Anda di halaman 1dari 13

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
1.DEFENISI
Epilepsi menyatakan suatu serangan berulang seizure periodic dengan atau
tanpa seizure. Serang tersebut disebabkan oleh aktivitas listrik berlebihan pada
neuron korteks dan ditandai dengan perubahan aktifitas listrik seperti yang diukur
dengan elektro-ensefalogram (EEG).Seizure meyatakan keparahan kontraksi otot
polos yang tidak terkendali .(buku ISO farmakoterapi 1 hal 457).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur. Sebagian
besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008). Insiden tertinggi
terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50 tahun, dan setelah itu
meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006) terhadap penelitian terdahulu
menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak adalah tinggi dan memang
merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok usia tersebut, bahkan dari
tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi pada anak-anak cenderung
meningkat.
Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks otak.
Kejang terjadi saat adanya ketidakseimbangan antara kekuatan eksikatori/ pemicuan
dan inhibisi/ penghambatan dalam jaringan neuron kortikal (Ikawati, 2011).
Menurut Cotman (1995), ketidakseimbangan antara eksikatori dan inhibitori
tersebut terjadi secara tiba-tiba pada keadaan berikut ini:
 Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,
disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata
memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
 Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron
penghambat normal tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu
kuat. Keadaan ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak.
Pada epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat
di otak..
GEJALA DAN TANDA EPILEPSI DIBAGI BERDASARKAN KLASIFIKASI DARI EPILEPSI

1) Kejang parsial Lesi yang terdapat pada


kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum.
Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya
masih baik.
Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul
berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional 17
kompleks. Pada kejang parsial sederhana,
kesadaran penderita masih baik.

Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2) Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar
dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya menurun.
 Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
 Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama. 18
 Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang
cepat dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
 Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran
hilang dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh
otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik
dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase
tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil,
pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
 Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
 Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan

2. PATOFISIOLOGI
a.suatu serangan dapat dilacak pada membran sel disekirnya yang tiak stabil
.rangsangan yang berlebih secara local (serangan fokal) maupun lebih luas (serangan
umum).
b.Terjadinya konduktansi kalium yang tidak normal,cacat pada kanal kalsium
sensitef voltase,atau defisiensi pada membrane adenosin trifosfat (ATPase) yang
berkaitan dengan traspor ion dapat menghasilkan ketidak stabilan mmembran
neuronal dan serangan seizure
c. Aktifitas neuronal normal tergantung pada factor pemicu ransang (yaitu
glitamat,asparat,asetilkolin,norepinefrin ,histamin ,factor pelepas
kortikotropin,purin,peptide,sitokin ,dan hormone steroid ) dn penghambar
neurotrasmiter (yaitu dopamine ,asam gaminobutirat (GABA)). Pasokan glukosa
,oksigen,natrium ,kalium,klorida,kalsium,dan asam amino yang cukup; pH yang
normal; dan fungsi normal reseptor .
d.sebagian besar besar seizure tonik klonik umum lebih besar dari 100,dan episode
ganda status epileptikus dapat dikaitatkan dangan kerusakan neuronal .(ISO
FARMAKOTERAPI BUKU 1 HAL 457 )
3.FAKTOR RESIKO
Epilepsi adalah ekspresi dari disfungsi otak dan ditegakkannya diagnosa ini
mengharuskan dicarinya penyebab. Adapun faktor-faktor penyebab epilepsi
adalah:
 Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang jelas menunjukkan adanya kerentanan
genetik khususnya pada kejang petit mal (Absen kejang).
 2. Riwayat Kehamilan dan persalinan
Termasuk diantaranya pasien dengan riwayat gangguan intrauterin, Perinatal atau
neonatal.
 3. Gangguan serebral
Gangguan serebral diantaranya Tumor otak, cedera kepala, Infeksi dan degeneratif.
 4. Gangguan Metabolik
Gangguan Metabolik yang menyebabkan epilepsi yaitu Hipoglikemia,
Hipokalsemia, Gagal ginjal atau gagal hati dan Hiponatremia.
 5. Obat-obatan (khususnya setelah kejadian over dosis).
- Alkohol : Intoksikasi berat, Penghentian mendadak pada peminum berat atau
cedera kepala dalam keadaan intoksikasi.
- Amfetamin, antidepresan trisiklik, fenotiazi
(jurnal dari factor factor dari epilespsi dirumah sakit cut nyak dhien maulaboh
aceh)
4.PENENTUAN DIAGNOSIS
3 langkah melakukan diagnosi epilepsi

 Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal


merupakan bangkitan epilepsi.
 Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
 Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan
tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang
(minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran
epileptiform pada EEG.
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut :
A. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan
perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi
gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
 Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan
a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri /berbaring / tidur / berkemih.
b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speecharrest).
c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik /
klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat,
maupun deviasi mata.
d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala,tidur, gaduh gelisah, atau
Todd’s paresis.
e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola
bangkitan.
 2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkin menjadi penyebab.
 3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan

B. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak,
pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan
perkembangan,organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
C. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum
dalam darah. Keadaan sepertiHiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia,
dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang.
Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood
Urea Nitrogen,kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk
yang sangat berguna.
2) Elektro ensefalografi (EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui
elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai
pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity.
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi.4,6,11 Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.6 Rekaman
EEG dikatakan abnormal.
BAB II
PEMBAHASAN KASUS
1.ANALISIS KASUS
T.D., seorang gadis berusia 7 tahun, 25 kg, dilaporkan oleh gurunya memiliki tiga
atau empat episode "menatap" setiap hari (mata melotot/terbelalak dg tatapan
kosong). Setiap kejadian ini dia berucap berlangsung 5 hingga 10 detik. Meskipun
tidak ada gerakan kejang-kejang yang terjadi, kelopak matanya tampak berkedip-
kedip selama episode ini. Dia tidak menyadarinya namun, menjadi waspada
sesudahnya. Prestasi sekolah TDR agak di bawah rata-rata, meskipun IQ 125. EEG
menunjukkan aktivitas lonjakan gelombang 3/detik. Tidak adanya epilepsi yang
khas didiagnosis. Pemeriksaan fisik dan temuan pemeriksaan laboratorium normal,
dan tidak ada temuan positif lainnya yang terbukti pada pemeriksaan neurologis.
Bagaimana terapi yang paling tepat untuk T.D., dan bagaimana monitoringnya?

2.SOAP
 SUBJEKTIF (S)
NAMA : TD
JENIS KELAMIN : Perempuan
UMUR : 7 thn
BERAT BADAN : 25 kg
KELUHAN PASIEN : Mata melotot ,terbelalak dengan tatapan
kosong ,setiap kejadia diaberucap selama 5-10 detik
RIWAYAT PENYAKIT :
RIWAYAT PENGOBATAN :

 OBJEKTIF (O)
EEG pasien menunjukan aktivitas lonjakan gelombang 3/detik .
Tidak ada epilepsi yang khas didiagnosis .
Pemeriksaan fisiknya laboratorium normal




 ASSESMENT (A)
Problem S, O Terapi Analisis DRP
Medis
Stroke Subjektif : pasien merasakan kelemahan pada tubuh
Hemorogik sebelah kanan yang terjadi secara tiba tiba,
Keluhan : Masuk Rs kelemahan pada lengan dan tungkai seisi
ICH Parietal tanggal 20 September tubuh tanpa disertai penurunan kesadaran.
2018. dirawat dibagian Saat terjadi serangan pasien mengalami
kiri
saraf karena tidak bisa sakit kepala, mual
berjalan, pasien merasaka Hasil data Lab menunjukkan beberapa data
n kelemahan pada tubuh objektif yang abnormal seperti nilai :
sebelah kanan yang terjadi Hb, Eritrosit, Hematokrit, Clorida serta,
secara tiba tiba, kelemaha hasil CT scan menunjukkan ICH Parietal
n pada lengan dan tungkai Kiri
seisi tubuh tanpa disertai
penurunan kesadaran. Saa Berdasarkan literatur disimpulkan bahwa
t terjadi serangan pasien pasien tersebut mengidapStroke Hemoroik
mengalami sakit kepala, dengan ICH parietalkiri,yaitu kerusakan
mual, muntah tidak ada, ti (-) (-)
atau pecahnya pembuluh darah di otak, perdarah
dak disertai kejang. Tidak an dapat disebabkan karena hipertensi yang
dapat mengungkapkan i terjadi sangat lama dan anuerisma otak.
si pikiran nya secara lisan
dan tulisan saat bicara mul Untuk terapi akan diberikan
ut nya mengot dan bicara
nya pelo, Saat serangan pe Actapin (Amlodipine/ Gol. CCB)
nderita tidak mengalami j sebagai lini terapi pertama untuk
antung yang berdebar/deb antihipertensi dan Manitol (diuretik)
ar disertai sesak nafas.
untuk menstabilkan tekanan darah pasien.
Riwayat
Penyakit Pasien:
Hipertensi sejak 9 tahun
yang lalu.

 PLAINING (P)
Terapi Farmakologi
(Depakene) Asam valproate
Dosis Awal : 15mg/kg
Dosis Pemeliharaan : 10-60 mg/kg/hari
Dosis diberikan sebanyak 2 sampai 4 kali sehari .
Dosis harian harus dimulai pada dosis :10 mg/kg sehari dan ditingkatkan sebanyak
10mg/kg/hari setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu 50-
100µg/ml. (Friedman dan Sharrieff, 2002)

Efek samping : mual,muntah,gangguan pencernaan lain (nyari perut rasa panas


dibagiian perut atas ). (potrer dan meldrun, 2002)
Literatur Pengobatan Epilepsi

Tabel 1. (Gidal dan Garnett, 2005)

Tabel 2. (DiPiro et al, 2017)


Terapi Non Farmakologi
1. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi, rendah karbohidrat, dan
cukup protein. Diet tersebut menghasilkan energi untuk otak bukan dari glukosa sebagai
hasil glikolisis, namun dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak. Rasio lemak dengan
karbohidrat dan protein adalah 3:1 atau 4:1 (dalam gram). Diet ketogenik dapat diberikan
sebagai terapi adjuvan pada epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang
(peringkat bukti 1, derajat rekomendasi B). Namun perlu diingat, diet ketogenik pada
anak usia 6-12 tahun dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, batu ginjal, dan
fraktur (peringkat bukti 3, derajat rekomendasi C). Inisiasi diet ketogenik pada pasien
rawat jalan sama efektifnya dengan inisiasi di ruang rawat inap (peringkat bukti 2, derajat
rekomendasi B). Suplementasi multivitamin bebas gula, kalsium dan vitamin D, serta
garam sitrat (untuk mengurangi risiko batu ginjal) dapat diberikan (peringkat bukti 3,
derajat rekomendasi C).
2. Tindakan Bedah
Sebagian besar epilepsi pada anak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa.
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil penyandang epilepsi
yang tetap mengalami kejang meskipun telah mendapat terapi OAE kombinasi, terdapat
kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik (peringkat bukti 3, derajat rekomendasi
C). Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber epileptogenik lain di luar area
yang direncanakan akan direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area di
mana kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus epileptik. Pemilihan
jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang. Jika bedah kuratif tidak mungkin
dikerjakan, anak dengan epilepsi intraktabel harus dirujuk untuk prosedur bedah paliatif
(peringkat bukti 3, derajat rekomendasi C).
3. Stimulasi nervus
vagus Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjuvan yang dilakukan pada pasien
dengan kejang intraktabel dan bukan merupakan kandidat terapi bedah reseksi
(peringkat bukti 2, derajat rekomendasi B). Terapi stimulasi nervus vagus dilaporkan
efektif dalam mengurangi frekuensi kejang pada epilepsi parsial (peringkat bukti 2,
derajat rekomendasi B) dan epilepsi umum serta sindrom Lennox-Gastaut yang refrakter
terhadap terapi medikamentosa (peringkat bukti 3, derajat rekomendasi C). Evaluasi dan
keputusan tindakan bedah harus dilakukan pada institusi khusus yang menangani bedah
epilepsi. (Kemenkes RI, 2017)

 MONITORING
1. Melakukan pemeriksaan MRI untuk menggambarkan kondisi otak, khususnya
lobus temporalis.
2. Memonitoring gejala-gejala petit mal.
3. Monitoring efek samping obat : gangguan saluran cerna, sedasi, goyah/tidak bisa
tegak, tremor.
 KIE
1. Menginformasikan Kepada keluarga Pasien tentang jenis kejang yang dialami
pasien dalam hal ini Seizure Absense Tipikal (Petit mal)
2. Menyingkirkan persepsi kepada keluarga pasien perihal kejang ada kaitannya
dengan guna guna/ kesurupan dan apabila tidak segera diobati akan mengakibatkan
kematian jika tidak ditangani.
3. Menginformasikan kepada pasien terkait pertolongan pertama apa bila terjadi
kejang berikutnya (Airway Breathing Circulation)

BAB III
KESIMPULAN
Kejang merupakan suatu kerusakan pada sistem syaraf di otak dapat
diklasifikasikan berdasarkan gejala dan pengamatan episode yang terjadi, ada pula
yang muncul disebabkan berbagai faktor resiko oleh sebab itu sebaiknya bila ada
keluhan kejang sebaiknya segera di pemeriksakan ke dokter spesialis saraf agar
segera mengetahui penyakit yang menyebabkan kejang agar segera mendapatkan
penanganan yang terbaik dan mencegah terjadi komplikasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Gidal, B.E., dan Garnett, W. R., 2005, Epilepsy dalam Dipiro, Pharmacotherapy : A
Pathophysiologic Approach, 6 ed, 1023-1048, Mc. Graw Hill, USA.

Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.


2006;53:257-277

Wells CR, Labar DR, Solomon GE. Aphasia as the sole manifestation of simple partial status
epilepticus. Epilepsia. 1992;33:84–87.

DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, Matzke GR, Wells BG, Posey LM. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. 10th ed. New York, NY: McGraw-Hill Education; 2017:837-866.

Keputusan Kementrian Kesehatan RI, Tata Laksana Epilepsi Pada Anak, 2017, 47-48
Jakarta.Indonesia.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai