Anda di halaman 1dari 24

1

Peran Kepala Sekolah


Dalam Pengembangan Budaya Sekolah

Oleh: Fridiyanto*

ABSTRACT
School culture can influence the thought, feeling, and act of school members.
Culture is a key to promote staf development and students’ learning process.
The principals have an important role to build school culture through
internalisation and policies.

I. Pendahuluan
Sekolah efektif memiliki sebelas faktor: Kepemimpinan profesional, berbagi
visi dan tujuan, lingkungan pembelajaran, fokus pada belajar dan mengajar,
pengharapan capaian yang tinggi, pengajaran yang memiliki tujuan,
penguatan positif, pemantauan perkembangan, hak dan tanggung jawab
siswa, kemitraan dengan masyarakat, dan organisasi belajar.
Setiap faktor sekolah efektif tersebut memiliki peran penting dalam
perbaikan sekolah. Setiap faktor saling berhubungan satu sama lain. Setiap
poin sekolah efektif merupakan bagian dari budaya sekolah. Olehkarenaitu
peneliti menganggap penting untuk mengkaji perspektif budaya dalam
manajemen pendidikan. Etos sekolah merupakan bagian yang ingin dicapai
oleh visi, kemudian nilai dan tujuan staf, dan merupakan cara kepala sekolah
dan guru bekerjasama.
Budaya sekolah dapat mempengaruhi pemikiran, perasan dan
tindakan warga sekolah. Budaya adalah kunci kesusksesan memproosikan
pengembangan staf dan pembelajaran siswa. Setiap sekolah mempunyai
ekspektasi mengenai apa yang dapat didiskusikan pada rapat, teknik apa

*
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara.
2

yang dilakukan untuk teknik mengajar, bagaimana keinginan staf untuk


berubah dan pentingnya pengembangan staf.
Menurut Kowalsky kepala sekolah dan suprivisor seharusnya
memahami bagaimana memperbaiki budaya sekolah. Dengan kebijakannya
kepala sekolah akan lebih mudah membentuk nilai, keyakinan, dan sikap
yang diperlukan untuk lingkungan pembelajaran. Olehkarenaitu penelitian
tentang peran kepala sekolah terhadap pembangunan budaya sekolah
penting dilakukan. Hal ini untuk mendukung administrasi pendidikan yang
ada agar tidak menjadi mekanis dan berjalan tanpa budaya yang humanis.

II. Kerangka Teori


a. Internalisasi Nilai Masa Rasulullah
Pendidikan Islam tidak lepas dari masa dakwah Islamiah Nabi
Muhammad Rasulullah S.A.W. Melalui wahyu pertama Surat al-‘Alaq: 1-
5, Muhammad S.A.W sebenarnya telah menerima misi membudayakan
umat manusia. Perintah membaca merupakan proses internalisasi nilai,
moral, intelektual, dan ilmu pengetahuan.
Internalisasi nilai telah berlangsung ketika Rasulullah S.A.W
menyampaikan Al-Qur’an, berdialog dengan para sahabat mengajak
manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala.2 Kondisi ini
memberi makna baru sebagai transformasi menjadi unsur-unsur budaya
baru hingga menjadi Islam.

b. Pendidikan dan Perubahan Sosial


Pendidikan yang dilakukan Rasulullah S.A.W telah berhasil
membina individu beriman, berakhlak, berpengetahuan dan berpengaruh
di lingkungan masyarakat. Dengan modal ini Rasulullah S.A.W berhasil
merubah sistem masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Islami. Ditinjau
dari proses perubahan sosial, pada masa Rasulullah dimulai dari

2
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1998, hal.120
3

perubahan pada diri manusia yang mencakup keimanan, akhlak,


pengetahuan, dan perilaku.4
Sekolah tidak hanya sebuah ruangan atau gedung tempat peserta
didik menuntut ilmu, tetapi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang
terikat norma dan budaya yang mendukung sebagai suatu sistem nilai.5
Menurut Weingartner sekolah mempunyai fungsi mendasar yaitu
melayani masyarakat. Fungsi dan tugas utama sekolah adalah
meneruskan, mempertahankan, dan mengembangkan kebudayaan
masyarakat, melalui pembentukan kepribadian peserta didik dan
mempersiapkan generasi pengganti melalui pembentukan kepribadian
peserta didik dan mempersiapkan generasi pengganti yang mampu
mempertahankan eksistensi kelompok atau masyarakat.6

c. Sekolah sebagai Sistem Sosial


Pendidikan merupakan bentuk interaksi manusia di mana suatu
tindakan sosial dimungkinkan berlakunya melalui jaringan hubungan-
hubungan kemanusiaan, individu berperan menentukan budaya di suatu
masyarakat.7 Sekolah sebagai sistem tersusun dari komponen konteks8,
proses9, output10, dan outcome.11

4
Zamroni, Pembaharuan Pendidikan Menuju Mengembangkan Paradigma Pendidikan Islam. Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, Vol. I No.2 (April, 191), hal. 36
5
Syaiful Sagala, Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi Memenangkan Persaingan
Mutu, Jakarta: Nimas Multima, hal.53
6
Ibid, hal.58.
7
Langgulung, Op.cit., hal.17
8
Anonim, Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, 2006, Jakarta: Depdiknas, hal.5. Konteks adalah
eksternalitas yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan dan karenanya diinternalisasikan
ke dalam penyelenggaraan sekolah. Sekolah yang mampu menginternalisasikan konteks ke dalam
dirinya akan membuat sekolah sebagai bagian dari konteks dan bukannya terisolasi dari dirinya. Jadi
sekolah akan menjadi sekolah masyarakat, bukannya sekolah yang berada di masyarakat. Konteks
disini meliputi kemajuan Iptek, nilai dan harapan masyarakat, dukungan pemerintah dan masyarakat,
kebijakan pemerintah, landasan yuridis, tuntutan otonomi, tuntutan globalisasi, dan tuntutan
pengembangan diri serta peluang tamatan untuk melanjutkan pendidikan atau terjun ke masyarakat)
input (Input digolongkan digolongkan menjadi dua yaitu yang diolah adalah siswa dan input pengolah
meliputi visi, misi, tujuan, sasaran; kuikulum; tenaga kependidikan; dana, sarana dan prasarana,
regulasi sekolah, organisasi sekolah, administrasi sekolah, budaya sekolah.
9
Proses adalah kejadian berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain, proses meliputi manajemen,
kepemimpinan, dan proses belajar mengajar.
10
Pendidikan adalah hasil belajar (prestasi belajar yang merefleksikan seberapa efektif proses belajar
mengajar diselenggarakan. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan dasar dan
kemampuan fungsional
4

Gambar 2 berikut menjelaskan bagaimana sekolah sebagai sistem


tidak hanya diukur dari output tetapi juga kinerja sekolah. Kinerja sekolah
merupakan seluruh komponen sistem, artinya kinerja sekolah adalah
pencapaian atau prestasi sekolah yang dihasilkan melalui proses
persekolahan.12 Kinerja sekolah diukur dari efektivitasnya, kualitasnya,
poduktivitasnya, efensiesinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya,
dan moral kerjanya.

Gambar 2
Kinerja Sekolah 13
Kualitas dan Inovasi

INPUT PROSES OUTPUT OUTCOME

Pengelolaan Efektivitas
Produktivitas
Efesiensi Internal
Efesiensi Eksternal

Sekolah merupakan sistem sosial yang memiliki administrasi dan


proses sosial.14 Aspek-aspek sosial pendidikan merupakan
ketergantungan individu dengan individu lain untuk saling belajar.
Sebagai lembaga sosial sekolah berfungsi untuk: (1) lembaga sosialisasi
yang membantu anak mempelajari cara hidup; (3) transmisi kebudayaan;

11
Outcome adalah dampak jangka panjang dari output, baik dampak bagi individu tamatan maupun
bagi masyarakat. Sekolah yang baik mampu memberikan banyak akses atau kesempatan bagi tamatan
untuk meneruskan pendidikan atau langsung terjun ke masyarakat dan bisa mengembangkan diri dalam
kehidupan.
12
Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership: Menuju Sekolah Efektif, Bandung: Bumi
Aksara, 2005, hal.7
13
Ibid, hal. 7
14
Lipham, The Principalship: Foundations and Functions, New York: Harper and Row, Publisher, Inc,
1974, hal. 48
5

dan (3) menyeleksi murid untuk melanjutkan pendidikan yang lebih


tinggi.15
Sistem sosial dimana individu berinteraksi satu sama lain dalam
sistuasi yang memiliki aspek lingkungan, aktor dimotivasi untuk optimal
dalam dalam kondisi mereka dan berbagi simbol.16 Sistem sosial adalah
aktifitas, interaksi, dan sentimen anggota kelompok, bersama melakukan
hubungan yang saling menguntungkan, unsur-unsur ini mengaktifkan
kelompok.17 Sistem sosial dapat dipahami di mana setiap individu saling
bergantung untuk bersama belajar.
Sebagai sistem sosial sekolah merupakan organisasi yang dinamis
dan berkomunikasi secara aktif. Sekolah melibatkan masyarakat sekolah
yang berkomunikasi guna mencapai tujuan.18 Konsep sekolah sebagai
sistem sosial meliputi dua kelompok fenomena yang independen dan
pada saat bersamaan interaktif. Di mana institusi mempunyai peran dan
harapan untuk dipenuhi sistem, dan individu yang membutuhkan posisi
yang tidak biasa di sistem.19

d. Sekolah sebagai Agen Perubahan


Konsep pendidikan Islam ada tiga unsur penting, yaitu: pendidikan
adalah alat untuk pemindahan nilai-nilai budaya, pendidikan
mengandung makna proses latihan, dan pendidikan juga mengandung
makna indoktrinasi nilai-nilai absolut yang terkandung dalam ajaran
Islam.25 Tiga unsur pendidikan yang dikemukakan Langgulung,
diharapkan dapat menjadi instrumen bagi individu untuk berperan
sebagai agen perubahan.
Agen perubahan didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok
orang yang bertanggung jawab melakukan perubahan ke dalam pola

15
Sagala, Op.Cit., hal. 234
16
Parsons dalam Lipham.,Op.cit., hal. 48
17
Ibid,hal. 48
18
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal.148
19
Lipham, Op.Cit., hal. 48
25
Langgulung, Op.Cit., hal.25
6

perilaku seseorang atau sistem sosial.26 Sekolah sebagai agen perubahan


bekerja dengan mendidik manusia untuk memecahkan permasalahan
kehidupan dan mencapai kadaan lebih baik.

1. Orientasi Perubahan
Perubahan berorientasi kepada dua hal, yaitu perubahan
direncanakan dan perubahan tidak direncanakan.
a. Perubahan direncanakan.
Perubahan yang terjadi sebagai hasil usaha khusus dilakukan oleh
para agen perubahan. Sekolah termasuk dalam perubahan yang
direncanakan, proses pendidikan direncanakan bagi peserta didik ke
arah manusia cerdas, yang berakar pada nilai dan budaya bangsa.
Perubahan direncanakan secara berjenjang mulai dari tingkat dasar,
lanjutan, menengah, sampai pendidikan tinggi. Di sekolah terjadi
proses belajar mengajar, proses pembudayaan manusia, bermisi
kepada arah perkembangan dan peningkatan mutu kehidupan.
b. Perubahan tidak direncanakan
Perubahan tidak direncanakan terjadi dengan spontan, tanpa ada
arahan dan bimbingan dari agen perubahan. Biasanya perubahan ini
dilakukan di organisasi buruh dengan melakukan pemogokan,
perubahan tipe ini banyak dampak negatif dan potensial akan
kekacauan.27
2. Proses Perubahan Direncanakan
Sekolah masuk dalam kelompok perubahan yang direncanakan,
bagian ini peneliti hanya membahas poses perubahan direncanakan, yang
memakai konsep Schermerhorn sebagaimana dikutip Wahjosumidjo, ada
tiga proses perubahan direncanakan,yaitu: unfreezing, changing, refreezing:
Gambar 3
Proses Perubahan Direncanakan 28

26
Wahjosumidjo, Op. Cit, hal. 166
27
Ibid, hal. 166
28
Ibid, hal. 166
7

I II III

Unfreezing Changing Refreezing


-Menimbulkan Mengubah orang Memperlakukan
perasaaan perlunya (individu dan kembali outcome,
perubahan. kelompok), menilai hasil,
-Memperkecil daya pekerjaan, struktur, membuat modifikasi
tahan untuk berubah teknologi konstruktif

Tahap unfreezing, merupakan persiapan situasi untuk perubahan,


ditandai ketidakpastian keadaan, sikap dan perilaku yang menciptakan
perasaan perlu perubahan. Perasaan ini didukung tekanan lingkungan,
kemunduran penampilan, persoalan, kepedulian hal yang baik dari cara
lain.
Tahap changing, melibatkan terjadinya modifikasi aktual terhadap
sumber daya manusia, pekerjaan, struktur dan teknologi. Tahap refreezing,
tahap akhir dalam perubahan yang direncanakan untuk memelihara
momen perubahan, tahap refreezing mengilustrasikan, memperlakukan
posisi outcome, evaluasi, modifikasi.29
Sekolah adalah organisasi yang ada di masyarakat dan
berpengaruh signifikan terhadap perubahan sosial. Sekolah sebagai
organisasi yang berperan sebagai agen perubahan memberi indikasi,
bahwa:
1. Sekolah sebagai organisai harus diterima sebagai suatu yang
diperlukan untuk perubahan sosial. Sekolah adalah komponen penting
di lingkungan sosial.
2. Sekolah menjalankan peran sebagai agen perubahan memerlukan
dukungan masyarakat.30
Sekolah sebagai agen perubahan diharapkan terwujudnya
perubahan nilai-nilai, sikap masyarakat, pola pikir, perilaku intelektual,
keterampilan dan wawasan peserta didik.31 Agar sekolah dapat

29
Ibid, hal. 69
30
Wahjosumidjo, Op. cit., hal. 66
31
Ibid, hal. 166
8

menjalankan tugas utama sebagai agen perubahan maka perlu dibangun


sebuah sistem persekolahan

e. Sekolah Berkemampuan Unggul


Konsep sekolah unggul menggambarkan ukuran kualitas dari
semua indikator yang menggambarkan substansi, yaitu kualitas seperti
apa yang mungkin didapatkan oleh sekolah yang bersangkutan dengan
manajemen dan potensi internal maupun eksternal sekolah.32 Kualitas
kerja yang efektif sepenuhnya diterapkan pada sekolah unggul.
Keunggulan adalah bahwa sekolah mempunyai kemampuan untuk
mencapai tujuannya dengan kualitas tinggi dan memiliki siswa yang
mempunyai nilai standar.33
Keunggulan menggambarkan kemampuan sekolah, khususnya
kepala sekolah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dan para guru
dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat meningkatkan
citra, nama baik serta kualitas dan harga diri sekolah. Citra dan kualitas
sekolah ini mendapat jaminan bagi masyarakat untuk dapat mengakui
bahwa sekolah itu termasuk kategori unggul.34 Konsep sekolah unggul,
kepala sekolah harus percaya diri dan bertangung jawab mencapai
kualitas yang dipersyaratkan. Perubahan budaya keunggulan dari setiap
aspek kegiatan organisasi pendidikan diarahkan pada pencapaian kualitas
manajemen maupun kualitas lulusan.
1. Karakteristik Sekolah Unggul
Secara teoritis maupun empiris, sekolah yang berkualifikasi unggul di
lapangan dihadapkan pada persaingan dalam bentuk kebijakan, program,
dan kegiatan yang membuat suatu sekolah lebih unggul dari sekolah lain
sejenis.35 Dalam tabel 5 berikut Sergiovani dalam Sagala menampilkan
deskripsi esensial sekolah unggul agar dapat menghasilkan siswa terbaik.

32
Sagala, Op. Cit., hal. 79
33
Thomas J. Sergiovani, Educational Governance and Administration, New Jersey: Prentice-Hall,
1987, hal.10
34
Sagala, Op. Cit., hal. 79
35
Ibid, hal. 85
9

Tabel 4
Model Sekolah Unggul
No Indikator Sekolah Unggul
1. Defenisi Sekolah yang memiliki standar akademik
tinggi untuk semua mata pelajaran yang
diukur dari kemampuan para siswanya
mencapai standar.
2. Dasar Filosofi dan nilai-nilai persaingan, sekolah
unggul merupakan budaya dan sebagai
gerakan reformasi sekolah.
3. Tujuan Menggambarkan standar yang harus
dicapai.
4. Supervisi dan Evaluasi secara teratur menggunakan
Evaluasi instrumen yang baku, tetapi dapat
dikembangkan. Diperlukan kepercayaan
yang tinggi, baik pimpinan sekolah
maupun para guru.
5. Kepemimpinan Kepemimpinan kepala sekolah didukung
partisipasi yang kuat dari pemerintah
daerah. Pekerjaan yang sifatnya sangat
birokratis dikurangi.
6. Hasil-hasil (1) rendahnya angka drop out (2)
penekanan diberikan pada urusan-urusan
akademik (3) penekanan pada pengujian
nilai inteketual
(Syaiful Sagala, 2004, hal 33)
Tabel 6 memberi gambaran bahwa sekolah unggul dapat dilihat
dari substansi yang meliputi visi dan misi, manajemen, sumber daya,
personal, kegiatan belajar mengajar, pengukuran kemampuan belajar,
10

dukungan masyarakat dan dukungan pemerintah.36 Kriteria sekolah


unggul yang dirumuskan Sagala ini mengacu pada konsep sekolah
unggul dan masih perlu disesuaikan kondisi internal dan eksternal
sekolah.
Tabel 5
Kriteria Sekolah Unggul
No Substansi Indikator Kualitas
1. Visi dan misi Konsistensi Konsisten dengan tujuan
Pencapaian dan target tampak pada
program kerja dan
dukungan anggaran.
2. Manajemen Perencanaan Berdasar data yang
Pengorganisasian akurat,
Kepemimpinan
Pengawasan Semua unit organisasi
melaksanakan tanggung
jawab secara optimal.

Kepemimpinan yang
visioner.

Semua sistem dan unit


organisasi dapat
dikontrol.
3. Sumber daya Sarana dan prasarana Sesuai standar, tersedia
Fasilitas belajar sesuai bidang keilmuan,
Buku dan bahan ajar naskah buku teruji
kualitasnya.
4. Personal Kepala sekolah, guru, Memenuhi kualifikasi
konselor, tenaga profesionalisme dan
administrative dibekali kemampuan.

36
Ibid, hal. 86
11

5. Kegiatan Belajar Pelayanan belajar di Dilaksankan sesuai waktu


Mengajar kelas, laboratorium, dengan menggunakan alat
dan praktik kerja yang sesuai dengan
lapangan kebutuhan.
6. Pengukuran Pengukuran melalui Memperoleh hasil
Kemajuan Belajar tes yang standar minimal sama dengan
rata-rata yang ditargetkan.
7. Dukungan Dewan/ komite Bantuan sesuai potensi
Masyarakat sekolah untuk untuk memperoleh mutu
tingkat sekolah dan yang ditentukan bersama.
dewan pendidikan
untuk di tingkat
propinsi dan kota.
8. Dukungan Pemerintah pusat, Memfasilitasi satuan
pemerintah propinsi dan pendidikan berkaitan
kabupaten/ kota dengan standar,
ketenagaan, sarana
prasarana, dan anggaran.

(Syaiful Sagala, 2004, hal 38)

f. Budaya sebagai Budaya Sekolah


1. Budaya Sekolah
Sebagai mahluk duniawi manusia harus menghadapi masalah dan
tantangan, untuk manusia bisa menggunakan budi dan daya serta
memaksimalkan cipta, rasa, dan karsa.37 Manusia harus bersifat aktif
dalam kehidupan, sehingga terciptanya kebudayaan. Manusia sebagai
khalifah berkewajiban menciptakan masyarakat yang mempunyai
hubungan baik dengan Allah, menciptakan masyarakat harmonis, dan
memelihara agama, akal, serta budaya.38

37
Muhaimin, dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya: Karya Abditama, 1994, hal 306
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
38

Masyarakat, Bandung: Mizan,


12

Kebudayaan merupakan proses sebagai eksistensi hidup manusia,


kebudayaan adalah suatu kegiatan total diri manusia, yang meliputi akal
yaitu pemikiran dan zikir serta kesatuannya dalam perbuatan.39 Musa
Asy’arie dalam disertasi berjudul “Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an” mengatakan bahwa kesatuan zikir kepada Allah dan
memikirkan ciptaan-Nya merupakan penjelmaan dari aktivitas orang
yang berakal.41 Selanjutnya Asy’arie menggambarkan aktifitas proses
kebudayaan dalam gambar 4.
Gambar 4
Konsep Proses Kebudayaan Musa Asy’arie 42
Berzikir Allah
Orang yang Aktualitas
berakal

Berpikir Ciptaan
Allah
Akal merupakan kekuatan rohani untuk memahami kebenaran
bekerja dengan menggunakan pikiran dan kalbu, yang keduanya
berhubungan secara organis.43 Asy’arie menjelaskan pikiran bekerja untuk
memahami fisik, bersifat material, sedangkan qalbu bekerja untuk
memahami dimensi metafisik dan bersifat spiritual.
Konsep-konsep Islam tentang kebudayaan sebagai proses ataupun
kebudayaan sebagai manifestasi dari zikir, pikir, dan aktualitas budaya
yang dibahas di atas, peneliti hubungkan dengan defenisi budaya oleh
Koentjaraningrat, kebudayaan merupakan suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan serta sebagai kompleks
aktivitas tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 44

39
Musa Ay’arie, 1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI, hal.
98
41
Asy’arie, Op.Cit., hal.105
42
Ibid, hal. 109
43
Ibid, hal. 109
44
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 186.
13

Koentjaraningrat mengatakan secara ilmu antropologi, kebudayaan


adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar. Hal tersebut menurut Koentjaraningrat hampir seluruh
tindakan manusia adalah kebudayaan.
Konsep budaya yang penulis paparkan di atas, penulis pakai
sebagai teoi untuk mengupas budaya sekolah Budaya sekolah adalah
seperangkat norma, nilai, kepercayaan, ritual, seremoni, simbol, dan cerita
yang meliputi seluruh person di sekolah.45 Budaya sekolah adalah
transmisi secara sejarah, bentuk makna meliputi norma, nilai,
kepercayaan, seremoni, ritual, tradisi, dan pemahaman mitos oleh anggota
masyarakat sekolah.46
Budaya sekolah meliputi nilai, simbol, kepercayaan, dan berbagi
makna para orang tua, murid, guru, dan lainnya sebagai masyarakat dan
mengatur apa yang bernilai bagi kelompok dan bagaimana seharusnya
anggota berpikir, merasa, dan berperilaku.47 Budaya sekolah berarti
bagaimana mempelajari peristiwa dan interaksi menjadi bermakna.48
Budaya sekolah didefiniskan sebagai norma, nilai, kepercayaan,
dan anggapan di anggotanya, yang berwujud simbol, artifak, ritual,
seremoni, ideologi, dan bentuk perilaku.49 Berdasarkan teori Shool Culture
yang dikupas beberapa pakar tersebut, penulis menyimpulkan bahwa
budaya sekolah membentuk pemikiran personil, bagaimana bertindak,
budaya sekolah sebagai harapan yang tidak tertulis memotivasi kepala
sekolah, administrator, guru, murid, dan orang tua bekerjasama dan
meningkatkan budaya sekolah.

45
Peterson, D, Kent, at issue Culture: Positive or Negative. National Staff Development Council: JSD
Summer, 2002
46
Stephen Stolp , Leadership for School Culture. ERIC Clearinghouse on Educational
47
Thomas J. Sergiovani dan Robert Starrat, Supervision: A Redefinition. New York: McGraw Hill
Companies, 2002, hal.126
48
Ibid, hal.319
49
Leithwood, dan Aitken, Jantzi, Making Schools Smarter: A sistem for Monitoring School and
District Progress. Readernr. 71624, 2001, hal.34
14

2. Tingkatan Budaya Sekolah


Lundberg membagi empat tingkatan budaya sekolah yang menjadi
acuan peneliti dalam penelitian budaya sekolah, sebagaimana yang
dikutip oleh Sergiovani, sebagai berikut:
Artifak merupakan wujud budaya apa yang dikatakan orang,
bagaimana orang berperilaku, dan bagaimana memandang sesuatu.
Artifak verbal meliputi sistem bahasa yang digunakan, cerita yang
disampaikan, dan penggunaan contoh untuk mengilustrasikan
permasalahan penting. Artifak perilaku berwujud dalam seremoni, ritual
dan praktik simbol di sekolah.50
Perspektif mengacu pada berbagai aturan dan norma, keumuman
yang ada di antara solusi untuk masalah yang sama, bagaimana orang
mengartikan situasi yang mereka hadapi, dan ikatan perilaku yang dapat
diterima dan tidak dapat diterima.51
Nilai menyediakan dasar bagi orang untuk mengevaluasi situasi
yang dihadapi, nilai tindakan, kegiatan, prioritas, dan perilaku orang
dengan siapa mereka bekerja. Nilai disusun dalam bentuk yang
menghadirkan perjanjian guru. Perjanjian ini mungkin berbentuk platform,
filosofi, dan aturan yang membentuk kebudayaan sekolah.52
Asumsi lebih abstrak daripada tingkatan yang lain karena bertipe
implisit, asumsi sebagai kepercayaan yang anggotanya mengikat diri
mereka dengan yang lain, hubungan mereka dengan orang lain. Asumsi
tidak disadari, implisit, ungkapan abstrak sistem makna.53
Menurut Kotter, bahwa budaya organisasi muncul dalam dua
tingkatan, yaitu tingkatan yang kurang terlihat, berupa nilai-nilai yang
dianut oleh anggota kelompok yang cenderung bertahan meskipun
anggotanya sudah ganti. Nilai-nilai ini sangat sukar berubah dan anggota
organisasi seringkali tidak menyadari karena banyaknya nilai. Tingkatan

50
Sergiovanni, Op.cit., hal.320
51
Ibid, hal. 320
52
Ibid, hal. 320
53
Sergiovanni, Op.cit., hal.320
15

yang terlihat berupa pola gaya perilaku organisasi, yakni orang-orang


yang baru masuk terdorong untuk mengikutinya,54 seperti yang dijelaskan
gambar 5 berikut.

Gambar 5
Dua Tingkatan Budaya Organisasi 55
Tak tampak Sulit berubah

Nilai yang dianut bersama: keyakinan dan tujuan-


tujuan penting yang dimiliki bersama oleh kebanyakan
orang dalam kelompok yang cenderung membentuk
perilaku kelompok dan sering bertahan lama walaupun
sudah terjadi perubahan dalam anggota kelompok.

Nilai perilaku kelompok: cara bertindak yang sudah


lazim atau meresap yang ditemukan dalam suatu
kelompok dan bertahan karena anggota kelompok
cenderung berperilaku dengan cara mengajarkan
praktik-praktik ini (juga nilai-nilai yang mereka anut
bersama) kepada anggota baru. Memberi imbalan
kepada mereka yang menyesuaikan diri dan
menghukum yang tidak mengikuti.

Tampak Mudah berubah


3. Mengidentifikasi Budaya Sekolah
Empat tingkatan budaya merupakan kerangka yang dipakai
peneliti untuk menganalisis perilaku budaya di SMA Titian Teras.
Sergiovani menawarkan lima aspek untuk mengidentifikasi budaya
sebagai budaya sekolah:

54
Komariah, hal. 104
55
Ibid, hal. 104
16

Sejarah budaya sekolah, sejarah sekolah dapat dipelajari dari


para staf, atau berdiskusi mengenai pengalaman sekolah, khususnya
masalah pengembangan staf.56 Bagaimana kehidupan budaya masa lalu
berlangsung saat ini, apa tradisi budaya yang dibawa, diperbaiki melalui
penafsiran kembali.57 Rangkaian mengidentifikasi sejarah sekolah dapat
berupa norma, nilai, ritual, seremoni sekolah, dan maknanya bagi mereka.
58

Kepercayaan, apa asumsi dan pemahaman yang dibagi oleh guru


dan lainnya, walaupun tidak dinyatakan secara jelas. Berhubungan
dengan bagaimana sekolah disusun, bagaimana pengajaran berlangsung,
peranan guru dan murid, budaya, hubungan orang tua dengan sekolah.
Nilai, hal apa saja hal yang berharga di sekolah, kapan guru dan kepala
sekolah berbicara mengenai sekolah, apa mayoritas dan terjadi kembali
dari tema yang di anggap perlu.
Pola perilaku, apa yang diterima dan terjadi lagi cara melakukan
sesuatu, pola perilaku, kebiasaan dan ritual yang berlaku di sekolah.
Bagaimana guru dan murid dihargai.59
Norma, apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan untuk
mengatur perilaku guru, supervisor, dan kepala sekolah. Norma dapat
diidentifikasi dengan menguji perilaku apa yang dihargai dan
mendapatkan sanksi di sekolah. Gambar 6 menjelaskan proses
transformasi budaya kepada peserta didik

56
Peterson, Op.cit., hal. 14
57
Sergiovani, Op.cit., hal.321
58
Peterson Op.cit., hal. 14
59
Sergiovani , Op.cit, hal.320-321
17

Gambar 6
Proses Transformasi Budaya pada Anak Didik 60

Keluarga Masyarakat Sekolah

Isi Kebudayaan
Ilmu pengetahuan, norma, aturan,
nilai, etika, tingkah laku, dsb

Memori

Performansi

Aturan Hukum

Anak Berbudaya dan


Budaya
Gambar 6 di atas menggambarkan bahwa keluarga, sekolah, dan
masyarakat merupakan sebuah sistem nilai, dan merupakan satuan
pendidikan yang menanamkan nilai-nilai budaya seperti: ilmu
pengetahuan, norma, aturan, etika, tingkah laku dan lainnya. Isi budaya
yang ingin ditanamkan melewati proses memori, tindakan, dan adanya
aturan hukum sebagai kontrol hingga terwujud anak yang berbudaya
budaya.

4. Internalisasi Nilai Sekolah


Sasaran transmisi budaya budaya adalah kognisi, afeksi, dan
psikomotor.61 Menurut Sagala, semua informasi budaya dalam proses
pendidikan diterima dan diserap oleh otak, ketika budaya ingin
diaktualisasikan tidak sepenuhnya tepat maka diperlukan aturan dan
hukum. Perilaku yang terus berulang menjadi terpola dan “terbudaya”.

60
Sagala, Op. Cit, hal, 240
61
Ibid, hal.237
18

Proses internalisasi budaya dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat di


jelaskan dalam gambar 7 berikut.

Gambar 7
Proses Mewujudkan Visi dan Misi oleh Satuan Pendidikan 62

Visi dan Misi Pendidikan


Berbudaya dan Budaya

Keluarga Masyarakat Sekolah

Proses Proses Proses

Komplemen Komplemen

Keterbatasan dan Keterbatasan dan Keterbatasan dan


keunggulan keunggulan keunggulan

Proses Pendidikan Anak dengan


Gambar 7 menggambarkan
Konsepproses internalisasi
Berbudaya budaya yang dilakukan
dan Budaya

Keluarga, sekolah, dan masyarakat yang mempunyai isi budaya


dan ingin ditanamkan ke peserta didik, apakah budaya itu berbentuk, norma,
nilai, etika, estetika, dan kebudayaan. Satuan pendidikan keluarga, sekolah,
dan masyarakat pada intinya mengharapkan terwujud indivu yang
berbudaya, dan budaya.

5. Budaya sebagai Budaya Sekolah


Tiga hal yang muncul dalam budaya sebagai budaya sekolah yaitu,
pengetahuan, kesadaran, dan pemahaman terhadap nilai kebudayaan di

62
Ibid, hal.238
19

sekolah. Apabila nilai kebudayaan sudah dipahami, maka tahap praktik


kehidupan sehari-hari sudah dilakukan. Jadi budaya sebagai budaya
sekolah mulai dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.63
Sikap budaya, sportifitas tinggi, dinamis, merupakan outcome dari
budaya sekolah. Peserta didik akan tampil sebagai manusia seutuhnya,
proses pendidikan pada satuan pendidikan akan menjadikan anak yang
berbudaya, yaitu anak yang berpengetahuan, berilmu, mandiri, sportif,
budaya, terampil, mampu mengatasi masalah, serta bersikap dinamis dan
optimis.64
6. Peran Kepala Sekolah
Penerapan budaya organisasi sangat ditentukan oleh pimpinan
organisasi. Pimpinan harus memiliki komitmen kuat menerapkan budaya
organisasi, setelah itu baru dapat diinternalisasi kepada personil.65
Mengembangkan, melanjutkan, dan mempertahankan budaya sekolah
adalah kewajiban setiap anggota masyarakat sekolah.66 Namun kepala
sekolah punya peran terpenting dalam peningkatan budaya sekolah.
Lingkungan sekolah sebagai lembaga layanan pendidikan
dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Karena itu, kepala sekolah
sebagai manajer pendidikan dituntut mampu memberdayakan seluruh
potensi sekolah.67 Kepala sekolah mempunyai peran paling penting untuk
mengembangkan budaya sekolah ke arah budaya yang kuat dan positif.
Cara efektif meningkatkan budaya sekolah, yaitu ketika kepala
sekolah, guru, dan murid memahami pentingnya nilai kebudayaan
institusi.69 Kepala sekolah merupakan orang yang memiliki pemahaman
dan peran dalam organisasi pendidikan yang memiliki langkah signifikan
melangkah kepada kinerja efektif dan kekepala sekolahan.70 Lipham

63
Ibid, hal. 241
64
Ibid, hal. 238
65
Anwar Prabu Mangkunegara, Perilaku dan Budaya Organisasi, Bandung: Refika Aditama, 2005,
hal.118
66
Peterson, Op.Cit., hal.15
67
Sagala, Op. Ci.t, hal.61
69
Stephen, Op. Cit., hal.3
70
Lipham, Op.cit.,hal.117
20

mengatakan kepala sekolah harus memahami hubungan budaya institusi


dengan budaya individu.
Kepala sekolah butuh perspektif yang tidak hanya mengenai
kesakralan, dan operasional nilai masyarakat sekolah, tetapi juga
mekanisme umum agar nilai budaya diterima dalam bentuk legal,
struktural, dan panduan sekolah sebagai sistem sosial.71 Kondisi nilai
budaya individu mempengaruhi sistem nilai para staf.

Kesimpulan
Kepala sekolah harus optimal menjalankan peran sebagai pemimpin yang
mempunyai kekuatan untuk membangun, mengelola dan meningkatkan
budaya sekolah. Membangun budaya sekolah merupakan suatu proses
panjang dan butuh internalisasi terus menerus.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: J-Art. Revisi terjemah


oleh Departemen Agama RI.

______. 2003. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.


Jakarta: Harvarindo.

______. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005:


tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Harvarindo.

_____. 2006. Panduan Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Depdiknas.

Asy’arie, Musa.1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.


Yogyakarta: LESFI.

71
Ibid, hal.68
21

Begley, T. Paul. 1996. Cognitive Perspective on the Nature and Function of Values
in Educational Administration. K. Leithwood et al (eds), Chapter 17, Part 1
International Handbook of Educational Leadership and Administration.
Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Colley, M. Kenna. 1999. Coming to Know A School Culture. Dissertation the


Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University.

Cozby, C. Paul. 2001. Methods in Behavioral Research. Seventh Edition, United


States America: Mayfield Publishing Company.

Daruluddin. Kepemimpinan dan Budaya Kerja di Lingkungan Sanggar Kegiatan


Belajar (SKB) Kabupaten Kerinci.Tesis Program Pascasarjana IAIN STS
Jambi.

Faisal, Sanafiah. 1998. Penelitian Qualitatif; Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang:


Yayasan Asah Asih Asuh.

Geertz, Cliford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books,
Inc.

Good, L. Thomas, dan Brophy, E. Jere. 2003. Looking in Classrooms. America:


Allyn dan Bacon.

Hasibuan, Lias. 2005. Melejitkan Mutu Pendidikan: Refleksi, Relevansi, dan


Rekonstruksi Kurikulum. Jambi: SAPA Project.

Hesket, L. James. Corporate Culture and Performance. New York: Oxford the
Free Press.
22

Hobby, Russel. 2004. A Culture for Learning: An Investigation into the Values and
Beliefs Associated with Effective Schools. United States America: Hay Group
Education.

Hoy, K. Wayne, dan Miskel, G. Cecil. 1978. Educational Administration: Theory


Research and Practice. United States America: Random House New York.

Iqbal, Muhammad. 1958. The Reconstruction of Religious Thought in Islam.


Lahore.

Kent, D. Peterson. 2002. at Issue Culture: Positive or Negative, National Staff


Development Council, JSD Summer. Http://www.ed.gov/Eric

Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. 2005. Visionary Leadership: Menuju Sekolah
Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Kowalski, J, Theodore.1997. School Reform: Community Education, and the


Problem of Institutional Culture. Community Education Journal, Vol XX,
Nos 3 & 4, Spring/ Summer.

Langgulung, Hasan. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta:Pustaka


Alhusna.

Leithwood, dan Aitken, Jantzi. 2001. Making Schools Smarter. A System for
Monitoring School and District Progress. Readernr. 71624.

Lipham, M. James dan Hoeh, James. 1974, The Principalship: Foundations and
Functions. New York: Harper & Row Publishers.
23

Mangkunegara, Prabu, Anwar. 2005. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung:


Refika Aditama.

Miles, B. Mattwey dan Huberman, A. Michael. terjemahan oleh Tjejep Rohidi.


Analisis Data Qualitatif, Jakarta: UI Press.

Muhaimin, dkk. 1994. Dimensi-dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama

Mukhtar. 2003. Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta:


Misaka Galiza.

Mulyana, Dedy 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu


Komunikasi dan Ilmu Lainnya. Bandung: Rosdakarya.
Pace, R. Wayne, dan Faules, F. Don. 1989. Organizational Communication. New
Jersey: Prentice Hall.

Peterson, D. Kent. 2002. at Issue Culture: Positive or Negative, National Staff


Development Council. JSD Summer.

Reynolds, D. dan Teddie, C. 1999. The Future Agenda of Studies into the
Effectiveness of Schools. Raedernr.71629.

Ruohotie, Pekka. 1996. Professional Growth and Development. K. Leithwood et al


(eds), Part 1 International Handbook of Educational Leadership and
Administration. Neteherldans: Kluwer Academic Publishers.

Rusmini. Implementasi Budaya Akademis: Studi pada Fakultas Tarbiyah IAIN STS
Jambi. Tesis Program Pascasarjana IAIN STS Jambi.

Sammons, Pam. Hilman, Josh, dan Mortimore, Peter. 1995. Key Characteristics
of Effective Schools: A review of school effectiveness research.
24

Sergiovanni,J. Thomas, dan Starrat, J. Robert. 2002. Supervision: A Redefinition.


New York: McGraw - Hill Companies.

_________. 1989. Educational Governance and Administration, New Jersey:


Prentice-Hall.

Shihab, M. Qurais. 1994. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu


dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan.

Sirozi, Muhammad. 2004. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta:


INIS.

Stephen, Stolp. 1994. Leadership for School Culture. ERIC Clearinghouse on


Educational Management Eugene OR. Http://www.ed.gov/Eric

Arikunto, Suharsimi. 2000. Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.

Sagala, Syaiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat: Strategi


Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.

Tuckman, W, Bruce. 1972. Conducting Educational Research. New York:


Harcourt Brace Jovanovic.

Untung, Moh. Slamet. 2005. Muhammad Sang Pendidik. Semarang: Pustaka


Rizki Putra.

Anda mungkin juga menyukai