Anda di halaman 1dari 20

Tinjauan Pustaka

ASI Eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI pada anak terutama usia nol

sampai dengan enam bulan dikenal dengan ASI Eksklusif, menjadi keadaan yang

tidak dapat dinegosiasikan. Bayi sampai dengan usia enam bulan telah tercukupi

asupan nutrisinya hanya dengan konsumsi ASI, sehingga pemberian makanan lain

tidak diperlukan. Manfaat ASI terpenting terlihat dari kemampuannya membangun

sistem pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi terutama pencernaan. Frekuensi

menderita diare minimal pada anak yang mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan

yang tidak mendapatkannya. ASI tidak diberikan secara Eksklusif mendeskripsikan

terdapat pemberian makanan tambahan lain pada usia sebelum enam bulan. ASI

Eksklusif selain dapat memperkecil kemungkinan menderita diare, diketahui

mampu menurunkan mortalitas bayi enam kali karena infeksi saluran cerna tersebut

(Griffiths, Maguire, Heggenhougen & Quah, 2010).

ASI Eksklusif oleh WHO dan lembaga internasional lain telah dianjurkan

diberikan sampai enam bulan pertama dalam kehidupan anak, untuk menghindari

anak dari penyakit seperti diare dan berbagai penyakit infeksi. Pemberian makanan

tambahan atau minuman lain yang banyak terjadi pada berbagai budaya

memperbesar risiko anak mengalami gangguan nutrisi dan perkembangan.

Keberhasilan pemberian ASI Eksklusif merupakan tanggung jawab bersama karena

kegagalan menyusui berawal dari adanya tradisi tertentu di masyarakat dan

ketersediaan pengganti ASI yang dengan mudah ditemukan. Pola pemberian hanya

11
13

ASI sampai anak usia enam bulan, terutama di banyak negara sedang berkembang

telah terbukti mampu mengurangi tingkat keparahan penyakit serta angka kematian

bayi terutama mencegah terjadinya kegagalan pertumbuhan seperti stunting

(Pammi, dkk., 2015).

Manfaat ASI. ASI seorang ibu memiliki sejumlah manfaat sedangkan yang

berasal dari mamalia hanya sesuai bagi bayi dari jenis mamalia yang sama. Manfaat

ASI yang telah dibuktikan dengan berbagai penelitian diantaranya mencukupi

kebutuhan nutrisi. Komposisi nutrisi dalam ASI sangat unik dan sangat ideal untuk

pertumbuhan otak terutama pada tahun pertama kehidupan (Creasy, Resnik, Iams,

Lockwood, Moore & Greene, 2014).

ASI dapat mengatur komposisi tubuh serta mencegah obesitas. Rasionalitas

dibalik rendahnya resiko tersebut karena bayi yang menyusui belajar efektifitas

mengatur sendiri asupan energi yang menyebabkan terbentuknya kebiasaan

tersebut pada tahapan beriktunya di usia dewasa. ASI memiliki komponen bioaktif

yang berfungsi dalam program jangka panjang. Keterpaparan bayi sejak awal

terhadap leptin dan adiponektin yang terdapat di dalam ASI membantu mengatur

respon endokrin terhadap regulasi nafsu makan dan makanan (Lawrence &

Lawrence, 2016).

Bayi yang mendapat ASI akan mendapat proteksi terhadap penyakit infeksi

karena kandungan khusus zat imunitas tubuh leukosit dan zat anti mikoba lain. Hal

ini menyebabkan bayi tidak mudah menderita otitis media, sesak nafas, pneumonia,

dan infeksi gastrointestinal. Mekanisme perlindungan didapat melalui maturasi

normal dari pertahanan mukosa saluran cerna dan nafas seiring dengan
14

perkembangan kekebalan tubuh. Bayi yang mendapatkan ASI lebih mudah

terhindar dari stres (Creasy, et al, 204).

Penyakit non infeksi yang dapat dicegah dengan pemberian ASI secara

benar diantaranya penyakit kardiovaskular. Risiko mengalami penyakit ini

diketahui lebih rendah pada individu dewasa yang mendapatkan ASI semasa bayi.

Penyakit hipertensi, kolesterol dan diabetes lebih rendah insidennya, serta penyakit

kanker pada usia anak-anak 21 Bayi yang mendapatkan ASI, terlihat lebih matang,

merasa aman dan asertif, dan berkembang lebih cepat ketika diukur dengan skala

perkembangan. Tingkat perkembangan yang lebih baik diketahui dapat terjadi pada

bayi prematur yang mendapatkan ASI dibandingkan bayi prematur yang diberi susu

formula. Prestasi akademik anak yang mendapatkan ASI dikemudian hari

didapatkan lebih tingi (McKinney, James, Murray, Nelson , Ashwill, 2018).

ASI dapat mengurangi frekuensi serangan dan keparahan penyakit pada

bayi yang beresiko mengalami asma dan eksim setelah berusia dua tahun dan

sebagian penelitian mengemukakan perlindungan dapat berlanjut sampai masa

kanak-kanak. Anak yang memilki riwayat keluarga dengan dermatitis atopi, dapat

dikurangi risikonya dengan pemberian ASI (Lawrence & Lawrence, 2016). .

Komposisi ASI. ASI bukan merupakan berntuk cairan tubuh melainkan

sekresi dari kelenjar mammae yang mempunyai komposisi berubah-ubah. Sekresi

pertama yang diberikan ketika menyusui berbeda dengan sekresi terakhir.

Komposisi ASI yang dinamai dengan kolostrum berbeda dengan komposisi ASI

transisional dan yang matur. Perubahan terus terjadi setiap hari sesuai dengan

perkembangan setelah bayi lahir. Ini menjelaskan alasan kemampuan ASI dalam
15

memenuhi kebutuhan nutrisi bayi untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan

usianya. ASI mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral-mineral dan sel-sel,

yang berguna untuk membantu adaptasi usus bayi dalam melakukan fungsinya

sebagai alat pencernaan. Penelitian terkini mendapatkan bahwa terdapat lebih dari

200 unsur dengan susunan molekul yang luar biasa terkandung di dalam ASI.

Kejaiban ASI yang diciptakan untuk bayi terlihat dari senyawa yang merupakan

produk intermediet atau antara yang dibentuk dari sel-sel kelenjar mammae dan ada

produk atau senyawa yang hanya ada sebagai produk akhir. Nutrisi untuk bayi ini

mempunyai osmolaritas dan pH yang berbeda, sesuai dengan fisiologis bayi. ASI

mengandung cairan yang sebenarnya, koloid, membran-membran, membran yang

berikatan dengan globulin serta sel-sel kehidupan.

ASI sampai dengan 180 hari setelah melahirkan mengandung tiga koma

delapan persen lemak, nol koma sembilan persen protein, tujuh persen laktosa dan

nol koma dua persern mineral-mineral. Konsumsi bayi terhadap ASI sangat

bervariasi, diperkirakan pada siang hari mencapai 46 persen-58 persen dari

konsumsi per 24 jam. Konsentrasi lemak pada ASI ditemukan tertinggi pada pagi

hari sampai dengan menjelang siang. Variasi ini ditemukan pada kandungan lain

seperti laktosa, protein serta unsur lainnya. Ibu yang melahirkan bayi prematur

mempunyai kandungan nitrogen lebih tinggi dibandingkan ibu yang melahirkan

anak matur. Zat-zat yang telah disebutkan sebelumnya konsentrasinya pada ASI ibu

yang memiliki asupan nutrisi kurang, hampir mendekati ibu dengan nutrisi baik,

kecuali vitamin-vitamin yang larut dengan air seperti vitamin C, vitamin B1 dan

B12 mengalami defisiensi seperti halnya volume (Lawrence & Lawrence, 2016).
16

Faktor-Faktor Pemberian ASI Eksklusif. ASI Eksklusif telah diketahui

merupakan cara paling tepat untuk mempertahankan kesehatan dan kesejahteraaan

bayi, meskipun anak yang mendapatkan zat penting ini masih sedikit. Pemberian

ASI Eksklusif rendah ditemukan hampir di semua wilayah termasuk Indonesia dan

diketahui bahwa terdapat faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi ibu melakukan

praktik tersebut. Pengetahuan yang cukup terutama tentang manfaat ASI

merupakan faktor yang mempengaruhi, selanjutnya sikap positif, self efficacy, dan

sosio demgrafi (Malini, Abdullah, McFarlane, Evans, & Sari, 2018).

Pengetahuan. Pemberian informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan

merupakan merupakan keadaan yang bisa mempengaruhi ibu memberikan ASI

Eksklusif terhadap bayi. Ibu selama ini memberhentikan pemberian ASI karena

merasa anak sudah terlalu besar untuk mendapatkan makanan tambahan, dan mulai

enggan menghisap. Informasi yang diberikan dengan benar mengenai lamanya anak

seharusnya mendapatkan ASI dan keuntungan yang diperoleh selanjutnya

mendorong ibu memberikan ASI dengan rentang waktu yang benar (Ruan et al,

2019).

Sikap. Ibu dapat bersikap positif terhadap pemberian ASI Eksklusif

menjadi pendukung dengan kemampuan tinggi mempengaruhi terlaksananya

praktik ini. Pandangan ibu yang merasa bahwa susu formal lebih baik dibandingkan

ASI merupakan salah satu sikap negatif yang mempengaruhi praktik tersebut.

Kepercayaan bahwa yang diberikan pada anak merupakan yang terbaik, mendorong

pengambilan keputusan lebih memilih memberikan ASI dan berusaha untuk sukses
17

mempraktikkannya. Sikap tidak bergantung pada frekuensi melahirkan atau anak

yang telah dimiliki (Mohamed, Ochola, & Owino, 2018).

Efikasi Diri. Self-efficacy atau efikasi diri menjadi keadaan yang tidak

dapat dipisahkan sebagai pendukung keberhasilan ibu memberikan ASI sampai

anak usia enam bulan. Ibu yang mempunyai self-efficacy baik dapat mengatasi

berbagai masalah yang ditemukan selama proses menyusui. Permasalahan selama

pemberian ASI sering dialami ibu yang melakukannya untuk pertama kali. Kondisi

stres mudah terjadi karena ibu sensitif dengan berbagai tanggapan yang diberikan

tentang keadaan bayi, bahwa ASI yang keluar tidak dapat memenuhi kebutuhan.

Pengetahuan rendah dan dukungan keluarga tidak sesuai kebutuhan sedangkan

harapan tinggi menjadikan ibu mudah tertekan. Hal ini yang membutuhkan self

efficacy tinggi sehingga praktik menyusu dapat terlaksana, dan pada banyak

keadaan diketahui berhubungan dengan lamanya memberikan ASI (Rahayu, 2018).

Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Tindakan IMD menurut Mawaddah (2018),

menjadi salah satu keadaan yang diperlukan untuk kesuksesan ibu memberikan ASI

Eksklusif pada bayi. Sentuhan kulit bayi dengan ibu sejak pertama dapat

merangsang pengeluaran hormon oksitosin sehingga memperlancar produksi ASI.

Perjumpaan bayi dengan puting susu ibu mulai dari awal kehidupan, selain

menimbulkan ikatan, memperkuat daya hisap sehingga keberhasilan menyusu akan

lebih besar pada waktu selanjutnya

Budaya. ASI Eksklusif pemberiannya juga ditentukan salah satunya oleh

budaya setempat menurut Atika, Salimo, dan Dewi (2018). Budaya merupakan

persepsi seseorang atau sekelompok orang yang dipengaruhi oleh tekanan sosial
18

dan selanjutnya dipercaya kebenarannya serta diikuti. Ibu yang mendapatkan

dukungan dari budaya akan lebih mudah memperaktikkan ASI selama enam bulan

tanpa memberikan makan dan minumna lain dibandingkan dengan yang budaya

yang menentang.

Budaya pada bagian lain menurut Wajohi et al (2017) didapatkan

merupakan faktor penentu lamanya seorang ibu memberikan ASI Eksklusif.

Pemberian ASI Eksklusif rendah pada budaya yang menganggap kolostrum

merupakan sesuatu yang tidak baik diberikan pada bayi karena penampilannya yang

terkesan tidak bersih dengan warna kuning kental. Pendapat lain dari budaya yang

ditemukan rendah pemberian ASI pada bayi sampai dengan usia 6 bulan karena

anak usia tersebut selalu lapar sejak lahir, dan membutuhkan makanan lain sebelum

ASI lancar. Jumlah ASI yang masih sedikit sampai beberapa hari setelah byi lahir

dan anak yang menangis mejadi dasar adanya persepsi ini.

Pemberian cairan lain segera setelah bayi lahir merupakan budaya yang

umum dilakukan di banyak wilayah di Nigeria. Campuran air hangat dan berbagai

ramuan herbal, mulai dari eksrak daun, bunga, akar-akaran sampai santan.

Pemberian itu dilakukan sampai ibu memproduksi ASI yang cukup atau pada kasus

ibu yang meninggal segera setelah melahirkan. Pemberhentian ASI tergantung dari

praktik sebagian besar di lingkungan ibu tinggal. Beragam lama pemberian ASI

yang didapatkan, 1 bulan (2,1%), 2 bulan (2,6%), 3 bulan (20,6%), 4 bulan (21,8%),

5 bulan (14,4%), dan 6 bulan (22,2%) (Gebrie, Dessie, & Jemberie, 2018).

Dukungan Keluarga. Dukungan keluarga merupakan hal lain yang

didapatkan membantu pemberian ASI Eksklusif. Ibu yang tidak mendapatkan


19

dukungan ini lebih banyak yang tidak memberikan ASI Eksklusif (86,8%)

dibandingkan yang mendapatkan dukungan (69,5%). Dukungan keluarga meliputi

emosional, informasi, instrumental, serta dalam penilaian keputusan mempraktikan

tindakan terseut. (Ratnasari, Paramashanti, Hadi, Yugistyowati, Astiti, &

Nurhayati, 2017).

Dukungan Suami. Dukungan suami merupakan bagian lain yang

membantu ibu untuk mengambil keputusan memberikan ASI Eksklusif pada bayi.

Suami yang memberikan dukungan karena memiliki pemahaman baik mengenai

kolostrum, pemberian ASI pertama kali, mengetahui alasan anak menangis dan

alasan ibu tidak memiliki cukup ASI, sangat mungkin mempengaruhi pemberian

ASI pada bayi sesuai dengan yang dianjurkan (Gebrie, Dessie, & Jemberie, 2018).

Stunting

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya

malnutrisi dan/atau penyakit infeksi yang berlangsung kronis maupun berulang

serta ditunjukkan dengan nilai z- score TB/U <-2 SD dari median WHO Child

Growth Standart (WHO, 2010). Pertumbuhan linier ini merupakan indikator terbaik

untuk menentukan kesejahteraan seorang anak (Marzuki, 2016).

Stunting dikaitkan dengan under-developed otak, dengan konsekuensi

berbahaya yang berlangsung lama, termasuk berkurangnya kemampuan mental dan

kapasitas belajar, kinerja di sekolah yang buruk, dan meningkatnya risiko nutrisi

terkait penyakit kronik, seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas di kemudian hari

(IDAI, 2016; Prendergast dan Humphrey, 2014). Kurangnya nutrisi mempengaruhi

area otak yang terlibat dalam kognisi, memori dan keahlian lokomotorik. Otak
20

memerlukan energi utama saat awal masa kanak- kanak dan kebanyakan

pertumbuhan serebri terjadi pada dua tahun kehidupan pertama. Meskipun begitu,

hubungan antara pertumbuhan linear yang jelek dan terganggunya perkembangan

neuro belum dipahami dengan baik. Terlebih lagi, malnutrisi, defisiensi

mikronutrien (terutama besi), infeksi rekuren, kemiskinan, pendidikan maternal

yang rendah dan berkurangnya stimulasi kemungkinan mempengaruhi

pertumbuhan anak- anak (Prendergast dan Humphrey, 2014).

Patofisiologis. Stunting (tubuh yang pendek) mendeskripsikan kondisi nutrisi

kurang yang berlangsung lama yang membutuhkan masa tumbuh kembang anak

sehingga sehat lagi. Sebagian besar laporan menunjukkan hubungann tinggi badan

pendek maupun BBLR, perkembangan penggerakan serta keberanian kurang pada

umur anak kecil, penghargaan kecerdasan dan pendidikan kurang di umurnya kelak

(Gibney, 2008).

Menurut Supariasa, dkk (2002) kondisi malnutrisi pada awal kehidupan

anak akan berlanjut dalam setiap siklus kehidupan. Wanita usia subur serta wanita

hamil menderita KEK akan melahirkan anak BBLR., dan terus berlanjut menjadi

balita gizi kurang (stunting) serta terus berlanjut diusia sekolah dengan berbagai

macam dampaknya. Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan golden

age tumbuh kembangnya karena tidak ditangani secara tepat sehingga

dikhawatirkan mengalami lost generation. Malnutrisi yang terjadi pada manusia

harus dicegah secara baik, selain dampak pada perkembangan, masalah ini biasanya

tidak berdiri sendiri namun diikuti masalah kekurangan kandungan mikro.


21

Indikator Stunting. Tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah indikator

untuk mengetahui seseorang anak mengalami stunting atau normal. Tinggi badan

merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan pertumbuhan skeletal.

Dalam keadaan normal, tinggi badan seorang anak akan tumbuh seiring dengan

bertambahnya usia. Namun, pertumbuhan tinggi badan saja relatif kurang sensitif

terhadap masalah kekurangan gizi yang terjadi dalam waktu yang pendek. Oleh

karena itu, indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau serta erat

kaitannya dengan sosial ekonomi (Supariasa et al 2013; Jayanti, 2014).

Salah satu metode penilaian status gizi secara langsung yang paling banyak

digunakan dan dapat diterapkan untuk populasi dengan jumlah sampel yang besar

adalah antropometri. pada beberapa dasawarsa belakangan ini, antropometri telah

banyak digunakan untuk menilai status gizi masyarakat dan individu di Indonesia.

Antropometri yang menjadi indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur

beberapa parameter yaitu tinggi dan panjang badan. Tinggi badan merupakan

parameter yang penting untuk menunjukkan keadaan di masa lalu dan sekarang.

Pengukuran tinggi/panjang badan pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan

alat pengukur tinggi/panjang badan dengan presisi 0,1cm. (Supariasa et al, 2013).

Adapun, beberapa kelebihan penggunaan indeks TB/U antara lain 1)

merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau;

2) alat mudah dibawa-bawa dan harga murah; 3) pengukuran bersifat objektif.

Sedangkan kelemahannya berupa: 1) dalam penilaiannya harus disertai dengan

indeks lain (seperti BB/U), karena perubahan tinggi badan tidak terjadi dalam waktu

singkat; 2) ketepatan umur sulit didapat. Indikator TB/U menggambarkan masalah


22

gizi kronik, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian

makanan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak

menjadi pendek (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Kategori dan ambang batas penilaian status gizi berdasarkan indikator tinggi

badan menurut umur (TB/U) atau panjang badan menurut umur (PB/U) disajikan

pada tabel berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2010):

Tabel 1.

Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks PB/U atau
TB/U

Kategori Status
Indeks Ambang Batas (Z-Score)
Gizi
Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek < - 3 SD
(PB/U) atau Tinggi Badan Pendek -3 SD s/d ≤ -2 SD
menurut Umur (TB/U) anak Normal -2 SD s/d 2 SD
umur 0-60 bulan Tinggi > 2 SD
Sumber : Kepmenkes RI, 2010

Kondisi anak segera setelah lahir, memiliki panjang badan rata-rata

sepanjang 50 cm. Tinggi badan anak selanjutnya mencapai 71 cm pada usia 1 tahun,

dan dengan konsumsi gizi tepat akan mencapai 85 cm pada usia 2 tahun. Tinggni

badan 100 cm yaitu 2 kali panjang lahir dicapai pada usia 4 tahun, dan pada usia 6

tahun tingginya berkisar 130 cm. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh

seiring dengan bertambahnya umur. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi

badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama (Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia, 2013).


23

Tabel 2

Tinggi Badan dan Berat Badan Rata-rata Anak Umur 0-6 Tahun

No Kelompok Umur Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm)


1 0 - 6 bulan 6 61
2 7 - 11 bulan 9 71
3 1 - 3 tahun 13 91
4 4 – 6 tahun 19 112
Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2013

Pencegahan stunting. Menurut Kementrian Kesehatan (2016) masalah balita

pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, karenanya upaya perbaikan

harus meliputi upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung

(intervensi gizi spesifik) serta upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan

secara tidak langsung (intervensi gizi sensitif). Intervensi gizi spesifik umumnya

dilakukan di sektor kesehatan dan intervensi gizi sensitif melibatkan berbagai

sektor ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, dan sanitasi lingkungan,

penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial. Pencegahan stunting dilakukan

melalui pelaksanaan 1000 HPK. Implementasi tindakan dilakukan untuk mengatasi

permasalahan masa kehamilan sampai dua tahun. Penanggulangan tinggi badan

tidak sesuai dengan umur baik dilaksanakan pada 1000 hari pertama kehidupan,

yang dikenal dengan masa emas.

Kasus stunting yang terus berlanjut di masyarakat menyebabkan Kementrian

Kesehatan RI (2018) menyebarkan informasi pentingnya mencegah keadaan ini

dengan meningkatkan kesadaran masyarakat. Kasus stunting diketahui belum

sepenuhnya disadari dan dipahami masyarakat serta alasan perlunya mencegah


24

anak mengalami hal tersebut. Latar belakang pengetahuan masyarakat Indonesia

sebagian besar tergolong tidak memadai dan dampak stunting yang sangat

merugikan, menjadi penyebab Kementrian Kesehatan RI menekankan masalah

stunting tidak hanya pada penanggulangan namun pencegahan. Tahapan yang

penting diperhatikan dalam pencegahan stunting meliputi pola makan, pola asuh

dan perbaikan sanitasi serta akses air bersih. (1) pola makan fokus perhatian karena

stunting dipengaruhi oleh rendahnya akses terhadap makanan dari segi jumlah dan

kualitas gizi, dengan tingkat keragaman kurang. Pengenalan terhadap pola makan

''Isi Piringku'' dengan gizi seimbang sangat diperlukan sehingga keluarga

memahami bahwa dalam satu porsi makanan mempunyai komposisi setengah

piring sayur dan buah dan setengah berikutnya berisi sumber protein (baik nabati

maupun hewani) dengan proporsi lebih banyak daripada karbohidrat. Hal ini wajib

menjadi kebiasaan keluarga sehari-hari; (2). pola asuh. Istilah ini menggambarkan

bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya stunting yaitu aspek perilaku,

terutama pola asuh tidak tepat dalam praktik pemberian makan bagi bayi dan balita.

Penangananan pada aspek ini dimulai dari pendidikan tentang kesehatan reproduksi

dan gizi bagi remaja sebagai cikal bakal keluarga termasuk calon ibu, sehingga

didapatkan pemahaman bahwa memenuhi kebutuhan gizi saat hamil disertai dengan

pemberian stimulasi bagi janin, termasuk memeriksakan kandungan empat kali

selama kehamilan, sangat penting dilakukan. Alasan pendidikan pencegahan

stunting diarahkan pada ibu karena pola asuh dan status gizi sangat dipengaruhi

oleh pemahaman orang tua (seorang ibu) sebagai pengatur utama kesehatan dan gizi
25

di dalam keluarga. Tindakan berikutnya yang didorong untuk diterapkan ibu

meliputi bersalin di fasilitas kesehatan serta mengutamakan inisiasi menyusu dini

(IMD). Upaya ibu melahirkan memprioritaskan bayi mendapatkan kolostrum air

susu ibu (ASI), memberikan ASI Eksklusfi sampai bayi berusia 6 bulan yang

dilanjutkan sampai usia 2 tahun disertai makanan pendamping ASI dan tidak

mengabaikan pemantauan tumbuh kembang anak ke Posyandu setiap bulan, serta

tidak melalaikan hak anak mendapatkan kekebalan dari penyakit berbahaya melalui

imunisasi merupakan serangkaian pencegahan yang diharapkan dapat

menghindarkan anak mengalami stunting; (3). sanitasi dan akses air bersih

merupakan bagian lain yang turut mempengaruhi kejadian stunting. Ketersediaan

sanitasi yang memadai merupakan tantangan yang mayoritas dijumpai pada

masyarakat desa, dan umum disertai dengan rendahnya akses terhadap air bersih.

Kondisi yang mendekatkan anak pada risiko menderita penyakit infeksi. Tindakan

pencegahan dengan perbaikan hal ini penting dilakukan diikuti dengan pendidikan

untuk membiasakan mencuci tangan dengan sabun menggunakan air mengalir,

serta tidak buang air besar di sembarang tempat.

Kebijakan dan strategi nasional pengendalian stunting. Kebijakan tentang

pengendalian stunting telah tercantum dalam Peraturan Presiden Republik

Indonesia (PERPRES RI tahun 2013) bahwa ditujukan pada pengembangan bahan

serta nutrisi pada RPJMN 2010-2014 dan RAN-PG 2011-2015 bertujuan

mengurangi malnutrisi, yaitu kekerdilan. Terdapat dua indikator outcome yang

berkaitan dengan gizi yaitu prevalensi kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk)
26

sebesar kurang dari 15 persen dan prevalensi stunting (pendek) sebesar 32 persen

pada akhir 2014. Sasaran program gizi lebih difokuskan terhadap kelompok 1000

hari pertama kehidupan pada tataran global disebut Scaling Up Nutrition (SUN)

dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan. Merupakan tanggapan internasional

untuk kedaan status gizi dan ketertinggalan yang dialami negara berkembang.

Komitmen ini dinyatakan melalui Peraturan Presiden RI Nomor. 42 (2013), pada

30 Oktobernya diluncurkan “Gerakan Nasional Perce-patan Perbaikan Gizi 1000

HPK”.

Dampak Stunting pada Balita Stunting (kerdil) bisa mempengaruhi terus

menerus kehidupan balita. Menurut organisasi kesehatan dunia tahun 2013

penyebab balita pendek ada dua yaitu jangka panjang dan pendek. Efek waktu dekat

dari stunting yaitu kondisi tubuh pendek yang diperlihatkan dari kondisi nutrisi

kurang dan terjadi sejak lama serta membutuhkan proses untuk balita kembali

normal. Berat badan kurang anak kerdil menunjukkan sikap yang berbeda.

Kementrian Kesehatan (2016) telah membagi dua dampak buruk dari

stunting, dampak dalam waktu dekat yaitu terhambatnya pertumbuhan intelegensi,

perkembangan badan serta pembentukan sistem tubuh. Sedangkan dampak waktu

yang akan lama adalah kecerdasan dan kemampuan belajar yang kurang baik, dan

rentan terhadap penyakit, berpotensi diabetes millitus, obesitas, sakit jantung, usia

lanjut yang terbatas dan kemampuan bersaing yang kurang, sehingga berimbas

terhadap rendahnya tingkat ekonomi.


27

Perempuan saat mulai dewasa memiliki risiko semakin meningkat terhadap

angka kematian ibu dan bayi serta tidak cukup bulan. wanita yang saat kecilnya

menderita perlambatan perkembangan menyebabkan fisik yang kecil dibandingkan

tidak mengalami gangguan, sebab risiko pada kejadian obstructed labor (partus

macet) akan lebih tinggi (Departemen Gizi, 2014).

Potensi anak stunting mengalami berbagai hambatan di kehidupan masa

depannya sangat besar. Gangguan kognitif dan kemampuan untuk produktif,

demikian halnya dengan kemungkinan menderita penyakit lebih tinggi karena

sistem kekebalan tubuh rendah, merupakan beberapa keadaan yang akan menjadi

penghalang anak memiliki masa depan yang cerah. Konsekuensi stunting pada

masa akan datang menjadi dasar perkiraan adanya gangguan pertumbuhan ekonomi

terhadap keluarga dan negara bila prevalensi stunting tinggi. Ketimpangan ekonomi

karena produktivitas rendah akan mengulangi siklus stunting karena terkait dengan

berbagai ketidaksetaraan yang ditemukan pada golongan ekonomi lemah (FAO &

PAHO., 2017).

Faktor pendukung kejadian Stunting. Keadaan stunting sebenarnya

bermula dari saat ibu hamil yang menyebabkan anak mengalami kekurangan

makanan sejak dari dalam kandungan. Kurang nutrisi sering terjadi di trimester

terakhir kehamilan. Anak yang lahir akan mengalami kurang nutrisi karena adanya

kegagalan dalam pemberian ASI, asupan makanan yang rendah sumber tenaga,

infeksi serta kontaminasi pada air. Makanan tinggi sumber energi merupakan hal

penting untuk mencegah malnutrisi yang prevalensinya tinggi dijumpai pada pasien

di rumah sakit negara berkembang. Anak yang menolak makan atau pemilih dalam
28

mengkonsumi makanan merupakan faktor pendukung lain kurangnya nutrisi anak

(Geissler & Powers, 2009).

Stunting pada anak yang menyebabkan anak mengalami berbagai

dampak buruk termasuk kerentanan terhadap paparan infeksi, tinggi angka

kejadiannya pada anak yang kekurangan makan dan pola pembeian makan yang

tidak tepat. Hal ini sering ditemukan pada negara-negara tergolong ekonomi lemah

dan menengah seperti negara di wilauah Afrika Sub Sahara, meskipun negara

ekonomi maju tidak terhindar dari kejadian stunting. Tingginya kemungkinan anak

yang hidup di pedesaan miskin Afrika mengalami stunting karena kontribusi

orangtua terhadap ekonomi kurang sehingga tidak mempunyai cukup dana untuk

menyediakan makanan bernutrisi. Jumlah anggota keluarga yang banyak menjadi

pendukung kuranngnya asupan nutrisi anak. Keterbatasan lain yang terjadi karena

kemiskinan meliputi akses terhadap pelayanan kesehatan (Omaswa & Crisp, 2014).
29

Landasan Teoritis

Landasan teoritis dari penelitian ini dilihat dari gambaran berbagai hasil

penelitian yang menggambarkan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pemberian ASI Eksklusif, seperti pengetahuan, sikap, self-efficacy, budaya,

dukungan keluarga, dan dukungan suami. Landasan berbagai faktor tersebut seperti

tampak pada skema berikut ini :

Sosio Demografi

1. Pengetahuan Pemberian ASI


2. IMD Eksklusif
3. Sikap.
4. Efikasi Diri
Ya Tidak
5. Budaya
6. Dukungan Keluarga
7. Dukungan Suami Nutrisi Malnutrisi
Adekuat (Stunting, Wasting)

Gambar 4. Kerangka Teori


30

Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

1. Pengetahuan
2. Sikap.  Pemberian ASI
3. Self-efficasy Eksklusif pada
4. Budaya keluarga petani yang
memiliki anak stunting
5. Dukungan Keluarga

6. Dukungan Suami

Gambar 4. Kerangka Konsep

Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh pengetahuan terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga

petani yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019.

2. Ada pengaruh IMD terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga petani

yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

3. Ada pengaruh sikap terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga petani

yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

4. Ada pengaruh sikap terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga petani

yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

5. Ada pengaruh self-efficacy terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga

petani yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

6. Ada pengaruh budaya terhadap pemberian ASI Eksklusif pada keluarga petani

yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019


31

7. Ada pengaruh dukungan keluarga terhadap pemberian ASI Eksklusif pada

keluarga petani yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

8. Ada pengaruh dukungan suami terhadap pemberian ASI Eksklusif pada

keluarga petani yang memiliki anak stunting di Kabupaten Pidie tahun 2019

Anda mungkin juga menyukai