terdapat 8 prinsip
etika, yaitu:

1. Tanggung Jawab Profesi


2. Kepentingan Publik
3. Integritas
4. Objektivitas
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku Profesional
8. Standar Etika

Aturan etika akuntan hanya dapat mengikat anggota kompartemen yang


mengesahkan etika tersebut. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik
merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik
Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip
Etika yang ditetapkan oleh IAI. Berikut ini Aturan Etika Kompartemen Akuntan
Publik :

1. Independensi
Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu
mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa
professional sebagaimana diatur dalam standar profesional akuntan
publik yang ditetapkan oleh IAI.
2. Integritas dan Objektivitas
Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus mempertahankan
integritas dan objektivitas , harus bebas dari benturan kepentingan dan
tidak boleh membiarkan faktor salah saji material.
Selanjutnya adalah interpretasi aturan etika akuntan yaitu interpretasi yang
dikeluarkan pengurus kompartemen untuk menanggapi anggota-anggota dan pihak-
pihak yang berkepentingan tanpa membatasi lingkup dan penerapannya.

Penyimpangan etika yang dilakukan oleh akuntan publik akhir-akhir ini


masih banyak ditemukan di lapangan, meskipun telah terdapat kode etik IAI.
Sebagai contoh beberapa nama akuntan yang melakukan tindak penyimpangan,
yaitu Miranda Swaray Gultom dan Tomy Hendratmo yang namanya mencuat di
berbagai media nasional. Kedudukan dalam pekerjaan yang mereka miliki
memunculkan kesempatan atau celah dalam melakukan tindak perilaku tidak etis.

Penelitian tentang mengapa akuntan berbuat tidak etis telah dilakukan


sebelumnya.

Ludigdo dalam pidato pengukuhan Guru Besar (2012) menyatakan:

Munculnya tokoh-tokoh akuntan dalam berbagai posisi penting di


lembaga pemerintahan dan lembaga tinggi negara, ternyata masih diikuti
oleh terjadi penyimpangan perilaku dari sebagian akuntan lainnya.
Mereka sangat permisif dan toleran terhadap pelanggaran moral dan
hukum, serta kemudian menjadi the black public figure. Sekedar sebagai
contoh, munculnya sosok Gayus H. Tambunan (kasusnya mencuat tahun
2011 dan sampai saat ini masih dalam proses peradilan) serta kemudian
mencuatnya nama Dhana Widyatmika di berbagai media nasional di awal
tahun 2012 dalam kasus perpajakan, seakan mengisi kembali episode
buruk dunia profesi akuntan di Indonesia.

Penelitian Ludigdo dan Kamayani (2012) juga mencoba memahami


mengapa banyak akuntan berperilaku tidak etis berdasarkan perspektif budaya.
Budaya merupakan sebuah nilai yang dibawa oleh suatu bangsa. Indonesia
memiliki nilai yang tercermin di dalam Pancasila dan bangsa lain tentunya juga
memiliki cerminan nilai tersendiri. Pengaplikasian aturan yang sama untuk di
berbagai negara yang telah mempunyai nilai-nilai budayanya sendiri dianggap
kurang sesuai dan dapat mengakibatkan kencenderungan untuk melakukan perilaku
tidak etis.
Jika dicermati dan diperhatikan lebih dalam, masing-masing nama koruptor
yang telah disebutkan tadi memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Seperti
Miranda Swaray Gultom yang berasal dari Medan dan Tomy Hendratmo yang
berasal dari Jawa. Kedua latar belakang budaya yang dimiliki orang-orang tersebut
merupakan budaya yang unik dan bisa di bilang paling mendominasi di Indonesia.
Hal ini menjadi menarik untuk di bahas karena dapat memunculkan pertanyaan:
apakah mungkin terjadi keterkaitan antara etika dan budaya?

Masyarakat Indonesia sering melakukan stereotyping budaya. Khan et al.,


(2012) menyatakan bahwa “streotypes are seen as a heuristic that allows us to
simplify our world and from quick judgments about other people based upon theur
group membership”. Penilaian cepat tentang orang lain dapat dilakukan manusia
melalui stereotip berdasarkan keanggotaan kelompok. Untuk melihat dunia secara
keseluruhan cenderung dilakukan secara sederhana melalui penilaian cepat
tersebut. Suatu individu tidak dapat sekaligus mengalami dua peristiwa yang
berbeda dalam tempat yang berbeda secara bersamaan. Maka dari itu manusia
menyandarkan pada komentar orang lain untuk memperkaya pengetahuannya
tentang lingkungan disekitarnya. Bangsa Indonesia memiliki keberagaman budaya
sehingga stereotyping antar budaya satu dengan lainnya sudah sering dilakukan
tanpa disadari oleh sesama manusia.

Lingkungan dan masyarakat berpengaruh besar terhadap pembentukan


nilai-nilai yang mengatur kehidupan, dan perlu diketahui manusia diciptakan hidup
didunia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Di dalam sebuah
budaya terdapat nilai-nilai etika, norma, sopan santun, dan tata krama. Oleh sebab
itu nilai-nilai tersebut sangat erat kaitannya dengan warisan budaya.

Warisan budaya adalah kekuatan yang hebat. Mereka memiliki akar yang
dalam dan hidup yang panjang. Mereka bertahan dari generasi ke generasi
selanjutnya, terus tertanam, bahkan saat kondisi ekonomi, sosial, dan demografi
yang menyelimuti mereka telah hilang dan mereka memainkan peranan penting
untuk mengarahkan sikap dan perilakunya, sehingga kita tidak bisa memahami
dunia tanpa mereka (Gladwell, 2009).
Warisan budaya terasa masih begitu kental dalam masyarakat di Indonesia.
Menurut Suseno (2003: 38) dalam studinya tentang Etika Jawa menyebutkan
tentang etika masyarakat Jawa tentang prinsip rukun dan hormat. Kedua prinsip itu
dianggap melandasi nilai-nilai Jawa. Salah satunya sifat gotong royong yang dapat
muncul dari dua prinsip utama etika sosial. Suatu karakter budaya yang terbentuk
dari sifat gotong royong yang melekat di dalam masyarakat Jawa. Ketika dalam
dunia kerja dan menerapkan sifat gotong royong belum tentu hal tersebut dianggap
etis sesuai kode etik profesi, namun di dalam kehidupan bermasyarakat sifat gotong
royong dianggap sebagai suatu yang bersifat etis. Karakter gotong royong ketika
masuk ke dalam profesi akuntan malah cenderung dapat memberikan celah untuk
melakukan perilaku tidak etis contohnya dalam melakukan tindak korupsi.
Tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan kode etik Ikatan Akuntansi
Indonesia yang di dalamnya terdapat aturan serta panduan bagi seluruh anggota,
baik yang berpraktik sebagai akuntan pubik, bekerja di lingkungan usaha, instansi
pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung
jawab pekerjaannya.

Dalam filosofi Jawa terdapat istilah yang sudah sering kita dengar yaitu ojo
dumeh, eling lan waspodo. Prinsip ini dapat dijadikan sebagai bekal manusia dalam
menghadapi ujian dan perjuangan hidup. Prinsip ini layak dijadikan pedoman
karena merupakan salah satu sarana penting untuk melakukan pencegahan terhadap
kecerobohan dan kelalaian yang sering manusia lakukan. Manusia akan dapat
menyadari, memahami, dan dapat lebih mudah mentaati semua kaidah agama, budi
pekerti, serta beragam aturan ditengah kehidupan manusia. Filosofi ojo dumeh
kurang lebih maksudnya “jangan mentang-mentang”, artinya sebagai manusia tidak
boleh memiliki sifat yang mudah merasa tinggi di hadapan orang lain. Berpedoman
prinsip ojo dumeh ini diharapkan manusia mampu terhindar dari beberapa penyakit
hati dan perilaku tercela. Contohnya ketika manusia memiliki harta banyak yang
tidak dimiliki oleh kebanyakan orang maka akan menimbulkan sikap sombong dan
merasa semua hal dapat dibeli dengan uang.

Untuk filosofi eling lan waspodo dapat dimaksudkan bahwa sebagai


manusia harus bersikap eling yaitu selalu ingat atau insyaf dalam segala keadaan.
Dengan berpedoman pada filosofi tersebut diharapkan manusia dapat selalu ingat
pada kesalahan, kekurangan, dosa-dosa dan pelanggaran yang telah dilakukan agar
manusia tidak merasa sombong di hadapan-Nya, melainkan dengan penuh
kerendahan hati dan selalu berharap pada karunia dan ampunan-Nya. Dengan sikap
eling, manusia juga dituntut untuk selalu waspodo. Waspada merupakan bentuk
kehati-hatian sebagai manusia yag paling besar manfaatnya bagi lingkungan dan
masyarakat. Waspada juga berarti berhati-hati dalam semua sikap dan tingkah laku.
Sebagai manusia dituntut mampu membedakan dengan jelas dan terang, mana yang
merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan Tuhan. Dengan modal
kewaspadaan diharapkan manusia akan selamat dalam perjalanan hidup ini.

Prinsip ojo dumeh dan eling lan waspodo ini harus dipahami secara utuh.
Kedua prinsip ini dianggap sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan karena jika
keberadaan atau ketiadaan salah satunya akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Singkatnya dengan prinsip ojo dumeh, eling lan waspodo ini manusia diharapkan
lebih mampu menjadi pribadi yang pasrah dan yakin pada kekuasaan Tuhan, serta
hati-hati dan bijaksana ditengah manusia lain. Diharapkan dengan prinsip itu
manusia akan mampu menjadi pribadi yang tawadhu’ dan “bisa merasa” dan bukan
sebaliknya menjadi manusia yang sombong, mentang-mentang “merasa bisa”.

Keterkaitan filosofi ojo dumeh, eling lan waspodo dengan etika profesi
akuntan publik yaitu sebagai auditor tidak boleh memiliki sikap tinggi hati atau
mentang-mentang karena sudah merasa bahwa dirinya memiliki pengalaman yang
sudah sangat banyak dalam mengaudit laporan keuangan sehingga meredupkan
tingkat sensitivitas dalam mengaudit laporan keuangan. Padahal sebagai seorang
auditor harus tetap memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dalam mengaudit
laporan keuangan karena mendeteksi kecurangan dibutuhkan ketelitian yang tinggi.
Akuntan publik atau auditor harus menanamkan sifat eling atau tidak lupa diri
dalam segala keadaan artinya ketika menjalankan tugas profesionalnya harus selalu
ingat bahwa ketika akan berniat melakukan pelanggaran kode etik meskipun tidak
ada yang melihat namun Tuhan mengetahui segalanya. Manusia harus ingat bahwa
segala sesuatu yang buruk yang tidak tampak oleh orang lain akan tetapi telah
tercatat sebagai amal buruk. Kewaspadaan auditor dalam menjalankan tugas juga
sangat penting agar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
contohnya dalam penyajian laporan keuangan kliennya. Ketika banyak tawaran
menggiurkan dari pihak lain ke pada auditor untuk melakukan kecurangan, maka
perlu eling dan waspada karena semua yang dilakukan adalah suatu tindakan
melanggar etika. Kewaspadaan akan lingkungan sekitar haruslah diamati dengan
baik agar dapat membedakan baik dan buruknya lingkungan tersebut.

Para auditor yang berasal dari Jawa khususnya harus lebih memahami
prinsip ojo dumeh, eling lan waspodo ini, karena diharapkan mereka mampu
menjadi pribadi yang hati-hati dan bijaksana dalam melaksanakan tugas
profesionalnya. Dengan didalaminya prinsip ojo dumeh, eling lan waspodo dalam
diri seorang auditor diharapkan dapat memperkecil pelanggaran kode etik akuntan
publik khususnya tugas auditor dalam menjalankan tugas profesionalnya dalam
mengaudit dan memberi opini terhadap laporan keuangan. Perlu diketahui budaya
Jawa dipandang sebagai salah satu budaya yang kuat dalam mempertahankan
filosofi-filosofi petuah hidup para leluhurnya, maka salah satunya dengan filosofi
ojo dumeh, eling lan waspodo seharusnya dapat meminimalisir tingkat pelanggaran
kode etik yang dilakukan auditor khususnya di lingkungan budaya Jawa itu sendiri.

Dalam penelitian ini perilaku auditor dianggap sebagai suatu yang dapat
dipengaruhi dari latar belakang budaya individu tersebut, karena setiap latar
belakang budaya di Indonesia memiliki tata cara dan aturan tersendiri untuk
membentuk karakter masyarakatnya. Meskipun berbeda tata cara dan aturan,
namun setiap budaya di Indonesia memiliki tujuan baik bagi pembentukan karakter.
Untuk mengetahui bagaimana para auditor memaknai filosofi Jawa ojo dumeh,
eling lan waspodo maka peneliti memilih auditor yang bertugas di KAP jawa timur
khususnya kota Malang sebagai obyek penelitian ini karena dari situ dapat diketahui
bagaimana seorang auditor yang memiliki latar belakang budaya jawa dalam
memaknai dan menerapkan filosofi tersebut yang dapat mempengaruhi terhadap
perilaku etis mereka dalam menjalankan tugas profesionalnya. Berdasarkan latar
belakang tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
bagaimana etika perilaku auditor ditinjau dari latar belakang budaya Jawa dalam
filosofi ojo dumeh, eling lan waspodo.
2. Rumusan Masalah

Etika merupakan sebuah aturan mengikat secara moral hubungan manusia


yang dapat dituangkan dalam aturan hukum, pedoman maupun etika profesional.
Dalam kode etik profesional akuntan publik sebagai bagian dari hubungan khusus
antara anggota profesi dan klien mereka. Para klien harus mempercayai para
profesional tersebut berdasarkan perilaku etis mereka. Kepercayaan akan semakin
meningkat apabila para akuntan publik dapat melayani klien dengan jujur, rajin,
serta berperilaku etis sesuai aturan yang telah ditetapkan. Lingkungan dan
masyarakat berpengaruh besar terhadap pembentukan nilai-nilai yang mengatur
kehidupan, dan perlu diketahui manusia diciptakan hidup didunia sebagai makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Di dalam sebuah budaya terdapat nilai-nilai
etika, norma, sopan santun, dan tata krama. Penyimpangan etika yang dilakukan
oleh akuntan publik akhir-akhir ini masih banyak ditemukan di lapangan, meskipun
telah terdapat kode etik IAI. Oleh karena itu, peneliti menganggap perlu untuk
mengkaji permasalahan ini dalam perspektif kearifan lokal. Kearifan lokal yang
dimaksud adalah kearifan lokal masyarakat Jawa melalui filosofi Jawa ojo dumeh,
eling lan waspodo. Maka rumusan masalah yang diangkat peneliti dalam penelitian
ini adalah :

1. Bagaimana keterkaitan kode etik IAI dengan etika budaya terhadap


perilaku auditor dalam melakukan etika profesi?
2. Bagaimana pandangan auditor dalam memaknai filosofi Jawa ojo dumeh,
eling lan waspodo dalam melakukan etika profesi?

3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana keterkaitan kode etik


IAI dengan etika budaya terhadap perilaku auditor dalam melakukan etika profesi.
Pemahaman ini akan memberikan suatu pemahaman lebih dalam mengenai
keterkaitan kode etik IAI dengan etika budaya suatu individu. Tujuan lain dalam
penelitian ini adalah melihat bagaimana pandangan auditor dalam memaknai
filosofi Jawa ojo dumeh, eling lan waspodo dalam melakukan etika profesi.
4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis

Penelitian ini dharapkan mampu menjadi suatu pertimbangan bagi akuntan


publik khususnya auditor dan pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan
pelanggaran etika profesi agar lebih menyadari akan pentingnya menjaga etika
profesi dalam menjalankan tugas profesionalnya karena keterkaitannya
memberikan pelayanan jasa kepada publik. Nilai-nilai budaya yang telah tertanam
sejak dini sebaiknya dapat dijadikan pedoman hidup terlebih untuk membatasi
manusia dalam melakukan perilaku tidak etis.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoretis diharapkan mampu memberikan sumbangan


acuan kepada akuntan publik dan para penyusun kebijakan kode etik IAI yang
memiliki andil dalam memberikan aturan profesi terhadap akuntan publik. Jika
berdasarkan teori dalam penelitian ini maka diharapkan perilaku auditor yang
memegang teguh nilai-nilai budaya dapat membatasi dirinya dalam melakukan
tindak kecurangan atau perilaku tidak etis dalam etika profesi.

5. Motivasi Penelitian

Dalam melakukan etika profesi, manusia dituntut untuk dapat mematuhi


segala kode etik yang telah di tetapkan. Namun pada kenyataannya masih banyak
pelanggaran kode etik profesi yang terjadi di dalam maupun luar negri. Dari sudut
pandang tersebut dapat dilihat bahwa aturan kode etik saja tidak cukup untuk
mengatur perilaku akuntan publik khususnya auditor dalam menjalankan
pekerjaannya. Latar belakang budaya dianggap dapat mempengaruhi perilaku
auditor untuk meminimalisir melakukan pelanggaran kode etik. Hal ini menjadi
motivasi peneliti untuk mengkaji bagaimana keterkaitan kode etik IAI dengan etika
budaya Jawa terhadap perilaku auditor dan peneliti mencoba menggali lebih dalam
bagaimana auditor memandang filosofi ojo dumeh, eling lan waspodo dalam
melakukan etika profesi.
BAB II

ETIKA AKUNTAN SEBAGAI WARISAN BUDAYA

2.1 Sejarah dan Pemahaman atas Etika

Pengertian moral sering disama artikan dengan etika. Moral berasal dari
bahasa Latin moralia, kata sifat dari mos (adat istiadat) dan mores (perilaku).
Sedangkan etika berasal dari kata Yunani ethikos, kata sifat dari ethos (perilaku).
Makna kata etika dan moral memang sinonim, namun menurut Siagian (1996)
antara keduanya mempunyai nuansa konsep yang berbeda. Moral atau moralitas
biasanya dikaitkan dengan tindakan seseorang yang benar atau salah. Sedangkan
etika ialah studi tentang tindakan moral atau sistem atau kode berperilaku yang
mengikutinya. Etika sebagai bidang studi menentukan standar untuk membedakan
antara karakter yang baik dan tidak baik atau dengan kata lain etika adalah
merupakan studi normatif tentang berbagai prinsip yang mendasari tipe-tipe
tindakan manusia.

Siagian (1996) menyebutkan bahwa setidaknya ada 4 alasan mengapa


mempelajari etika sangat penting: (1) etika memandu manusia dalam memilih
berbagai keputusan yang dihadapi dalam kehidupan, (2) etika merupakan pola
perilaku yang didasarkan pada kesepakatan nilai-nilai sehingga kehidupan yang
harmonis dapat tercapai, (3) dinamika dalam kehidupan manusia menyebabkan
perubahan nilai-nilai moral sehingga perlu dilakukan analisa dan ditinjau ulang, (4)
etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas dan mengilhami manusia untuk
samasama mencari, menemukan dan menerapkan nilai-nilai hidup yang hakiki.

Menurut Keraf (2001: 33-35), etika dibagi dalam etika umum dan etika
khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi 3 kelompok, yaitu: etika individual, etika
lingkungan hidup dan etika sosial. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban dan
hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya
dengan sesama. Karena etika sosial menyangkut hubungan antara manusia dengan
manusia. Ia menyangkut hubungan individual antara orang yang satu dengan orang
yang lain, serta menyangkut interaksi sosial secara bersama. Etika sosial mencakup
etika profesi dan di dalamnya terdapat etika bisnis. Etika profesi lebih menekankan
kepada tuntutan terhadap profesi seseorang, dimana tuntutan itu menyangkut tidak
saja dalam hal keahlian, melainkan juga adanya komitmen moral, tanggung jawab,
keseriusan, disiplin, dan integritas moral.

Sebagian besar orang mendefinisikan perilaku tidak etis sebagai tindakan


yang berbeda dengan apa yang mereka anggap tepat dilakukan dalam situasi
tertentu. Ada dua alasan utama mengapa seseorang bertindak tidak etis: standar
etika seseorang berbeda dengan standar etika yang berlaku di masyarakat secara
keseluruhan, atau orang memilih untuk bertindak mementingkan diri sendiri. Sering
kali, kedua alasan itu muncul bersamaan (Arens, 2008: 98).

Buckley et al., (1998) menjelaskan bahwa perilaku tidak etis merupakan


sesuatu yang sulit untuk dimengerti, yang jawabannya tergantung pada interaksi
yang kompleks antara situasi serta karakteristik pribadi pelakunya. Meski sulit
dalam konteks akuntansi, dan hubungannya dengan pasar sering tidak jelas, namun
memodelkan perilaku perlu dipertimbangkan guna memperbaiki kualitas keputusan
serta mengurangi biaya yang berkaitan dengan informasi dan untuk memperbaiki
tersedianya informasi yang tersedia bagi pasar (Hendriksen, 1992: 237).

2.2 Kode Etik Akuntan Indonesia: dari budaya apa dibangun?

Pertanyaan di atas tentu dapat dijawab dengan menelusuri sejarah


perkembangan kode etik akuntan Indonesia. Menurut Sihwahjoeni dan Gudono
(2000: 170), “Kode Etik Akuntan adalah norma yang mengatur hubungan antara
akuntan dengan kliennya, antara akuntan dengan sejawatnya, dan antara profesi
dengan masyarakat.” Menurut IAI, “Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia
dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang
berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi
pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung
jawab profesionalnya”.

Kode etik yang berlaku di Indonesia saat ini yang mengatur perilaku
anggota IAI secara keseluruhan dengan pembagiannya sebagai berikut: Kode Etik
Akuntan dan Kode Etik Akuntan Kompartemen. Kode Etik Akuntan adalah kode
etik yang mengatur seluruh anggota IAI secara umum. Kode Etik Akuntan
Kompartemen adalah kode etik yang mengatur masing-masing kompartemen yang
terdapat didalam IAI. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari: Prinsip Etika
Akuntan, Aturan Etika Akuntan, dan Interprestasi Aturan Etika Akuntan.

Prinsip Etika Akuntan adalah prinsip yang harus ditaati oleh semua anggota
IAI. Aturan Etika Akuntan hanya mengikat anggota kompartemen yang mensahkan
Aturan Etika tersebut. Interpretasi Aturan Etika Akuntan adalah interpretasi yang
dikeluarkan pengurus kompartemen untuk menanggapi anggota-anggota dan pihak-
pihak yang berkepentingan, tanpa membatasi lingkup dan penerapannya. Prinsip
Etika Akuntan sebagaimana ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia memuat 8
prinsip etika yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas,
obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku
profesional dan standar teknis.

Setiap Negara memiliki perbedaan budaya dan nilai-nilai yang melekat


dalam budaya itu sendiri. Berkaitan dengan nilai-nilai yang melekat dalam suatu
budaya, kode etik akuntan menjadi begitu penting untuk dipahami karena nilai-nilai
dalam suatu budaya akan berpengaruh terhadap akuntan dalam menjalankan
pekerjaannya. Pengadopsian kode etik akuntan Indonesia tersebut memunculkan
berbagai kritik dari beberapa kalangan karena nilai-nilai Barat apabila diaplikasikan
dalam nilainilai Indonesia belum tentu sesuai. Dapat diibaratkan nilai adalah
pakaian bangsa dalam suatu Negara. Bangsa di Negara barat yang cenderung
berbadan besar tentu saja lebih cocok memakai pakaian yang ukurannya besar.
Bagaimana dengan bangsa Indonesia yang rata-rata memiliki badan yang berukuran
sedang namun memakai pakaian bangsa Barat? Apabila itu terjadi maka dapat
dikatakan bahwa nilai etis dalam berpakaian bangsa Indonesia pun juga kurang
karena pakaian bangsa Barat terlalu besar jika dipakai oleh bangsa Indonesia karena
ukuran tubuhnya jelas berbeda. Demikian juga dengan kode etik berdasarkan nilai-
nilai barat yang diaplikasikan di Indonesia adalah menjadi kurang sesuai.

Ludigdo dalam pidato pengukuhan Guru Besar (2012) juga menyatakan


bahwa adopsi penuh standar etika dari Negara lain maupun organisasi internasional,
sebagaimana yang hampir selalu dilakukan profesi akuntan di Indonesia selama ini
bukanlah langkah terbaik untuk mengembangkan perilaku etis akuntan. Sehingga
perlu disadari bahwa pengadopsian penuh standar etika dari Negara lain itu kurang
sesuai dengan bangsa Indonesia. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman bahwa
pada dasarnya akuntansi dipraktikkan tidak dalam kondisi yang tanpa
mengakomodasi nilai lokal atas kondisi lingkungan di mana ia digunakan.
Akuntansi dibentuk dan dipraktikkan melalui proses konstruksi sosial. Proses
konstruksi yang demikian ini jelas terkait dengan nilai-nilai lokal dari
lingkungannya. Sehingga perlu untuk mengembangkan standar etika akuntan
Indonesia berdasarkan nilai-nilai etis yang sebenarnya telah dimiliki dan melekat
dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai etis tersebut terdapat pada budaya
lokal yang sarat dengan nilai-nilai kultural yang sangat tinggi dan nilai kearifan
yang diwarisi dari para leluhur. Nilai-nilai ini tidak bisa dibeli dengan harga
berapapun dan tidak akan pernah ditemui tempat yang bisa menjualnya. Oleh
karena itu, penting dalam mengaitkan nilai budaya lokal dengan etika akuntan
Indonesia.

2.3 Budaya dan akuntansi: suatu warisan yang kental

Menurut Gladwell (2009: 197) suatu warisan budaya memiliki akar yang
dalam dan hidup yang panjang, diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya
sehingga dipahami sebagai kekuatan yang hebat. Warisan budaya tertentu
mempengaruhi bagaimana seseorang menjalankan kehidupannya termasuk ke
dalam kehidupan profesi. Hal ini tertuang dalam bukunya yang menggambarkan
bagaimana warisan budaya orang-orang yang bekerja dalam dunia penerbangan
menghadapi situasi yang cukup berbahaya dalam pekerjaannya hingga berdampak
pada jatuhnya pesawat terbang. Jatuhnya pesawat terbang Korean Air ternyata
masalah utamanya bukan karena pada pesawatnya, namun lebih mengarah kepada
warisan budaya yang dimiliki oleh masing-masing orang yang bekerja untuk
mengendalikan pesawat Korean Air (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab
I). Selain itu buku tersebut juga menggambarkan bagaimana kesuksesan orang-
orang bagian Cina Selatan dalam bertanam padi maupun memecahkan soal
matematika yang tentu saja tidak dapat terlepaskan dari pengaruh warisan budaya
wilayah setempat (sebagaimana telah dijelaskan pada bab I).
Warisan budaya diturunkan dari generasi ke generasi. Secara umum, budaya
diturunkan melalui berbagai cara, diantaranya adalah dengan melalui keluarga
maupun melalui masyarakat. Keluarga merupakan lingkup sosial terkecil, tetapi
paling kenal dalam hidup kebersamaan. Nilai-nilai dan tatanan kehidupan dibina
serta dihidupkan terus-menerus melalui keluarga, mulai cara membuat alat
kebudayaan, bahasa, bahkan unsur upacara-upacara yang kemudian dilestarikan
secara turun-temurun. Kebudayaan yang masih dipelihara oleh masyarakat
misalnya pada pemberian sesaji pada tempat-tempat yang dianggap keramat.
Metode-metode pewarisan budaya melalui keluarga dan masyarakat diantaranya
adalah folklore, mitologi, legenda, dongeng, upacara dan lagu-lagu daerah. Jadi tiap
daerah mempunyai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi yang tentunya
berbeda antara daerah satu dengan daerah lain.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa akuntansi dan budaya saling
berkaitan. Akuntansi mempengaruhi budaya dan demikian juga sebaliknya.
Penelitian akuntansi dan budaya pernah dilakukan oleh Randa et al., (2011) dengan
judul Studi Etnografi: Akuntabilitas Spiritual pada Organisasi Gereja Katolik yang
Terinkulturasi Budaya Lokal. Penelitian tersebut berusaha untuk mengungkap
praktik akuntabilitas spiritual dan merekonstruksi konsep akuntabilitas spiritual
dari nilai budaya lokal melalui pendekatan interpretif dan metode etnografi pada
sebuah komunitas organisasi Gereja Katolik. Selain itu, penelitian tentang
akuntansi dan budaya juga dilakukan oleh Thoha et al., (2011) dengan judul Praktik
Revenue Sharing dan Implikasinya pada Kesejahteraan Masyarakat. Nilai-nilai
moral dan spiritual yang dimiliki masyarakat dapat dikategorikan sebagai budaya.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menyusun konsep revenue sharing dan
implikasinya pada kesejahteraan masyarakat berdasarkan data empirik di BPRS
Asri Jember. Paranoan (2011) dengan judul Passanan Tengko’: Studi Etnografi
Praktik Akuntabilitas Pada Upacara Aluk Rambu Solo’ dalam Organisasi
Tongkonan juga merupakan salah satu penelitian tentang akuntansi dan budaya.
Penelitian tersebut bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang makna dan
bentuk akuntabilitas Upacara ARS dalam organisasi sosial “Tongkonan” yang
menggunakan pendekatan interpretif dengan metode etnografi.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pilihan Paradigma: Interpretivisme

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dalam paradigma


interpretif. Burrel dan Morgan (1979) berpendapat bahwa paradigma interpretif
menggunakan cara pandang para nominalis yang melihat realitas sosial sebagai
sesuatu yang hanya merupakan label, nama, atau konsep yang digunakan untuk
membangun realitas, dan bukanlah sesuatu yang nyata, melainkan hanyalah
penamaan atas sesuatu yang diciptakan oleh manusia atau merupakan produk
manusia itu sendiri. Dengan demikian, realitas sosial merupakan sesuatu yang
berada pada dalam diri manusia, sehingga bersifat subjektif bukan objektif. Kualitas
teori dalam paradigma ini diukur dari kemampuannya untuk memaknai serta lebih
cenderung mengungkapkan temuan-temuan yang sifatnya lokal (Triyuwono, 2009:
217). Pada paradigma interpretif, lebih menekankan pada makna atau interpretasi
seseorang terhadap sebuah simbol. Tugas teori dalam paradigma ini adalah
memaknai (to interpret atau to understand).

Penelitian kualitatif mempunyai lima macam karakter, yaitu: (1) peneliti


sebagai instrumen utama langsung mendatangi sumber data, (2) data yang
dikumpulkan cenderung berbentuk kata-kata dari pada angka-angka, (3) peneliti
lebih menekankan proses, bukan semata-mata pada hasil, (4) peneliti melakukan
analisis induktif cenderung mengungkapkan makna dari keadaan yang diamati, (5)
kedekatan peneliti dengan informan sangat penting dalam penelitian. Sesuai dengan
karakter tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha
mendapatkan informasi yang selengkap mungkin mengenai perilaku auditor dalam
melakukan etika profesi didasarkan pada nilai-nilai etis dari filosofi jawa ojo
dumeh, eling lan waspodo. Informasi yang digali lewat wawancara mendalam
terhadap informan di KAP Kota Malang.

Teknik kualitatif dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian ini, karena


teknik ini untuk memahami realitas rasional sebagai realitas subjektif khususnya
para akuntan publik di Kota Malang. Proses observasi dan wawancara mendalam
bersifat sangat utama dalam pengumpulan data. Dari observasi diharapkan mampu
menggali etika profesi yang dilakukan auditor didasarkan pada filosofi jawa ojo
dumeh, eling lan waspodo .

Penelitian interpretif memberikan perang penting kepada peneliti dalam


memberikan pemaknaan terhadap data dan informasi dari hasil wawacara yang
telah dilakukan dengan informan. Pemaknaan merupakan hasil dari refleksi peneliti
dalam memahami fenomena yang menjadi objek dalam penelitian ini.

Penggunaan filsafat jawa ojo dumeh, eling lan waspodo karena bertitik tolak
pada pertanggung jawaban terhadap sesama manusia dan Tuhan. Sementara itu jasa
yang diberikan oleh auditor merupakan hak istimewa akuntan publik. Dalam
pengambilan berbagai keputusan ekonomi maka dapat dilihat dari hasil pekerjaan
akuntan publik yang digunakan oleh publik (pengguna laporan keuangan). Dalam
menjalankan praktiknya auditor tidak bisa melepaskan tanggung jawab terhadap
Tuhan dan Manusia. Filosofi jawa ojo dumeh, eling lan waspodo selain berarti
dapat mencegah perilaku tidak etis manusia namun juga kesadaran kita akan Tuhan
yang dapat selalu melihat segala aktifitas yang kita lakukan dari baik dan buruk.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan


observasi. Informan yang dipilih adalah tiga orang akuntan publik yang mempunyai
pengalaman mengaudit perusahaan go public dan perusahaan daerah. Keduanya
akuntan publik yang berlokasi di Kota Malang. Wawancara dilakukan di kantor
tempat informan bekerja untuk menciptakan suasana yang kondusif dan
memungkinkan peneliti mendapatkan hasil wawancara yang berkualitas dalam
rangka mendapatkan saturasi data. Hasil wawancara di dokumentasikan secara
tertulis dan kemudian dianalisis oleh peneliti.

Mengacu pada Moleong (2007) analisis data kualitatif pada penelitian ini
ada beberapa tahap yaitu, mengambil data dari lapangan, memilahnya menjadi
satuan yang dapat diolah, melakukan sintesis, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat di ceritakan kepada orang lain. Konsep filosofi jawa ojo dumeh, eling lan
waspodo digunakan pada tahap ini untuk mengetahui nilai yang terkandung di balik
peristiwa atau kasus yang didapatkan dari hasil wawancara.
3.2 Menurunkan Antropologi Budaya menjadi Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya. Studi


antropologi budaya mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok
sosial atau sistem. Antropologi merupakan studi tentang umat manusia dan
perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman yang lengkap
tentang keanekaragaman manusia (Haviland, 1999: 7; Koentjaraningrat, 1987: 1-
2).

Beberapa kritik pada antropologi budaya yang patut diperhatikan: Pertama,


data yang di presentasikan oleh seorang peneliti selalu sudah merupakan sebuah
interpretasi yang dilakukan melalui mata seseorang (sumber data), dan dengan
demikian selalu bersifat posisional. Namun ini adalah argumen yang bisa diajukan
pada segala bentuk penelitian. Kedua, antropologi budaya dianggap hanya sebagai
sebuah genre penulisan yang menggunakan alat-alat retorika, yang seringkali
disamarkan untuk mempertahankan klaim-klaim realisnya. Konsultasi dengan para
subjek antropologi budaya perlu dilakukan agar antropologi budaya tidak menjadi
ekspedisi pencarian fakta-fakta, dan lebih menjadi percakapan antara mereka yang
terlibat dalam proses penelitian.

Hasil akhir penelitian dengan studi antropologi budaya adalah sesuatu yang
bersifat menyeluruh disertai interpretasi yang menginterpretasikan seluruh
aspekaspek kehidupan dan mendeskripsikan kompleksitas kehidupan tersebut.

3.2.1 Informan

Dalam penelitian ini subjek penelitiannya adalah akuntan publik yang


mempunyai pengalaman mengaudit perusahaan go public dan perusahaan daerah
dengan latar belakang budaya jawa. Peneliti memilih para informan dengan
pertimbangan mereka akan memberikan data yang diperlukan untuk menunjang
kegiatan penelitian, yaitu (1) keterkaitan kode etik IAI dengan etika budaya
terhadap perilaku auditor dalam melakukan etika profesi, (2) Pandangan auditor
dalam memaknai filosofi Jawa ojo dumeh, eling lan waspodo dalam melakukan
etika profesi Jumlah informan dalam penelitian ini adalah tiga orang akuntan publik
yang bekerja di KAP Kota Malang yang memiliki latar belakang budaya Jawa.
3.2.3 Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitian kualitatif dan sumber data yang
akan digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
analisis dokumen, observasi dan wawancara. Untuk mengumpulkan data dalam
kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu,
sehingga proses penelitian dapat berjalan lancar. Sumber dan jenis data terdiri atas
kata-kata dan tindakan. Selain itu masih ada sumber data yang tidak dipersoalkan
di sini seperti yang bersifat nonverbal (Moleong, 2011: 241). Metode pengumpulan
data yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif pada
umumnya menggunakan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi.

3.3 Teknik Analisis Data

Menurut Patton dalam Moleong (2011: 280), teknik analisis data adalah
proses kategori urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori
dan satuan uraian dasar, ia membedakannya dengan penafsiran yaitu memberikan
arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan mencari
hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.

Analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu wawancara, pengamatan yang ditulis dalam catatan
lapangan, dokumen-dokumen resmi dan data-data lain sebagai pendukung. Setelah
dibaca, dipelajari, dan ditelaah, langkah berikutnya ialah mengadakan reduksi data
yang dilakukan dengan jalan rangkuman yang inti, proses dengan pernyataan-
pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah
selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu
dikategorisasikan pada langkah berikutnya. Kategori-kategori itu dibuat sambil
melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan
pemeriksaan keabsahan data. Setelah tahap ini mulailah kini tahap penafsiran data
dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan
metode tertentu (Moleong, 2011: 247).

Analisis data dilakukan dalam suatu proses, proses berarti pelaksanaannya


sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dan dilakukan secara intensif, yakni
sesudah meninggalkan lapangan, pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha
pemusatan perhatian dan pengarahan tenaga fisik dan pikiran dari peneliti, dan
selain menganalisis data peneliti juga perlu mendalami kepustakaan guna
mengkonfirmasikan atau menjustifikasikan teori baru yang barangkali ditemukan.
Penelitian ini berlatar pada data-data yang diperoleh berdasar wawancara, observasi
dan dokumentasi, dimana menurut Miles dan Huberman (1992: 15)
mengungkapkan bahwa dalam analisis kualitatif yang perlu diperhatikan adalah
bahwa data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Dalam
pandangannya menganalisis melalui tiga tahapan yang harus dilalui yang terjadi
secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi.
Daftar Pustaka

Arens, Alvin A. Elder, Randal J. and Beasley, Mark S. 2008. Auditing dan Jasa
Assurance: Pendekatan Terintegrasi Jilid 1 Edisi 12. Jakarta: Salemba
EmpatIkatan Akuntansi Indonesia (2012), Standar Akuntansi Keuangan.
Jakarta : Salemba Empat.

Buckley, M. R., D. S. Wiese M. G. and Harvey. 1998. An Investigation into


Dimensions of Unethical Behavior. Journal of Education for Bussiness 73 (5),
pp: 284-290

Burrel, G dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational


Analysis: Elements of The Sociology of Corporate Life. Heinemann
Educational Books, London

Gladwell, M. 2009. Outliers: Rahasia di Balik Sukses. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Haviland, William A. 1999. Antropologi. Jilid 1. Alih Bahasa: R.G. Soekadijo.


Jakarta: Erlangga.

Hendriksen, Eldon, S. and Michael F. Van Breda. 1992. Accounting Theory, 5 th


ed. Chicago: Richard D. Irwin, Inc.

Ikatan Akuntan Indonesia, 1998. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.

Keraf, Sonny. 2001. “Etika Bisnis - Tuntutan dan Relevansinya”. Cetakan keempat,
Kanisius, Yogyakarta

Khan et al. 2012. ”Determinants of Customer Satisfaction in Fast Food Industry”.


International Journal of Management and Strategy. Vol.3.

Ludigdo, Unti. 20120. “Pancasila as Accountant Ethics Imperialism Liberator.” 2.


No. 6. September 2012 Issue. Pp. 159 – 168.

Miles, Matthew B. and A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.


Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia
Press
Moleong, Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Paranoan, Selmita. 2011. Passanan Tengko’: Studi Etnografi Praktik Akuntabilitas


Pada Upacara Aluk Rambu Solo’ dalam Organisasi Tongkonan. Tesis.
Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya.

Randa, F., Triyuwono, I., Ludigdo, U., dan Sukoharsono, E.G. 2011. Studi
Etnografi: Akuntabilitas Spiritual pada Organisasi Gereja Katolik yang
Terinkulturasi Budaya Lokal. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 2, No.
1. Jurusan Akuntansi Universitas Brawijaya

Sawyer, Dittenhofer, S. Cheiner, 2005. Internal Auditing, Buku Satu, Edisi


Kelima, Jakarta : Salemba Empat

Siagian.S.P. 1996. Etika bisnis. Jakarta: PT Pustaka Binaan Pressindo

Sidani, Y.M. 2007. “The Audit Expectation Gap: Evidence from China.”
Managerial Auditing Journal, Vol. 22, No. 3, hlm 288-302

Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafah tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Cetakan Kesembilan. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

Triyuwono, I. 2009. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Jakarta:


Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai