Luka di September
Cerpen Karangan: Hesti Lestari
Kategori: Cerpen Cinta Sedih
Lolos moderasi pada: 22 July 2019
“ayo berangkat…”
“iya, ayo…”
“jangan males kalo di sekolah, jangan ganjen juga ya sayang.. baiklah biar kau tutup”
“ya sudah ayo, jangan banyak bicara..”
Tuuutttt… Telepon darinya kumatikan.
Dia adalah lelaki yang telah bersamaku dalam satu setengah tahun terakhir ini. Dia adalah
Zatman Fauzanial Afakhri, lelaki tangguh berpendirian kuat namun juga penyabar. Aku selalu
mencintainya, walau dengan cara seperti ini, mengacuhkannya.
Aku Zahira Suci Lestari, gadis 17 tahun yang saat ini duduk di bangku kelas XII di salah satu
SMA favorit di kotaku. Aku dan Zatman merupakan pasangan LDR yang bisa dibilang cukup
sukses. Menjalani hubungan jarak jauh selama setahun 6 bulan. Aku tinggal di Bandung,
sedangkan ia di Jogja, jarak yang terlampau jauh untuk ditempuh anak SMA. Tapi kami berusaha
menabung agar dapat bertemu. Hingga akhirnya kami putuskan untuk bertemu pada libur akhir
semester ini karena tabungan kami sudah cukup.
Caraku mencintainya memang berbeda, karena aku percaya seperti apapun aku, dia tetap akan
menerimaku. Aku bersyukur mendapatkannya, walau tak pernah kutunjukkan rasa syukurku di
hadapannya.
Aku menjalani hari-hariku bersamanya, menceritakan berbagai hal yang tak penting sekalipun.
Bercanda kemana suka, kadang kita juga bermarahan, namun tak pernah mengucapkan kata-kata
yang membuat hubungan kami berakhir.
Kucoba menghubunginya kembali, aku ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi
nihil, teleponnya tak bisa kuhubungi. Aku terus menangis sembari sesekali mengumpat
perlakuannya. Aku tak terima, tak pernah aku menangis sedemikian hebatnya sejak berhubungan
dengannya. Lalu bagaimana dengan libur akhir semester nanti, yang kita janjikan untuk bertemu.
Menghabiskan waktu bersama. Aku mengurung diri. Tak nafsu rasanya saat melihat makanan
yang ibu berikan, padahal itu makanan favoritku.
Tring. Suara pesan masuk di hp ku. Aku bergegas melihatnya, kupikir Zatman berubah pikiran
dan kembali menghubungiku.
“Zahira..?” isi pesan itu. Saat kulihat, ah, aku tak mempunyai mood yang baik untuk
membalasnya, karena ternyata itu bukan dari Zatman, melainkan dari Rio, mantan pacarku dulu
yang menghancurkan perasaanku sebelum akhirnya diperbaiki oleh Zatman.
“ada apa dia menghubungiku? Sudah cukup rasanya hatiku koyak karena Zatman. Apa dia ingin
menabur kembali luka di hatiku?” aku bergumam sendiri. Tak kubalas pesannya.
Seminggu setelah kejadian itu, tepatnya tanggal 8 September. Tanggal kesayanganku dengan
Zatman. Ah, aku masih saja mengingatnya, aku masih saja mengharapkannya. Kupikir Zatman
akan menghubungiku hari ini, mengucapkan kata-kata indah yang selalu ia lakukan setiap
tanggal 8.
“Ah, rupanya sekarang tanggal 8. Zatman? Tak ingatkah kau? Ini tepat 19 bulan hubungan
kita…”
Butiran bening kembali meluncur dari pelupuk mataku. Aku sungguh merindukannya. Tapi
Zatman tak lagi menghubungiku. Dengan kesal aku membuka akun sosial media yang telah
cukup lama tak kubuka. Aku terkejut, melihat sesuatu yang menusuk hatiku kembali.
“apa ini?
“Zatman?”
“Bersama siapa dia?”
“Seorang wanita?”
Kembali aku dibuat menangis olehnya. Jadi ini alasannya berbuat seperti itu padaku? Dia
rupanya telah bersama orang lain. Terlihat senyum di bibirnya. Apa Zatman bahagia?
Ah, terus saja aku bertanya tanpa ada yang menjawab. Aku masih tak bisa menerima
perlakuannya. Ini sungguh menyakitkan bagiku. Kembali aku memurung diri.
Setelah dua minggu aku lewati dengan sesak yang masih memuncak, aku pun kembali
melakukan aktivitasku seperti biasa, mencoba mencari kebahagiaan dengan menyibukkan diri
agar aku bisa melupakannya. Walau rasa ini masih meluap untuknya, aku mencoba meredamnya.
Aku menjadi gadis yang sibuk, aku mencoba menulis cerpen dan mengirimkannya ke berbagai
situs cerpen. Hingga sedikit demi sedikit aku mengubur ingatan tentangnya. Berbagai cerpen
telah aku buat, dan banyak apresiasi baik datang untukku. Aku bahagia! Dengan hidupku yang
sekarang tanpanya. Ya. Aku bahagia, Zatman.
“Kau benar. Aku tetap harus berbahagia tanpamu. Belajar dari luka yang tak terperi, dari
ketidakpastian yang kau beri. Aku berusaha. Berusaha bahagia tanpamu, dengan caraku. Dengan
usahaku. Dan jika kau tahu, aku berhasil menghadapi semua ini, Zatman. Kuharap hari-hariku,
waktu-waktuku kedepannya tanpamu, aku tetap bahagia. Semoga kau pun begitu. Berbahagialah
dan selamat tinggal, Zatman Fauzanial Afakhri”. Kutulis surat itu untuknya. Pada bagian cerpen
yang kubuat. Semoga ia membacanya.
Aku mencoba memejamkan mata, menghilangkan semua penat dan juga ingatan tentangnya.
30 september 2017,
“apakah seperti ini rasanya penyesalan? Tak bisakah kau tak membuat aku menyesal karena
menyalahkanmu, Zatman? Tak bisakah aku mengakhiri penyesalan mengenai rindu yang tak
tersampaikan. Aku rindu padamu, Zatman. Bisakah kau tak pergi? Kau adalah laki-laki yang
membuatku tak merasakan terabaikan tapi kau pula yang mematahkan. Aku ingin bersamamu
lebih lama, menikmati sehari kita berdua. Merasakan hangat tubuhmu dalam pelukan. Zatman,
aku mencintaimu dalam segala hal yang kurasakan”