Anda di halaman 1dari 36

ANTARA HANAFI DAN HAMBALI

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Dr. M. Afif Anshori, M.Ag

Oleh
Sigit Budiyanto
NPM : 1976131018

PROGRAM PASCASARJANA
ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
LAMPUNG
1441H/2019M

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, Rabb semesta alam. Semoga shalawat dan salam selalu
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Beserta keluarga, sahabat dan orang-orang
yang senantiasa mengikutinya.
Alhamdulillah dengan izin dan kehendak Allah Azza wa Jalla sehingga makalah ini
dapat saya selesaikan. Makalah ini kami beri judul “Antara Hanafi Dan
Hanbali”. Dalam makalah dijelaskan tentang sejarah biografi Abu Hanifah dan
Ahmad Bin Hanbal, pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal di bidang
hukum Islam dari aspek metodologinya, pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin
Hambal dalam Hukum Keluarga, penyebaran mazhab Abu Hanifah dan Ahmad
Bin Hanbal dan pernyataan Abu Hanifah Dan Ahmad Bin Hanbal.
Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan gambaran tentang materi. Terakhir, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini, agar makalah ini
lebih baik pada masa yang akan datang.
Jazakumullahu khoiran katsiiron.

Bandar Lampung, 8 Rabi’ul Awal 1441 H/


5/11/19 M

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar belakang .............................................................................................. 1
A. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
B. Tujuan .......................................................................................................... 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 4
A. Sejarah Biografi Abu Hanifah Dan Ahmad Bin Hanbal .............................. 4
1. Abu Hanifah ............................................................................................. 4
2. Ahmad Bin Hanbal ................................................................................... 6
B. Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hanbal Di Bidang Hukum Islam
14
a. Metodologi Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah ............................... 14
b. Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad ibn Hanbal ........... 16
C. Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal dalam Hukum Keluarga
20
a. Pendapat madzhab Hanafi tentang warisan khunṡa musykil .................. 20
b. Pendapat mażhab Hanbali tentang warisan khunṡa musykil .................. 21
c. Bagian Harta Warisan Khunṡa Musykil Menurut Mażhab Hanafi ........ 21
d. Bagian harta warisan khunṡa musykil menurut Mażhab Hanbali .......... 22
D. Penyebaran Mazhab Hanafi dan Hanbali ................................................... 22
a. Penyebaran Mazhab Hanafi .................................................................... 22
b. Penyebaran Mazhab Hanbali .................................................................. 23
E. Pernyataan Imam Abu Hanifah Dan Imam Ahmad Bin Hanbal ............... 24
a. Pernyataan Imam Abu Hanifah .............................................................. 24
b. Pernyataan Imam Abu Bin Hanbal ......................................................... 26
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 27
A. Kesimpulan ............................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hukum Islam merupakan komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam


kehidupan umat Islam. Hukum Islam menempati posisi sentral dan penting serta
merupakan intisari dari ajaran Islam itu sendiri, bahkan hukum Islam dipandang
sebagai pengetahuan paling istimewa, Josept Schacht, mengatakan bahwa
mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.1 Siapa pun yang akan
belajar Islam maka tidak dapat lepas dari mempelajari aspek hukum Islam.
Bahkan, seorang pakar di bidang sejarah mengatakan bahwa Islam itu identik
dengan hukum. Pendapat ini bukan tanpa alasan dan dasarnya. Sebab, setiap
pembahasan mengenai ajaran Islam, tema yang sering diperbincangkan adalah
tema hukum Islam.2
Keistimewaan hukum Islam sebagai hukum yang Allah SWT berikan kepada
manusia memang harus mendapat porsi yang kedudukan yang tinggi karena
bersentuhan secara langsung dengan kebutuhan primer seluruh umat Islam.
Hukum yang disyari’atkan tersebut sejatinya ditujukan sebagai petunjuk manusia
dalam kehidupan manusia di dunia. Kehadiran hukum Allah yang dijadikan
pedoman manusia tersebut tiada lain dimaksudkan untuk mewujudkan
kemashlatan umat manusia itu sendiri. 3 Dalam diskursus hukum Islam terdapat
dua istilah yang perlu dipahami terlebih dahulu secara seksama, yakni term
syari’ah dan fikih. Tidak jarang ada yang menyamakan arti syari’at dan fikih.
Syari’at menurut pengertian ulama fikih adalah hukum-hukum atau peraturan
yang diturunkan Allah untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad, baik
berupa Al-Quran maupun sunnah nabi. Ia bersifat tetap (tidak berubah).
Sebab jika syari’at Allah itu berubah, maka ia tidak ada bedanya dengan
peraturan yang dibuat oleh manusia. 4 Sementara fikih adalah hasil pemahaman
mujtahid terhadap syari’at. Oleh karena itu, fikih selalu berkembang dan berubah
mengikuti perkembangan masa perubahan zaman. Dalam hal ini, John L. Esposito
menyatakan bahwa syari’at adalah hukum yang bersifat ketuhanan sedangkan
fikih adalah produk pemahaman manusia dalam mengintrepretasikan dan
menerapkan hukum ketuhanan tersebut. 5 Sebagai produk ijtihad, hukum Islam

1
Josept Schacht, An Introduction to Islamic Law (London: Oxford University Press, 1982), hlm.1.
2
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Yogyakarta: Ar Ruzz Media,2011), hlm. 13
3
Imam asy-Syatibi yang dikenal sebagai bapak maslahah membagi maqasid asy-syariah menjadi 3
(tiga), yaitu daruriyyat (primer), hajiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier). Lihat Abu Ishaq
asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushuli Syari’ah, Juz IV (Riyad: Dar Fikr Araby, t.t.), hlm. 8-12.
4
Abdullah Salim Zarkasyi, “Fiqh di Awal Abad 21”, dalam Epistemologi Syara’: Mencari Format
Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Walisongo Press, 2009), hlm. 30-33.
5
John L. Esposito, Muslim family Law Reform: Toward an Islamic Methodology (Islamabad:
Islamic Research Institute, International Islamic University, t.t), hlm. 23. Dapat diakses melalui
http://www.jstor.org/stable/20846978. Sayyed Hossein Nasr menambahkan bahwa perintah dalam

1
tentunya tidak terlepas dari adanya perubahan. Setiap perubahan sosio-kultural
umat Islam akan berpengaruh terhadap perubahan hukum Islam.
Dalam perjalanan sejarah, hukum Islam merupakan suatu kekuatan
dinamis dan kreatif. Hal ini ditandai dengan hadirnya berbagai mazhab yang
memiliki corak dan karakteristik berbeda, sesuai dengan latar belakang sosio-
historis dan politik di mana mazhab tersebut tumbuh berkembang. Tumbuh-
kembangnya hukum Islam ini didorong oleh paling tidak 4 (empat) faktor utama:
pertama, karena dorongan keagamaan, kedua, meluasnya domain politik Islam
pada masa khalifah Umar bin Khattab, ketiga, independensi para spesialis hukum
Islam (Juris/Fuqaha) dari kekuasaan politik, dan keempat, fleksibilitas dari hukum
Islam itu sendiri.6 Dorongan keagamaan kaum muslim untuk terus mengkaji dan
berusaha membumikan norma dan nilai-nilai normatif Islam, menyebabkan kaum
muslim sejak masa-masa awal kelahiran Islam sampai dengan saat ini berusaha
keras menguasai berbagai disiplin ilmu. Sehingga tidak jarang ditemui sosok
ulama yang menguasai berbagai lintas disiplin keilmuan. Salah satu tokoh yang
memberikan kontribusi berharga dalam perkembangan hukum Islam adalah Abu
Hanifah (80 H-150 H). 7 dan Ahmad Bin Hanbal (164 H – 241 H ) Keduanya
merupakan mujtahid dan sekaligus pendiri mazhab, Abu Hanifah pendiri mazhab
Hanafi dan Ahmad Bin Hanbal sebagai pendiri mazhab Hambali. Pemikiran
keduanya di bidang hukum Islam sangatlah cemerlang.
Makalah ini akan mengkaji tentang sejarah biografi Abu Hanifah dan
Ahmad Bin Hanbal, pemikiran di bidang hukum Islam baik dari aspek metodologi
maupun materinya dan penyebaran mazhab keduanya.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah biografi Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hanbal ?
2. Bagaimana pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal di bidang
hukum Islam dari aspek metodologinya ?
3. Bagaimana Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal dalam Hukum
Keluarga ?
4. Bagaimana penyebaran mazhab Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hanbal ?
5. Apa Pernyataan Abu Hanifah Dan Ahmad Bin Hanbal ?

hukum Islam sejatinya bersifat permanen, akan tetapi secara prinsipnya semuanya dapat
diimplementasikan dalam situasi dan kondisi baru yang terjadi dalam masyarakat. Lihat Aan Black
dkk., Modern Perspectives on Islamic Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2013), hlm. 6.
Lihat juga Shibli Mallat dan Jane Connors (ed.), Islamic Family Law (London: Graham &
Trotman, 1993), hlm. 261.
6
Hasyim Fathoni, Pemikiran Hukum Islam Imam al-Bukhari (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 4.
7
Muhammad Muhammad ‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah; an-Nu’man bin Tsabit at-Tamimi al-
Kufi, faqih ahl ‘Iraq wa Imam Ashhabu al-Ra’y (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 6
dan 27.

2
B. Tujuan
Adapun tujuan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejarah biografi Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hanbal ?
2. Untuk mengetahui pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal di
bidang hukum Islam dari aspek metodologinya ?
3. Untuk mengetahui Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal dalam
Hukum Keluarga ?
4. Untuk mengetahui penyebaran mazhab Abu Hanifah dan Ahmad Bin
Hanbal ?
5. Untuk mengetahui pernyataan Abu Hanifah Dan Ahmad Bin Hanbal ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Biografi Abu Hanifah Dan Ahmad Bin Hanbal

1. Abu Hanifah

a. Nama dan Nasabnya


Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin
Mah. Lahir di Kufah pada tahun 80 H pada zaman Dinasti Umayyah, ketika raja
Abdul Malik bin Marwan memerintah. Ia diberi gelar “an-Nu’man” yang berarti
darah atau roh, agar menjadi generasi penerus kebaikan. Ayahnya merupakan
tokoh ahli fikih dan tokoh masyarakat. Ia mendapat gelar “hanifah” (mu’annats
dari asal kata hanif) yang berarti ahli ibadah, karena ia senang dan condong
terhadap agama kebenaran. Dalam riwayat lain gelar tersebut dikarenakan ia terus
menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah). 8 Saat
kelahirannya, banyak sahabat yang masih hidup, di antara mereka adalah Anas bin
Abu Hanifah (pembantu Rasul), Abdullah bin Abi Auf, Sahl bin Said as-Sa’idi,
dan Abu Tufail bin Amir bin Watsilah.9 Sejak kecil, kecenderungannya terhadap
ilmu pengetahuan telah tampak, terutama berkaitan dengan agama Islam. Ia
banyak belajar kepada para tabi’in, seperti Ata bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula
Ibnu Umar. Ia juga banyak mengkaji hadis dan fikih dari ulama-ulama di negeri
terkemuka.

a. Guru-gurunya
Adapun guru yang paling berpengaruh ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman
(w. 120 H). Di antara guru Abu Hanifah adalah Ahmad al-Baqir, Abu Zabir, Ady
bin Sabit, Abdur Rahman bin Harmaz, dan Qatadah.10 Abu Hanifah tidak memulai
pembelajaran dari fikih, tetapi memulai dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang
menyokong dalam pembentukkan metode berfikirnya yang rasional dan realistis.
Pada perkembangannya, ia dikenal dengan sebutan ahl ra’yi dalam fikih dengan
metodenya yang terkenal, yaitu istihsan.11

8
Terjadi perbedaan pendapat terkait kapan dilahirkannya Abu Hanifah. Sebuah riwayat
menyatakan bahwa ia lahir pada tahun 61 H. Lihat ‘Uraidhah, al- Imam Abu Hanifah; an-Nu’man.,
hlm. 5 dan Ali Fikri, Kisah-kisah Imam ..., hlm. 3.
9
Muhammad Muhammad ‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah; an-Nu’man bin Tsabit at-Tamimi al-
Kufi, dan Ali Fikri, Kisah-kisah Imam ..., hlm. 9.
10
Muhammad Muhammad ‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah; an-Nu’man bin Tsabit at-Tamimi al-
Kufi, faqih ahl ‘Iraq wa Imam Ashhabu al-Ra’y (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), hlm. 22-
23.
11
Ahmad Mugits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 73-74. Lihat pula
‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah ..., hlm. 18.

4
b. Karya-karyanya
Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis mengenai pandanganpandangan
hukum. Hanya saja terdapat risalah-risalah kecil yang dinisbatkan kepadanya,
seperti al-fiqh al-akbar, al-alim wa al-muta’alim dan juga risalah yang menolak
pandangan qadariyyah. Karya-karya tersebut kemduian dibukukan oleh para
muridnya.

c. Murid-muridnya
Terdapat empat orang murid Abu Hanifah yang paling terkenal, yakni Ya’kub
ibn Ibrahim ibn Habib al-Ansari, terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn
Hudail, Muhammad ibn al-Hassan ibn Farqad asy-Sayibani, dan al-Hasan ibn
Ziyad al-Lu’lui. Melalui keempat muridnya inilah pemikiran Abu Hanifah
tersebar luas, terutama melalui dua muridnya, Abu Yusuf dan asy-Syaibani.
Kuffah, kota kelahiran Abu Hanifah pada masa itu adalah suatu kota besar, tempat
tumbuh berbagai ilmu dan budaya. Di sana diajarkan falsafah Yunani, hikmah
Persia dan di sana juga (sebelum Islam datang) beberapa mazhab dalam agama
Nasrani tumbuh kembang dan memperdebatkan masalah-masalah politik, dasar-
dasar aqidah dan lain sebagainya. Selain itu, Kuffah merupakan kota di mana lahir
sejumlah mujtahid dan juga hidup beberapa aliran pemikiran dalam ilmu kalam,
seperti Syiah, Khawarij, dan Mu’tazilah. 12 Kuffah menjadi tempat pertemuan
antar budaya Arab dan non-Arab, sehingga tampak lebih majemuk.
Secara geografis, Kuffah yang berada jauh dari pusat tradisi Nabi telah ikut
menentukan aktivitas warna ijtihad, yakni lebih rasional, kritis, dan realistis.
Profesi Abu Hanifah sebagai seorang saudagar menjadikan pola pemikirannya
tidak terikat dengan hal yang besifat tekstualis.13 Kosmopolitan dan kompleksitas
kota Baghdad dan Kuffah nyata-nyata berpengaruh terhadap pola pemikiran
hukum Abu Hanifah. Abu Hanifah sering disebut sebagai pemuka ahl ra’yi.
Pemilihannya menggunakan akal-rasional dalam menetapkan hukum ketika tidak
menemukan landasan hadis yang populer merupakan langkah kehatihatiannya
dalam meriwayatkan hadis, karena takut adanya dusta dalam periwayatan hadits.14
Kerangka berfikir inilah yang kemudian diadopsi oleh para muridnya. Di antara
muridnya yang terkenal adalahAbu Yusuf dan Al-Syaibani. Abu Yusuf
merupakan pemuka fikih di Basrah dan Kuffah. Ia sangat ahli dalam
meriwayatkan hadis sehingga ia menjadi seorang hafidz. Dia memiliki andil besar
dalam perkembangan mazhab Hanafi. Kealimannya di bidang hukum Islam
menjadikan Abu Yusuf diangkat menjadi hakim di Baghdad dan kemudian
menjadi hakim tinggi pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Melalui kedudukan
tersebut, ia berwewenang untuk mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim
12
Hasbi Ash Shiddiqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang: Rizki Putra, 2007),
hlm. 442 dan ‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah ..., hlm. 34-35.
13
Ahmad Mugits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008),..., hlm. 73.
14
Ahmad Mugits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008),..., hlm. 62

5
di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyyah. Dengan kedudukan ini pula, ia
mempunyai kesempatan untuk menyebarluaskan mazhab Hanafi dalam praktek
hukum.

d. Tokoh Yang Berperan Dalam Pengembangan Mazhab Hanafi


Tokoh lain yang berperan dalam pengembangan mazhab Hanafi adalah
Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani. Ia merupakan tokoh yang dikagumi oleh
Imam Syafi’i. Ia juga berperan besar dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran
Abu Hanifah sehingga mazhab Hanafi pun menjadi semakin besar. Ia
membukukan semua pemikiran Abu Hanifah tentang hukum Islam. Pada
perkembangan berikutnya, mazhab Hanafi terus berkembang dengan peran aktif
para generasi selanjutnya. Dalam hal ini, al-Karchi memegang kendali mazhab
Hanafi di Iraq, sementara perkembangan mazhab Hanafi di Mesir dilakukan oleh
Ismail bin Yasa’ al-Kufi ketika menjadi hakim di negeri itu (sekitar tahun 164 H.).
Ia merupakan hakim pertama di Mesir yang bermazhab Hanafi. Mazhab Hanafi
sempat berkembang di Mesir selama dua periode Dinasti Abbasiyyah, namun
setelah itu yang menjadi hakim tidak hanya dibatasi dari mazhab Hanafi saja,
tetapi dapat dipimpin oleh ulama yang bermazhab Maliki ataupun Syafi’i.
Dinamika madzhab Hanafi mengalami “penurunan” ketika Mesir dikuasai
oleh Dinasti Fatimiyyah. Pada saat itu, Mesir didominasi oleh mazhab Maliki.
Akan tetapi, setelah Dinasti Ayyubiyyah berdiri di Mesir dan para rajanya
menganut mazhab Syafi’i, maka perkembangan mazhab Syaf’i-lah yang
kemudian berkembang pesat. Pada saat itu, hakim yang bermadzhab Hanafi
adalah Nuruddin al-Syahid dan dialah yang mengembangkan mazhab Hanafi ke
Negara Syam. 15 Akan tetapi, setelah Dinasti Umayyah memerintah Mesir,
jabatan hakim dikuasai kembali oleh penganut mazhab Hanafi. Mazhab ini
menjadi mazhab para pejabat negara dan elit penguasa. Mazhab Hanafi tersebar
di kota-kota, tetapi tidak tersebar di perkampungan dan pegunungan.16

2. Ahmad Bin Hanbal

a. Nama dan Nasabnya


Ahmad bin Muhammad bin Hanbal adalah Imam yang keempat dari
fuqaha’ Islam. Beliau adalah seorang yang mempunyai sifat-sifat yang luhur dan
tinggi yaitu sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang hidup semasa
dengannya, juga orang yang mengenalnya. Beliau Imam bagi umat Islam seluruh
dunia, juga Mufti bagi negeri Irak dan seorang yang alim tentang hadist-hadist
Rasulullah Saw. Juga seorang yang zuhud dewasa itu, penerang untuk dunia da

15
Ali Fikri, Kisah-kisah Imam Madzhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 45-47
16
Ali Fikri, Kisah-kisah Imam Madzhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hlm. 45-47

6
sebagai contoh dan teladan bagi orang-orang ahli sunnah, seorang yang sabar
dikala menghadapi percobaan, seorang yang saleh dan zuhud.17
Didalam mazhab Hanbali, terdapat istilah Hanbali dan Hanabilah. Agar
tidak timbulnya keraguan dalam membedakan kedua istilah tersebut maka
penulis akan mengemukakan pengertian kedua istilah tersebut. Hanbali adalah
pendapat (kesimpulan) yang dinisbahkan (dihubungkan) kepada Imam Ahmad
ibn Hanbal. 18 Sedangkan Hanabilah adalah orang yang mengikuti hasil ijtihad
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam masalah hukum fiqih.19
Tokoh utama mazhab Hanbali adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Nama
lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad ibn
Idris ibn ‘Abdillah ’ibn ibn Hayyan ibn Abdillah ibn Anas ibn ‘Auf ibn Qasit ibn
Mukhazin ibn Syaiban ibn Zahl ibn Sa’labah ibn ‘Ukabah ibn Sa’b ibn ‘Ali ibn
Bakr ibn Wa’il ibn Qasit ibn Hanb ibn Aqsa ibn Du’ma ibn Jadilah ibn Asad ibn
Rabi’ah ibn Nizar ibn Ma’ad ibn ‘Adnan ibn ‘Udban ibn al-Hamaisa’ ibn Haml
ibn an-Nabt ibn Qaizar ibn Isma’il ibn Ibrahim asy-Syaibani al-Marwazi.20 Imam
Ahmad ibn Hanbal lahir di Baghdad pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah
dipegang oleh al-Mahdi, yaitu pada bulan Rabi’ al-Awwal tahun 164 H
bertepatan dengan tahun 780 M. 21 Imam Ahmad dilahirkan ditengah-tengah
keluarga yang terhormat, yang memiliki kebesaran jiwa, kekuatan kemauan,
kesabaran dan ketegaran menghadapi penderitaan. Ayahnya meninggal sebelum
ia dilahirkan, oleh sebab itu, Imam Ahmad ibn Hanbal mengalami keadaan yang
sangat sederhana dan tidak tamak. Ayahnya bernama Muhammad bin al-
Syaibani.
Jadi sebutan Hanbal bukanlah nama ayahnya tetapi nama kakeknya.22 dan
Ibunya bernama Safiyyah binti Abdul Malik bin Hindun al-Syaibani dari
golongan terkemuka kaum baru Amir. Nasab dan keturunan Nabi Muhammad
bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal baik dari pihak ayahnya maupun dari
pihak ibunya, yaitu pada Nizar datuk Nabi Muhammad yang kedelapan belas.23
Nama Ahmad pada perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan nama Imam
Ahmad bin Hanbal, dinisbahkan kepada nama datuk beliau sendiri karena nama
“Ahmad” begitu banyak, lalu dihubungkan dengan nama datuknya, sehingga
sejak kecil beliau lebih dikenal deangan nama Ahmad ibn Hanbal.

17
Ahmad asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang: Amzah, 1991),
hlm. 190.
18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 1996),
hlm. 933
19
M.Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Cet ke-2, hlm. 132.
20
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Ahmad ibn Hanbal Imam Ahl as-Sunnah wa al- Jama’ah,(Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 3.
21
M. Abu Zahrah, Ibn Hanbal Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu Wafiqhuhu, (Mesir: Dar al- Fiqr,
1981), hlm.15.
22
Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Mazahib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-
Madai, tt), hlm. 303.
23
Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Mazahib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-
Madai, tt), hlm. 250-251.

7
b. Pendidikan Imam Ahmad ibn Hanbal
Sejak masa kecilnya Imam Ahmad yang fakir dan yatim itu dikenal
sebagai orang yang sangat mencintai ilmu.Baghdad dengan segala kepesatannya
dalam pembangunan termasuk kepesatan dalam perkembangan ilmu pengetahuan
membuat kecintaan beliau terhadap ilmu bersambut dengan baik.Beliau mulai
belajar ilmu-ilmu keislaman seperti al-Qur’an, al-Hadist, bahasa ‘Arab dan
sebagainya kepada ulama-ulama yang ada di Baghdad ketika itu. 24 Kefakiran
Imam Ahmad membatasi keinginan dan cita-citanya untuk menuntut ilmu lebih
jauh. Karena itu beliau tidak segan mengerjakan pekerjaan apapun untuk
mendapatkan uang selama pekerjaan itu baik dan halal. Beliau pernah membuat
dan menjual baju, menulis, memungut gandum sisa panen dan pengangkut
barang. 25 Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid yaitu pada umur 16 tahun
Imam Ahmad mulai mempelajari hadist secara khusus.
Orang yang pertama kali didatangi untuk belajar hadist adalah Hasyim ibn
Basyr ibn Khazin al-Wasiti.26 Tekadnya untuk menuntut ilmu dan menghimpun
hadist mendorongnya untuk mengembara ke pusat-pusat ilmu keIslaman seperti
Basrah, Hijaz, Yaman, Makkah dan Kufah. Bahkan beliau telah pergi ke Basrah
dan Hijaz masing-masing sebanyak lima kali. Dan pengembaraan tersebut beliau
bertemu dengan beberapa ulama besar seperti ‘Abd ar-Razzaq ibn Humam, ‘Ali
ibn Mujahid, Jarir ibn ‘Abd al-Hamid, Sufyan ibn ‘Uyainah, Abu Yusuf Ya’kub
ibn Ibrahim al-Anshari (murid Imam Abu Hanifah), Imam Syafi’i dan lain-lain.
Pertemuannya dengan Imam Syafi’i itulah beliau dapat mempelajari fiqh, ushul
fiqh, nasikh dan mansukh serta kesahihan hadist.27 Perhatiannya terhadap hadist
membuahkan kajian yang memuaskan dan memberi warna lain pada pandangan
fiqhnya. Beliau lebih banyak mempergunakan hadist sebagai rujukan dalam
memberi fatwa-fatwa fiqhnya.28

Karya beliau yang paling terkenal adalah al-Musnad.Didalamnya


terhimpun 40.000 buah hadist yang merupakan seleksi dari 70.000 buah hadist.
Ada yang berpendapat bahwa seluruh hadist dalam kitab tersebut adalah
shahih.Sebagian lainnya mengatakan bahwa didalamnya terdapat beberapa hadist

24
M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan pada Sufi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm.70
25
Mustafa Muhammad asy-Syak’ah, Islam bila Mazahib, (Beirut: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah,
tt), hlm. 518.
26
Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki, Usul Mazhab al-Imam Ahmad, (Riyad: Maktabah ar-
Riyad al-Hadisah, 1980 M/1400 H), hlm. 33-34.
27
Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki, Usul Mazhab al-Imam Ahmad, (Riyad: Maktabah ar-
Riyad al-Hadisah, 1980 M/1400 H), hlm. 34-35.
28
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993),
hlm. 153.

8
da’if (lemah).29 Dalam al-Musnad tersebut, dapat kita jumpai sejumlah besar fiqh
sahabat, seperti fiqh ‘Umar, fiqh ‘Ali dan fiqh Ibnu Mas’ud. Umur beliau
dihabiskan untuk menuntut ilmu terutama di dalam bidang hadist.
Beliau tidak berhenti belajar walaupun telah menjadi Imam dan telah
berumur lanjut. Sebagai ulama besar Imam Ahmad tidak luput dari berbagai
cobaan. Cobaan terbesar yang dihadapinya adalah pada masa pemerintahan al-
Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wasiq. Pada masa itulah aliran Mu’tazilah mendapat
sukses besar karena menjadi mazhab resmi Negara.Para tokoh Mu’tazilah
menghembuskan isu yang tidak bertanggung jawab yaitu terjadinya peristiwa
Khalq al-Qur’an (pemakhlukan terhadap al-Qur’an). Khalifah al-Ma’mun
mempergunakan kekuasaannya untuk memaksa para ulama ahli fiqh dan ahli
hadist agar mengakui bahwa al- Qur’an adalah makhluk. Peristiwa inilah yang
kemudian dikenal dengan peristiwa mihnah. 30 Banyak diantara mereka yang
membenarkan paham al-Ma’mun lantaran ketakutan. Namun demikian Imam
Ahmad dan beberapa ulama lain tetap menolak paham tersebut. Beliau
berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk tetapi kalam Allah. Tidak sedikit
ulama yang dianiya lantaran berseberangan dengan penguasa, tak terkecuali Imam
Ahmad. Beliau lebih memilih dicambuk dan dipenjara dari pada harus mengakui
bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Beberapa bulan kemudian al-Ma’mun mangkat
namun sebelumnya ia sempat berwasiat kepada calon penggantinya yaitu al-
Muta’sim agar melanjutkan kebijakannya. Dengan demikian Imam Ahmad dan
beberapa kawannya dipenjara dan disiksa sampai pemerintahan al- Mu’tasim
berakhir.
Sepeninggal al-Muta’sim roda pemerintahan dipegang oleh putranya yaitu
al-Wasiq. Pada masa ini pula kebijakan ayahnya tetap dipertahankan sehingga
Imam Ahmad dan beberapa ulama lain yang sependirian dengan beliau tetap juga
dipenjarakan dan disiksa. Sampai akhirnya al-Wasiq pun mangkat.31 Demikianlah
sampai bertahun-tahun Imam Ahmad meringkuk dalam penjara dan menanggung
sengsara lantaran dicambuk dengan cemeti sedang tangannya diikat. Sejak al-
Ma’mun menjabat kepala Negara sampai zaman al-Wasiq. Setelah al-Wasiq
mangkat, jabatan kepala Negara dipegang oleh al-Mutawakkil. Pada masa inilah
segala bid’ah dalam urusan agama dihapuskan dan menghidupkan kembali sunnah
Nabi Saw. Oleh karena itu dengan sendirinya masalah khalq al-Qur’an sudah
tidak ada.
Dengan demikian Imam Ahmad dan beberapa kawannya dibebaskan dari
penjara. Sebaliknya para ulama yang menjadi sumber fitnah tentang masalah
kemakhlukan al-Qur’an ditangkap serta dipenjara serta dijatuhi hukuman dera

29
Mun’im, A. Sirry ,Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),v
hlm. 121.
30
Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Mazahib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al
Madai, tt), hlm. 46.
31
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm. 279-280.

9
oleh al-Mutawakkil. Para tokoh Mu’tazilah mendapat tekanan hebat lantaran
mendapat penyiksaan seperti yang pernah mereka lakukan terhadap para ulama
yang menentang pendapatnya. 32 Demikianlah cobaan yang dialami oleh Imam
Ahmad ibn Hanbal dalam mempertahankan pendirinnya untuk tidak mengakui
kemakhlukan al-Qur’an.Setelah beliau dibebaskan dari penjara beberapa tahun
kemudian beliau jatuh sakit. Sampai akhirnya beliau meninggal dunia pada usia
77 tahun yaitu pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 241 H. Beliau
dimakamkan di Baghdad.

c. Guru-guru dan Murid Imam Ahmad ibn Hanbal


Guru-gurunya yang mengarahkan pandangan Imam Ahmad ialah Husen ibn
Bashir ibn Abi Hazim lahir pada tahun 104 H, wafat pada tahun 183 H. Inilah
guru Imam Ahmad yang pertama dan utama dalam bidang hadist. Lima tahun
lamanya Imam Ahmad ditempa oleh Husen ini.Beliau boleh dikatakan yang
banyak mempengaruhi kehidupan Imam Ahmad. Untuk mendalami cara istinbath
dan membina fiqh Imam Ahmad berguru kepada Imam asy-Syafi’i. Padanya
dipelajari fiqh dan ushul.Imam Ahmad terpilih hatinya kepada kecakapan Imam
asy-Syafi’i dalam beristinbath.Imam Syafi’i lah yang mengarahkannya kepada
istinbath itu, Imam Syafi’i adalah guru yang kedua bagi Imam Ahmad.Selain dari
pada guru besar ini, banyak pula ulama-ulama lain yang memberikan pelajaran
kepada Imam Ahmad. Tidak kurang dari 100 orang ulama besar yang memberikan
pelajaran kepadanya, baik yang di Baghdad maupun di kota-kota lain.33

Adapun diantara guru-guru Imam Ahmad bin Hanbal adalah: Imam


Isma’il bin Aliyyah, Hasyim bin Basyir, Hammad bin khalil, Mansyur bin
Salamah, Mudlaffar bin mudrik, Utsman bin Umar, Masyim bin Qashim, Abu
Said Maula Bani Hasyim, Muhammad bin Yazid, Muhammad bin ‘Ady, Yazid
bin Harun, Muhammad bin Jaffar, Ghundur, Yahya bin Said al-Cathan,
Abdurrahman bin Mahdi, Basyar bin al-Fadhal, Muhammad bin Bakar, Abu Daud
ath-Thayalisi, Ruh bin ‘Ubaidah, Wakil bin al-Jarrah, Mu’awiyah al- Aziz,
Abdullah bin Muwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin Uyainah, Yahya bin Salim,
Muhammad bin Syafi’i, Ibrahim bin Said, Abdurrazaq bin Humam, Musa bin
Thariq, Walid bin Muslim, Abu Masar al-Dimasyqy, Ibnu Yaman, Mu’tamar bin
Sulaiman, Yahya bin Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadi. Guru-guru Imam Ahmad
bin Hanbal yang terkenal itu terdiri dari ahli Fiqih, ahli Ushul, ahli Kalam, ahli
Tafsir, ahli Hadits, ahli Tarikh dan ahli Lughah.34

32
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm. 286-287.
33
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 273.
34
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm.254.

10
Imam Ahmad bin Hanbal sangat meyakini bahwa ilmu pengetahuan tidak
mudah untuk didapatkan, sehingga ia sungguh mengerti akan ketinggian nilai para
orang yang ahli tentang pengetahuan. Keyakinan yang demikian menyebabkan
beliau sangat menghormati guru-gurunya.

d. Murid-murid Imam Ahmad di antaranya:


1. Sholeh ibn Ahmad ibn Hanbal

2. Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal

3. Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakar al-Atsran

4. Abdul Malik ibn Abdul Hamid ibn Mihran al-Maimuni

5. Ahmad ibn Muhammad ibn al-Hajjaz Abu Bakar al-Marwazi

6. Harab ibn Ismail al-Handholi al-Kirami

7. Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi

Orang-orang yang terkenal yang melanjutkan pemikiran fiqih Imam

Ahmad ibn Hanbal yang kurun waktunya agak jauh darinya.35

1. Ibn Qudamah Muwaffiquddin (w. 620 H) menulis kitab al-Mughni

2. Ibn Qudamah, Syamsuddin al-Maghsi (w. 682 H) menulis kitab al-

Syarh al-Kabir.

Selanjutnya, tokoh yang memperbarui dan melengkapi pemikiran

madzhab Hanbali terutama bidang mu’amalah adalah:

1. Syeikh al-Islam Taqiyyudin ibn Taimiyah (w. 728))

2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 752 H) murid Ibnu Taimiyah.

Tadinya pengikut madzhab Hanbali tidak begitu banyak, setelah

dikembangkan oleh dua tokoh yang disebut terakhir maka mazhab

Hanbali menjadi semarak, terlebih setelah dikembangkan lagi oleh

Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1206 H), menjadi madzhab orang

nejed dan kini menjadi madzhab resmi pemerintah kerajaan Saudi

35
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), Cet. ke-2, hlm. 125.

11
Arabia.36

e. Karya-karyanya
Imam Ahmad lebih banyak mengarahkan hidupnya untuk menuntut ilmu
pengetahuan dan menyebar luaskan ilmu itu. Meskipun sejak kecil beliau selalu
dalam keadaan menderita, bahkan dapat dikatakan tidak pernah merasakan
kemewahan dan kenikmatan hidup (secara materi) di dunia, dalam urusan mata
pencaharian beliau mempunyai kepribadian tersendiri.Ia karena kezuhudan dan
kewara’annya, tidak suka menerima pemberian orang lain. Beliau berpendirian, “
lebih baik bekerja berat dan dipandang rendah oleh kebanyakan orang dari pada
memakan yang belum jelas kehalalannya.” Oleh karena itu, tidak sedikitpun atau
terlintas dihati sanubarinya suatu keinginan untuk menduduki suatu jabatan atau
pengkat dalam lingkungan pemerintahan.

Karena Imam Ahmad tidak menyukai jabatan dan kedudukan dalam


pemerintahan, maka aktifitasnya lebih mengarah kepada pengembangan ilmu
pengetahuan, sehingga beliau dikenal dikalangan ulama pada masanya. Selain itu
beliau sangat teguh berpegang kepada pendirian yang diyakininya. Dari semua
bidang ilmu yang dikuasainya, ilmu hadist dan fiqh yang paling menonjol,
sehingga beliau mendapat sebutan sebagai seorang muhaddist (ahli hadist) dan
juga seorang faqih (ahli fiqh).Sebagian ulama ada yang menyangkal bahwa Imam
Ahmad hanyalah seorang muhaddist bukan seorang faqih.37 Ibnu Jauzi berkata:
“Ahmad ibn Hanbal tidak pernah kelihatan menulis kitab dan dia juga melarang
untuk menulis perkataan dan masalah-masalah dari hasil istinbathnya.”38 Apapun
alasannya kita memang menerima pernyataan bahwa Imam Ahmad sangat
menonjol dalam bidang hadist, tetapi cancernnya terhadap masalah-masalah fiqih
juga tidak dapat dinafikan. Hal ini dapat dipahami dan banyaknya pengikut beliau
yang menulis fatwafatwa dan pendapatnya hingga tersusun suatu akumulasi
pemikiranpemikiran fiqh yang di nisbatkan kepadanya.Seandainya beliau hanya
memusatkan perhatiannya pada hadist, tentulah sangat sulit bagi kita mengkaji
pendapat-pendapatnya dalam masalah fiqh.Alasan yang dapat dikemukakan
mengapa beliau tidak menulis fiqh sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim
al-Jauziyah, adalah karena beliau sangat benci terhadap semua bentuk penulisan
selain hadist. Beliau khawatir akan terjadi campur aduk antara buku-buku hadist
dan buku-buku fiqh.39

36
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1997), Cet. ke-2, hlm. 126.
37
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 285.
38
Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm. 460.
39
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqin, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991 M),
hlm.23.

12
Adapun karya-karya beliau antara lain:

a. al-Musnad

b. kitab Tafsir al-Qur’an

c. Kitab al-Nasikh wa al-Mansukh

d. Kitabb al- Muqaddam wa al-Muakhkhar fi al-Qur’an

e. Kitab Jawabatu al-Qur’an

f. Kitab al-Tarikh

g. Kitab Manasiku al-Kabir

h. Kitab Manasiku al-Saghir

i. Kitab Tha’atu al-Rasul

j. Kitab al-‘Illah

k. Kitab al-Shalah.40

Selain kitab-kitab yang disusun langsung oleh Imam Ahmad ibn Hanbal,
ada juga gagasan Imam Ahmad ibn Hanbal yang diteruskan dan dilestarikan oleh
para pengikutnya. Diantara rujukan fiqih Hanabillah adalah sebagai berikut:

1. Mukhtashar al-Khurqi karya Abu al-Qashim Umar ibn al-Husain al-


Khurqi (w. 334 H)
2. Al-Mughni Syarkh ‘Ala Mukhtasar al-Khurqi karya Ibnu Qudamah (w.
620 H).
3. Majmu’ Fatwa ibn Taimiyah karya Taqiy al-Din Ahmad Ibnu Taimiyah
(w. 728 H)
4. Ghayat al-Muntaha fi al-Jami’ bain al-Iqna wa Muntaha karya Mar’i ibn
Yusuf al-Hanbali (w. 1032 H)
5. Al-Jami’ al-Kabir karya Ahmad ibn Muhammad ibn Harun atau Abu
Bakar al-Khallal.41
6. Oleh Imam Ahmad tidak menulis kitab dalam bidang fiqh yang dapat kita
jadikan pegangan pokok dalam mazhabnya.

Karena beliau tidak membukukan fiqhnya dalam suatu kitab, tidak pula
mendiktenya kepada murid-muridnya maka yang dapat dijadikan pegangan dalam
mazhab Hanbali adalah riwayat-riwayat beliau yang telah diterima baik oleh

40
Huzaenah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 144.
41
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2000), Cet.ke-2, hlm. 122.

13
murid-muridnya secara langsung sebagai penukil yang benar dari Imam Ahmad.
Maka selama belum ada bukti yang kuat bahwa riwayat itu bukan berasal dari
Imam Ahmad, tetaplah kita berpendapat bahwa riwayat-riwayat itu berasal dari
Imam Ahmad.

Semua pendapat Imam Ahmad yang telah diterima secara langsung oleh
murid-muridnya,kemudian dihimpun oleh Abu Bakar al-Khallal dengan
menjumpai mereka. Dialah yang dapat kita pandang sebagai pengumpul fiqh
Hanbali dari penukilnya.Dari padanyalah dinukilkan koleksi fiqh Imam Ahmad
yang paling lengkap yaitu al-Jami al-Kabir yang terdiri dari dua puluh jilid yang
tebal-tebal.42 Ada dua tokoh ulama yang telah berjasa dalam mengumpulkan apa
yang dinukilkan oleh al-Khallal, yaitu ‘Umar ibn al-Husain al-Khiraqi dan Abu al-
Aziz ibn Ja’far Gulam al-Khallal. Mereka mempunyai banyak karangan tetapi
tersebar luas hanyalah kitab al-Mukhtasar karya al-Hiraqi yang didalamnya
terdapat 2.300 masalah. Muwaffaq ad-Din ibn Qudamah telah mensyarahkan
kutab tersebut menjadi tiga belas jilid besar yang dinamakan kitab al-Mughni,
suatu kitab fiqih yang patut dijadikan pokok pegangan dalam mazhab Hanbali.43

B. Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hanbal Di Bidang Hukum Islam
Baik Dari Aspek Metodologi Maupun Materinya

a. Metodologi Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah


Abu Hanifah adalah seorang pemikir brilian di bidang hukum Islam. Ia bukan
saja mahir dalam berijtihad (menggali dan menetapkan hukum), melainkan ia juga
mampu merumuskan sebuah metodologi ijtihad (istinbath hukum).44 Oleh karena
itu, dalam tataran atau tingkatan mujtahid, ia digolongkan sebagai mujtahid
mutlaq. Madzhab Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an,
sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Dalam hal ini beliau berkata, “Saya
42
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm, 286.
43
T.M.Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm, 286.
44
Secara etimologis (bahasa) kata ijtihad diambil dari kata dasar al-jahd atau al-juhd yang berarti
kepayahan, kesulitan dan kesungguhan. (Lihat A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap, Cet. Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 217). Sementara
secara terminologis, ijtihad bisa dimaknai sebagai pengerahan segala kesanggapun seorang
mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’ (agama).
Lihat Abu Ishaq asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushuli Syari’ah, Juz IV (Riyad: Dar Fikr Araby,t.t.),
hlm. 113; Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul (Mesir: Syirkah at-Talabiyyah al-
Fanniyyah al-Muttahidah, 1971), hlm. 342, dan Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami
(Beirut: Da>r el-Fikr,1986), hlm. 1038. Adapun orientasi atau tujuan dari ijtihad tersebut adalah
pada upaya terciptanya kemaslahatan yang sesuai dengan tujuan syari’at (maqa>sid syaríah), yang
meliputi upaya untuk menjaga agama (hifdz ad-dín), menjaga jiwa (gifdz an-nafs), menjaga akal
(hifdz al-‘akl), menjaga harta (hifd al-mal), dan menjaga keturunan (hifdz annasl). Lihat Abu
Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul (Mesir: Syirkah at-Talabiyyah al-Fanniyyah al-
Muttahidah, 1971), Abu Ishaq As-Syatibi, Al-Muwafaqat...,Juz 2, hlm. 10, dan Ahmad al-Mursi
Husain Jauhar, Maqasid Syariah fi al-Islam, alih bahasa: Khikmawati (Jakarta: AMZAH, 2010),
hal xv.

14
memberikan hukum berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-
Qur’an, maka saya gunakan hadits Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (al
Qur’an dan hadits) saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang
pada pendapat salah satu sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat
sahabat maka saya akan berijtihad”. 45 Di bagian akhir ungkapan Abu Hanifah,
dapat disimpulkan bahwa beliau menggunakan ijtihad dan pikiran, serta
bagaimana pula penggunaan pikiran untuk membuat perbandingan di antara
pendapat-pendapat dan memilih salah satu dari pendapat yang paling kuat. Cara
beliau berijtihad dan menggunakan pikiran terlihat dari bagaimana beliau
memposisikan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Ada sebagian
kalangan yang menyangka bahwa Imam Abu Hanifah itu sedikit perbendaharaan
haditsnya dan beliau tidak meriwayatkan kecuali 17 hadits saja. Ternyata ini
adalah pendapat yang salah, karena yang benar adalah bahwa beliau
meriwayatkan hadits secara sendiri 215 hadits selain yang dikeluarkan secara
berserikat bersama imam-imam lain. Beliau memiliki kitab musnad yang di
dalamnya diriwayatkan sebanyak 118 hadits dalam bab shalat saja. Ibnu Hajar al-
Asqalani berkata dalam kitabnya Ta’zîl al-Manfaah bi Zawâ’id Rijâl al-A’immah
al-Arba’ah, “Adapun musnad Imam Abu Hanifah itu bukanlah hasil dari
pengumpulannya, dan hadits-hadits yang datang dari Imam Abu Hanifah itu
terkumpul dalam kitab al-Atsar yang diriwayatkan Muhammad bin al-Hasan dari
beliau. Dalam karangan-karangan Muhammad bin al-Hasan dan Abu Yusuf
sebelumnya didapati juga hadits dari Abu Hanifah lainnya.” Abu al-Muayid
Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (w.650 H) telah mengumpulkan musnad
Abu Hanifah, dicetak di Mesir pada tahun 1326 H, hampir mencapai 8000
halaman besar, yang dikutipnya dari 15 musnad yang dikumpulkan dari karya
Imam Abu Hanifah lalu para ulama hadits berpaling padanya. Musnad-musnad ini
dikumpulkan menurut susunan bab fiqih.46
Adapun salah satu metode istinbath hukum (ijtihad) yang dipopulerkan oleh
Abu Hanifah adalah istihsan. Secara bahasa, istihsa>n merupakan bentuk masdar
dari kata istahsana, yang berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan
menurut istilah, istihsan adalah beralih dari penggunaan sebuah dalil dari qiyas
jali> ke qiyas khafi, atau dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lebih
kuat daripadanya.47 Dalam pengertian yang lain, istihsa>n adalah meninggalkan
suatu hukum yang telah ditetapkan oleh Syara’ dan kemudian menetapkan hukum
lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat sesuai dengan pemahaman

45
Asy-Syurbasyi, Ahmad, 2001, al-Aimmah al-Arba’ah (Sejarah dan Biografi Empat Imam
Madzhab), Jakarta: Penerbit Amzah, cet. III. Hlm 14
46
Kasdi Abdurrahman, Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah . Yudisia, Vol. 5,
No. 2, Desember 2014. Hlm 223
47
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah al-Islamiyyah, t.t.),
hlm. 79.

15
mujtahid. Dengan demikian, istihsa>n tidaklah berdiri sendiri, tetapi tetap
berlandaskan pada dalildalil syara’, bukan berdasar pada hawa nafsu.48
Imam Malik dan Ahmad ibn Hanbal termasuk ulama yang menyepakati
digunakannya istihsan sebagai metode penggalian hukum, meskipun dalam
tataran yang sangat minimalis. Sementara asy-Syafii dan az-Zahiri termasuk yang
menolak istihsan sebagai metode penggalian hukum. 49 Menurut asy-Syatibi,
istihsan yang digunakan oleh imam madzhab bukanlah didasarkan pada akal
semata dan mengikuti hawa nafsu, tetapi berorientasi pada maksud syara’, yaitu
merealisasikan maslahat dan menolak kemafsadatan. 50 Sebagai contoh,
diperbolehkan memeriksa aurat orang lain dengan tujuan untuk mengobati
penyakit. Hal ini tentu merupakan bentuk pengecualian terhadap kaidah umum
yang mengharamkan melihat aurat orang lain. Apabila dilacak dasar perumusan
istihsan dan akar sejarah kemunculannya sebagai dalil hukum, ternyata ia berawal
dari qiyas, sebagai metode yang paling tepat untuk menetapkan suatu hokum yang
tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketika qiyas tidak bisa atau
tidak tepat dijadikan sebagai metode atau dalil hukum dalam suatu persoalan
tertentu, maka istihsan adalah alternatif penggantinya. Penetapan hukum dengan
menggunakan istihsan ini didasarkan pada prinsip atau upaya untuk menjaga dan
mewujudkan kemaslahatan.51

b. Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Ahmad ibn Hanbal


Imam Ahmad ibn Hanbal menganggap Imam Syafi’i sebagai guru besarnya,
oleh karena itu di dalam pemikiran ia banyak dipengaruhi oleh Imam Syafi’i.
Thaha Jabir Fayadh al-Uwani mengatakan bahwa cara ijtihad Imam Ahmad ibn
Hanbal sangat dekat dengan cara ijtihad Imam Syafi’i . Ibn Qoyyimal-Jauziyyah
menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Imam Ahmad ibn Hanbal dibangun
atas 5 dasar:52
1. Nash dari al-Qur’an dan sunnah (Hadits yang shahih) Al-Qur’an yaitu
perkataan Allah Swt yang diturukan oleh ruhul amin kedalam hati Rasulullah
dengan lafdz bahasa Arab, agar supaya menjadi hujjah bagi Rasulullah bahwa dia
adalah utusan Allah Swt.53

48
Ini merupakan pendapat yang paling tepat dalam pandangan mazhab Hanafi. Lihat Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah al-Islamiyyah, t.t.), hlm., hlm.
82. Lihat pula Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, cet-13 (Jakarta: Pustak Firdaus, 2010), hlm.,
401.
49
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah al-Islamiyyah, t.t.),
hlm. 82
50
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah al-Islamiyyah, t.t.),
hlm. 83.
51
Aida Humaira, “Istihsan dalam Proses Istinbath Hukum”, Jurnal al-Risalah, No. 1, Vol. 13
(Mei 2013), hlm. 54.
52
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. RemajaRosda Karya,
2000), Cet.ke-2,hlm. 119.
53
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Hallmudin, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

16
Al-Hadist yaitu segala ucapan, perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi
Saw. 54 Jika menemukan suatu persoalan yang menghendaki pemecahan
hukum,maka pertama-tama ia harus mencari jawaban persoalan tersebut kepada
nash,maka wajib menetapkan hukum berdasarkan nash tersebut. 55 Untuk
memperkuat pandangan tersebut Ibnu Qayyim tersebut mengemukakan bukti
dalam al-Qur’an surat al-Ahzab:36
sebagai berikut:
‫سولُ ٓۥهُ أ َمۡ ًرا أَن يَ ُكونَ لَ ُه ُم ۡٱل ِخيَ َرة ُ ِم ۡن أَمۡ ِر ِه ۡۗۡم َو َمن‬ ‫ضى ه‬
ُ ‫ٱَّللُ َو َر‬ َ َ‫﴿ َو َما َكانَ ِل ُم ۡؤ ِم ٖن َو ََل ُم ۡؤ ِمنَ ٍة إِذَا ق‬
﴾ ‫ض َٰلَ اٗل ُّم ِب اينا‬ َ ‫سولَ ۥهُ فَقَ ۡد‬
َ ‫ض هل‬ ‫ص ه‬
ُ ‫ٱَّللَ َو َر‬ ِ ۡ‫َيع‬
36. Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.

Al-Qur’an adalah sumber pertama dalam menggali sumber hokum fiqhnya.


Sedangkan sunnah sendiri adalah penjelas al-Qur’an dan tafsir hukum-hukumnya
maka tidak aneh apabila ia menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai perintis
sumber-sumber bagi pendapat fiqh dia.
Sebab al-Qur’an dijadikan dasar pertama dan harus didahulukan dari pada
sunnah adalah:
a. Al-Qur’an adalah qath’i, sedangkan sunnah adalah zhanni. Kita
hanya meyakini bahwa sunnah nabi itu wajib diikuti. Tapi kita tidak
dapat meyakini bahwa tiap-tiap yang dikatakan sunnah nabi benar
sunnah.
b. Sunnah, fungsinya menjelaskan al-Qur’an atau menambah
hukumnya jika dia bersifat penjelasan, maka tentulah dia berada
dibawah al-Qur’an. Jika mendatangkan hukum baru bias diterima,
jika hukum baru itu tidak ada dalam al-Qur’an.
c. Hadits sendiri menempatkan diri pada martabat kedua, seperti yang
didapat disimpulkan dari hadits Muadz.56
2. Fatwa para sahabat Nabi saw
Sahabat adalah orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw dan mengimani serta
mengikuti ajaran Rasulullah Saw.57 Adapun landasan atau dasar hukum dari ijma’
atau fatwa sahabat adalah hadist Rasulullah Saw:

2005), Cet.ke-5, hlm. 17.


54
Mohmad Ahmad dan Muzakir, Ulumul Hadist, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000),
Cet.ke-2, hlm. 12.
55
31Ibnu Qayyim al-Jauziyah,I’lam al-Muwaqqi’in, (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), Juz 1,
hlm. 9.
56
TM Hasbi ash-Shidiq. , Op.Cit, h. 28
57
Ibnu Qayyim, Op.Cit, hlm. 10.

17
‫ب ُمعَا ِذ ب ِْن َج َب ٍل‬ ِ ‫ص َحا‬ ْ َ ‫ص ِم ْن أ‬ َ ‫َاس ِم ْن أ َ ْه ِل ِح ْم‬ ٍ ‫ع ْن أُن‬ َ
‫ضي إِذَا‬ ِ ‫ْف ت َ ْق‬ َ ‫ث ُمعَاذًا إِلَى ْاليَ َم ِن قَا َل َكي‬ َ َ‫سله َم لَ هما أ َ َرادَ أ َ ْن يَ ْبع‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫صلهى ه‬ َ ِ‫َّللا‬ ‫سو َل ه‬ ُ ‫أ َ هن َر‬
‫سو ِل ه‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫سنه ِة َر‬ ُ ‫َّللاِ قَا َل فَ ِب‬
‫ب ه‬ ِ ‫َّللاِ قَا َل فَإ ِ ْن لَ ْم ت َِج ْد فِي ِكت َا‬
‫ب ه‬ ِ ‫ضي ِب ِكت َا‬ ِ ‫ضا ٌء قَا َل أ َ ْق‬ َ َ‫ض لَكَ ق‬ َ ‫ع َر‬ َ
‫ب ه‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫سل َم َو ََل فِي ِكت َا‬ ‫ه‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ ‫صلى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ه‬ َ ِ‫َّللا‬ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫سنه ِة َر‬ َ
ُ ‫سل َم قَا َل فَإ ِ ْن ل ْم ت َِج ْد فِي‬ ‫ه‬ َ
َ ‫عل ْي ِه َو‬ ‫صلى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫ه‬ َ
‫صد َْرهُ َوقَا َل ْال َح ْمدُ ِ هَّللِ الهذِي‬ َ ‫سله َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬‫سو ُل ه‬ ُ ‫ب َر‬ َ ‫ض َر‬ ْ
َ َ‫قَا َل أَجْ ت َ ِهدُ َرأ ِيي َو ََل آلُو ف‬
‫سو َل ه‬
ِ‫َّللا‬ ُ ‫ضي َر‬ ‫سو ِل ه‬
ِ ‫َّللاِ ِل َما ي ُْر‬ ُ ‫سو َل َر‬ ُ ‫َوفهقَ َر‬
Artinya: “Dari Annas, dari sekelompok penduduk Homs dari sahabat Mu’az bin
Jabal, bahwasanya Rasulullah Saw mengutus Mu’az ke Yaman, beliau berkata:
“apabila dihadapkan kepadamu suatu kasus hukum, bagaimana anda
memutuskannya? Mu’az menjawab: “saya akan memutuskannya berdasarkan al-
Qur’an, Nabi bertanya lagi: jika kasus itu tidak anda temukan dalam al-Qur’an:
Mu’az menjawab: saya memutuskan berdasarkan sunnah Rasulullah. Lebih lanjut
Nabi bertanya: jika kasusnya tidak terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasul?
Mu’az menjawab: aku akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah
menepuk dada Mu’az dengan tangannya seraya berkata: segala puji bagi Allah
yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang
diridhainya.” (H.R.Abu Daud Dhaif menurut Syaikh Al-Bani).58 Apabila beliau
tidak mendapat suatu nash yang jelas, baik dari al- Qur’an dan Sunnah, maka ia
menggunakan fatwa-fatwa dari pada sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan
dikalangan ulama.
Adapun sahabat-sahabat yang terkenal sebagai mufti atau mujtahid adalah:
a. Zaid ibn Tsabit
b. Abdullah ibn Abbas
c. Abdullah ibn Mas’ud
Jika fatwa tersebut disetujui semua sahabta, maka tersebut fatwa sahabat
mujtami’in.
3. Fatwa para sahabat yang masih dalam perselisihan Apabila terjadi
pertentangan pendapat antara para sahabat, ia memilih pendapat yang berdalil al-
Qur’an dan hadist. Apabila pendapat mereka tidak bias dikompromikan, ia tetap
mengemukakan pendapat mereka masing-masing tetapi ia tidak mengambil
pendapat mereka sebagai sumber hukum. Mayoritas ulama mengakui fatwa
sahabat sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Demikian pula menurutnya,
dibolehkan mengambil fatwa yang bersumber dari golongan salaf, dan fatwafatwa
para sahabat. Fatwa mereka lebih utama dari pada fatwa ulama kontemporer.59
Karena fatwa para sahabat lebih dekat pada kebenaran.Masa hidup mereka lebih
dekat dengan masa hidup Rasul.
4. Hadits mursal dan hadits dha’if,
Hadist mursal adalah hadist yang gugur perawi dan sanadnya setelah tabi’in.60
Hadist dha’if adalah hadist mardud, hadist yang ditolak atau tidak dapat dijadikan
58
Abdurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 199), hlm. 17.
59
Ibnu Qayyim, Op.Cit, hlm. 10.

18
hujjah atau dalil dalam menetapkan sesuatu hukum. Kata al-Dha’if, secara bahasa
adalah lawan dari al-Qawiy, yang berarti kuat.61 Hadist ini dipakai apabila tidak
ada keterangan atau pendapat yang menolaknya. Pengertian mengenai hadist
dha’if pada masa dahulu tidak sama dengan pengertiannya di zaman sekarang.
Pada masa Imam Ahmad hanya ada dua macam hadist yaitu hadis shahih dan
dha’if.Dimaksud dha’if disini bukan dha’if yang batil dan mungkar, tetapi
merupakan hadis yang tidak berisnad kuat yang tergolong sahih dan hasan.
Menurut Ahmad hadis tidak terbagi atas shahih, hasan dan dha’if tetapi shahih
dan dha’if.Pembagian hadis atas sahih,hasan,dha’if dipopulerkan oleh al-
Turmidzi. 62 Hadis-hadist dha’if ada bertingkat tingkat, yang dimaksud dha’if
disini adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadis semacam ini
lebih utama dari pada menggunakan qiyas.
Apabila tidak didapatkan dari al-Qur’an, Hadits, fatwa sahabat yang
disepakati atau yang masih diperselisihkan , maka barulah beliau menetapkannya
dengan hadits mursal dan dha’if yang tidak seberapa dhaifnya (merupakan hadits
yang tidak sampai ketingkat shahih dan termasuk hadits hasan.
5. Qiyas Dalam fiqih, makna Qiyas adalah mempersamakan masalah yang belum
ada nash dan dalil hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada hukumnya dan
tercatat jelas dalilnya, dengan melihat persamaan sifat keduanya yang menjadi
penentu hukum. 63 Apabila beliau tidak mendapatkan dalil dari al-Qur’an dan
hadits, fatwa sahabat yang disepakati atau yang masih doperselisihkan, hadist
mursal dan hadist dha’if. Dalam keadaan demikian barulah ia menggunakan qiyas,
yakni apabila terpaksa.64
Pada firman Allah dijelaskan bahwa Allah mengqiyaskan hidup sesudah
mati kepada terjaga (bangun) setelah tidur dan membuat beberapa perumpamaan,
serta menerapkannya beraneka ragam. Semua itu adalah qiyas jali, dimana Allah
ingin mewujudkan bahwa hokum sesuatu dapat diterapkan kepada kasus lain yang
serupa. 65 Bila dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain sebelumnya (seperti
mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i). Mazhab Hanbali tidak tersiar (tidak
semasyhur mazhab lainnya terutama mazhab Syafi’iwalaupun demikian mazhab
Hanbali merupakan salah satu dari mazhab yang terbesar dan banyak diikuti umat
Islam.

60
Abu al-Maira, Mustalahul Hadist, (Jakarta: Darul Suudiyah, 1998), hlm. 12.
61
Abu al-Maira, Mustalahul Hadist, (Jakarta: Darul Suudiyah, 1998), hlm. 16.
62
Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), Cet. ke-2, hlm.,h.124.
63
Tariq Suwaidan, Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal, (Jakarta: Penerbit Kemang, 2007,
hlm. 436
64
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm.. 322.
65
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,(Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
hlm 47

19
C. Pemikiran Abu Hanifah dan Ahmad Bin Hambal dalam Hukum
Keluarga

a. Pendapat madzhab Hanafi tentang warisan khunṡa musykil


Khunṡa musykil menurut Imam Hanafi adalah seorang yang memiliki alat
kelamin laki-laki dan perempuan. Hal ini telah juga penulis jelaskan pada halaman
sebelumnya. Tanda-tanda yang dijadikan patokan untuk mengetahui jenis kelamin
khunṡa ada dua, yakni tanda-tanda ketika kecil dan ketika dewasa. Tanda-tanda
ketika kecil adalah melihat kepada jalan keluarnya urine. berdasarkan Ḥaḍìṡ
Rasulullah SAW: 66
Artinya: khunṡa musykil itu mewarisi berdasarkan awal pertama keluar
kencingnya. Ḥaḍiṡ di atas dapat dipahami bahwa penetapan warisan bagi khunṡa
itu ditetapkan berdasarkan fakta dan kebiasaan yang terdapat pada diri khunṡa
tersebut. Mażhab Hanafi tidak hanya fokus pada teks Ḥaḍiṡ tersebut, namun
mereka juga menggunakan urf yang merupakan satu kebiasaan pada suatu
masyarakat maupun kebiasaan semua khunṡa, jika air seninya keluar dari alat
kelamin laki-laki maka ia laki-laki. Jika air seninya keluar dari alat kelamin
perempuan maka ia perempuan. Apabila air seninya keluar dari kedua alat
kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkan air seni. Karena
yang mengeluarkan air seni lebih dahulu menunjukkan atas keaslian kelaminnya.
Apabila air seni keluar dari kedua alat kelaminnya secara bersamaan, maka Imam
Abu Hanifah tawaqquf (berhenti benpendapat).
Imam Abu Hanifah, Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad yang merupakan
murid dari beliau, berpendapat jika khunṡa kencing dengan kedua alat kelaminnya
secara bersamaan, maka ia dilihat dari banyaknya air seni yang keluar dari
kelaminnya. Jika air seni yang keluar dari kelamin laki-laki lebih banyak daripada
yang keluar dari kelamin perempuan, maka ia laki-laki. Jika air seni yang keluar
dari alat kelamin perempuan lebih banyak daripada yang keluar dari kelamin laki-
laki, maka ia perempuan.67 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, penetapan
warisan bagi khunṡa musykil dilihat dari kebiasaan yang melekat pada diri
mereka. Oleh sebab itu dalam mażhab Hanafi, mereka memakai metode urf dalam
mengistinbatkan hukum warisan bagi khunsa musykil. Dalam penjelasan di atas
disebutkan bahwa kebiasaan itu dilihat dari bentuk fisik yang biasa terlihat pada
diri mereka, seperti melihat tulang rusuk perempuan yang jumlahnya lebih banyak
dari tulang rusuk laki-laki ini merupakan pendapat Ali dan Hasan.
Imam Abu Hanifah berkata, “jika khunṡa telah baligh, lalu timbul tandatanda
kedewasaannya. Seperti, tumbuh jenggot, timbul rasa suka kepada perempuan,
mimpi basah seperti mimpinya laki-laki, maka ia laki-laki. Karena itu adalah ciri-
ciri yang dimiliki laki-laki. Jika tumbuh padanya dua payudara seperti perempuan,

66
Ahmad Bin Husein Bin Ali Bin Musa Bin Abu Bakar Al-Baihaqqi, Sunan Al-Baihaqi
Al- Qubra,1989), hlm. 261
67
Syamsuddin Asysyarkhasi, Al-Mabsuth, (Bairut: Lebanon, 1993 ), hlm 92

20
dan payudara tersebut mengeluarkan asi, atau dia haid, maka dia perempuan.
Karena tanda-tanda ini hanya dimiliki oleh perempuan.68

b. Pendapat mażhab Hanbali tentang warisan khunṡa musykil


Dalam kitab Al-Mughni ada beberapa pendapat ulama tentang warisan
khunṡa musykil, salah satunya Ibnu Almunzir berpendapat bahwa khunṡa musykil
mendapatkan harta warisannya berdasarkan dengan alat mana mereka kencing,
Apabila ia kencing dengan alat vital laki-laki maka berarti ia mendapatkan harta
warisan layaknya laki-laki, dan apabila ia kencing dengan alat vital perempuan
berarti ia mendapatkan harta warisan layaknya perempuan. Hal ini berdasarkan
haḍìṡ yang diterima dari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW ditanyakan tentang
bayi yang dilahirkan yang mempunyai farj dan żakar, Nabi SAW berkata: Artinya
Khunṡa ini mewarisi berdasarkan awal pertama keluar kencingnya apabila
khunṡa kencing melalui kedua alat kelaminnya maka pendapat Imam Ahmad
adalah, ditentukan berdasarkan alat kelamin yang mengeluarkan air seni terlebih
dahulu, jika air seni keluar dari alat kelamin laki-laki dahulu kemudian melewati
alat kelamin perempuan, maka dia adalah laki-laki dan ia mewarisi berdasarkan
warisan laki-laki, begitu juga sebaliknya. Karena tempat keluar kencing
menunjukkan tanda-tanda adanya dari saat masih kecil dan ketika dewasa dan
seluruh tanda-tanda yang terdapat pada saat beranjak dewasa seperti tumbuh
jenggot, keluar mani, haid, membesar payudara dan hamil.69

c. Bagian Harta Warisan Khunṡa Musykil Menurut Mażhab Hanafi


Imam Abu Hanifah berkata, “bahwa khunṡa berhak di berikan bagian yang
terkecil di antara dua bagian, yaitu apabila ia ditetapkan sebagai laki-laki dan
ditetapkan sebagai perempuan. Mana di antara dua bagian itu yang lebih sedikit,
maka diberikan kepada khunṡa. Di dalam kitab al-Mabsuṭ Imam Abu Hanifah
berkata, “bagian khuṡa musykil adalah bagian yang sangat kecil, yaitu bagian
perempuan. Kecuali ketika keadaan berubah, bagian laki-laki menjadi bagian
terkecil dan terjelek, maka khunṡa ditetapkan pada bagian laki-laki.70 Imam Abu
Hanifah juga berpendapat bahwa khunṡa musykil dapat mewarisi dan diproses
menurut kemungkinan yang paling tidak menguntungkan baginya, yaitu dengan
mengurangi bagiannya atau menghalanginya untuk mewarisi, baik dia sebagai
laki-laki maupun perempuan, karena itulah cara yang paling meyakinkan,
sedangkan cara yang lain masih meragukan. Pada dasarnya, kepemilikan
seseorang atas sesuatu tidak bisa terlaksana jika ada keraguan di sana, baik
68
Muhammad Bin Muhammad Mahmud Al-Babarti, Al-Inayah Syarh Al-Hidayah, Mauqi’ Al-
Islam, 2001. hlm. 252
69
Abdillah Abi Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Darul
Al-Fakr, 1992 Hlm.109
70
Kamiluddin, Bagian Harta Waris KhunṠa Musykil (Studi Perbandingan Mazhab Hanafi Dan
Mazhab Hanbali). UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh.(2017).hlm. 57

21
keraguan tentang orangnya maupun keraguan tentang barangnya. Dengan
ungkapan lain, menurut Imam Abu Hanifah hanya khunṡa yang akan diproses
dengan cara yang tidak menguntungkan, dan ahli waris yang lain tidak
terpengaruh olehnya.71

d. Bagian harta warisan khunṡa musykil menurut Mażhab Hanbali


Ulama Hanabilah mempunyai dua pendapat mengenai kondisi khunṡa
musykil. Pertama, kondisi dimana kejelasan status khunṡa musykil masih bias
diharapkan. Kondisi ini terjadi ketika khunṡa musykil masih kecil. Oleh karena itu
dia dan ahli warisnya diberikan bagian yang paling kecil, dan sisa harta warisan
ditangguhkan pembagiannya sampai status khunṡa musykil itu jelas. Jika
statusnya sudah jelas dan ia berhak mendapatkan sisa, maka sisa itu diberikan
kepadanya. Namun jika tidak, harta yang ditangguhkan itu diberikan kepada ahli
waris yang lain. Kedua, kondisi dimana kejelasan khunṡa musykil itu tidak bisa
diharapkan lagi, misalnya karena ia meninggal dimasa kecil atau sudah baliqh,
namun tidak terlihat ciri seorang lelaki atau perempuan. Dalam keadaan ini, dia
diberi setengah dari bagiannya, yaitu diberikan ½ bagian laki-laki dan ½ bagian
perempuan kepadanya atau ia mendapatkan bagian pertengahan antara laki-laki
dan perempuan, dan imam Ahmad bin Hanbal mengatakan pendapat ini tidak
apaapa.45 Dan dalam kondisi tertentu dia diberikan sebagaimana keadaannya
pada saat itu, jika dia dianggap laki-laki maka diberikan bagian laki-laki atau jika
dia perempuan maka diberikan bagian perempuan. 72 Sehingga orang yang ada
bersama dengan anak khunṡa musykil, diberlakukan dengan sesuatu yang kiranya
tidak menimbulkan mudharat bagi mereka berdua. 73

D. Penyebaran Mazhab Hanafi dan Hanbali

a. Penyebaran Mazhab Hanafi


Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada
awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas
kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi
para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh
pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di
pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu
di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain,
seperti Mesir.74

71
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta: Senayan Abad,
2004., hlm. 395.
72
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, hlm. 39.
73
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab, (Pustaka Al-
Kautsar Jakarta timur), hlm. 278-284.
74
Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Impremium, 2012), Hlm. 97.

22
Dapat dikatakan bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan
menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-
mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi aliran Mazhab yang secara
umum menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab
lain lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan. Pada masa
kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan,
bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun
kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam).75
Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah
berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada masa
dahulu tunduk kepada keduanya, seperti: Mesir, Syria dan Lebanon Tunisia yang
menjadi mazhab keamiran Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk
kepada kekuasaan Turki, Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum
dipakai oleh masyarakat, Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam
bidang peribadatan, Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang
berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di negara-negara
lain.
Dengan demikian, maka kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa
kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari
jumlah seluruh ummat Islam sedunia.76

b. Penyebaran Mazhab Hanbali


Penyebaran mazhab Hanbali lebih banyak dilaksanakan melalui kegiatan
para murid dan pengikutnya. Di antara Ahmad yang berjasa benar dalam
pengembangan dan penyebaran mazhab Hanbali adalah antara lain Shaleh dan
Abdullah bin Ahmad ibn Hanbal. Ahmad ibn Muhammad ibn Hani' Abu Bakar al-
Atsran, Abd. Malik ibn Hajjaj Abu Bakar al-Marwazi, Harab ibn Ismail al-
Handhali al-Kirmani, dan Ibrahim ibn Ishaq al-Harbi. Pada generasi selanjutnya
muncul dua orang pengikut Ahmad, yaitu Umar ibn al-Husein al-Khiraqi dan Abd
al-Aziz bin Ja'far Ghulan al-Kallal. Al-Khalal inilah yang paling berjasa
mengodifikasi dan menyebarkan fikih mazhab Hanbali. 77 Al-Khallal menulis
koleksi fikih mazhab Hanbali dalam suatu kitab berjudul al-Jami' al-Kabir. Kitab
ini terdiri dari 20 Juz.78 Sayangnya, kitab ini masih dalam bentuk manuskrip dan
sekarang tersimpan di perpustakaan di Inggris. Kitab mazhab Hanbali yang
terkenal lainnya adalah Mukhtasar al-Khiraqi, karya Abu Qasim Umar ibn Husen

75
Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para
Fuqoha’, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 139
76
Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis Istinbath Para
Fuqoha’, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), Hlm. 140
77
Shiddiqie, TM. Hasbi, 1973, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab dalam Membina Hukum
Islam. Jilid I Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang. 284: 287
78
Sirry, Mun'im A, 1995. Sejarah Fiqh Islam. Sebuah Pengantar. Cet. I Surabaya: Risalah Gusti.
Hlm. 121

23
ibn Hanbal. Buku ini banyak disyarah para ulama, antara lain kitab syarah ibn
Qudamah berjudul al-Mughni.79
Imam Ahmad, sesuai dengan tempat lahir kediamannya, menjadikan
Baghdad sebagai basis pengajaran dan penyebaran mazhabnya. Dari Baghdad,
mazhab ini berkembang ke Syam dan Mesir. Pada saat itu mazhab Hanbali
sekarang tersebar di Jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan Iraq. Jumlah total
penganutnya sekitar 10 juta orang menurut perhitungan tahun 1988.80

E. Pernyataan Imam Abu Hanifah Dan Imam Ahmad Bin Hanbal

a. Pernyataan Imam Abu Hanifah


Para murid Imam Abu Hanifah telah meriwayatkan berbagai macam
perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu
kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan
dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut adalah penyataan Imam Abu Hanifah :81
1. “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku”.
2. “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari
mana kami mengambil sumbernya”
3. Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan : “Orang yang tidak
mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk
memberikan fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan : “Kami hanyalah
seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami
mencabutnya”. Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan :
“Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan
pendapatku untuk memberikan fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan :
“Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi
besok kami mencabutnya”. Pada riwayat lain lagi dikatakan : “Wahai Ya’qub
(Abu Yusuf), celakalah kamu ! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar
dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya
meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya
saya meninggalkannya”.

79
Dahlan, Abdul Azis (ed.). 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I-II. Cet. I Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve. hlm 516
80
Yanggo, Huzaemah Tahido. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet. I; Jakarta: Logos.
Hlm. 145-146
81
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Muqadimah buku Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu
‘alaihi wa sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Shifat
Shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Media Hidayah-Yogyakarta, hal. 52 – 56, penerjemah
Muhammad Thalib.

24
Syaikh Muhammad nashiruddin Al-Bani memberikan komentar di dalam
catatan kaki bahwa Karena imam ini sering kali mendasarkan pedapatnya pada
qiyas, karena ia melihat qiyas itu lebih kuat ; atau telah sampai kepadanya Hadits
Nabi, lalu ia ambil Hadits ini, lalu dia meninggalkan pendapatnya yang terdahulu.
Sya’rani, dalam kitab Al-Mizan (I/62), berkata yang ringkasnya.
“Keyakinan kami dan keyakinan semua orang yang arif tentang Imam Abu
Hanifah ialah jika beliau masih hidup sampai masa pembukuan Hadits dan
sesudah ahli Hadits menjelajah semua negeri dan pokok wilayah Islam untuk
mencarinya, niscaya beliau akan berpegang pada Hadits-Hadits dan meninggalkan
setiap qiyas yang dahulu digunakannya, sehingga qiyas hanya sedikit dipakai pada
madzhab beliau sebagaimana pada madzhab-madzhab lainnya. Akan tetapi,
karena pada masanya dalil-dalil hadits ada pada para pengikutnya yang terpencar-
pencar di berbagai kota, kampung, dan pojok-pojok negeri Islam, penggunaan
qiyas pada madzhab Hanafi lebih banyak dibanding dengan madzhab lainnya,
karena keadaan terpaksa, sebab tidak ada nash tentang masalah-masalah yang
beliau tetapkan berdasarkan qiyas. Hal ini berlainan dengan madzhab-madzhab
lain. Para ahli hadits pada saat itu telah menjelajah berbagai penjuru wilayah
Islam untuk mencari Hadits dan mengumpulkannya dari berbagai kota dan
kampung sehingga Hadits-hadits tentang hukum bisa terkumpul semuanya. Inilah
yang menjadi sebab banyaknya pemakaian qiyas dalam madzhab beliau,
sedangkan pada madzhab-madzhab yang lain sedikit.

Sebagian besar dari pendpat-pendapat Hanafi ini dinukil oleh Abu Al-Hasanat
dalam kitab An-Nafi’ Al-Kabir hal. 135 dan beliau memberi komentar dengan
keterangan yang dapat mejelaskan dan menguatkan pendapatnya. Silakan baca
kitab tersebut. Dan Menjadi suatu udzur dari Abu Hanifah bila pendapatnya
ternyata bertentangan dengan Hadits-hadits shahih dan udzur dia ini pasti
termaafkan. Allah tidak memaksa seseorang di luar kemampuannya. Jadi, beliau
tidak boleh dicerca dalam hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian
orang yang bodoh. Orang justru wajib hormat kepada beliau, sebab dia adalah
salah seorang di antara imam kaum muslimin yang telah memelihara agama ini
dan menyampaikan kepada kita berbagai bagian dari agama. Beliau mendapat
pahala atas segala usahanya, yang benar atau yang keliru.

4. “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan


Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tinggalkanlah pendapatku itu”.

25
b. Pernyataan Imam Abu Bin Hanbal
Berikut adalah pernyataan Imam Ahmad Bin Hanbal :82
1. “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi’i, Auza’i dan
Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.
2. Pada riwayat lain disebutkan : “Janganlah kamu taqlid kepada siapapun
mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil.
Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau
menerima)” Kali lain dia berkata : “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti
apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”.
3. ” Pendapat Auza’i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya
semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada
pada atsar (Hadits)”

4. “Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


dia berada di jurang kehancuran”

82
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Muqadimah buku Shifatu Shalaati An-Nabiyyi Shallallahu
‘alaihi wa sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Shifat
Shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Media Hidayah-Yogyakarta, hal. 60-63, penerjemah
Muhammad Thalib.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Abu Hanifah memiliki nama lengkap an-Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin
Mah. Lahir di Kufah pada tahun 80 H. Guru yang paling berpengaruh ialah Imam
Hammad bin Abi Sulaiman. Beliau banyak belajar kepada para tabi’in. Profesi
Abu Hanifah sebagai seorang saudagar menjadikan pola pemikirannya tidak
terikat dengan hal yang besifat tekstualis. Abu Hanifah sering disebut sebagai
pemuka ahl ra’yi. Terdapat risalah-risalah kecil yang dinisbatkan kepadanya,
seperti al-fiqh al-akbar, al-alim wa al-muta’alim dan juga risalah yang menolak
pandangan qadariyyah. Satu tokoh yang berperan dalam pengembangan mazhab
Hanafi adalah Muhammad ibn Hasan asy-Syaibani yang merupakan tokoh yang
dikagumi oleh Imam Syafi’i.
Sedangkan Imam Ahmad dengan nama lengkapnya adalah Ahmad ibn
Muhammad ibn Hanbal. Sejak masa kecilnya Imam Ahmad fakir dan yatim yang
sangat mencintai ilmu. Orang yang pertama kali didatangi untuk belajar hadist
adalah Hasyim ibn Basyr ibn Khazin al-Wasiti. Beliau bertemu dengan beberapa
ulama besar seperti Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshari (murid Imam Abu
Hanifah), Imam Syafi’i. Beliau lebih memilih dicambuk dan dipenjara dari pada
harus mengakui bahwa al-Qur’an adalah makhluk. beliau wafat pada usia 77
tahun yaitu pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ al-Awwal 241 H. Salah satu guru
beliau ialah Husen ibn Bashir. Inilah guru Imam Ahmad yang pertama dan utama
dalam bidang hadist. Untuk mendalami cara istinbath dan membina fiqh Imam
Ahmad berguru kepada Imam asy-Syafi’i. Murid-muridnya adalah Sholeh ibn
Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Muhammad ibn Hani Abu Bakar al-Atsran dan
lain-lain. Aktifitasnya lebih fokus kepada pengembangan ilmu pengetahuan.
Adapun karya-karya beliau antara lain al-Musnad, kitab Tafsir al-Qur’an, Kitab al-
Nasikh wa al-Mansukh, dan lain-lain.
Madzhab Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an, sunnah,
ijma’, qiyas, dan istihsan. Malik dan Ahmad ibn Hanbal termasuk ulama yang
menyepakati digunakannya istihsan sebagai metode penggalian hokum.
Sedangkan Imam Ahmad Bin Hanbal pendapat-pendapatnya dibangun atas lima
dasar yaitu nash dari al-Qur’an dan sunnah, fatwa para sahabat Nabi saw, fatwa
para sahabat, hadits mursal dan hadits dha’if dan Qiyas.
Persamaan dan perbedaan pemikiran mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali,
secara umum terdapat dalam masalah menentukan warisan khunṡa musykil.
Secara garis besar mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali berpendapat sama dalam
menentukan jenis kelamin khuntsa yakni dengan melihat tempat keluarnya
kencing pada waktu kecil dan melihat kepada ciri-ciri dewasa yakni melihat

27
kemana si khunṡa ini condong. Adapun dalam pembagian warisan khunṡa musykil
mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali berbeda pendapat tentang kadar banyaknya
warisan khunṡa musykil. Abu Hanifah berpendapat bahwa khunṡa musykil
diberikan bagian terkecil, sedangkan mazhab Hanbali berpendapat jika kondisi ini
terjadi ketika khunṡa musykil masih kecil, dia dan ahli warisnya diberikan bagian
yang paling kecil, dan sisa harta warisan ditangguhkan pembagiannya sampai
status khunṡa musykil itu jelas.
Penyebaran Mazhab Hanafi berawal di Irak, Syria, Afganistan, Turki Asia
tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki
Usmani. Mazhab Hanafi boleh dikatakan menduduki posisi yang paling tinggi dan
luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain. Pada masa kekhalifahan
Abbasiyyah, ia menjadi aliran Mazhab yang secara umum menjadi pegangan
masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya
dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan. Pada masa kekhalifahan Ustmaniyyah,
Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan, Mesir, Syria dan Lebanon
Tunisia yang menjadi mazhab keamiran, Turki, Albania, Balkan, Tanzaniyyah,
Pakistan, Afganistan, Turkinistan, India dan Tiongkok. Mazhab Hanafi itu lebih
kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia. Sedangkan
mazhab Hanbali berawal di Baghdad dan berkembang ke Syam dan Mesir, Jazirah
Arab, Palestina, Syiria. Jumlah total penganutnya sekitar 10 juta orang menurut
perhitungan tahun 1988.
Diantara penyataan Imam Abu Hanifah “Tidak halal bagi seseorang
mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil
sumbernya”, “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tinggalkanlah pendapatku itu”. Sedangkan pernyataan Imam Ahmad Bin Hanbal
adalah “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi’i, Auza’i dan
Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil”, “Yang dinamakan
ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”.

28
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Kariim.

A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Cet.


Ke-14 (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Aan Black dkk., Modern Perspectives on Islamic Law (Cheltenham: Edward


Elgar Publishing, 2013).

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Houve, 1996).

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Hallmudin, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta,(2005).

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Kairo: Maktabah ad-Dakwah al-
Islamiyyah, t.t.).

Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin at-Turki, Usul Mazhab al-Imam Ahmad, (Riyad:
Maktabah ar-Riyad al-Hadisah, 1980 M/1400 H).

Abdullah Salim Zarkasyi, “Fiqh di Awal Abad 21”, dalam Epistemologi


Syara’: Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
kerjasama Walisongo Press, 2009).

29
Abdurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
199).

Abdillah Abi Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Bin Qudamah, Al-
Mughni, Beirut: Darul Al-Fakr, 1992.

Abu al-Maira, Mustalahul Hadist, (Jakarta: Darul Suudiyah, 1998).

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul (Mesir: Syirkah at


Talabiyyah al-Fanniyyah al-Muttahidah, 1971).

Abu Ishaq asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushuli Syari’ah, Juz IV (Riyad: Dar


Fikr Araby,t.t.).

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqasid Syariah fi al-Islam, alih bahasa:


Khikmawati (Jakarta: AMZAH, 2010).

Ahmad asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Semarang:


Amzah, 1991).

Ahmad Bin Husein Bin Ali Bin Musa Bin Abu Bakar Al-Baihaqqi, Sunan Al-
Baihaqi Al- Qubra,1989)

Ahmad Mugits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren (Jakarta: Kencana, 2008).

Aida Humaira, “Istihsan dalam Proses Istinbath Hukum”, Jurnal al-Risalah,


No. 1, Vol. 13 (Mei 2013).

Ali Fikri, Kisah-kisah Imam Madzhab (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).

Asy-Syurbasyi, Ahmad, al-Aimmah al-Arba’ah (Sejarah dan Biografi Empat


Imam Madzhab), Jakarta: Penerbit Amzah, cet. III. 2001

Dahlan, Abdul Azis (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid I-II. Cet. I Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 1996.

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1993).

Hasbi Ash Shiddiqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab (Semarang:


Rizki Putra, 2007).

30
Hasyim Fathoni, Pemikiran Hukum Islam Imam al-Bukhari (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2013).

Huzaenah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta:


Logos, 1997).

Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqin, (Beirut: Dar al-Kutub al


‘Ilmiyyah, 1991 M).

Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT.


Remaja Rosda Karya), Cet.ke-2. 2000.

John L. Esposito, Muslim family Law Reform: Toward an Islamic


Methodology (Islamabad: Islamic Research Institute, International Islamic
University, t.t)

Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, (Yogyakarta: Impremium, 2012).

Josept Schacht, An Introduction to Islamic Law (London: Oxford University


Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Ahmad ibn Hanbal Imam Ahl as-Sunnah wa al-
Jama’ah,(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992).

Kamiluddin, Bagian Harta Waris KhunṠa Musykil (Studi Perbandingan


Mazhab Hanafi Dan Mazhab Hanbali). UIN Ar-Raniry Darussalam-Banda
Aceh.(2017).

Kasdi Abdurrahman, Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah .


Yudisia, Vol. 5, No. 2, Desember 2014.

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, Jakarta:


Senayan Abad, 2004.

M. Abu Zahrah, Ibn Hanbal Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu Wafiqhuhu,


(Mesir: Dar al- Fiqr, 1981).

M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan pada Sufi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1996).

M.Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus), Cet
ke2. 1995.

31
Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab,(Jakarta: Bulan
Bintang, 1994).

Mohmad Ahmad dan Muzakir, Ulumul Hadist, (Bandung: CV. Pustaka Setia),
Cet.ke-2. 2000.

Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Mazahib al-Mazahib al-Islamiyyah, (Kairo:


Maktabah al-Madai, tt).

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fikih, cet-13 (Jakarta: Pustak Firdaus, 2010).

Muhammad Bin Muhammad Mahmud Al-Babarti, Al-Inayah Syarh Al-


Hidayah, Mauqi’ Al-Islam, 2001.

Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzab: Studi Analisis


Istinbath Para Fuqoha’, (Jombang: Darul Hikmah, 2008).

Muhammad Muhammad ‘Uraidhah, al-Imam Abu Hanifah; an-Nu’man bin


Tsabit at-Tamimi al-Kufi, faqih ahl ‘Iraq wa Imam Ashhabu al-Ra’y (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992).

Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Panduan Waris Empat Madzhab,


(Pustaka Al-Kautsar Jakarta timur).

Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Muqadimah buku Shifatu Shalaati An-


Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallama min At-Takbiiri ilaa At-Tasliimi Ka-
annaka Taraahaa, edisi Indonesia Shifat Shalat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam . Media Hidayah-Yogyakarta, penerjemah Muhammad Thalib.

Muhammad Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada), Cet. ke-2. 1997.
Mun’im, A. Sirry ,Sejarah Fiqh Islam: Sebuah Pengantar, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995).

Mustafa Muhammad asy-Syak’ah, Islam bila Mazahib, (Beirut: Dar an


Nahdah al-‘Arabiyah, tt).

Perspectives on Islamic Law (Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2013).

Shibli Mallat dan Jane Connors (ed.), Islamic Family Law (London: Graham
Press, 1982).

32
Shiddiqie, TM. Hasbi. Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab dalam Membina
Hukum Islam. Jilid I Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Sirry, Mun'im A. Sejarah Fiqh Islam. Sebuah Pengantar. Cet. I Surabaya:


Risalah Gusti. 1995

Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Yogyakarta: Ar Ruzz


Media,2011).

Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,


2006).

Syamsuddin Asysyarkhasi, Al-Mabsuth, (Bairut: Lebanon, 1993 ).

Tariq Suwaidan, Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal, (Jakarta: Penerbit


Kemang, 2007.

Uraidhah, al-Shibli Mallat dan Jane Connors (ed.), Islamic Family Law
(London: Graham& Trotman, 1993).

Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Da>r el-Fikr,1986).

Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Cet. I; Jakarta:


Logos. 1997.

33

Anda mungkin juga menyukai