Makalah
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan Sosial Budaya yang
diampu oleh Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D.
oleh:
Alifia Nuzul P. NIM 1605199
Salsabila H. F. K. NIM 1601468
Shobahul Layli NIM 1605902
Nurklalida Alfa NIM
Wira Virgiawan NIM
Kelas Kimia-4B
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt., karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul “Analisis Fenomena Culture Shock pada
Mahasiswa Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia”.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si.,
Ph.D. selaku dosen pengampu dan Ibu Ratna selaku asisten dosen pengampu yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah memberi
dukungan dengan menjadi sebagai objek penelitian dalam makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena, itu penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak untuk melengkapi
dan memperbaiki makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Pemerataan pembangunan di Indonesia saat ini telah diwujudkan
melalui program beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan maupun
lembaga dengan memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi
dan beasiswa peningkatan potensi akademik. Beasiswa tidak hanya dapat
dinikmati oleh mahasiswa dari kota-kota besar saja, namun kini telah
muncul program beasiswa yang memfasilitasi purta-putri bangsa terutama
yang berada di daerah-daerah terluar yang sulit dalam akses pendidikan.
Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) menjadi solusi bagi putra-putri asli Papua
untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi:
“Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,
yang selanjutnya disebut UP4B, adalah lembaga yang dibentuk untuk
mendukung koordinasi, memfasilitasi dan mengendalikan pelaksanaan
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, batasan masalah dari
penelitian berjudul “Analisis Fenomena Culture Shock pada Mahasiswa
Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia” ini adalah sebagai
berikut:
1. Proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan
Indonesia.
2. Gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari Papua di
Universitas Pendidikan Indonesia.
3. Pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian akademik mahasiswa
afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas
Pendidikan Indonesia?
2. Apa saja gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari Papua
di Universitas Pendidikan Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian akademik
mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia?
D. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
1. menganalisis proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas
Pendidikan Indonesia.
2. menganalisis gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari
Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.
3. menganalisis pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian
akademik mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan
Indonesia.
E. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dalam memahami
penyebab, gejala, dan pengaruh dari fenomena culture shock pada
mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.
2. Bagi Pembaca
Pembaca mendapatkan informasi yang bermanfaat mengenai penyebab,
gejala, dan pengaruh dari fenomena culture shock.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A. Landasan Teori
1. Teori Adaptasi
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori adaptasi budaya dari
Julian H. Steward (dalam Haviland, 1993:3) adaptasi mengacu pada proses
interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh organisme pada
lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada
organisme. Penyesuaian dua arah seperti ini perlu agar semua bentuk
kehidupan dapat bertahan hidup termasuk manusia.
Menurut Kaplan (2002:102) adaptasi tidak terlepas dari ekologi budaya.
Suatu ciri dalam ekologi budaya ialah perhatian mengenai adaptasi pada dua
tataran: pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap
lingkungan totalnya, dan kedua: sebagai konsekuensi adaptasi sistematik itu,
perhatian terhadap cara institusiinstitusi dalam suatu budaya beradaptasi atau
saling menyesuaikan diri. Mahasiswa Papua melakukan adaptasi dalam dua
tataran yaitu dengan lingkungan fisik atau alam dan lingkungan sosial budaya
di UPI.
Prosedur dalam penyesuaian dan adaptasi dilalui oleh mahasiswa Papua
yaitu pada penyesuaian kebudayaaan yang berkaitan dengan pemanfaatan
sumber daya untuk kebutuhan pangan ketika di UPI. Pemanfaatan pangan
dengan mencari makanan khas Papua ketika di UPI sehingga dapat memenuhi
kebutuhan seperti di Papua. Pemanfaatan teknologi akademik UPI dalam
pembelajaran, serta mengatur pola kelakukan untuk beradaptasi dengan
kebiasaan dan tata kelakuan mahasiswa dan masyarakat di UPI. Alasan teori
ini digunakan dalam penelitian yaitu karena adanya proses adaptasi yang
dialami mahasiswa tidak hanya dalam satu tataran lingkungan fisik namun
untuk melihat apakah mahasiswa Papua mengalami adaptasi dalam tiga tataran
ekologi kebudayaan.
2. Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik)
Beasiswa Afirmasi Dikti selanjutnya disebut beasiswa ADik merupakan
program beasiswa kerjasama Kemdikbud, Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), dan Majelis Rektor PTN Indonesia,
dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat.
Melalui program ini, putra-putri lulusan SMA sederajat dapat mengikuti
pendidikan perguruan tinggi di 39 perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.
Mahasiswa dari Papua dan Papua Barat mendapatkan beasiswa Strata 1 (S1)
di 39 PTN, bebas biaya SPP selama empat tahun. Biaya pendidikan di PTN
akan ditanggung kemdikbud. Adapun biaya hidup kira-kira Rp. 600.000 per
bulan, dan transportasi ditanggung pemerintah daerah.
(http://edukasi.kompas.com).
3. Culture Shock
Istilah "culture shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (1960) untuk
menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan
disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan
budaya yang baru. Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal
medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang),
yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar negeri.
Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan
oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg mendefinisikan culture shock sebagai
“penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan
kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas,
hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu
bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut
ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial
baru. Oberg lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu
karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam
interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam
jangka waktu yang relative lama.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang "culture shock"
diantaranya:
1. Dayaksini, (2004) Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak
mengetahui harus berbuatapa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu
di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau
sesuai.
2. Ward (2001) mendefinisikan culture shock adalah suatu proses aktif dalam
menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar.
Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu,
yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika
menghadapi pengaruh budaya kedua.
3. Edward Hall dalam bukunya yang berjudul Silent Language dalam Hayqal,
(2011) mendeskripsikan culture shock adalah gangguan ketika segala hal
yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda
dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing.
4. Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa culture shock adalah
ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru
atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan
perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.
5. Adler dalam Abbasian and Sharifi, (2013) mengemukakan bahwa culture
shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak
terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat
menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan
di tipu, dilukai ataupun diacuhkan.
6. Stella dalam Hayqal, 2011).Culture shock merupakan sebuah fenomena
emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif
seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (disonan).
7. Kim dalam Abbasian and Sharifi, (2013) menyatakan culture shock adalah
proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup
memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru.Selanjutnya Culture shock
adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika
mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru.
8. Littlejohn (2004, dalam Mulyana 2006) culture shock adalah perasaan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain.
9. Mulyana, (2008) Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang
mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk
memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita
tidak perlu merespon.
10. Ruben & Stewart dalam Hayqal, (2011). culture shock adalah rasa putus
asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang
besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan adanya rasa keterasingan dan
kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya Culture shock bukanlah
istilah klinis ataupun kondisi medis.
11. Kingsley dan Dakhari, (2006). Culture shock merupakan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan perasaan bingung dan ragu-ragu yang
mungkin dialami seseorang setelah ia meninggalkan budaya yang
dikenalnya untuk tinggal di budaya yang baru dan berbeda
Dari definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa culture
shock merupakan suatu permasalahan yang melibatkan perasaan, cara berpikir
dan berperilaku pada diri individu saat menghadapi perbedaan pengalaman
maupun budaya.
Proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang
tidak familiar merupakan bentuk culture shock. Proses aktif tersebut meliputi
affective, behavior, dan cognitive individu yakni individu merasa, berperilaku
dan berpikir ketika menghadapi budaya kedua. affective berhubungan dengan
perasaan dan emosi yang dapat menjadi positif atau negatif. Individu akan
merasa bingung, cemas, disorientasi, curiga, dan juga sedih karena datang ke
lingkungan yang tidak familiar. Proses yang dihadapi dalam diri individu akan
mempengaruhi ketika hidup bermasyarakat. Faktor yang mempengaruhi dalam
reaksi individu seperti adanya perubahan hidup, kepribadian dan dukungan
sosial yang harus dipertimbangkan. Faktor lain seperti perbedaan budaya,
pengenalan budaya dan status mengenali suatu budaya. Selain itu dimensi
behavior merupakan perilaku individu yang mempengaruhi seseorang saat
mengalami culture shock, dimana individu mengalami kekeliruan aturan,
kebiasaan dan asumsi yang mengatur interaksi individu yang mencakup
komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi diseluruh budaya. Dimensi
behavior juga berkaitan dengan pembelajaran budaya. Pembelajaran budaya
merupakan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendatang untuk
memperoleh pengetahuan sosial dan keterampilan agar dapat bertahan di
lingkungan masyarakat yang baru. Kemudian ada juga cognitive yang
merupakan hasil dari affective dan behaviorally yang merupakan perubahan
persepsi pada individu dalam identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak
budaya. Sebagai pendatang harus mempertimbangkan hubungan budaya yang
berubah yang mengacu pada kesukuan, identitas nasional dan hubungan dengan
kelompok lain. Proses mengenal budaya suatu daerah merupakan suatu konsep
identifikasi yang mencakup sikap, nilai-nilai bahkan perilaku.
Tahap-tahap yang akan dialami mahasiswa yang mengalami culture shock
ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:
a. Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun. Ini adalah saat pertama kali
mahasiswa datang ke Kota barunya untuk kuliah, biasanya berlangsung
sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu
masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru yang ditemuui di kota
Makassar. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias,
terhadap kultur baru dan orangorangnya. Pada masa ini perbedaan-
perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan
menyenangkan.
b. Tahap Krisis yaitu: agresif/regresi/Flight. Pada tahap berikutnya,
mahasiswa seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan
budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum
pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini
biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya
karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal, seperti mahasiswa yang
dari daerah suku Bugis akan merasa aneh jika melihat perilaku dan
bahasa mahasiswa yang dari suku Makassar.
c. Proses Adjustment . Bila mahasiswa bertahan di dalam krisis, maka
mahasiswa akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila
mahasiswa mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini,
individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai
antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia
mungkin mulai paham bagaimana cara bergaul dan berbicara dengan
orang yang berbeda bahasa, mahasiswa mulai menemukan arah untuk
perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat
barunya dengan rasa humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam
Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami
perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi
terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara
kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap
kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari
kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin
mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan
otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan
perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
d. Fit/Integration. Periode berikutnya terjadi apabila mahasiswa mulai
menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang
buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan
terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari
kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga
muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru
mengenai dirinya sendiri.
e. Re-entry shock. Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat mahasiswa
kembali ke kampung halaman atau suku asalnya. Mahasiswa mungkin
menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi
sama seperti dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali
penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu
memasuki kultur yang baru seperti hanya banyak mahasiswa yang telah
berubah logat bicaranya.
Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang
kembali ke dalam suku atau kampong asalnya dan mengalami re-entry
culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam
penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan
mereka yang mengalami re-entry gagap budaya yang rendah.
Menurut Furnham dan Bochner (dalam Manz, 2003) faktor-faktor
yang mempengaruhi individu mengalami culture shock saat berinteraksi
dengan budaya baru adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan budaya, kualitas,kuantitas dan lamanya culture
shock yang dialami individu yang dipengaruhi oleh tingkat perbedaan
budaya antara lingkungan asal dan lingkungan baru individu. Culture
shock lebih cepat jika budaya tersebut sangat berbeda, seperti sosial,
perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat,
dan bahasa. Semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang
berinteraksi, semakin sulit kedua individu tersebut membangun dan
memelihara hubungan yang baik ( Bochner, 2003; Septina Sihite, 2012).
2. Adanya perbedaan individu. Berkaitan dengan perbedaan dalam
kepribadian dan kemampuan individu menyesuaikan diri di lingkungan
barunya. Selain itu juga merujuk pada variabel demografis seperti usia,
jenis kelamin, kelas sosialekonomi dan pendidikan. Berkaitan dengan
mahasiswa yang meskipun memiliki umur yang relatif sama namun
memiliki jenis kelamin, kelas sosial-ekonomi dan pendidikan yang
berbeda.
3. Pengalaman lintas budaya individu sebelumnya, pengalaman individu
di masa lalu saat berada di lingkungan baru yang sangat berpengaruh
pada proses adaptasi seperti pengalaman bagaimana individu menerima
perlakuan dari penduduk lokal.
Gejala munculnya gagap budaya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan
yang lain. Namun ada beberapa symptom yang biasanya ditunjukkan mahasiswa
saat mengalami culture shock, yaitu antara lain:
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara mahasiswa yang satu dengan
mahasiswa lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang
mungkin terjadi, antara lain:
A. Desain Penelitian
Penelitian dalam makalah ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif
dan dengan pendekatan kombinasi. Metode deskriptif adalah suatu metode
peneltian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada.
Menurut Furchan (2008:317), metode deskriptif memiliki karakteristik :
a. Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa
adanya dengan cara menelaah secara teratur dan ketat, mengutamakan
objektivitas, dan dilakukan dengan cermat.
b. Tidak adanya perlakuan yang diberikan dan dikendalikan.
Pendekatan kombinasi atau biasa juga diidebut dengan metode penelitian
gabungan adalah merupakan pendekatan penelitian yang menggabungkan atau
menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Menurut
Creswell (2009) dalam (Sugiyono, diunduh 21 Juli 2016, 18:53) menyatakan
bahwa “Mixed Methods Research is an approach to inquiry that combines or
associated both qualitative quantitative forms of research” yang artinya
metode kombinasi adalah merupakan pendekatan penelitian yang
menggabungkan atau menghubungkan metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif.
Lebih lanjut Creswell menyatakan “A Mixed methods design is useful when
either the quantitative or qualitative approach by itself is inadequate to best
understand a research problem or the strengths of both quantitative and
qualitative research can provide the best understanding”. Metode penelitian
kombinasi akan berguna bila metode kuantitatif atau metode kualitatif secara
sendiri-sendiri tidak cukup akurat digunakan untuk memahami permasalahan
penelitian, atau dengan menggunakan metode kuatitatif dan kualitatif secara
kombinasi akan dapat memperoleh pemahaman yang paling baik (bila
dibandingkan dengan satu metode).
A. Partisipan dan Tempat Penelitian
Partisipan dari penelitian “Analisis Fenomena Culture Shock pada
Mahasiswa Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia” adalah
mahasiswa jalur afirmasi dari Papua yang berkuliah di Universitas Pendidikan
Indonesia. Jumlah mahasiswa afirmasi Papua dari angkatan 2013—2017
sejumlah 54 orang. Tidak seluruh mahasiswa afirmasi Papua menjadi partisipan
dari penelitian melainkan hanya 12 orang. Jumlah tersebut diperoleh dari
sampel minimal menurut Slovin (dalam Riduwan, 2005:65) dengan nilai presisi
75%.
Tempat penelitian dilakukan di kompleks Universitas Pendidikan
Indonesia. Pemilihan tempat tersebut sesuai dengan batasan penelitian yang
digunakan.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah eksploratif. Eksploratif yaitu peneliti
menekankan pada data kualitatif daripada kuantitatif, pengumpulan data
kualitatif didahulukan, baru kemudian data kuantitatif. Data kuantitatif berupa
data numerik, semetara data kualitatif berupa data teks. Data dalam penelitian
ini dikumpulkan dengan metode wawancara dan kuisioner. Wawancara
dilakukan terhadap seorang mahasiswa afirmasi dari Papua dengan pedoman
wawancara yang telah ditentukan. Sementara kuisioner disebarkan kepada 11
mahasiswa afirmasi dari Papua.
Dalam wawancara dan kuisioner tersebut ada empat aspek yang digali:
1. Identitas informan berupa asal jurusan, fakultas, angkatan dan jenis
kelamin.
2. Proses adaptasi informan di kampus UPI.
3. Gejala culture shock yang dirasakan informan selama berkuliah di UPI.
4. Pengaruh dari culture shock terhadap capaian akademik informan.
A. Hasil
1. Hasil Wawancara
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 6 April 2018 di daerah Museum
Pendidikan Nasional. Narasumber dari wawancara tersebut adalah Eston
Urban, mahasiswa semester 4 dari Jurusan Administrasi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan. Narasumber merupakan koordinator dari
mahasiswa afirmasi Papua yang lain. Narasumber juga memiliki riwayat
pindah jurusan selama berkuliah di UPI.
Dari wawancara, narasumber menyebutkan bahwa narasumber memilih
Jurusan Biologi atau Administrasi Pendidikan. Tetapi karena narasumber
adalah mahasiswa afirmasi, jurusannya pun dipilih oleh Pemerintah Papua.
Hal ini menyebabkan dia kesulitan untuk mengikuti perkuliahan karena
Pendidikan Kimia bukan pilihannya ditambah lagi di jenjang pendidikan
sebelumnya dia tidak mendapatkan pembelajaran kimia. Selain itu, bahasa
dan cara berkomunikasi yang menjadi kesulitan bagi dia untuk beradaptasi
di UPI ini. Kurang pahamnya bahasa daerah di Bandung, yaitu bahasa
Sunda yang menjadi kendala dalam berkomunikasi dengan teman
sebayanya. Selain itu, terkadang dalam bahasa Indonesia pun narasumber
sedikit kesulitan dalam berkomunikasi.
B. Pembahasan
Dari hasil wawancara sebagai data primer, diperoleh pernyataan bahwa hal
utama yang menyebabkan kendala dalam capaian akademik mahasiswa
afirmasi dari Papua adalah perbedaan kultur individu dan prioritas berkuliah
mahasiswa yang masih rendah. Perbedaan kultur yang dimaksud antara lain
adalah jam tidur dan kesukaan dalam olahraga. Jam tidur yang berbeda
membuat mahasiswa dari Papua kadang terlambat mengikuti perkuliahan.
Kesukaan dalam olahraga pun kadang menandingi aktivitas kuliah.
Selain itu, menurut narasumber, mahasiswa dari Papua masih enggan dalam
bergaul dengan teman-temannya. Tidak banyak mahasiswa dari Papua yang
memilih untuk tergabung ke dalam organisasi/komunitas. Narasumber
merupakan salah satu mahasiswa dari Papua yang aktif mengikuti ormawa.
Menurut narasumber, pada awalnya tidak mudah dalam mempelajari bahasa
daerah Jawa Barat yaitu bahasa Sunda. Mengenai makanan dan minuman,
narasumber lebih memilih membuat makanan sendiri.
Narasumber pernah berpindah jurusan karena jurusan yang sebelumnya
tidak sesuai dengan minat narasumber. Jurusan sebelumnya merupakan pilihan
dari Pemerintah. Narasumber mengalami kesulitan dalam mengikuti
perkuliahan bahkan hampir tidak lulus di beberapa mata kuliah.
Untuk memperkuat hipotesis yang muncul dari penyataan narasumber,
digunakan data sekunder dari kuisioner penelitian dengan 11 responden. Setelah
dikelompokkan, dari ke-11 narasumber tersebut, 5 di antaranya mengalami
culture shock. Subjek yang mengalami culture shock adalah subjek nomor (3),
(4), (5), (7), dan (12). Hal tersebut dilihat dari jawabannya pada pertanyaan
mengenai gejala culture shock, subjek merasakan hampir seluruh gejala culture
shock berdasarkan literatur, yaitu:
1) Suka membanding-bandingkan keadaan di UPI (atau Bandung) dengan
kampung halamannya.
2) Merasa tidak percaya diri ketika bergaul dengan mahasiswa lain di UPI.
3) Merasa sedih dan terasingkan meskipun berada di antara banyak orang
saat berkuliah di UPI.
4) Cukup sering mengalami sakit sejak berkuliah di UPI.
Dari subjek tersebut, dianalisis hal apa yang menjadi sebab utama culture
shock—ya dari pertanyaan mengenai proses adaptasi subjek. Secara kuantitatif
dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Progres Nilai
Hal menarik lain yang diketahui adalah tiga dari lima mahasiswa yang
mengalami culture shock ternyata jurusannya dipilih oleh Pemerintah. Satu di
antaranya pun ada yang ingin pindah jurusan dan pernah berniat untuk tidak
meneruskan studi di UPI karena jauh dari orang tua dan merasa tidak cocok
dengan teman-temannya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Beberapa simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. …
B. Saran
Hal yang dianalisis dan dipaparkan dalam makalah ini masih merupakan tahap
awal dari penelitian. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
….
DAFTAR PUSTAKA
Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2005). The psychology of culture shock.
Melalui Taylor & Francis e-Library.
LAMPIRAN
1. Transkrip Wawancara