Anda di halaman 1dari 38

Prof. A.

Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat


bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah
satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an.
Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Rendra memiliki idealisme yang kuat dan sangat peka pada realita sosial yang ada di
sekitarnya. Bahkan terkadang, karena idealismenya inilah menyebabkan ia seringkali
berselisih dengan pemerintah. Perselisihannya dengan pemerintah tidak serta merta
menyebabkan namanya tenggelam, bahkan karena perselisihan inilah yang kemudian
mengantarkannya mendapat beberapa penghargaan baik itu nasional maupun sebagai seorang
sastrawan berdedikasi tinggi dan konsisten menyuarakan keinginan rakyat.

A. Analisis Unsur Intrinsik


1. Judul
Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang merupakan arti dari doa seorang prajurit
yaitu di tandai dengan lirik serdadu sebelum berperang. Dari judul tersebut kita bisa
mengetahui persoalan yang hendak di ungkapkan oleh penyair. Persoalannya tersebut
yaitu mengenai keinginannya untuk berperang dan membunuh lawannya, tetapi juga
berperang melawan batinnya sendiri. Melawan dan membunuh musuh memang harus ia
lakukan akan tetapi rasa penyesalan dan ketakutan juga mengiring langkahnya. Sehingga
ia berdoa memohon ampun kepada tuhan sebelum ia pergi berperang.

2. Tema
Tema puisi berjudul Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang tersebut adalah
mengenai perjuangan seorang prajurit atau serdadu. Puisi tersebut menceritakan bahwa
seorang prajurit tidak hanya berperang melawan musuhnya, tetapi juga berperang melawan
batinnya sendiri. Melawan musuh dengan membunuh merupakan hal yang harus ia
lakukan, tetapi rasa penyesalan dan ketakutan juga selalu mengiringi langkahnya. Lalu
sebelum berperang ia berdoa kepada Tuhan dengan harapan Tuhan mengampuninya
meskipun ia berlumuran dosa.
3. Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang
tepat dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan
jiwa penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran. Dalam puisi tersebut,
penyair banyak menggunakan kata-kata lembut. Hal demikian dikarenakan puisi di atas
menggambarkan seseorang yang menyesal dan meminta pengampunan dari Tuhan.
Sehingga layaknya berdoa sebenarnya, penyair memilih kata-kata yang penuh haru, sangat
menyesal, dan bersungguh-sungguh memohon ampun.
4. Gaya Bahasa atau Majas
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Doa Seorang Serdadu sebelum Berperang
karya WS Rendra adalah sebagai berikut.
a. Hiperbola
Majas hiperbola pada puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperangkarya WS
Rendra terdapat pada baris-baris berikut:
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi
subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
b. Metafora
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
Penyair mengibaratkan malam dan wajah memiliki sifat yang sama yaitu berwarna
gelap. Sementara dosa dan nafas juga dianggap sama. Dosa dilakukan pada saat ia
bernapas di satu tempat yang memiliki udara yang sama karena pada dasarnya bumi adalah
tempat luas dengan udara yang menyatu.
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Pada baris tersebut mengibaratkan Tuhan seolah-olah memiliki sifat sama seperti
manusia yaitu dapat mendekap sesuatu dengan lengannya. Sementara kita tidak tahu
bagaimana wujud Tuhan sebenarnya. Karena yang sebenarnya Tuhan memiliki caranya
sendiri untuk melakukan sesuatu. Penyair juga menggambarkan bumi seolah-olah manusia
yang dapat mengkhianati orang lain.
c. Personifikasi
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi berbicara
Pada kata-kata dan mesiu kembali lagi bicara, mesiu yang merupakan benda mati
digambarkan dapat berbicara layaknya manusia atau benda hidup.
5. Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair kepada pembaca. Pada puisi Doa Seorang Serdadu
Sebelum Berperang, dengan penuh keseriusan penyair mengungkapkan sebuah penyesalan
atas dosa yang telah dilakukan. Dengan penuh rasa harap penyair memohon agar Tuhan
mau mengampuninya dan memperkenankan ia berperang. Itulah gambaran sikap penyair
yang ada dalam puisi tersebut.
Suasana adalah rasa yang tercipta setelah pembaca membaca puisi tersebut. Perasaan
murung, sedih, gundah, dan kecewa yang tergambar pada puisi karya WS Rendra tersebut
akan mempengaruhi kita sebagai pembaca untuk ikut merasakan haru dan miris. Suasana
kesedihan bercampur dengan semangat seorang serdadu untuk berperang melawan
penjajah tergambar pada puisi itu.
6. Amanat
Tugas seorang serdadu atau prajurit bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus
membunuh entah orang yang bersalah maupun tidak bersalah demi sebuah tugas membela
negeriny, sehingga hal tersebut harus kita hargai. Segala usaha yang kita lakukan tetap
diperlukan sebuah doa. Meskipun dosa kita banyak maupun sedikit, tetaplah berusaha
memohon ampunan kepada Tuhan.

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG


Karya W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25, 18 Juni 1960

ANALISIS PUISI “DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG”


karya W. S. Rendra
A. Analisis Unsur Intrinsik
1. Tema
Tema puisi berjudul Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang tersebut adalah mengenai
perjuangan seorang prajurit atau serdadu.

2. Gaya Bahasa atau Majas


.
1) Hiperbola
Yaitu suatu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal. Hiperbola digunakan pengarang untuk mempertinggi nilai kata
atau mempertinggi nilai-nilai dari bahasa itu sendiri. Majas hiperbola pada puisi Doa Seorang
Serdadu Sebelum Berperang karya WS Rendra terdapat pada baris-baris berikut:
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
2) Metafora
Yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai
sifat yang sama atau hampir sama. Baris yang menggunakan majas metafora pada puisi
tersebut antara lain:
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
Penyair mengibaratkan malam dan wajah memiliki sifat yang sama yaitu berwarna gelap.
Sementara dosa dan nafas juga dianggap sama. Dosa dilakukan pada saat ia bernapas di satu
tempat yang memiliki udara yang sama karena pada dasarnya bumi adalah tempat luas
dengan udara yang menyatu.
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Pada baris tersebut mengibaratkan Tuhan seolah-olah memiliki sifat sama seperti manusia
yaitu dapat mendekap sesuatu dengan lengannya. Sementara kita tidak tahu bagaimana wujud
Tuhan sebenarnya. Karena yang sebenarnya Tuhan memiliki caranya sendiri untuk
melakukan sesuatu. Penyair juga menggambarkan bumi seolah-olah manusia yang dapat
mengkhianati orang lain.
3) Personifikasi
Yaitu majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Personifikasi pada puisi di atas adalah sebagai berikut.
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi berbicara
Pada kata-kata dan mesiu kembali lagi bicara, mesiu yang merupakan benda mati
digambarkan dapat berbicara layaknya manusia atau benda hidup.
3. Amanat
Pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui puisi di atas adalah:
- Tugas seorang serdadu atau prajurit bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus
membunuh entah orang yang bersalah maupun tidak bersalah demi sebuah tugas membela
negerinya. Sehingga hal tersebut harus kita hargai.

*Puisi Terakhir WS Rendra


Karya WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal

Aku pengin makan tajin


Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar

Aku pengin membersihkan tubuhku


dari racun kimiawi

Aku ingin kembali pada jalan alam


Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah

Tuhan, aku cinta padamu

1. Tema
Tema yang terkandung dalam *Puisi Terakhir WS Rendra adalah ketuhanan (religius),
yaitu perasaan ingin mendekatkan diri seseorang kepada Tuhannya saat kondisinya sedang
sakit. Dia tidak putus asa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Hal tersebut tercermin
dalam bait ke-4 yaitu “Aku ingin kembali pada jalan alam//Aku ingin meningkatkan
pengabdian//kepada Allah” serta bait ke-5 yaitu “Tuhan, aku cinta padamu”.

2.Amanat
Amanat yang ingin disampaikan penyair dalam *Puisi Terakhir WS Rendra
adalah penyair tidak ingin terlihat lemah dengan penyakitnya. Penyair telah ikhlas dengan
penyakitnya sehingga tidak mengeluh. Penyair hanya ingin semakin dekat dengan Tuhan disisa
akhir hidupnya.
Melalui puisinya, pengarang juga mau menyampaikan pesan/amanat bahwa:
a. Kita tidak boleh mengeluh apalagi putus asa dalam menjalani hidup sesulit apapun itu.
b. Kita harus ikhlas dalam menjalani takdir yang telah Tuhan berikan.
c. Kita harus semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dari sekian banyak karya yang diciptakan WS Rendra, Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
adalah salah satu puisi yang tergolong istimewa. Puisi ini menggambarkan pergumulan batin
seorang serdadu yang hendak berlaga ke medan peperangan. Serdadu ini mengalami konflik
batin yang hebat karena ia harus melaksanakan tugas negara dengan membunuh serdadu musuh
demi mempertahankan kedaulatan dan melindungi segenap tumpah darah negaranya.

Secara umum, puisi ini sangat menarik karena memberi gambaran akan dilema dan
kebimbangan yang dialami oleh seorang serdadu. Di satu sisi ia harus berjuang membela
bangsa dan negaranya dari penjajah. Di sisi lain ia juga harus melawan dirinya sendiri karena
untuk tujuan pembelaan ini ia harus membunuh, suatu perbuatan yang sangat dibenci
Tuhan. Untuk memperjelas makna puisi yang terdiri atas lima bait dengan 29 baris ini, analisis
mengenai struktur fisik seperti diksi, imaji, bahasa figuratif, dan kata konkret dan struktur batin
seperti perasaan, nada, tema dan amanat akan dijelaskan secara terperinci.

Bait pertama menggambarkan sang serdadu yang sedang berdoa sebelum berperang. Dalam
doanya, ia sepenuhnya menyadari bahwa “wajahMu (senantiasa) membayang” meskipun “kota
terbakar” karena peperangan. Pilihan kata “terbakar” memberi konotasi peperangan yang
sangat hebat sehingga menimbulkan kekacauan dan memporak-porandakan sebuah kota. Hal
ini diperkuat dengan “ribuan kuburan yang dangkal” yang menunjukkan banyaknya korban
perang yang dikubur secara tidak semestinya. Selain diksi yang konotatif pada bait ini, imaji
visual yang tercipta pun sangat kuat. Kita dapat membayangkan kota yang memerah karena
terbakar dan pemandangan ribuan kuburan dari korban yang tewas akibat peperangan.

Bait kedua semakin mempertegas kegetiran dan kepedihan yang ditimbulkan oleh peperangan.
Ribuan anak menangis karena “kehilangan bapa” dan kampung halaman (“tanah”) menjadi
sepi karena para lelakinya harus pergi untuk berjuang di medan laga. Yang menjadikan
suasana lebih menyedihkan adalah ironi yang diselipkan Rendra pada baris 7 dan 8. Bukan
benih yang ditanam di tanah yang subur, melainkan “bangkai dan wajah mati yang sia-sia.”
Kedua baris ini merupakan sindiran karena benih tanamanlah yang seharusnya ditanam.
Sayangnya, karena peperangan yang hebat, para pejuang dan serdadulah yang terpaksa harus
ditanam di tanah yang subur di kampung halaman yang telah banyak kehilangan para lelaki.
Selain ironi yang kuat, imaji auditif juga dapat kita dengarkan lewat tangisan anak-anak karena
para ayah gugur di medan perang.

Doa serdadu di bait ketiga menggambarkan konflik psikologis yang ia alami ketika malam
turun. Perang yang lebih sering terjadi malam hari menyempurnakan dosa para serdadu yang
harus saling membunuh. Makna ini tercermin pada baris 9 hingga 11. Perbandingan kata
“malam” dan “warna dosa” mewakili majas asosiasi yang akurat. Kata “malam” diasosiasikan
dengan kegelapan. Persis seperti “dosa” yang diasosiasikan dengan kekelaman. Pada saat
malamlah “mesiu kembali lagi bicara” (baris 11). Yang juga menarik pada bait ini adalah ketika
sang serdadu memohon izin kepada Tuhan: “Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku
membunuh. Perkenankan aku menusukkan sangkurku” (baris 12-14). Ia sepenuhnya tahu
bahwa membunuh merupakan salah satu pelanggaran atau dosa yang sangat berat. Namun ia
tak mampu menghindar dari perbuatan yang sangat dibenci Tuhan ini yang sekaligus juga akan
menyempurnakan dosanya. Ia memohon izin karena ia merasa berdosa kepada Tuhan atas
perbuatan yang akan ia lakukan.

Bait ke empat semakin menegaskan makna yang telah disinggung di bait ke tiga. Bait ini dibuka
dengan majas metafora “malam dan wajahku adalah satu warna.” Sang serdadu mengakui ia
telah melanggar perintah Tuhan karena “dosa dan nafasku adalah satu udara.” Sebagai serdadu,
ia tak memiliki pilihan meskipun ia menyesal atas perbuatan yang ia lakukan. Jadi, ia ingin
mengadu kepada Tuhan bahwa ia tidak bisa menghindar dari perbuatan membunuh karena “tak
ada lagi pilihan” (baris 19). Secara kasat mata, bait ini menegaskan konflik batin sang serdadu.

Bait terakhir merupakan klimaks dari puisi ini. Secara tidak langsung, sang serdadu
menyatakan protes kepada Tuhan melalui pertanyaan retoris “Apa yang bisa diucapkan oleh
bibirku yang terjajah?” (baris 22-23). Ia tahu bahwa Tuhan senantiasa berusaha merangkul
umat manusia (bumi) meskipun lenganNya selalu capai. Namun, umat manusia selalu saja
“mengkhianatiMu” dengan saling membunuh demi kekuasaan yang ingin mereka raih. Sebagai
serdadu, ia hanya menghendaki kebebasan dan ingin melepaskan diri dari para penjajah.
Karena itu, dua baris terakhir, yang juga merupakan repetisi dari baris 13-14, merupakan
penegasan dari tekad sang serdadu untuk diperkenankan “membunuh” dan “menusukkan
sangkurku.” Ironi juga nampak pada bait ini lewat “lenganMu yang capai mendekap bumi.”
Meskipun Tuhan telah berupaya keras, perang tak pernah selesai di bumi karena manusia selalu
berkhianat dan “lapar” untuk berkuasa.
Secara keseluruhan, puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang berhasil menghadirkan
perasaan dan pergumulan batin seorang tentara yang akan pergi ke medan laga. Rendra
dengan sangat akurat menggambarkan pergumulan tersebut dan memperkuatnya dengan
memasukkan unsur religiositas (campur tangan Tuhan). Dalam puisi ini, sang serdadu tidak
hanya berperang melawan penjajah yang harus ia bunuh, tetapi ia juga berperang melawan
dirinya sendiri: membunuh perasaannya dan mengesampingkan dosa yang harus ia tanggung
akibat perbuatan pembunuhan yang akan ia lakukan. Analisis struktural yang sistematis
membantu pembaca menangkap tema dan maksud penyair secara tepat. Melalui analisis
struktur fisik dan batin puisi ini pula, pembaca menjadi lebih menyadari amanat yang ingin
disampaikan penyair. (820 kata)

ANALISIS PUISI “DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG”

karya W. S. Rendra

a) Analisis Unsur Intrinsik

1. Judul

Doa seorang serdadu sebelum berperang merupakan arti dari doa seorang prajurit yaitu di
tandai dengan lirik serdadu sebelum berperang. Dari judul tersebut kita bisa mengetahui
persoalan yang hendak di ungkapkan oleh penyair. Persoalannya tersebut yaitu mengenai
keinginannya untuk berperang dan membunuh lawannya, tetapi juga berperang melawan
batinnya sendiri. Melawan dan membunuh musuh memang harus ia lakukan akan tetapi rasa
penyesalan dan ketakutan juga mengiring langkahnya. Sehingga ia berdoa memohon ampun
kepada tuhan sebelum ia pergi berperang.

2. Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat
dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa
penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran. Dalam puisi tersebut, penyair
banyak menggunakan kata-kata lembut. Hal demikian dikarenakan puisi di atas
menggambarkan seseorang yang menyesal dan meminta pengampunan dari Tuhan. Sehingga
layaknya berdoa sebenarnya, penyair memilih kata-kata yang penuh haru, sangat menyesal,
dan bersungguh-sungguh memohon ampun.

Penggunaan kata kau dan aku yang dominan dalam larik puisi di atas menunjukan bahwa
pengarang secara lugas merujuk kepada dirinya sendiri dan kepada tuhan, yang di mana
dirinya di gambarkan sebagai seorang prajurit yang akan berperang melawan musuhnya,.
Melawan musuh dengan membunuh merupakan hal yang harus ia lakukan, tetapi rasa
ketakutan selalu mengiringi langkahnya, sehingga sebelum ia berperang ia berdoa kepada
tuhan untuk mengampuni dirinya yang berlumuran dosa. Penggunaan kata aku sebagai saksi,
menunjukan bahwa persoalan yang dikemukakan dalam puisi tersebut merupakan cerita
bukan dongeng, yaitu keadaan batin yang sebenarnya di rasakan oleh si lirik aku.

3. Imaji

Imaji visual dan imaji auditif dipadu dengan sangat harmonis menimbulkan rasa “ miris “ di
hati pembaca. Coba kita perhatikan kutipan berikut:

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

pada larik anak menangis kehilangan bapa pembaca seolah mendengar suara yang sangat
menyedihkan, yaitu seorang anak yang menangis karena kehilangan bapaknya. Dan pembaca
juga seolah dihadapkan pada imaji visual karna melihat anak yang menangis kehilangan
bapaknya tersebut. Sehingga tidak hanya anak yang kehilangan bapaknya tersebut, tetapi istri
juga kehilangan suaminya ini di tandai dengan larik tanah sepi kehilangan lelakinya .
sehingga di katakan bukannya kedamain yang harusnya di rasakan di bumi yang subur ini
tetapi bangkai orang yang meninggal sia-sia.

4. Gaya Bahasa atau Majas

Gaya bahasa adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi atau
ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang memesona (Jalil, 1985: 31) Gaya bahasa yang
digunakan dalam puisi Doa Seorang Serdadu sebelum Berperang karya WS Rendra adalah
sebagai berikut.

a. Hiperbola

Yaitu suatu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut


menjadi tidak masuk akal. Hiperbola digunakan pengarang untuk mempertinggi nilai kata
atau mempertinggi nilai-nilai dari bahasa itu sendiri. Majas hiperbola pada puisi Doa Seorang
Serdadu Sebelum Berperang karya WS Rendra terdapat pada baris-baris berikut:

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.

b. Metafora

Yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai
sifat yang sama atau hampir sama. Baris yang menggunakan majas metafora pada puisi
tersebut antara lain:

Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara

Penyair mengibaratkan malam dan wajah memiliki sifat yang sama yaitu berwarna gelap.
Sementara dosa dan nafas juga dianggap sama. Dosa dilakukan pada saat ia bernapas di satu
tempat yang memiliki udara yang sama karena pada dasarnya bumi adalah tempat luas
dengan udara yang menyatu.

Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Pada baris tersebut mengibaratkan Tuhan seolah-olah memiliki sifat sama seperti manusia
yaitu dapat mendekap sesuatu dengan lengannya. Sementara kita tidak tahu bagaimana wujud
Tuhan sebenarnya. Karena yang sebenarnya Tuhan memiliki caranya sendiri untuk
melakukan sesuatu. Penyair juga menggambarkan bumi seolah-olah manusia yang dapat
mengkhianati orang lain.

c. Personifikasi
Yaitu majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Personifikasi pada puisi di atas adalah sebagai berikut.

Apabila malam turun nanti

sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi berbicara

Pada kata-kata dan mesin kembali lagi bicara, mesin yang merupakan benda mati
digambarkan dapat berbicara layaknya manusia atau benda hidup.

5. Rima dan Irama

Pada bait pertama terdapat rima tak sempurna, bersajak a-b-b-b

Tuhanku, (a)

WajahMu membayang di kota terbakar (b)

dan firmanMu terguris di atas ribuan (b)

kuburan yang dangkal (b)

Pada bait kedua terdapat rima tak sempurna, bersajak a-a-b-a

Anak menangis kehilangan bapa (a)

Tanah sepi kehilangan lelakinya (a)

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini (b)

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia (a)

Pada bait ketiga terdapat rima tak sempurna pada baris satu sampai tiga, sedangkan pada
baris empat hingga enam menggunakan rima rata dan sempurna, bersajak a-b-b-c-c-c

Apabila malam turun nanti (a)

sempurnalah sudah warna dosa (b)

dan mesiu kembali lagi bicara (b)

Waktu itu, Tuhanku, (c)

perkenankan aku membunuh (c)

perkenankan aku menusukkan sangkurku (c)

Pada bait keempat terdapat rima bersilang pada baris kesatu hingga keempat, sedangkan
pada baris kelima hingga ketujuh menggunakan rima berpeluk, bersajak a-b-a-b c-d-c
Malam dan wajahku (a)

adalah satu warna (b)

Dosa dan nafasku (a)

adalah satu udara. (b)

Tak ada lagi pilihan (c)

kecuali menyadari (d)

-biarpun bersama penyesalan- (c)

Pada bait kelima terdapat rima bebas pada baris kesatu hingga keempat, sedangkan pada
baris kelima hingga kedelapan menggunakan rima rata, bersajak a-a-b-c-c-c-c-c

Apa yang bisa diucapkan (a)

oleh bibirku yang terjajah ?(a)

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai (b)

mendekap bumi yang mengkhianatiMu (c)

Tuhanku (c)

Erat-erat kugenggam senapanku (c)

Perkenankan aku membunuh (c)

Perkenankan aku menusukkan sangkurku (c)

Rima yang digunakan dalam puisi tersebut cenderung menggunakan rima tak sempurna atau
bebas. Hal itu dipengaruhi karena puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang merupakan
puisi bebas yang cenderung sudah meninggalkan aturan puisi lama yang begitu
mementingkan jumlah baris dalam bait serta rimanya.

Û Irama

Pada puisi di atas, bunyi puisi juga sangat ditonjolkan. Puisinya memiliki bunyi kakofoni,
yaitu bunyi yang tidak merdu dan cenderung parau.

Puisi tersebut akan bagus jika dibaca dalam tempo lambat dan suara yang agak rendah.

· Bait pertama dibacakan dengan lembut

· Bait kedua dibacakan dengan lembut lalu agak lebih keras menuju baris terakhir

· Bait ketiga dibaca sama dengan bait kedua

· Bait keempat dibaca dengan suara lembut dan khusyuk


· Bait keempat dibaca dengan lembut pada awal bait dan lebih keras pada akhir bait

6. Tema

Tema puisi berjudul Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang tersebut adalah mengenai
perjuangan seorang prajurit atau serdadu.

Puisi tersebut menceritakan bahwa seorang prajurit tidak hanya berperang melawan
musuhnya, tetapi juga berperang melawan batinnya sendiri. Melawan musuh dengan
membunuh merupakan hal yang harus ia lakukan, tetapi rasa penyesalan dan ketakutan juga
selalu mengiringi langkahnya. Lalu sebelum berperang ia berdoa kepada Tuhan dengan
harapan Tuhan mengampuninya meskipun ia berlumuran dosa.

b) Unsur Ekstrinsik Puisi

1. Aspek historis

Salah satu puisinya yang menggambarkan realitas sosial adalah puisi yang berjudul Doa
Seorang Serdadu sebelum Berperang tersebut. Dibuat pada tahun 60an yang pada saat itu
Indonesia masih bergejolak, Rendra ingin mengungkapkan bagaimana perjuangan yang
dilakukan oles seorang serdadu dalam mengemban tugasnya.

Dalam Puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang, Rendra menggambarkan


permohonan ijin seorang serdadu kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk membunuh penjajah
di medan peperangan demi mewujudkan kemerdekaan, karena ia tak tega melihat betapa
tragisnya nasib orang-orang yang berperang, seperti terlihat di baris kelima, enam, tujuh, dan
delapan:

Anak menangis kehilangan bapa/ tanah sepi kehilangan lelakinya/ bukannya benih yang
disebar di bumi subur ini/ tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.

Berbagai peristiwa saat sebelum maupun setelah proklamasi kemerdekaan melatarbelakangi


Rendra menulis karyanya tersebut. Fokusnya adalah mengenai prajurit yang berjuang dengan
sangat pemberani meskipun di dalam batinnya juga merasa takut. Rendra membayangkan
dirinya sebagai seorang prajurit yang akan berperang lalu mengalami kesedihan ketika harus
menyaksikan banyak penderitaan dan kematian di sekitarnya.

2. Aspek psikologis

Kaitan sastra dengan aspek psikologis sangat erat sekali, karena sastra berkaitan
dengan jiwa manusia. Pada saat melahirkan imajinasinya, pengarang kadang kala memasukan
pengetahuan tentang psikologi tertentu sehingga karyanya memuat aspek psikologis. Aspek
psikologis yang terdapat pada puisi tersebut yaitu perasaan sedih yang di alami oleh prajurit
yang harus berperang membunuh lawannya dan melawan batinnya sendiri. Dan perasaan
sedih yang, mengenai penderitaan masyarakat akibat suatu perang, seperti digambarkan
dalam bait berikut.

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

c) Tinjauan Dari Sudut Literasi Kritis

1. Hasil analisis

Dari unsur instrinsik dan ekstrinsik, secara jelas kita bisa melihat ide-ide yang secara lantang
menyuarakan jerit kesedihan dan pengampunan . berdasarkan judulnya kita bias menebak
persoalan yang di kemukakan oleh penyair. Persoalan itu tidak jauh dari kesedihan, dan
pengampunan seorang prajurit kepda tuhan atas dosanya, yang di mana ia menganggap
dosanya itu yaitu ketika ia membunuh para musuhnya di medan perang.

Penggunaan kata kau dan aku yang dominan dalam larik puisi di atas menunjukan bahwa
pengarang secara lugas merujuk kepada dirinya sendiri dan kepada tuhan, yang di mana
dirinya di gambarkan sebagai seorang prajurit yang akan berperang melawan musuhnya,.
Melawan musuh dengan membunuh merupakan hal yang harus ia lakukan, tetapi rasa
ketakutan selalu mengiringi langkahnya, sehingga sebelum ia berperang ia berdoa kepada
tuhan untuk mengampuni dirinya yang berlumuran dosa. Penggunaan kata aku sebagai saksi,
menunjukan bahwa persoalan yang dikemukakan dalam puisi tersebut merupakan cerita
bukan dongeng, yaitu keadaan batin yang sebenarnya di rasakan oleh si lirik aku.

2. kesimpulan

kesimpulan dari puisi di atas yaitu menceritakan bahwa seorang prajurit tidak hanya
berperang melawan musuhnya, tetapi juga berperang melawan batinnya sendiri. Melawan
musuh dengan membunuh merupakan hal yang harus ia lakukan, tetapi rasa penyesalan dan
ketakutan juga selalu mengiringi langkahnya. Lalu sebelum berperang ia berdoa kepada
Tuhan dengan harapan Tuhan mengampuninya meskipun ia berlumuran dosa.

3. Eksploitasi

Eksploitasi ini bermakna dengan penggunaan puisi yang dimiliki untuk menindas orang
lain. Dalam puisi ini kita bias melihat ketika terjadi peperangan banyak hal-hal yang
menyedihkan yang di alami salah satunya yaitu anak yang menangis kehilangan bapaknya
dan istri yang kehilangan suaminya seta banyak nya orang-orang yang meninggal.

4. Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan ini lebih di sebabkan oleh situasi. Situai yang membuat lirik aku
berperang untuk melawan dan membunuh lawannya. Sehingga rasa penyesalan dan ketakutan
juga selalu mengiringi langkahnya. Sehingga sebelum berperang ia berdoa kepada tuhan
untuk mengikutinya karna dirinya berlumuran dosa.

Dalam puisi ini diceritakan harapan seseorang melalui doa kepada Tuhannya untuk
memohon agar tercapainya harapan sebelum ia bergulat dengan kerasnya kehidupan, disini
terdapat sisipan klimat-kalimat kiasan untuk menarik pembaca atau disebut juga dengan majas.
Seperti kutipan kalimat yang saya lihat di puisi ini contohnya “bukannya benih yang di sebar
di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia” pada baris ke-7 dan 8, itu
menurut saya adalah suatu penyesalan yang memaksa semangat untuk bangun dari
keterpurukan.

Ada pula sisipan kata yang menggambarkan maksud dari isi puisi ini
yaitu,“perkenankan aku membunuh, perkenankan aku menusukan sangkurku” , jelas
maksud si penulis itu untuk menggambarkan suatu harapan melalui doa untuk meraih
pencapaian. Kataperkenankan adalah kata kunci dari statement saya untuk beranggapan
bahwa puisi ini berisikan sebuah permohonan dan adanya kata “Tuhan ku”pada baris pertama
yang membuat pikir indikasi di otak saya bahwa itu beranggapan adalah sebuah doa pada
Tuhannya. Dan pembaca pun akan bisa menerka apa sebenarnya makna dari puisi tersebut
melalui tema atau judul yang terpampang jelas mengusung kata doa dari si aku liriknya (voice).

Sangat terlihat penulis begitu relevan untuk membuat pembaca berpikir sesudah
membaca puisi ini, bagaimana tidak hampir semua bahasan dalam kalimat begitu sulit dan
menyimpan misteri untuk kita tebak dan mencernanya untuk menghasilkan sebuah makna
tertimbun dalam susunan kalimat berbau idiom bahkan majas sekalipun, puisi sangat identik
dengan misteri dalam kata-kata. Jika dilihat dari sudut metaphor kata malam dan wajahku
adalah satu warna pada baris ke-15, mungkin jika di applikasikan pada bahasa keseharian
sangat tidak di mengerti oleh kaum awam yang sama sekali tidak mengenal idiom bahasa.
Dugaan atau statement orang akan berbeda setelah membaca puisi ini karena puisi ini juga akan
bisa menimbulkan adanya debat perbedaan faham.
Melihat dari bunyi atau tone dari puisi ini saya beranggapan pembaca akan bernotasi
sentakan permohonan pada sang khalik dan memaksa untuk menjiwai setiap katanya. Puisi ini
sangat menekankan pada permohonan dan harapan yang meluap-luap.

Abstrak memang analisis saya kali ini, karena kapasitas saya sebagai seorang
mahasiswa yang masih mencari hakikat tepat tentang sebuah puisi. Begitu apa adanya analisis
yang saya buat dan di luar kapasitas saya tentang puisi ini mungkin akan timbul statement
berbeda.

Analisis :

Ragam puisi Indonesia sangatlah banyak. salah satunya adalah puisi perjuangan. Puisi
perjuangan adalah puisi yang berbicara tentang perlawanan, yaitu sebuah usaha untuk
memperebutkan hak yang semestinya kita dapatkan akan tetapi diganggu olah pihak lain.
Puisi perjuangan tak melulu bicara tantang perang, tentang peluru ataupun senapan.

Tetapi lebih luas lagi, puisi perjuangan berbicara tentang usaha orang-orang pinggiran untuk
merebut kembali haknya, tentang penindasan yang dilakukan oleh pihak yang kuat kepada
pihak yang lemah, dan lain sebagainya.

Salah satu penyair yang seringkali menulis tentang perjuangan hidup orang-orang kecil
adalah WS Rendra. WS. Rendra dikenal sebagai penyair yang konsisten memperjuangkan
hak-hak orang-orang kecil. Rendra seringkali mengangkat tema tentang orang-orang yang
terlantar, kaum miskin, bahkan para pelacur sekali pun.

Rendra menuangkan kegelisahannya dalam bentuk puisi, puisi yang jujur tanpa banyak
menggunakan istilah-istilah rumit yang tidak mudah dipahami orang lain.

Dalam sebuah sajaknya yang berjudul Orang-Orang Miskin WS Rendra begitu gamblang
menceritakan tentang penderitaan hidup mereka.

Penggunaan gaya bahasa yang sangat dominan dalam puisi disebabkan oleh adanya media
yang sangat terbatas. Kesatuan puisi, yang disebut sebagai bait adalah totalitas yang sama
dengan bentuk cerpen, novel, dan drama. Perbedaannya, satu bait puisi terdiri dari satu atau
dua halaman, sedangkan sebuah novel terdiri atas ratusan bahkan ribuan halaman. Dalam
puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang Sebelum Perang karya W.S Rendra, setiap bait
memiliki totalitasnya. Berikut analisis puisi diatas :
Dalam puisi diatas, bunyi puisi juga sangat ditonjolkan. Puisinya memiliki bunyi Kakofoni
(cacophony) yaitu bunyi yang tidak merdu dan cenderung parau. Pada puisi Doa Seorang
Serdadu Sebelum Perang, Vokal a, o, u lebih mendominasi, sehingga perasaan murung, sedih,
gundah, kecewa tergambar jelas.

Puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang, menggunakan pilihan kata yang amat lembut.
Seperti seseorang yang meminta pengampunan dosa dan memang begitu isinya. Gaya bahasa
yang dominan adalah gaya bahasa hiperbola, seperti yang nampak pada bait berikut:

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar

dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa

Tanah sepi kehilangan lelakinya

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Makna Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang lebih ditekankan kepada seorang yang
meminta diampuni dosanya karena sudah membunuh orang-orang yang bersalah maupun
tidak bersalah. Ini dapat terlihat dari penggalan puisi berikut :

Malam dan wajahku

adalah satu warna

Dosa dan nafasku

adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?

Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai

mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku

Erat-erat kugenggam senapanku

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Serdadu tersebut menerima nasib sebagai serdadu yang tugasnya membunuh orang dimedan
perang. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya membunuh orang lain yang dianggap musuh.
Tetapi ia mesti melaksanakan tugasnya itu. Mungkin dalam hal ini serdadu itu menyesali
mengapa tugasnya demikian.

A. Analisis Unsur Intrinsik


1. Tema
Tema puisi berjudul Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang tersebut adalah mengenai
perjuangan seorang prajurit atau serdadu.
Puisi tersebut menceritakan bahwa seorang prajurit tidak hanya berperang melawan
musuhnya, tetapi juga berperang melawan batinnya sendiri. Melawan musuh dengan
membunuh merupakan hal yang harus ia lakukan, tetapi rasa penyesalan dan ketakutan juga
selalu mengiringi langkahnya. Lalu sebelum berperang ia berdoa kepada Tuhan dengan
harapan Tuhan mengampuninya meskipun ia berlumuran dosa.
2. Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata yang digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat
dan sesuai dengan bentuk puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa
penyair secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran. Dalam puisi tersebut, penyair
banyak menggunakan kata-kata lembut. Hal demikian dikarenakan puisi di atas
menggambarkan seseorang yang menyesal dan meminta pengampunan dari Tuhan. Sehingga
layaknya berdoa sebenarnya, penyair memilih kata-kata yang penuh haru, sangat menyesal,
dan bersungguh-sungguh memohon ampun.
Kata-kata yang digunakan dalam persajakan dapat berupa kata dengan makna denotatif
maupun kata dengan makna konotatatif. Berikut ini merupakan contoh baris dengan makna
denotatif dan konotatif yang terdapat di dalam puisi di atas.
Makna Denotatif Makna Konotatif
1. Anak menangis kehilangan bapa 1. Tuhanku,
2. Bukannya benih yang disebar di bumi wajahMu membayang di kota terbakar
subur ini dan firmanMu terguris di atas ribuan
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia kuburan yang dangkal
3. Waktu itu, Tuhanku, 2. Tanah sepi kehilangan
perkenankan aku membunuh lelakinya
perkenankan aku menusukkan sangkurku 3. Apabila malam turun
4. Malam dan wajahku nanti
adalah satu warna
sempurnalah sudah warna dosa
5. Dosa dan nafasku
dan mesiu kembali lagi bicara
adalah satu udara
4. Apa yang bisa
6. Tak ada lagi pilihan
diucapkan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan- oleh bibirku yang terjajah?
7. Tuhanku 5. Sementara kulihat
Erat-erat kugenggam senapanku kedua lenganMu yang capai
8. Perkenankan aku membunuh mendekap bumi yang
9. Perkenankan aku menusukkan sangkurku mengkhianatiMu

3. Gaya Bahasa atau Majas


Gaya bahasa adalah suatu alat untuk melukiskan, menggambarkan, menegaskan inspirasi
atau ide dalam bentuk bahasa dengan gaya yang memesona (Jalil, 1985: 31). Dengan gaya
bahasa tersebut diharapkan akan memberikan warna kehidupan atau menghidupkan kata-kata
yang disampaikan penyair. Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Doa Seorang Serdadu
sebelum Berperang karya WS Rendra adalah sebagai berikut.
1) Hiperbola
Yaitu suatu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal. Hiperbola digunakan pengarang untuk mempertinggi nilai kata
atau mempertinggi nilai-nilai dari bahasa itu sendiri. Majas hiperbola pada puisi Doa Seorang
Serdadu Sebelum Berperangkarya WS Rendra terdapat pada baris-baris berikut:
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
2) Metafora
Yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai
sifat yang sama atau hampir sama. Baris yang menggunakan majas metafora pada puisi
tersebut antara lain:
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara
Penyair mengibaratkan malam dan wajah memiliki sifat yang sama yaitu berwarna gelap.
Sementara dosa dan nafas juga dianggap sama. Dosa dilakukan pada saat ia bernapas di satu
tempat yang memiliki udara yang sama karena pada dasarnya bumi adalah tempat luas
dengan udara yang menyatu.
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Pada baris tersebut mengibaratkan Tuhan seolah-olah memiliki sifat sama seperti manusia
yaitu dapat mendekap sesuatu dengan lengannya. Sementara kita tidak tahu bagaimana wujud
Tuhan sebenarnya. Karena yang sebenarnya Tuhan memiliki caranya sendiri untuk
melakukan sesuatu. Penyair juga menggambarkan bumi seolah-olah manusia yang dapat
mengkhianati orang lain.
3) Personifikasi
Yaitu majas kiasan yang menggambarkan benda-benda mati seolah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Personifikasi pada puisi di atas adalah sebagai berikut.
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi berbicara
Pada kata-kata dan mesiu kembali lagi bicara, mesiu yang merupakan benda mati
digambarkan dapat berbicara layaknya manusia atau benda hidup.
4. Nada dan Suasana
Nada adalah sikap penyair kepada pembaca. Pada puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum
Berperang, dengan penuh keseriusan penyair mengungkapkan sebuah penyesalan atas dosa
yang telah dilakukan. Dengan penuh rasa harap penyair memohon agar Tuhan mau
mengampuninya dan memperkenankan ia berperang. Itulah gambaran sikap penyair yang ada
dalam puisi tersebut.
Suasana adalah rasa yang tercipta setelah pembaca membaca puisi tersebut. Perasaan
murung, sedih, gundah, dan kecewa yang tergambar pada puisi karya WS Rendra tersebut
akan mempengaruhi kita sebagai pembaca untuk ikut merasakan haru dan miris. Suasana
kesedihan bercampur dengan semangat seorang serdadu untuk berperang melawan penjajah
tergambar pada puisi itu.

5. Rima dan Irama


- Rima:
Pada bait pertama terdapat rima tak sempurna, bersajak a-b-b-b
Tuhanku, (a)
WajahMu membayang di kota terbakar (b)
dan firmanMu terguris di atas ribuan (b)
kuburan yang dangkal (b)
Pada bait kedua terdapat rima tak sempurna, bersajak a-a-b-a
Anak menangis kehilangan bapa (a)
Tanah sepi kehilangan lelakinya (a)
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini (b)
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia (a)
Pada bait ketiga terdapat rima tak sempurna pada baris satu sampai tiga, sedangkan pada
baris empat hingga enam menggunakan rima rata dan sempurna, bersajak a-b-b-c-c-c
Apabila malam turun nanti (a)
sempurnalah sudah warna dosa (b)
dan mesiu kembali lagi bicara (b)
Waktu itu, Tuhanku, (c)
perkenankan aku membunuh (c)
perkenankan aku menusukkan sangkurku (c)
Pada bait keempat terdapat rima bersilang pada baris kesatu hingga keempat, sedangkan
pada baris kelima hingga ketujuh menggunakan rima berpeluk, bersajak a-b-a-b c-d-c
Malam dan wajahku (a)
adalah satu warna (b)
Dosa dan nafasku (a)
adalah satu udara. (b)
Tak ada lagi pilihan (c)
kecuali menyadari (d)
-biarpun bersama penyesalan- (c)
Pada bait kelima terdapat rima bebas pada baris kesatu hingga keempat, sedangkan pada
baris kelima hingga kedelapan menggunakan rima rata, bersajak a-a-b-c-c-c-c-c
Apa yang bisa diucapkan (a)
oleh bibirku yang terjajah ?(a)
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai (b)
mendekap bumi yang mengkhianatiMu (c)
Tuhanku (c)
Erat-erat kugenggam senapanku (c)
Perkenankan aku membunuh (c)
Perkenankan aku menusukkan sangkurku (c)
Rima yang digunakan dalam puisi tersebut cenderung menggunakan rima tak sempurna atau
bebas. Hal itu dipengaruhi karena puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum
Berperang merupakan puisi bebas yang cenderung sudah meninggalkan aturan puisi lama
yang begitu mementingkan jumlah baris dalam bait serta rimanya.
- Irama
Pada puisi di atas, bunyi puisi juga sangat ditonjolkan. Puisinya memiliki bunyi kakofoni,
yaitu bunyi yang tidak merdu dan cenderung parau.
Puisi tersebut akan bagus jika dibaca dalam tempo lambat dan suara yang agak rendah.
Bait pertama dibacakan dengan lembut
Bait kedua dibacakan dengan lembut lalu agak lebih keras menuju baris terakhir
Bait ketiga dibaca sama dengan bait kedua
Bait keempat dibaca dengan suara lembut dan khusyuk
Bait keempat dibaca dengan lembut pada awal bait dan lebih keras pada akhir bait
6. Amanat
Pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui puisi di atas adalah:
- Tugas seorang serdadu atau prajurit bukanlah tugas yang mudah. Mereka harus
membunuh entah orang yang bersalah maupun tidak bersalah demi sebuah tugas membela
negerinya. Sehingga hal tersebut harus kita hargai.
- Segla usaha yang kita lakukan tetap diperlukan sebuah doa. Meskipun dosa kita banyak
maupun sedikit, tetaplah berusaha memohon ampunan kepada Tuhan.

B. Analisis Unsur Ekstrinsik


Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat
bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah
satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an.
Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Rendra memiliki idealisme yang kuat dan sangat peka pada realita sosial yang ada di
sekitarnya. Bahkan terkadang, karena idealismenya inilah menyebabkan ia seringkali
berselisih dengan pemerintah. Perselisihannya dengan pemerintah tidak serta merta
menyebabkan namanya tenggelam, bahkan karena perselisihan inilah yang kemudian
mengantarkannya mendapat beberapa penghargaan baik itu nasional maupun sebagai seorang
sastrawan berdedikasi tinggi dan konsisten menyuarakan keinginan rakyat.
Salah satu puisinya yang menggambarkan realitas sosial adalah puisi yang berjudul Doa
Seorang Serdadu sebelum Berperang tersebut. Dibuat pada tahun 60an yang pada saat itu
Indonesia masih bergejolak, Rendra ingin mengungkapkan bagaimana perjuangan yang
dilakukan oles seorang serdadu dalam mengemban tugasnya.
Dalam Puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang, Rendra menggambarkan
permohonan ijin seorang serdadu kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk membunuh penjajah
di medan peperangan demi mewujudkan kemerdekaan, karena ia tak tega melihat betapa
tragisnya nasib orang-orang yang berperang, seperti terlihat di baris kelima, enam, tujuh, dan
delapan:
anak menangis kehilangan bapa/ tanah sepi kehilangan lelakinya/ bukannya benih yang
disebar di bumi subur ini/ tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.
Berbagai peristiwa saat sebelum maupun setelah proklamasi kemerdekaan
melatarbelakangi Rendra menulis karyanya tersebut. Fokusnya adalah mengenai prajurit yang
berjuang dengan sangat pemberani meskipun di dalam batinnya juga merasa takut. Rendra
membayangkan dirinya sebagai seorang prajurit yang akan berperang lalu mengalami
kesedihan ketika harus menyaksikan banyak penderitaan dan kematian di sekitarnya.

C. Analisis Nilai yang Terkandung di dalam Puisi


1. Nilai Religius
Nilai religius sangat kental di dalam puisiDoa Seorang Serdadu Sebelum Berperang. Di
dalamnya menggambarkan seorang yang sudah menemukan eksistensi diri sebagai manusia
dan eksistensi Tuhannya. Seperti meminta izin dan berdoa untuk dapat maju dimedan
perang, karena seperti yang kita ketahui, satu-satunya tempat kita berdoa adalah Tuhan Yang
Maha Esa.

2. Pembahasan
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG
Rendra
1 Tuhanku

2 wajah-Mu membayang di kota terbakar

3 dan firman-Mu terguris di atas ribuan

4 kuburan yang dangkal.

5 Anak menangis kehilangan bapa.

6 Tanah sepi kehilangan lelakinya.

7 Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

8 tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia.

9 Apabila malam turun nanti

10 sempurnalah sudah warna dosa

11 dan mesiu kembali lagi bicara.

12 Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh

13 perkenankan aku menusukkan sangkurku.

14 Malam dan wajahku.

15 Adalah satu warna.


16 Dosa dan nafasku
17 adalah satu udara.

18 Tak ada lagi pilihan

19 kecuali menyadari

20 biarpun bersama penyesalan.

21 Apa yang bisa diucapkan

22 oleh bibirku yang terjajah?


23 Sementara kulihat kedua tangan-Mu yang capai

24 mendekap bumi yang mengkhianati-Mu.

25 Tuhanku.

26 Erat-erat kugenggam senapanku.

27 Perkenankan aku membunuh

28 Perkenankan aku menusukkan sangkurku.

(Sajak-sajak Sepatu Tua, 1983: 74-75)

A. Gaya Bunyi

1. Asonansi

Asonansi ialah berupa pengulangan bunyi vokal yang terdapat dalam satu larik puisi.

Pada puisi DS3B terdapat asonansi sebagai berikut:

a. Asonansi a-a yang paling menonjol terdapat pada larik ke-2 dan larik ke-8 berikut ini.

wajah-Mu membayang di kota terbakar (2)

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia. (8)

Terdapat 7 vokal ‘a’ didalam larik ke-2 dan 10 vokal ‘a’ didalam larik ke-8. Jumlah vokal ‘a’
didalam kedua larik tersebut lebih banyak daripada larik-larik yang lainnya.

b. Asonansi i-i yang paling menonjol terdapat pada larik ke-7 dan ke-8 berikut ini.

Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini (7)

tapi bangkai dan wajah matiyang sia-sia. (8)

Didalam larik ke-7 terdapat 6 vokal ‘i’ dan 5 vokal ‘i’ dalam larik ke-8. Vokal ‘i’ hanya
menonjol dikedua larik diatas saja dan larik yang lain hanya memiliki vokal ‘i’ kurang dari 5
bahkan tidak ada.
c. Asonansi u-u yang paling menonjol terdapat pada larik ke-12 dan ke-13 berikut ini.

Waktu itu, Tuhanku, perkenankan akumembunuh (12)

perkenankan akumenusukkan sangkurku. (13)

Vokal ‘u’ didalam larik ke-12 berjumlah 7 dan berjumlah 5 pada larik ke-13, larik-larik yang
lain hanya memiliki vokal ‘u’ kurang dari 5 bahkan tidak ada.

d. Asonansi e-e yang paling menonjol adalah fonem e yang membunyikannya seperti pada
kata emas atauberas, yang terdapat pada larik ke-12 dan ke-19 berikut ini.

Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh (12)

kecuali menyadari (19)

2. Aliterasi

Aliterasi ialah pengulangan bunyi konsonan yang terdapat dalam satu larik puisi.

Pada puisi DS3B terdapat aliterasi sebagai berikut.

a. Efoni

Efoni merupakan bunyi merdu berupa kombinasi bunyi bersuara, bunyi sengau, dan bunyi
likuida.

Bunyi sengau atau konsonan nasalah adalah fonem yang direalisasikan melalui rongga
hidung (KBBI). Fonem yang sering ditemukan ialah n, m, ny, dan ng.

Didalam puisi DS3Bterdapat bunyi sengau /n/ berjumlah 51 di antaranya :

(III) Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa

dan mesiu kembali lagi bicara.

Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh


perkenankanaku menusukkan sangkurku.

Adapula bunyi sengau /m/ yang terdapat didalam puisi D3SB yaitu berjumlah 24, di
antaranya :

(IV) Malam dan wajahku.

Adalah satu warna.


Dosa dan nafasku
adalah satu udara.

Dan yang terakhir adalah bunyi sengau /ng/ dan /ny/ yang ada didalam puisi D3SB. Jumlah
bunyi sengau /ng/ berjumlah 18 dan bunyi sengau /ny/ yang berjumlah 4, di antaranya :

Bukannya benih yangdisebar di bumi subur ini (7)

Bunyi likuida yaitu konsonan yang dihasilkan dengan menaikkan lidah ke langit-langit
sehingga udara terpaksa diaduk dan dikeluarkan melalui kedua sisi lidah. Fonem yang
termasuk kedalam bunyi likuida adalah /l/ dan /r/.

Didalam puisi DS3Bditemukan sebanyak 19 bunyi /l/ dan 28 bunyi /r/. Contoh larik yang
terdapat bunyi likuida terdapat pada bagian berikut ini.

sempurnalah sudah warna dosa (10)

Adalah satu warna. (15)

biarpun bersama penyesalan. (20)

oleh bibirku yang terjajah? (22)

b. Kakofoni

Kakofoni merupakan kombinasi bunyi k, t, s, p atau termasuk kelompok bunyi tak


bersuara.

Bunyi kakofoni /k/ didalam puisi DS3B berjumlah 46, di antaranya:

Perkenankan aku menusukkan sangkurku. (28)

Bunyi kakofoni /t/ didalam puisi D3SB berjumlah 18, di antaranya:

Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh (12)

Bunyi kakofoni /s/ didalam pusi DS3B berjumlah 24, di antaranya:

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia. (8)


biarpun bersama penyesalan. (20)

Bunyi kakofoni /p/ didalam puisi D3SB berjumlah 15, di antaranya:

Apabila malam turun nanti (9)

sempurnalah sudah warna dosa (10)

3. Persajakan

a. Sajak awal

Bagian yang bersajak awal sebagai berikut.


Perkenankan aku membunuh (27)
Perkenankan aku menusukkan sangkurku. (28)

b. Sajak dalam

Sajak dalam atau persajakan yangterdapat didalam satu larik, terlihat pada contoh berikut ini.

Waktu itu, Tuhanku, perkenankan akumembunuh (12)

Perkenankan akumenusukkan sangkurku. (28)

c. Sajak tengah

Contoh sajak tengah terdapat pada larik-larik berikut ini.


(I) Tuhanku (1)
wajah-Mumembayang di kota terbakar (2)

dan firman-Muterguris di atas ribuan (3)

kuburan yang dangkal. (4)

d. Sajak akhir

Contoh sajak akhir antara lain terdapat pada bait berikut ini.
(IV) Malam dan wajahku. (a)

Adalah satu warna. (b)


Dosa dan nafasku (a)
adalah satu udara. (c)

Rima yang terdapat didalam bait diatas termasuk kedalam rima merdeka atau sajak bebas
karena hanya terdapat rima yang sama pada larik pertama dan kedua pada bait diatas. Pada
larik-larik didalam puisi juga tidak mempunyai bentuk ataupun bunyi yang sama.

B. Gaya Kata

1. Pengulangan Kata

Puisi DS3B banyak mengandung pengulangan kata. Ditemukan pengulangan pada 17 kata
sebagai berikut:

a) tuhanku berulang sebanyak 3 kali

b) –Mu berulang sebanyak 4 kali

c) wajah berulang sebanyak 3 kali

d) kehilangan berulang sebanyak 2 kali

e) malam berulang sebanyak 2 kali

f) membunuh berulang sebanyak 2 kali

g) perkenankan berulang sebanyak 4 kali

h) aku berulang sebanyak 4 kali

i) menusukkan sangkurkuberulang sebanyak 2 kali

j) di berulang sebanyak 5 kali

k) dan berulang sebanyak 5 kali

l) adalah berulang sebanyak 2 kali

m) satu berulang sebanyak 2 kali

n) yang berulang sebanyak 7 kali


o) bumi berulang sebanyak 2 kali

p) warna berulang sebanyak 2 kali

q) lagi berulang sebanyak 2 kali

Banyaknya pengulangan dapat memberikan penekanan atau penegasan tertentu pada kata-
kata yang dianggap penting untuk menentukan makna puisi DS3B.

2. Diksi

Dalam puisi DS3B terdapat kata ‘terguris’ pada larik ke-3, padahal kebanyakan puisi
menggunakan kata ‘tergores’ untuk mengisi lariknya. Itu menunjukkan keunggulan bahwa ia
dapat menempatkan diksi yang berbeda. Pada kata ‘tuhan-Mu’ dalam larik kedua juga
menunjukkan kelebihan diksinya bahwa dia mengagungkan Tuhan dengan memberi ‘-Mu’
pada kata wajah yang mengartikan ‘wajah Tuhan’.

C. Gaya Kalimat

1. Gaya Implisit

Gaya implisit yaitu nama lain dari gaya bentuk kalimat yang artinya ada sesuatu yang
terkandung didalam setiap kalimat pada puisi DS3B. Setiap antarkalimatnya juga berisi
sesuatu yang tersirat. Seperti kata ‘Tuhanku’ pada larik pertama dan larik ke-25 yang
menunjukkan makna tersirat dari keseluruham puisi DS3B.

2. Gaya Retorika

Penggunaan tanda baca dan penggunaan huruf besar merupakan gaya retorika dalam puisi.
Didalam puisiDS3B terdapat tanda baca sebagai berikut:

Dibait pertama tanda bacanya ada satu dan huruf besarnya ada 1.

Dibait kedua tanda bacanya ada 3 dan huruf besarnya ada 3.

Dibait ketiga ada tanda baca 4 (koma dan titik).

Dibait keempat ada 4 tanda baca.


Dibait kelima ada satu tanda baca dan satu kalimat.

Dibait keenam ada 5 tanda baca, tapi ada kesalahan huruf besar di larik terakhir.

D. Larik

1. Larik Kata

Contoh : Tuhanku (1) dan (25)

2. Larik Frasa

Contoh : kecuali menyadari (19)

kuburan yang dangkal(4)

sempurnalah sudah warna dosa (10)

adalah satu udara (17)

Pada larik frasa dalam puisiDS3B terdapat frasa yang mengalami perluasan frasa.

3. Larik Kalimat

Contoh : Anak menangis kehilangan bapa. (5)

Tanah sepi kehilangan lelakinya. (6)

Erat-erat kugenggam senapanku. (26)

E. Bahasa Kiasan

Di dalam puisi D3SB terdapat metafora yang merupakan bahasa kiasan perbandingan,
yaitu ‘warna dosa’ pada larik ke-10. Selain itu, didapati adanya diperbola yang bermaksud
dengan melebih-lebihkan makna atau bayangan yang diterima oleh pembaca, yaitu:

Wajah-Mu membayang di kota terbakar (2)

sempurnalah sudah warna dosa (10)


dan firman-Mu terguris di atas ribuan (3)

mendekap bumi yang mengkhianati-Mu (24)

dan mesiu kembali lagi bicara (11)

oleh bibirku yang terjajah? (22)

3. Simpulan

Kajian Stilistika menurut Aminuddin adalah wujud dari cara pengarang untuk
menggunakan sistem tanda yang sejalan dengan gagasan yang akan disampaikan. Namun
yang menjadi perhatian adalah kompleksitas dari kekayaan unsur pembentuk karya sastra
yang dijadikan sasaran kajian adalah wujud penggunaan sistem tandanya. Tanda-tanda yang
dimaksud Aminuddin ialah salah satunya gaya bahasa dalam puisi yang sudah kita bahas
didalam BAB II.

Puisi yang dikaji diatas merupakan puisi karya Rendra yang berjudul ‘DOA SEORANG
SERDADU SEBELUM BERPERANG/ DS3B’. Dalam puisi DS3Bterdapat penyimpangan
yaitu dalam gaya bunyi yaitu efoni dan kakofoni. Kalau dilihat dari judul dan isinya
mengisahkan sesuatu yang menyedihkan yang menandakan seharusnya lebih banyak gaya
bunyi kakofoni. Tetapi setelah kita kaji dengan kajian stilistika, ternyata lebih menonjol gaya
bunyi efoni yang berjumlah 122 daripada kakofoni yang berjumlah 103. Maka dari itu puisi
ini dianggap menyimpang menurut gaya bunyi karena seharusnya puisi ini berisi tentang hal
yang gembira atau senang karena bunyi efoni lebih menonjol.

Dalam puisi DS3B terdapat pengulangan kata/ reduplikasi yaitu kata ‘sia-sia’ dan ‘erat-
erat’ dan rima yang terdapat dalam puisi ini adalah rima bebas karena lebih banyak bunyi
yang berbeda awal, tengah, bahkan akhir. Tetapi, ketika mengkaji bagian pengulangan kata
atau kata yang berkali-kali disebutkan didalam puisi, terdapat 17 kata yang diulang-ulang
untuk memberi informasi yang jelas atau mennjelaskan suatu makna pada setiap larik.
Puisi DS3B ini juga mengandung gaya implisit karena tidak secara terang-terangan
menjelaskan apa yang ada dalam puisinya, justru ia menggunakan satu kata diawal larik yaitu
‘Tuhanku’ untuk menunjukkan makna tersirat yang ada dalam keseluruhan puisi.

[1] Rachmat Djoko Pradopo. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. GADJAH MADA
UNIVERSITY PRESS. Hal. 6

[2] Aminuddin. 1997. STILISTIKA. Semarang. IKIP Semarang Press. Hal. 68

Unknown di 02.24

Berbagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beranda

Lihat versi web

Diberdayakan oleh Blogger.

Fazriyah
Unsur Penyesalan Dalam Puisi Doa Serdadu Sebelum Perang Karya W.S. Rendra

fazriyah

3 tahun yang lalu

Unsur Penyesalan Dalam Puisi

Doa Serdadu Sebelum Perang


Karya W.S. Rendra

Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25 , 18 Juni 1960

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
Biarpun bersama penyesalan

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

W.S Rendra

Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama
yang kerap dijuluki sebagai “Burung Merak”. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta
pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau
sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan
R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah
seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping
sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta.
Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai
pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA
(1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta
dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup.
Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada.
Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun
1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat
beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar
tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah
mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk
berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas
panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi
yang sangat berbakat. Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun
1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi
berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal
itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama
majalah tahun 60-an dan tahun 70-an. “Kaki Palsu” adalah drama pertamanya, dipentaskan
ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang
mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu
membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra
Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia
modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan
45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai
kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak
karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris,
Belanda, Jerman, Jepang dan India. Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di
antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki
International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985),
The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World
Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo
Festival (1995). Untuk kegiatan seninya Rendra telah menerima

Penggunaan gaya bahasa yang sangat dominan dalam puisi disebabkan oleh adanya media
yang sangat terbatas. Kesatuan puisi, yang disebut sebagai bait adalah totalitas yang sama
dengan bentuk cerpen, novel, dan drama. Perbedaannya, satu bait puisi terdiri dari satu atau
dua halaman, sedangkan sebuah novel terdiri atas ratusan bahkan ribuan halaman. Dalam
puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang Sebelum Perangkarya W.S Rendra, setiap bait
memiliki totalitasnya. Berikut analisis puisi diatas :

Dalam puisi diatas, bunyi puisi juga sangat ditonjolkan. Puisinya memiliki bunyi Kakofoni
(cacophony) yaitu bunyi yang tidak merdu dan cenderung parau. Pada puisi Doa Seorang
Serdadu Sebelum Perang, Vokal a, o, u lebih mendominasi, sehingga perasaan murung,
sedih, gundah, kecewa tergambar jelas.

Puisi Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang, menggunakan pilihan kata yang amat lembut.
Seperti seseorang yang meminta pengampunan dosa dan memang begitu isinya. Gaya bahasa
yang dominan adalah gaya bahasa hiperbola, seperti yang nampak pada bait berikut:

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Makna Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang lebih ditekankan kepada seorang yang
meminta diampuni dosanya karena sudah membunuh orang-orang yang bersalah maupun
tidak bersalah. Ini dapat terlihat dari penggalan puisi berikut :

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan


oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Serdadu tersebut menerima nasib sebagai serdadu yang tugasnya membunuh orang dimedan
perang. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya membunuh orang lain yang dianggap musuh.
Tetapi ia mesti melaksanakan tugasnya itu. Mungkin dalam hal ini serdadu itu menyesali
mengapa tugasnya demikian.

Kategori: puisi

Tag: Unsur Penyesalan Dalam Puisi Doa Serdadu Sebelum Perang Karya, Unsur Penyesalan
Dalam Puisi Doa Serdadu Sebelum Perang Karya W.S. Rendra, W.S. Rendra

Tinggalkan sebuah Komentar

Fazriyah
Blog di WordPress.com.
Kembali ke atas

Dalam sajak ini tingkat anorganis sudah dapat dicapai. Seperti, ada pembagian baris
sajak dan bait yang sesuai dengan pembagian isi pikiran, enjambement(perloncatan bait sajak),
dan pola persajakan. Disamping itu, ungkapan-ungkapan yang puitis disebabkan keplastisan
dan sugestif.

Tingakt kedua niveau vegetatif, juga dapat tercapai oleh sajak ini. Disini adalah suasana
ketuhanan, pertemuan antara seorang manusia dengan Tuhan, pada waktu berdoa. Disini ada
pertentangan batin yag hebat; ia menyadari bahwa membunuh itu berdosa, tetapi tidak ada
pilihan lain, kalau ia tidak membunuh tentu terbunuh.

Tingkat ketiga, niveau animal, di sini berisi pengonkretan, tanggapan penginderaan


seperti telah diterangkan di atas, seperti misalnya personifikasi (anthropomorf) untuk Tuhan:
wajah-Mu, kedua lengan-Mu. Sinaesthesia: warna dosa. Begitu juga ungkapan : malam dan
wajahku satu warna.pengonkretan penginderaan: kota terbakar, kuburan yang dangkal, benih,
bumi subur, menusukkan sangkurku dan bibirku yang terjajah.

Pengalaman jiwa tingkat keempat,niveau huma. Disini penyair melihat atau menyadari
kesadaran moral baik-buruk, rasa belas kasihan, rasa simpati hingga menimbulkan
pertentangan batin yang hebat. Penyair mengutuk kejahatan perang mengalami kekejaman
perang yang menimbulkan kehancuran peradaban dan kemanusiaan, menyebabkan kota
terbakar, kuburan yang dangkal terserak di mana-mana, anak-anak menangis kehilangan
ayahnya, isteri-isteri kehilangan suaminya, tanah-tanah kosong tak ada yang menggarap, bumi
yang subur terbengkalai.

Tingkat religus/Filosofis

Doa... kata ini sudah membawa kita kepada renungan keagamaan, ketuhanan. Juga,
sajak itu sendiri berupa doa kepada Tuhan, berupa pertemuan antara manusia dengan Tuhan.
Renungan sampai kepada hakikat bahwa manusia dan alam ini berada di bawah kekuasaan
Tuahn, begitu juga hidup dan mati manusia. Maka, siapa yang melanggar firman Tuhan itu
berdosa.

Dengan demikian, sajak “Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang” ini dapat memenuhi
kriteri puisi yang bernilai seni, indah beberannya (pengekspresiannya) dan besar isinya. Begitu
juga, bila sajak ini dinilai dari sudut keasliannya serta daya kreativitasnya, ternyata bahwa sajak
ini asli karena belum pernah ada, jadi, bukan jiplakan, banyak mengandung daya cipta karena
cara pengungkapan pikiran (pengalaman jiwa) itu asli, berwatak sendiri, dan dapat memberikan
dunia khusus, yaitu berupa dunia penyair, berkat daya imajinasinya untuk menyatukan
tanggapan-tanggapan. Daya kreativitas ini sudah ternyata bila ditinjau kembali bagaimana ia
menyatukan tanggapan-tanggapannya dan cara pengungkapannya yang mengharukan.

Anda mungkin juga menyukai