Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS FENOMENA CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA

AFIRMASI PAPUA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Makalah

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Pendidikan Sosial Budaya yang
diampu oleh Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si., Ph.D.

oleh:
Alifia Nuzul P. NIM 1605199
Salsabila H. F. K. NIM 1601468
Shobahul Layli NIM 1605902
Nurklalida Alfa NIM
Wira Virgiawan NIM

Kelas Kimia-4B

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt., karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan makalah berjudul “Analisis Fenomena Culture Shock pada
Mahasiswa Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Hj. Siti Komariah, M.Si.,
Ph.D. selaku dosen pengampu dan Ibu Ratna selaku asisten dosen pengampu yang
telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan makalah ini. Penulis
juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah memberi
dukungan dengan menjadi sebagai objek penelitian dalam makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena, itu penulis menerima kritik dan saran dari semua pihak untuk melengkapi
dan memperbaiki makalah ini. Akhir kata, penulis berharap agar makalah ini
bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, Mei 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2


DAFTAR ISI ...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................4
A. Latar Belakang ..............................................................................................4
B. Batasan Masalah............................................................................................6
C. Rumusan Masalah .........................................................................................6
D. Tujuan Penulisan ...........................................................................................7
E. Manfaat Penulisan .........................................................................................7
F. Metode......................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................8
A. Landasan Teoretis .........................................................................................8
B. Hasil Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.
BAB III PENUTUP ................................................................................................9
A. Simpulan .....................................................................................................19
B. Saran ............................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemerataan pembangunan di Indonesia saat ini telah diwujudkan
melalui program beasiswa yang ditawarkan oleh perusahaan maupun
lembaga dengan memberikan biaya pendidikan gratis bagi siswa berprestasi
dan beasiswa peningkatan potensi akademik. Beasiswa tidak hanya dapat
dinikmati oleh mahasiswa dari kota-kota besar saja, namun kini telah
muncul program beasiswa yang memfasilitasi purta-putri bangsa terutama
yang berada di daerah-daerah terluar yang sulit dalam akses pendidikan.
Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) menjadi solusi bagi putra-putri asli Papua
untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi:
“Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat,
yang selanjutnya disebut UP4B, adalah lembaga yang dibentuk untuk
mendukung koordinasi, memfasilitasi dan mengendalikan pelaksanaan
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat”.

Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik) adalah program beasiswa hasil


kerjasama Kemdikbud, Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat (UP4B), dan Majelis Rektor PTN Indonesia, dalam rangka
meningkatkan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat.
Kampus UPI berada di Jalan Setiabudi Bandung. Corak
kebudayaan yang ada di lingkungan kampus UPI adalah kebudayaan Sunda.
Pemilihan lokasi penelitian di UPI karena mahasiswa UPI adalah
mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mahasiswa UPI
berasal dari seluruh daerah di Indonesia, namun yang mendominasi adalah
mahasiswa dari daerah-daerah di Jawa Barat. Kehadiran mahasiswa dari
Papua semakin membuat keberagaman di kampus UPI.
Kehadiran Mahasiswa Papua di UPI memberikan nuansa baru dalam
dunia pendidikan perguruan tinggi di UPI. Mahasiswa Papua yang menetap
di lingkungan UPI dengan segala aspek sosial budaya yang berbeda dari
tempat asal mahasiswa Papua.
Berdasarkan pengamatan penulis mahasiswa Papua mulai
beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya di UPI Setiabudi Bandung.
Adaptasi merupakan penyesuaian diri terhadap lingkungan, tidak hanya
lingkungan secara fisik melainkan lingkungan sosial karena seseorang
hidup berdampingan dengan orang lain maka harus menyesuaikan nilai dan
norma yang berlaku dalam masyarakat tempat tinggal.
Mahasiswa Papua yang menerima beasiswa Afirmasi Dikti (ADik)
di UPI harus mulai pindah dan menjalani kehidupan yang baru sebagai
mahasiswa UPI. Lokasi UPI di Jalan Setiabudi Bandung, Jawa Barat. Secara
geografis dan sosio-kultural Sunda berbeda dengan Papua. Oleh karena itu
banyak hal yang dirasakan oleh mahasiswa asal Papua berubah dari
kesehariannya di Papua. Mulai terjadi perbedaan adat-istiadat, makanan,
minuman, bahasa, humor rakyat yang berbeda.
Proses adaptasi adalah proses yang digunakan oleh mahasiswa asal
Papua untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan UPI dengan latar
belakang sosio-kultural Jawa Barat. Banyak kendala yang dihadapi oleh
mahasiswa pendatang. Kendala yang paling umum dialami oleh mahasiswa
Papua selama kuliah di UPI adalah kendala bahasa. Bahasa Indonesia tetap
menjadi bahasa pengantar yang utama dalam ranah pendidikan. Kehidupan
bermasyarakat sekitar kampus UPI mayoritas menggunakan bahasa Sunda,
hal ini menjadi kendala bagi mahasiswa Papua dalam berinteraksi pada saat
berbincang dengan teman dari Jawa Barat, pada saat mengikuti perkuliahan
dengan dosen yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa kedua, pada
saat berbelanja, mengucapkan salam, menyapa, dan berkomunikasi dengan
teman dan masyarakat sekitar.
Mahasiswa yang berasal dari Papua termasuk yang baru di
lingkungan UPI. Masyarakat yang belum mengetahui masalah multikultur
menganggap bahwa mahasiswa dari Papua unik karena ciri fisik orang
Papua negroid dengan kulit hitam, bibir tebal, dan rambut keriting yang
sangat berbeda dengan orang Jawa yaitu mongoloid kulit sawo matang dan
rambut lurus dan bergelombang, serta bibir yang tipis. Proses adaptasi juga
digunakan ketika Mahasiswa Papua menghadapi masalah-masalah
multikultural yaitu perbedaan fisik maupun budaya Papua dengan sesama
mahasiswa maupun masyarakat sekitar UPI.
Proses adaptasi dilalui seseorang hingga dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan merasa nyaman untuk beraktivitas. Hambatan
perbedaan lingkungan fisik seperti cuaca dan lingkungan sosial budaya
merupakan hambatan yang dilalui dalam fase adaptasi. Berdasarkan uraian
latar belakang tersebut penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul
“ANALISIS FENOMENA CULTURE SHOCK PADA MAHASISWA
AFIRMASI PAPUA DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA"

B. Batasan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, batasan masalah dari
penelitian berjudul “Analisis Fenomena Culture Shock pada Mahasiswa
Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia” ini adalah sebagai
berikut:
1. Proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan
Indonesia.
2. Gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari Papua di
Universitas Pendidikan Indonesia.
3. Pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian akademik mahasiswa
afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah tersebut, rumusan masalah dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas
Pendidikan Indonesia?
2. Apa saja gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari Papua
di Universitas Pendidikan Indonesia?
3. Bagaimana pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian akademik
mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia?

D. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
1. menganalisis proses adaptasi mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas
Pendidikan Indonesia.
2. menganalisis gejala culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari
Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.
3. menganalisis pengaruh dari culture shock tersebut terhadap capaian
akademik mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan
Indonesia.

E. Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
Penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dalam memahami
penyebab, gejala, dan pengaruh dari fenomena culture shock pada
mahasiswa afirmasi dari Papua di Universitas Pendidikan Indonesia.
2. Bagi Pembaca
Pembaca mendapatkan informasi yang bermanfaat mengenai penyebab,
gejala, dan pengaruh dari fenomena culture shock.
BAB II
LANDASAN TEORETIS

A. Landasan Teori
1. Teori Adaptasi
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori adaptasi budaya dari
Julian H. Steward (dalam Haviland, 1993:3) adaptasi mengacu pada proses
interaksi antara perubahan yang ditimbulkan oleh organisme pada
lingkungannya dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan pada
organisme. Penyesuaian dua arah seperti ini perlu agar semua bentuk
kehidupan dapat bertahan hidup termasuk manusia.
Menurut Kaplan (2002:102) adaptasi tidak terlepas dari ekologi budaya.
Suatu ciri dalam ekologi budaya ialah perhatian mengenai adaptasi pada dua
tataran: pertama, sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap
lingkungan totalnya, dan kedua: sebagai konsekuensi adaptasi sistematik itu,
perhatian terhadap cara institusiinstitusi dalam suatu budaya beradaptasi atau
saling menyesuaikan diri. Mahasiswa Papua melakukan adaptasi dalam dua
tataran yaitu dengan lingkungan fisik atau alam dan lingkungan sosial budaya
di UPI.
Prosedur dalam penyesuaian dan adaptasi dilalui oleh mahasiswa Papua
yaitu pada penyesuaian kebudayaaan yang berkaitan dengan pemanfaatan
sumber daya untuk kebutuhan pangan ketika di UPI. Pemanfaatan pangan
dengan mencari makanan khas Papua ketika di UPI sehingga dapat memenuhi
kebutuhan seperti di Papua. Pemanfaatan teknologi akademik UPI dalam
pembelajaran, serta mengatur pola kelakukan untuk beradaptasi dengan
kebiasaan dan tata kelakuan mahasiswa dan masyarakat di UPI. Alasan teori
ini digunakan dalam penelitian yaitu karena adanya proses adaptasi yang
dialami mahasiswa tidak hanya dalam satu tataran lingkungan fisik namun
untuk melihat apakah mahasiswa Papua mengalami adaptasi dalam tiga tataran
ekologi kebudayaan.
2. Beasiswa Afirmasi Dikti (ADik)
Beasiswa Afirmasi Dikti selanjutnya disebut beasiswa ADik merupakan
program beasiswa kerjasama Kemdikbud, Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), dan Majelis Rektor PTN Indonesia,
dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia di Papua dan Papua Barat.
Melalui program ini, putra-putri lulusan SMA sederajat dapat mengikuti
pendidikan perguruan tinggi di 39 perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.
Mahasiswa dari Papua dan Papua Barat mendapatkan beasiswa Strata 1 (S1)
di 39 PTN, bebas biaya SPP selama empat tahun. Biaya pendidikan di PTN
akan ditanggung kemdikbud. Adapun biaya hidup kira-kira Rp. 600.000 per
bulan, dan transportasi ditanggung pemerintah daerah.
(http://edukasi.kompas.com).
3. Culture Shock
Istilah "culture shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (1960) untuk
menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan
disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan
budaya yang baru. Istilah culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal
medis sebagai penyakit yang parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang),
yang diperoleh individu saat ia secara tiba-tiba dipindah ke luar negeri.
Namun istilah culture shock dalam istilah sosial pertama kali dikenalkan
oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg mendefinisikan culture shock sebagai
“penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan
kulturnya. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas,
hilangnya arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu
bagaimana harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut
ketika ia berada dalam suatu lingkungan yang secara kultur maupun sosial
baru. Oberg lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu
karena ia kehilangan symbol-simbol yang selama ini dikenalnya dalam
interaksi sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam
jangka waktu yang relative lama.
Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang "culture shock"
diantaranya:
1. Dayaksini, (2004) Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak
mengetahui harus berbuatapa atau bagaimana mengerjakan segala sesuatu
di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa yang tidak sesuai atau
sesuai.
2. Ward (2001) mendefinisikan culture shock adalah suatu proses aktif dalam
menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang tidak familiar.
Proses aktif tersebut terdiri dari affective, behavior, dan cognitive individu,
yaitu reaksi individu tersebut merasa, berperilaku, dan berpikir ketika
menghadapi pengaruh budaya kedua.
3. Edward Hall dalam bukunya yang berjudul Silent Language dalam Hayqal,
(2011) mendeskripsikan culture shock adalah gangguan ketika segala hal
yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi sama sekali berbeda
dengan hal-hal yang dihadapi di tempat yang baru dan asing.
4. Furnham dan Bochner (1970) mengatakan bahwa culture shock adalah
ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari kultur baru
atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan
perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan itu.
5. Adler dalam Abbasian and Sharifi, (2013) mengemukakan bahwa culture
shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak
terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat
menyebabkan perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan
di tipu, dilukai ataupun diacuhkan.
6. Stella dalam Hayqal, 2011).Culture shock merupakan sebuah fenomena
emosional yang disebabkan oleh terjadinya disorientasi pada kognitif
seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada identitas (disonan).
7. Kim dalam Abbasian and Sharifi, (2013) menyatakan culture shock adalah
proses generik yang muncul setiap kali komponen sistem hidup tidak cukup
memadai untuk tuntutan lingkungan budaya baru.Selanjutnya Culture shock
adalah tekanan dan kecemasan yang dialami oleh orang-orang ketika
mereka bepergian atau pergi ke suatu sosial dan budaya yang baru.
8. Littlejohn (2004, dalam Mulyana 2006) culture shock adalah perasaan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain.
9. Mulyana, (2008) Culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang
mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk didalamnya seribu satu cara yang
mengarahkan kita dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk
memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di mana kita
tidak perlu merespon.
10. Ruben & Stewart dalam Hayqal, (2011). culture shock adalah rasa putus
asa, ketakutan yang berlebihan, terluka, dan keinginan untuk kembali yang
besar terhadap rumah. Hal ini disebabkan adanya rasa keterasingan dan
kesendirian yang disebabkan oleh benturan budaya Culture shock bukanlah
istilah klinis ataupun kondisi medis.
11. Kingsley dan Dakhari, (2006). Culture shock merupakan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan perasaan bingung dan ragu-ragu yang
mungkin dialami seseorang setelah ia meninggalkan budaya yang
dikenalnya untuk tinggal di budaya yang baru dan berbeda

Dari definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa culture
shock merupakan suatu permasalahan yang melibatkan perasaan, cara berpikir
dan berperilaku pada diri individu saat menghadapi perbedaan pengalaman
maupun budaya.
Proses aktif dalam menghadapi perubahan saat berada di lingkungan yang
tidak familiar merupakan bentuk culture shock. Proses aktif tersebut meliputi
affective, behavior, dan cognitive individu yakni individu merasa, berperilaku
dan berpikir ketika menghadapi budaya kedua. affective berhubungan dengan
perasaan dan emosi yang dapat menjadi positif atau negatif. Individu akan
merasa bingung, cemas, disorientasi, curiga, dan juga sedih karena datang ke
lingkungan yang tidak familiar. Proses yang dihadapi dalam diri individu akan
mempengaruhi ketika hidup bermasyarakat. Faktor yang mempengaruhi dalam
reaksi individu seperti adanya perubahan hidup, kepribadian dan dukungan
sosial yang harus dipertimbangkan. Faktor lain seperti perbedaan budaya,
pengenalan budaya dan status mengenali suatu budaya. Selain itu dimensi
behavior merupakan perilaku individu yang mempengaruhi seseorang saat
mengalami culture shock, dimana individu mengalami kekeliruan aturan,
kebiasaan dan asumsi yang mengatur interaksi individu yang mencakup
komunikasi verbal dan nonverbal yang bervariasi diseluruh budaya. Dimensi
behavior juga berkaitan dengan pembelajaran budaya. Pembelajaran budaya
merupakan suatu proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendatang untuk
memperoleh pengetahuan sosial dan keterampilan agar dapat bertahan di
lingkungan masyarakat yang baru. Kemudian ada juga cognitive yang
merupakan hasil dari affective dan behaviorally yang merupakan perubahan
persepsi pada individu dalam identifikasi etnis dan nilai-nilai akibat kontak
budaya. Sebagai pendatang harus mempertimbangkan hubungan budaya yang
berubah yang mengacu pada kesukuan, identitas nasional dan hubungan dengan
kelompok lain. Proses mengenal budaya suatu daerah merupakan suatu konsep
identifikasi yang mencakup sikap, nilai-nilai bahkan perilaku.
Tahap-tahap yang akan dialami mahasiswa yang mengalami culture shock
ini dikenal dengan istilah U-Shape, Yaitu:
a. Tahap Honey moon/ Euphoria/ Fun. Ini adalah saat pertama kali
mahasiswa datang ke Kota barunya untuk kuliah, biasanya berlangsung
sekitar beberapa hari sampai beberapa bulan. Pada masa ini individu
masih terpesona dengan segala sesuatu yang baru yang ditemuui di kota
Makassar. Periode ini ditandai dengan perasaan bersemangat, antusias,
terhadap kultur baru dan orangorangnya. Pada masa ini perbedaan-
perbedaan budaya masih dianggap sebagai sesuatu yang menarik dan
menyenangkan.
b. Tahap Krisis yaitu: agresif/regresi/Flight. Pada tahap berikutnya,
mahasiswa seringkali dihadapkan pada berbagai macam perbedaan
budaya yang ternyata dapat memicu persoalan-persoalan yang belum
pernah dihadapinya sebelumnya. Persoalan-persoalan yang nyata ini
biasanya menimbulkan perasaan agresif, marah pada kultur barunya
karena dianggapnya aneh, tidak masuk akal, seperti mahasiswa yang
dari daerah suku Bugis akan merasa aneh jika melihat perilaku dan
bahasa mahasiswa yang dari suku Makassar.
c. Proses Adjustment . Bila mahasiswa bertahan di dalam krisis, maka
mahasiswa akan masuk pada tahap ketiga. Tahap ini terjadi apabila
mahasiswa mulai bersedia untuk belajar kultur baru. Pada periode ini,
individu mulai memahami berbagai perbedaan norma dan nilai-nilai
antara kultur aslinya dan kultur baru yang saat ini dimasukinya. Ia
mungkin mulai paham bagaimana cara bergaul dan berbicara dengan
orang yang berbeda bahasa, mahasiswa mulai menemukan arah untuk
perilakunya, dan bisa memandang peristiwa-peristiwa di tempat
barunya dengan rasa humor.
Adler (1975) mengelaborasi konsep ini seperti dikembangkan dalam
Furnham dan Bochner (1986), bahwa pertama-tama individu mengalami
perasaan terisolasi dari kulturnya yang lama. Dan proses disintegrasi
terjadi saat individu semakin sadar adanya berbagai perbedaan antara
kultur lama dan kultur baru yang diikuti dengan penolakan terhadap
kultur baru. Namun demikian, hal ini akan diikuti oleh integrasi dari
kultur baru dan saat ia mulai menguasai bahasa setempat, ia semakin
mampu menegosiasikan kebutuhannya sehingga tumbuh perasaan
otonomi dalam dirinya. Dan akhirnya ia mencapai tahap kemandirian,
dimana ia mampu menciptakan makna dari berbagai situasinya, dan
perbedaan yang ada akhirnya bisa dinikmati dan diterima.
d. Fit/Integration. Periode berikutnya terjadi apabila mahasiswa mulai
menyadari bahwa kultur barunya punya hal yang baik maupun hal yang
buruk, dimana ia harus menyikapi dengan tepat. Pada masa ini akan
terjadi proses integrasi dari hal-hal baru yang telah dipelajarinya dari
kultur baru, dengan hal-hal lama yang selama ini dia miliki, sehingga
muncul perasaan memiliki. Ini memungkinkan munculnya definisi baru
mengenai dirinya sendiri.
e. Re-entry shock. Tahap terakhir ini dapat muncul pada saat mahasiswa
kembali ke kampung halaman atau suku asalnya. Mahasiswa mungkin
menemukan bahwa cara pandangnya terhadap banyak hal tidak lagi
sama seperti dulu. Dan pada masa inipun membutuhkan kembali
penyesuaian terhadap kulturnya yang lama sebagaimana ia dulu
memasuki kultur yang baru seperti hanya banyak mahasiswa yang telah
berubah logat bicaranya.
Dalam penelitian Gaw (2000) ditemukan bahwa individu yang
kembali ke dalam suku atau kampong asalnya dan mengalami re-entry
culture shock yang tinggi akan menunjukkan adanya masalah dalam
penyesuaian diri dan mengalami masalah rasa malu dibandingkan
mereka yang mengalami re-entry gagap budaya yang rendah.
Menurut Furnham dan Bochner (dalam Manz, 2003) faktor-faktor
yang mempengaruhi individu mengalami culture shock saat berinteraksi
dengan budaya baru adalah sebagai berikut:
1. Adanya perbedaan budaya, kualitas,kuantitas dan lamanya culture
shock yang dialami individu yang dipengaruhi oleh tingkat perbedaan
budaya antara lingkungan asal dan lingkungan baru individu. Culture
shock lebih cepat jika budaya tersebut sangat berbeda, seperti sosial,
perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat,
dan bahasa. Semakin berbeda kebudayaan antar dua individu yang
berinteraksi, semakin sulit kedua individu tersebut membangun dan
memelihara hubungan yang baik ( Bochner, 2003; Septina Sihite, 2012).
2. Adanya perbedaan individu. Berkaitan dengan perbedaan dalam
kepribadian dan kemampuan individu menyesuaikan diri di lingkungan
barunya. Selain itu juga merujuk pada variabel demografis seperti usia,
jenis kelamin, kelas sosialekonomi dan pendidikan. Berkaitan dengan
mahasiswa yang meskipun memiliki umur yang relatif sama namun
memiliki jenis kelamin, kelas sosial-ekonomi dan pendidikan yang
berbeda.
3. Pengalaman lintas budaya individu sebelumnya, pengalaman individu
di masa lalu saat berada di lingkungan baru yang sangat berpengaruh
pada proses adaptasi seperti pengalaman bagaimana individu menerima
perlakuan dari penduduk lokal.

Gejala munculnya gagap budaya bisa berbeda-beda antara satu orang dengan
yang lain. Namun ada beberapa symptom yang biasanya ditunjukkan mahasiswa
saat mengalami culture shock, yaitu antara lain:

a. Mahasiswa merasa sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan,


kecemasan, disorientasi.
b. Mahasiswa menjadi lebih kuatir tentang kesehatan. Pada mahasiswa yang
datang dari daerah yang yang lebih bersih, biasanya menjadi lebih sensitive
terhadap masalah kebersihan di kota Makassar.
c. Mahasiswa menderita rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai
alergi, serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag,
sakit kepala dll. Hal tersebut terjadi karena pola makan mahasiswa sudah
tidak teratur lagi seperti waktu didaerah masing-masing.
d. Adanya perubahan temperamen pada diri mahasiswa, rasa depresi, merasa
diri lemah dan rapuh, merasa tidak berdaya.
e. Perasaan marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk
berinteraksi dengan mahasiswa lain, orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
f. Mahasiswa selalu membanding-bandingkan kultur asalnya, mengidolakan
kultur asal secara berlebihan.
g. Kehilangan identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama
ini diyakininya. Misalnya, sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah
orang yang cerdas, tiba-tiba kini merasa menjadi orang yang paling bodoh,
aneh, tidak menarik dll, karena di kota Makassar kemungkinan besar banyak
orang pintar yang ditemui, ada oranf gagah atau cantik ditemui yang
sebelumnya tidak didapatkan di daerah masing-masing.
h. Mahasiswa mencoba terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada
di lingkungan barunya (karena rasa cemas ingin menguasai/memahami
lingkungannya) yang justru bisa menimbulkan perasaan kewalahan.
i. Tidak mampu memecahkan masalah sederhana, karena mahasiswa belum
terbiasa hidup mandiri, seperti contoh sederhana mahasiswa sulit untuk
menyiapkan makanannya sendiri.
j. Mahasiswa kehilangan kepercayaan diri.

Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara mahasiswa yang satu dengan
mahasiswa lainnya, dan dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang
mungkin terjadi, antara lain:

1. Antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.


2. Rasa kehilangan arah.
3. Rasa penolakan.
4. Gangguan lambung dan sakit kepala.
5. Homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama.
6. Rindu pada teman dan keluarga.
7. Merasa kehilangan status dan pengaruh.
8. Menarik diri.
9. Menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka

Dari bebrapa faktor penyebab terjadinya culture shock, kelompok merumuskan


solusi untuk mengatasinya. Antara lain yaitu :

1. Faktor pergaulan. Mahasiswa harus belajar membiasakan diri beradaptasi


dan berinteraksi dengan lingkungan barunya di kota Makassar, dengan
pembiasaan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dari mahasiswa
tersebut dalam bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan barunya
tersebut. Pergaulan yang baik akan membuat seseorang lebih mudah
menjalani kehidupan sosialnya.
2. Faktor teknologi. Dewasa ini teknologi semakin berkembang pesat
dikalangan orang banyak, semakin pesat teknologi berkembang maka
orang-orang dituntut untuk semakin keras mempelajari dan
mengaplikasikan teknologi yang ada dalam kehidupannya. Seorang
mahasiswa yang berada di lingkungan baru baginya pasti akan merasakan
perbedaan teknologi yang berkembang di lingkungan tersebut, terlebih lagi
apabila individu yang berasal dari daerah pelosok kemudian datang ke kota
besar yang cukup pesat perkembangan teknologinya, seperti jika ingin
kemana-mana maka mahasiswa bisa menggunakan aplikasi gojek, grab dan
lain-lain yang tidak ada di daerah asal.
3. Faktor geografis. Karena faktor geografis ini berkaitan erat dengan kondisi
fisik lingkungan maka hal ini dapat diatasi dengan cara individu lebih
menjaga kesehatan yang cenderung menurun ketika mahasiswa tersebut
tinggal di suatu tempat tinggal yang baru seperti tinggal di kos-kosan, yang
tentunya jauh berbeda dengan tempat tinggal semula. Pencegahan yang baik
perlu dilakukan secara terus menerus agar mahasiswa tetap berada di
kondisi yang prima dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
4. Faktor bahasa keseharian. Untuk mengatasinya kelompok memberikan
solusi diantaranya yaitu dengan menumbuhkan kemauan belajar bahasa
kepada setiap mahasiswa ketika tinggal ditempat yang baru. Kemauan
belajar bahasa tersebut bisa dilakukan dengan cara meminta bantuan kepada
mahasiswa yang memang berasal dari kota tersebut atau dari daerah lain
yang memiliki bahasa yang berbeda tersebut untuk mengajarkan bahasa
mereka.
5. Faktor ekonomi. Faktor ekonomi ini dapat diatasi dengan cara pengelolaan
keuangan yang baik sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, agar
individu dapat menyesuaikan pemasukan keuangan dengan
pengeluarannya. Pada saat proses pendidikan alkn lebih baiknya mahasiswa
juga melakukan program saving money, untuk mengatasi kebutuhan tidak
terduga, karena pada umumnya semua mahasiswa masih tergantung kepada
kiriman orang tua yang ada dikampung atau di daerah.
6. Faktor adat istiadat. Pada dasarnya melekatnya kebudayaan terhadap
seorang mahasiswa membutuhkan proses dan waktu, semua tidak terjadi
begitu saja. Solusi menurut kelompok adalah mahasiswa harus lebih
membuka dirinya terhadap adat istiadat, kebiasaan, tingkah laku yang yang
di dapatkan di kota Makassar. Dengan cara tersebut diharapkan individu
dapat lebih menghindari terjadinya culture shock/gegar budaya
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Penelitian dalam makalah ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif
dan dengan pendekatan kombinasi. Metode deskriptif adalah suatu metode
peneltian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena-fenomena yang ada.
Menurut Furchan (2008:317), metode deskriptif memiliki karakteristik :
a. Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa
adanya dengan cara menelaah secara teratur dan ketat, mengutamakan
objektivitas, dan dilakukan dengan cermat.
b. Tidak adanya perlakuan yang diberikan dan dikendalikan.
Pendekatan kombinasi atau biasa juga diidebut dengan metode penelitian
gabungan adalah merupakan pendekatan penelitian yang menggabungkan atau
menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Menurut
Creswell (2009) dalam (Sugiyono, diunduh 21 Juli 2016, 18:53) menyatakan
bahwa “Mixed Methods Research is an approach to inquiry that combines or
associated both qualitative quantitative forms of research” yang artinya
metode kombinasi adalah merupakan pendekatan penelitian yang
menggabungkan atau menghubungkan metode penelitian kuantitatif dan
kualitatif.
Lebih lanjut Creswell menyatakan “A Mixed methods design is useful when
either the quantitative or qualitative approach by itself is inadequate to best
understand a research problem or the strengths of both quantitative and
qualitative research can provide the best understanding”. Metode penelitian
kombinasi akan berguna bila metode kuantitatif atau metode kualitatif secara
sendiri-sendiri tidak cukup akurat digunakan untuk memahami permasalahan
penelitian, atau dengan menggunakan metode kuatitatif dan kualitatif secara
kombinasi akan dapat memperoleh pemahaman yang paling baik (bila
dibandingkan dengan satu metode).
A. Partisipan dan Tempat Penelitian
Partisipan dari penelitian “Analisis Fenomena Culture Shock pada
Mahasiswa Afirmasi Papua di Universitas Pendidikan Indonesia” adalah
mahasiswa jalur afirmasi dari Papua yang berkuliah di Universitas Pendidikan
Indonesia. Jumlah mahasiswa afirmasi Papua dari angkatan 2013—2017
sejumlah 54 orang. Tidak seluruh mahasiswa afirmasi Papua menjadi partisipan
dari penelitian melainkan hanya 12 orang. Jumlah tersebut diperoleh dari
sampel minimal menurut Slovin (dalam Riduwan, 2005:65) dengan nilai presisi
75%.
Tempat penelitian dilakukan di kompleks Universitas Pendidikan
Indonesia. Pemilihan tempat tersebut sesuai dengan batasan penelitian yang
digunakan.
B. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah eksploratif. Eksploratif yaitu peneliti
menekankan pada data kualitatif daripada kuantitatif, pengumpulan data
kualitatif didahulukan, baru kemudian data kuantitatif. Data kuantitatif berupa
data numerik, semetara data kualitatif berupa data teks. Data dalam penelitian
ini dikumpulkan dengan metode wawancara dan kuisioner. Wawancara
dilakukan terhadap seorang mahasiswa afirmasi dari Papua dengan pedoman
wawancara yang telah ditentukan. Sementara kuisioner disebarkan kepada 11
mahasiswa afirmasi dari Papua.
Dalam wawancara dan kuisioner tersebut ada empat aspek yang digali:
1. Identitas informan berupa asal jurusan, fakultas, angkatan dan jenis
kelamin.
2. Proses adaptasi informan di kampus UPI.
3. Gejala culture shock yang dirasakan informan selama berkuliah di UPI.
4. Pengaruh dari culture shock terhadap capaian akademik informan.

Tabel 1. Identitas Subjek Penelitian


No. Asal Semester Jenis
Asal Jurusan Angkatan
Subjek Fakultas Kuliah Kelamin
Subjek Wawancara
Administrasi
(1) FIP 2016 4 Laki-laki
Pendidikan
Subjek Kuisioner
Pendidikan
(2) Teknik FPTK 2016 2 Laki-laki
Mesin
Administrasi
(3) FIP 2016 4 Laki-laki
Pendidikan
Administrasi Perempu
(4) FIP 2014 8
Pendidikan an
Teknologi
(5) FIP 2016 4 Laki-laki
Pendidikan
Administrasi
(6) FIP 2014 8 Laki-laki
Pendidikan
Biologi Perempu
(7) FPMIPA 2014 8
an
Administrasi
(8) FIP 2013 8 Laki-laki
Pendidikan
Fisika Perempu
(9) FPMIPA 2016 4
an
Pendidikan Perempu
(10) FPMIPA 2016 4
Fisika an
Pendidikan Perempu
(11) FPMIPA 2016 4
Fisika an
Pendidikan Perempu
(12) FPMIPA 2016 4
Biologi an

C. Metode Pengolahan Data


Data diolah dengan sebelumnya mengidentifikasi apakah mahasiswa yang
bersangkutan mengalami culture shock atau tidak dilihat dari bagaimana proses
adaptasinya selama berkuliah di UPI dan dari gejala culture shock yang
dirasakan oleh mahasiswa tersebut. Setelah itu akan dibagi ke dalam dua
kelompok, mahasiswa yang mengalami culture shock dan tidak mengalami
culture shock, kemudian dikaitkan dengan capaian akademik mahasiswa
tersebut selama berkuliah di UPI.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Hasil
1. Hasil Wawancara
Wawancara dilaksanakan pada tanggal 6 April 2018 di daerah Museum
Pendidikan Nasional. Narasumber dari wawancara tersebut adalah Eston
Urban, mahasiswa semester 4 dari Jurusan Administrasi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan. Narasumber merupakan koordinator dari
mahasiswa afirmasi Papua yang lain. Narasumber juga memiliki riwayat
pindah jurusan selama berkuliah di UPI.
Dari wawancara, narasumber menyebutkan bahwa narasumber memilih
Jurusan Biologi atau Administrasi Pendidikan. Tetapi karena narasumber
adalah mahasiswa afirmasi, jurusannya pun dipilih oleh Pemerintah Papua.
Hal ini menyebabkan dia kesulitan untuk mengikuti perkuliahan karena
Pendidikan Kimia bukan pilihannya ditambah lagi di jenjang pendidikan
sebelumnya dia tidak mendapatkan pembelajaran kimia. Selain itu, bahasa
dan cara berkomunikasi yang menjadi kesulitan bagi dia untuk beradaptasi
di UPI ini. Kurang pahamnya bahasa daerah di Bandung, yaitu bahasa
Sunda yang menjadi kendala dalam berkomunikasi dengan teman
sebayanya. Selain itu, terkadang dalam bahasa Indonesia pun narasumber
sedikit kesulitan dalam berkomunikasi.

Gambar 1. Wawancara dengan narasumber


Capaian akademik narasumber dapat dikatakan cukup, namun ada mata
kuliah yang diharuskan untuk mengulang, yaitu bahasa Inggris.
Karena tuntutan kondisi dan kesulitan dia dalam mengikuti pembelajaran
kimia, dia memutuskan untuk pindah jurusan ke jurusan administrasi
pendidikan. Setelah pindah, narasumber sudah dapat beradaptasi dengan
baik. Mulai dari cara berkomunikasi hingga perkuliahan pun dapat diikuti
dengan cukup baik.
2. Hasil Kuisioner
a. Proses adaptasi informan di kampus UPI.
Terdiri dari enam pertanyaan yang meliputi aspek proses adaptasi
dengan bahasa daerah (Sunda), makanan dan minuman yang terdapat di
lingkungan kampus, dan kebiasaan atau kultur dari teman-teman di
lingkungan kampus.
Pertanyaan tersebut antara lain:
1) Bagaimana proses adaptasi Anda dengan bahasa Sunda yang biasa
digunakan oleh mahasiswa UPI untuk berinteraksi?
2) Apakah perbedaan bahasa menjadi hambatan bagi Anda dalam
proses perkuliahan?
3) Bagaimana menurut Anda makanan/minuman yang biasa ada di
Bandung?
4) Apakah perbedaan jenis makanan/minuman memengaruhi
kenyamanan Anda dalam berkuliah di UPI?
5) Bagaimana menurut Anda perilaku atau kebiasaan dari mahasiswa
asli Jawa Barat yang ada di UPI?
6) Apakah perbedaan perilaku atau kebiasaan dari mahasiswa lain
memengaruhi kenyamanan Anda dalam berkuliah di UPI?
Jawaban dari tiap subjek disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Jawaban kuisioner aspek pertama.
No. Nomor Pertanyaan
Subjek 1 2 3 4 5 6
Sangat Sangat Sangat
(2) Ya Ya Ya
mudah cocok biasa
Sangat Tidak
(3) Tidak Cocok Tidak Ya
sulit biasa
Sangat
Sangat Sangat
(4) Ya Tidak tidak Ya
sulit cocok
biasa
Sangat
(5) Netral Mungkin Cocok Ya tidak Ya
biasa
Sangat Sangat Sangat
(6) Tidak Tidak Ya
mudah cocok biasa
Tidak Tidak
(7) Netral Ya Tidak Ya
cocok biasa
Sangat
Sangat Sangat
(8) Tidak Tidak tidak Tidak
mudah cocok
biasa
(9) Netral Tidak Cocok Mungkin Netral Tidak
Sangat Sangat
(10) Sulit Ya Tidak Tidak
cocok biasa
Sangat Sangat Sangat
(11) Tidak Tidak Mungkin
mudah cocok biasa
Sangat Tidak
(12) Mungkin Netral Tidak Tidak
sulit biasa

b. Gejala culture shock yang dirasakan informan selama berkuliah di UPI.


Terdiri dari tujuh pertanyaan yang didasarkan pada gejala-gejala culture
shock menurut literatur, sebagai berikut:
1) Apakah Anda pernah membanding-bandingkan keadaan di UPI
dengan kampung halaman Anda?
2) Apakah Anda pernah merasa keadaan di UPI tidak lebih bagus dari
kampung halaman Anda?
3) Apakah Anda pernah merasa tidak percaya diri ketika bergaul
dengan mahasiswa lain di UPI?
4) Jika iya (pernah merasa tidak percaya diri ketika bergaul dengan
mahasiswa lain), seberapa sering? (rentang 1—5, tidak pernah—
sangat sering)
5) Apakah Anda pernah merasa sedih dan terasingkan meskipun berada
di antara banyak orang saat berkuliah di UPI?
6) Apakah Anda pernah mengalami sakit sejak berkuliah di UPI?
7) Jika iya (pernah mengalami sakit sejak berkuliah di UPI), seberapa
sering? (rentang 1—5, tidak pernah—sangat sering)

Tabel 3. Jawaban kuisioner aspek kedua.


No. Nomor Pertanyaan
Subjek 1 2 3 4 5 6 7
Tidak Sangat
(2) Tidak Tidak Tidak Ya Ya
pernah sering
Sangat Kadang-
(3) Tidak Tidak Ya Ya Ya
sering kadang
Sangat Sangat
(4) Ya Tidak Ya Ya Ya
sering sering
Sangat Sangat
(5) Ya Tidak Mungkin Ya Ya
sering sering
(6) Tidak Tidak Tidak Sering Tidak Ya Jarang
Tidak
(7) Ya Ya Tidak Jarang Mungkin Tidak
pernah
Sangat Sering
(8) Tidak Tidak Tidak Tidak Ya
sering
Tidak Tidak
(9) Ya Mungkin Tidak Tidak Mungkin
pernah pernah
Tidak Jarang
(10) Tidak Tidak Tidak Mungkin Ya
pernah
Tidak Tidak
(11) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pernah pernah
Kadang- Kadang-
(12) Ya Tidak Mungkin Mungkin Ya
kadang kadang

c. Pengaruh dari culture shock terhadap capaian akademik informan.


Terdiri dari sembilan pertanyaan, ada yang merupakan pertanyaan
terbuka dan pertanyaan tertutup. Pertanyaannya sebagai berikut:
1) Bagaimana dengan kondisi nilai akademik Anda di semester
lalu?
2) Apakah nilai akademik Anda mengalami peningkatan?
3) Apakah jurusan Anda sekarang dipilih oleh diri Anda sendiri
atau oleh Pemerintah?
4) Apakah Anda merasa jurusan Anda sekarang sesuai dengan
minat Anda? Jika tidak sesuai dengan minat Anda, apa
alasannya?
5) Apakah Anda pernah pindah jurusan selama berkuliah di UPI?
Jika iya, apa alasannya?
6) Apakah Anda pernah berpikir untuk tidak meneruskan studi
Anda di UPI? Jika iya, apa alasannya?

Tabel 3. Jawaban kuisioner aspek ketiga.


No. Nomor Pertanyaan
Subjek 1 2 3 4 5 6
Biasa Ya, Diri
(2) Ya Tidak Tidak
saja meningkat sendiri
Ya, Karena
Biasa Ya, Diri
(3) Ya memilih Tidak
saja meningkat sendiri
jurusan tidak
sesuai dengan
minatnya
Ya, karena
Jauh dri
Tidak,
orang tua
Tidak, karena
Biasa dan belum
(4) makin Pemerintah pilihan Tidak
saja biasa adaptasi
buruk dari
dengan teman
Pemerintah
-teman yang
baru
Biasa
Biasa saja, tidak
(5) Pemerintah Ya Tidak Tidak
saja ada
perubahan
Ya, kurang
Biasa menyesuaikan
Sangat saja, tidak Diri dengan
(6) Ya Tidak
baik ada sendiri perkulaliahan
perubahan di jurusan
sebelumnya
Biasa Ya,
(7) Pemerintah Ya Tidak Tidak
saja meningkat
Biasa
Biasa saja, tidak Diri Ya, karena
(8) Ya Tidak
saja ada sendiri tidak sesuai
perubahan
Biasa
Biasa saja, tidak Diri
(9) Mungkin Tidak Tidak
saja ada sendiri
perubahan
Biasa Ya, Diri
(10) Ya Tidak Tidak
saja meningkat sendiri
Sangat Ya, Diri
(11) Ya Tidak Tidak
baik meningkat sendiri
Biasa Ya, Diri
(12) Mungkin Tidak Tidak
saja meningkat sendiri

B. Pembahasan
Dari hasil wawancara sebagai data primer, diperoleh pernyataan bahwa hal
utama yang menyebabkan kendala dalam capaian akademik mahasiswa
afirmasi dari Papua adalah perbedaan kultur individu dan prioritas berkuliah
mahasiswa yang masih rendah. Perbedaan kultur yang dimaksud antara lain
adalah jam tidur dan kesukaan dalam olahraga. Jam tidur yang berbeda
membuat mahasiswa dari Papua kadang terlambat mengikuti perkuliahan.
Kesukaan dalam olahraga pun kadang menandingi aktivitas kuliah.
Selain itu, menurut narasumber, mahasiswa dari Papua masih enggan dalam
bergaul dengan teman-temannya. Tidak banyak mahasiswa dari Papua yang
memilih untuk tergabung ke dalam organisasi/komunitas. Narasumber
merupakan salah satu mahasiswa dari Papua yang aktif mengikuti ormawa.
Menurut narasumber, pada awalnya tidak mudah dalam mempelajari bahasa
daerah Jawa Barat yaitu bahasa Sunda. Mengenai makanan dan minuman,
narasumber lebih memilih membuat makanan sendiri.
Narasumber pernah berpindah jurusan karena jurusan yang sebelumnya
tidak sesuai dengan minat narasumber. Jurusan sebelumnya merupakan pilihan
dari Pemerintah. Narasumber mengalami kesulitan dalam mengikuti
perkuliahan bahkan hampir tidak lulus di beberapa mata kuliah.
Untuk memperkuat hipotesis yang muncul dari penyataan narasumber,
digunakan data sekunder dari kuisioner penelitian dengan 11 responden. Setelah
dikelompokkan, dari ke-11 narasumber tersebut, 5 di antaranya mengalami
culture shock. Subjek yang mengalami culture shock adalah subjek nomor (3),
(4), (5), (7), dan (12). Hal tersebut dilihat dari jawabannya pada pertanyaan
mengenai gejala culture shock, subjek merasakan hampir seluruh gejala culture
shock berdasarkan literatur, yaitu:
1) Suka membanding-bandingkan keadaan di UPI (atau Bandung) dengan
kampung halamannya.
2) Merasa tidak percaya diri ketika bergaul dengan mahasiswa lain di UPI.
3) Merasa sedih dan terasingkan meskipun berada di antara banyak orang
saat berkuliah di UPI.
4) Cukup sering mengalami sakit sejak berkuliah di UPI.

Dari subjek tersebut, dianalisis hal apa yang menjadi sebab utama culture
shock—ya dari pertanyaan mengenai proses adaptasi subjek. Secara kuantitatif
dapat digambarkan dalam diagram berikut:

Hal yang Menyebabkan Culture Shock

Bahasa Makanan Kebiasaan

Diagram 1. Faktor culture shock yang dirasakan mahasiswa afirmasi dari


Papua
41,37% dipengaruhi oleh perbedaan perilaku dan kebiasaan dari teman-
temannya, 36,78% dari perbedaan bahasa, dan sisanya oleh faktor perbedaan
makanan ataupun minuman dengan daerah asalnya.

Selain itu dilakukan perbandingan capaian akademik antara subjek yang


mengalami culture shock dengan subjek yang tidak mengalami culture shock.
Secara kuantitatif dapat digambarkan sebagai berikut:
Perbandingan Capaian Akademik

Nilai Saat Ini

Progres Nilai

Tidak mengalami culture shock Mengalami culture shock

Diagram 2. Capaian akademik responden.


Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa yang mengalami
culture shock merasa memiliki capaian akademik yang lebih rendah dibanding
mahasiswa yang tidak mengalami culture shock.

Hal menarik lain yang diketahui adalah tiga dari lima mahasiswa yang
mengalami culture shock ternyata jurusannya dipilih oleh Pemerintah. Satu di
antaranya pun ada yang ingin pindah jurusan dan pernah berniat untuk tidak
meneruskan studi di UPI karena jauh dari orang tua dan merasa tidak cocok
dengan teman-temannya.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Beberapa simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. …

B. Saran
Hal yang dianalisis dan dipaparkan dalam makalah ini masih merupakan tahap
awal dari penelitian. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai
….
DAFTAR PUSTAKA

(pang urutin wir-)


Pedoman KTI UPI (bingung nulisnya kumaha wks)
Adler, P. 1975. The Transitional Experience: An Alternative View of Culture
Shock. Journal of Humanistic Psychology 15, 13-23.
Riduwan, 2005 (cari cari cari)
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, 2013, Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods), 2011, Penerbit CV.
Alfabeta, Bandung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka
Aulia, Luki. 2014. 749 Siswa Papua dapat Beasiswa Afirmasi.
http://edukasi.kompas.com/read/2012/08/31/20332243/749.Siswa.Papua.
Dapat.Beasiswa.Afirmasi (diakses pada, Rabu 08 Mei 2018).

Kaplan, David. dan Manners, A. Robert. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.
Miles. B. Mathew & A. Michael Huberman 1999. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta : UI PRES.
Mulyana, Deddy. 2003. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Pasal 1 Ayat 3. Jakarta.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Furnham, A. & Bochner, S. 1986. Culture Shock: Psychological Reactions to
Unfamiliar Environments. New York: Methuen.
Gaw, K.F. 2000. Reverse Culture Shock in Students Returning from Overseas.
International Journal of Intercultural Relations, 24, 83-104.
Winkelman, Michael. 1994. Cultural Shock and Adaptation. Journal of
Counseling and Development : JCD; Nov 1994; 73, 2; ProQuest pg. 121.
Volume 73.
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 23 Ayat 1. Jakarta: Diperbanyak oleh Biro Hukum dan Organisasi.
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_2_89.htm (diakses pada, Rabu 08 Mei
2018)

Ward, C., Bochner, S., & Furnham, A. (2005). The psychology of culture shock.
Melalui Taylor & Francis e-Library.
LAMPIRAN

1. Transkrip Wawancara

Pewawancara Jadi Pendidikan Kimia pilihan pemerintah? Cita-cita dari


kecil memang menjadi kepala dinas?
Narasumber iya betul
Pewawancara Waktu di Pendidikan Kimia bagaimana nilai-nilainya?
Narasumber Kalau yang mata kuliah umum sudah bagus, tapi yang
kimianya kurang memuaskan
Pewawancara Ada mata kuliah yang pernah tidak lulus ga?
Narasumber Bahasa Inggris, dan yang kimia. kalau Bahasa Inggris
kemarin mengulang dapat C
Pewawancara Penyebabnya apa bisa sampai ga lulus?
Narasumber Masalahnya kurang belajar.
Pewawancara Tapi materinya bisa dipahami?
Narasumber Bisa. hanya translate-nya yang sulit
Pewawancara Pindah jurusan semester berapa?
Narasumber Semester dua
Pewawancara IPK sebelum-sebelumnya bagaimana?
Narasumber Yang di kimia itu 2,3
Pewawancara Menurut Narasumber itu memuaskan atau tidak?
Narasumber Kurang memuaskan
Pewawancara Waktu di Pendidikan Kimia materi apa yang sulit?
Narasumber Matematika, kimia. Yang kimia belum belajar dari SMA.
Pewawancara Oh intinya yang hitungan-hitungan itu ya. Karena waktu
SMA-nya belum belajar?
Narasumber Iya
Pewawancara Penyebabnya karena waktu SMA belum belajar ya?
Narasumber Iya betul
Pewawancara Waktu di Pendidikan Kimia merasa aman tidak?
Narasumber Kalau mata kuliah nggak aman
Pewawancara Ngekos dimana?
Narasumber Di Citalita, Kabupaten Bandung Barat
Pewawancara Fasilitasnya apa?
Narasumber Semuanya ada kecuali wifi pasang sendiri, di sekitar
kosan pun aman dan nyaman
Pewawancara Ke kampus naik apa?
Narasumber Jalan kaki, 10 menit
Pewawancara Dari kos ke kampus suka ada hambatan?
Narasumber Tidak, kecuali hujan sering banjir.
Pewawancara Kan Narasumber pindah jurusan. Kenapa bisa pindah
jurusan??
Narasumber Karena susah mata kuliahnya. Kalau harus mengulang
kan lama bisa sampai 6-7 tahun. Saya harus lulus 4 tahun
Pewawancara Kalau dilihat dari cita-citanya cocok ngga di Pendidikan
Kimia?
Narasumber Karena kalau di Pendidikan Kimia nanti menjadi guru.
Kan cita-cita saya menjadi kepala dinas. Kalau di
sekarang bisa jadi manager pendiidkan, kepala sekolah,
kepala dinas.
Pewawancara Jurusan yang cocok dan diminati kan administrasi
pendidikan, selain itu ada tidak?
Narasumber Jurusan kepengawasan atau manajemen ambil
perencanaan dan kepengawasan. Ambil dua jurusan
Pewawancara Karena sekarang sudah di adpen. Narasumber merasa
cocok ga? Dan mau bertahan sampai akhir?
Narasumber Iya
Pewawancara Berati tinggal di Bandung sudah berapa lama?
Narasumber Udah dua tahun
Pewawancara Gimana rasanya tinggal di banbung
Narasumber Pertama-tama tidak ada teman. Jadi merasa sering ingin
pulang. Tapi sekarang udah ngga karena banyak teman.
Pewawancara Kan di bandung bahasanya sunda, kalau menurut
Narasumber gimana?
Narasumber Pertama sih susah. Tapi lama-lama mengerti sedikit-
sedikit.
Pewawancara Jadi sekarang sudah mengerti?
Narasumber Iya, aku belajar banyak dari P2M
Pewawancara Sekarang ikut kepanitiaan di himpunannya?
Narasumber Iya sekarang ikut
Pewawancara Kalau makanan gimana Narasumber?
Narasumber Makanannya lebih murah,
Pewawancara Enak ngga?
Narasumber Lebih enak masak sendiri
Pewawancara Di sini makanannya lebih murah ya dari di papua?
Narasumber Iya kalau disini ayam sekilo 15rb, kalau disana 25 ribu
Pewawancara Tadi karena bahasa, makanan, kalau cuaca gimana?
Narasumber Kalau cuaca sama saja, di sana lebih dingin.
Pewawancara Narasumber sedang sibuk apa?
Narasumber Sedang menyusun penelitian untuk matkul Penelitian
Pendidikan
Pewawancara Kalau di luar akademik?
Narasumber Kalau di luar akademik saya yang mengkoordinir anak-
anak papua. Missal mereka belum beres mata kuliah dia
menghubungi saya.
Pewawancara Masalahnya gimana sampai belum beres mata kuliah?
Narasumber Kalau masalahnya itu lambat bangun, kalau malam
tidurnya sedikit. Jadi melupakan jam kuliah. Mereka juga
kuliahnya jarang masuk, mereka kalau bangun jam 10.
Dan menjadi kebiasaan. Kalau ada temannya main ke
kosan, main terus. Mereka juga lebih memilih olahraga
daripada kampus. Mereka belum tau prioritas dan posisi
mereka. Rata-rata seperti itu. Di sini ada 25 orang, ada 5
orang yang masih skripsi belum selesai. Ada teman-teman
yang kurang bergabung dengan masyarakat disini.
Mereka kurang bergaul, kalau kuliah pun selesai ya
langsung pulang, tidak mau bergaul.
Pewawancara Apakah merasa kurang cocok dengan teman-temannya?
Narasumber Tidak tahu.
Narasumber Ada juga yang putus kuliah tapi tidak tahu di mana.
Sekarang karena saya lebih aktif di kampus jadi tidak
begitu tahu tentang teman-teman. Sekarang saya jadi
koordinator logistik Mumas.

Anda mungkin juga menyukai