Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia akan mengalami bonus demografi pada 2030, di mana angkatan usia
produktif akan mendominasi populasi penduduk dan menjadi penyangga
perekonomian. Bonus demografi yang akan dimiliki Indonesia yaitu Angkatan usia
produktif (15-64 tahun) yang diprediksi mencapai 68 persen dari total populasi dan
angkatan tua (65 ke atas) sekitar 9 persen. Tahun 2017, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) sebesar 70,81 atau tumbuh 0,90 persen dibandingkan tahun 2016.
pemerintah terus melakukan penurunan prevalensi stunting.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi dibawah lima
tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga tinggi badan anak tidak sesuai
dengan usianya. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik
pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -
2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan menurut WHO (WHO,
2010).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan bahwa
prevalensi stunting di Indonesia sebesar 30,8% berdasarkan hasil pengukuran TB/U,
hasil tersebut terdiri dari pendek 17,1% dan sangat pendek 12,8% (Kemenkes, 2018).
Prevalensi stunting pada balita di Jawa Barat sebesar 11,7% sangat pendek dan 19,4%
pendek (Kemenkes, 2018).
Prevalensi stunting di Purwakarta terbilang tinggi sebesar 30.9% (PSG, 2017).
Nilai tersebut merupakan kontribusi prevalensi stunting dari berbagai Kecamatan
yang ada di purwakarta, salah satunya adalah Kecamatan Sukatani merupakan salah
satu kecamatan di kabupaten Purwakarta yang memiliki masalah stunting yang tinggi,
dengan prevalensi 26.53% merupakan peringkat ke 2 setelah Kecamatan Wanayasa
pada tahun 2019.
Stunting di sebabkan oleh faktor tidak langsung dan faktor langsung, faktor
tidak langsung meliputi, pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan,
urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan,
pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Faktor langsung terdiri dari
asupan gizi, riwayat infeksi, pengetahuan gizi ibu dan keluarga sadar gizi
(KADARZI), ASI, dan MPASI (Wiyogowati, 2012).
Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik akan berpengaruh terhadap pemilihan
makanan yang seimbang (Devi, 2012). Pengetahuan ibu terhadap gizi merupakan
salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan pada kejadian stunting (De &
Borghi). Menurut Olsa (2017), peran ibu sangat penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak karena anak membutuhkan pehatian dan dukungan orang tua.
Untuk mencapai pertumbuhan optimal WHO dan Unicef merekomendasikan
pemberian ASI pasca 30 menit bayi dilahirkan, ASI eksklusif, MPASI pada usia 6-24
bulan.
Air Susu Ibu (ASI) adalah cairan yang keluar dari payudara seorang ibu untuk
bayi. ASI merupakan makanan bayi dengan kandungan gizi yang sempurna, praktis,
mudah, dan bersih (Walyani, 2015). Pemberian ASI mulai dari 0-6 bulan disebut
dengan ASI ekslusif. Pemberian ASI eksklusif yaitu bayi tidak diberikan apapun,
kecuali ASI (Yuliarti, 2010). Selain itu, MPASI yang baik sangat penting bagi
tumbuh kembang anak. Pemberian MPASI merupakan proses pembelajaran untuk
memperkenalkan anak dengan berbagai jenis makanan. Perilaku responsif pada
pemberian makan masih sangat rendah dibeberapa negara dan diduga berkontribusi
terhadap kejadian malnutrisi (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

B. Identifikasi Dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, recana intervensi yang akan
dilakukanya itu intervensi pada anak-anak stunting di Desa Sukatani, Kecamatan
Sukatani, Kabupaten Purwakarta.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka, perumusan masalah
pada penelitian ini adalah hubungan antara pengetahuan ibu, ASI, dan MPASI
terhadap kejadian stunting di Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani, Kabupaten
Purwakarta.
C. Tujuan
1. Mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan stunting.
2. Mengetahui faktor penyebab stunting di Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani,
Kabupaten Purwakarta.
3. Mampu menentukan program intervensi gizi.
4. Mampu menentukan prioritas intervensi gizi dengan pendekatan alternatif analisis
pemecahan masalah.
5. Mampu menyusun rencana operasional intervensi.
6. Mampumelakukan monitoring dan intervensi gizi yang telah dilakukan.
D. Manfaat
1. Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi
bagi responden untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting
serta dapat melakukan upaya pencegahan stunting.
2. Bagi Masyarakat
Hasil peneliatian ini diharapkan dapat memberikan gambaran faktor-faktor
yang berhubungan dengan stunting di Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani,
Kabupaten Purwakarta dan menjadi gambaran bagi pihak-pihak terkait dalam
menentukan kebijakan.
3. Bagi Institusi
Hasil peneliatian ini diharapkan dapat memberikan gambaran faktor-faktor
yang berhubungan dengan stunting di Desa Sukatani, Kecamatan Sukatani,
Kabupaten Purwakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Stunting
a. Definisi Stunting
Stunting atau kekurangan gizi kronik merupakan bentuk lain
darikegagalan pertumbuhan. Kekurangan gizi kronik adalah keadaan yang
sudah terjadi dalam waktu yang lama bukan seperti kekurangan gizi akut.
Anak yang mengalami stunting sering terlihat memiliki badan yang
proporsional, namun sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi
badan normal yang dimiliki anak seusianya (Yusdarif, 2017). Stunting
merupakan gangguan pertumbuhan linear yang dapat juga disebabkan adanya
penyakit infeksi kronis maupun berulang yang ditunjukkan dengan nilai Z-
Score tinggi badan menurut usia (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD)
(pendek) dan kurang dari –3 SD (sangat pendek) berdasarkan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study)(World Health
Organization, 2012).
Status gizi pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarjab
pada indeks panjang badan menurut usia (PB/U) atau tinggi badan menurut
usia (TB/U) dan diistilahkan menjadi stunted (pendek) dan severely stunted
(sangat pendek).Kategori status gizi berdasarkan indeks panjang badan
menurut usia (PB/U) atau tinggi badan menurut usia (TB/U) anak usia 0-60
bulan dibagi menjadi sangat pendek, pendek, normal, dan tinggi (World
Health Organization, 2012). Pada tabel 2.1 disajikan kategori dan ambang
batas status gizi stunting.

Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Stunting


Indeks Status Gizi Z-Score
PB/U atau TB/U Sangat Pendek < -3 SD
Pendek -3 SD s/d < -2 SD
Normal -2 SD s/d +2 SD
Tinggi > +2 SD
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2011

Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh asupan zat-zat


gizi yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya.
Stunting dapat juga terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi
yang sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat
kurang, rendahnya kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga
dapat menghambat pertumbuhan (Unicef, 2009).
b. Faktor Penyebab Stunting
Penyebab stunting sangat beragam dan kompleks, namun secaraumum
dikategorikan menjadi tiga faktor yaitu faktor dasar (basic factors),faktor yang
mendasari (underlying factors), dan faktor dekat (immediatefactors) (Udoh &
Amodu, 2016). Faktor ekonomi, sosial, politik, termasuk dalam basic factors,
faktor keluarga, pelayanan kesehatan termasuk dalam underlying factors
sedangkan faktor diet dan kesehatan termasuk dalam immediate factors.
Faktor keluarga seperti tingkat pendidikan orang tua, kondisi sosial ekonomi,
dan jumlah anak dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya stunting.
Kondisi lingkungan di dalam maupun di sekitar rumah juga dapat
mempengaruhi terjadinya stunting. Lingkungan yang kotor dan banyak polusi
menyebabkan anak mudah sakit sehingga dapat mengganggu pertumbuhan
dan perkembangannya (Udoh & Amodu, 2016). Berikut ini merupakan faktor
risiko stunting pada anak usia 6-12 bulan.
1) Asupan Makanan
Asupan makanan berkaitan dengan kandungan zat gizi yangterdapat
di dalam makanan yang dikonsumsi. Asupan makanmerupakan salah satu
faktor risiko stunting secara langsung. Asupanmakan yang dikonsumsi
oleh anak usia 6-12 bulan terdiri dari ASIeksklusif dan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) (World Health Organization, 2003).
Zat gizi pada ASI hanya memenuhi kebutuhan gizi bayi sampai usia
6 bulan, untuk itu ketika bayi berusia 6 bulan perlu diberi makanan
pendamping ASI dan ASI tetap diberikan sampai usia 24 bulan atau lebih.
Meskipun sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan zat gizi secara lengkap,
pemberian ASI tetap dianjurkan karena dibandingkan dengan susu formula
bayi, ASI mengandung zat fungsional seperi imunoglobin, hormon
oligosakarida, dan lain-lain yang tidak terdapat pada susu formula bayi.
Makanan Pendamping ASI pertama yang umum diberikan pada bayi di
Indonesia adalah pisang dan tepung beras yang dicampur dengan ASI
(Galetti dkk, 2016). Berikut disajikan pada tabel 4.2 angka kecukupan gizi
per hari untuk anak usia 0 – 36 bulan.
Tabel 4.2 Angka Kecukupan Gizi Anak Usia 0 – 36 bulan Per Hari
Golongan Usia
Komponen
0 – 6 bulan 7 – 11 bulan 12 – 36 bulan
Energi (kkal) 550 725 1125
Protein (g) 12 18 26
Lemak (g) 34 36 44
Karbohidrat (g) 58 82 155
Serat (g) 0 10 16
Air (ml) - 800 1200
Vitamin A (mcg) 375 400 400
Vitamin D (mcg) 5 5 15
Vitamin E (mcg) 4 5 6
Vitamin K (mg) 5 10 15
Vitamin C (mg) 40 50 40
Vitamin B1 (mg) 0.3 0.4 0.6
Vitamin B2 (mg) 0.3 0.4 0.7
Vitamin B3 (mg) 2 4 6
Vitamin B9 (mg) 65 80 160
Vitamin B12 (mg) 0.4 0.5 0.9
Zat Besi (mg) 7 8 9
Sumber: Kementerian Kesehatan, 2013
World Health Organizationmerekomendasikan agar pemberian
MPASI memenuhi 4 syarat, yaitu tepat waktu, bergizi lengkap,cukup dan
seimbang, aman, dan diberikan dengan cara yang benar (World Health
Organization, 2003). (Galetti dkk, 2016). Jika bayi diberikan makanan
pendamping ASI terlalu dini (sebelum enam bulan) maka akan
meningkatkan risiko penyakit diare dan infeksi lainnya. Selain itu juga
akan menyebabkan jumlah ASI yang diterima bayi berkurang, padahal
komposisi gizi ASI pada 6 bulan pertama sangat cocok untuk kebutuhan
bayi, akibatnya pertumbuhan bayi akan terganggu. Praktik pemberian
MPASI pada anak usia dibawah dua tahun dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain faktor predisposisi yang meliputi pendapatan
keluarga, usia ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendidikan ibu, dan jumlah balita
dalam keluarga; faktor pendorong yang meliputi penyuluhan gizi,
dukungan anggota keluarga, dan dukungan kader posyandu dan petugas
kesehatan; serta faktor pendukung yaitu adanya partisipasi ibu ke
posyandu (Saaka dkk, 2015).
Usia 6-9 bulan adalah masa kritis untuk mengenalkan makanan padat
secara bertahap sebagai stimulasi keterampilan oromotor. Jika pada usia di
atas 9 bulan belum pernah dikenalkan makanan padat, maka kemungkinan
untuk mengalami masalah makan di usia batita meningkat.26 Oleh karena
itu konsistensi makanan yang diberikan sebaiknya ditingkatkan seiring
bertambahnya usia. Mula-mula diberikan makanan padat berupa bubur
halus pada usia 6 bulan. Makanan keluarga dengan tekstur yang lebih
lunak (modified family food) dapat diperkenalkan sebelum usia 12 bulan.
Pada usia 12 bulan anak dapat diberikan makanan yang sama dengan
makanan yang dimakan anggota keluarga lain (family food) (Sawadogo
dkk, 2006). Pada tabel 4.3 disajikan prinsip pemberian ASI dan tabel 4.4
jenis dan frekuensi pemberian MPASI.
Tabel 4.3 Prinsip Pemberian ASI
Usia
Komponen
6 – 8 bulan 9 – 11 bulan 12 – 24 bulan
Jenis  1 jenis bahan  3 – 4 jenis Makanan
dasar (6 bulan) bahan dasar keluarga
 2 jenis bahan (disajikan
dasar (7 –gg- 8 secara terpisah
bulan) atau dicampur)
Tekstur Semi cair Makanan yang Padat
(dihaluskan), dicincang halus
secara bertahap atau lunak
kurangi campuran (disaring kasar),
air sehingga ditingkatkan
menjadi bertekstur sampai semakin
semi padat kasar sehingga
bias digenggam
Frekuensi Makanan utama 2 Makanan utama Makanan utama
– 3 kali sehari, 3 – 4 kali sehari, 3 – 4 kali sehari,
camilan 1 – 2 kali camilan 1 – 2 camilan 1 – 2
sehari kali sehari kali sehari
Porsi setiap Dimulai 2 – 3 ½ mangkuk kecil ¾ sampai 1
makan sendok makan dan atau setara mangkuk kecil
ditingkatkan dengan 125 ml atau setara
bertahap sampai dengan 175 –
½ mangkuk kecil 250 ml
atau setara dengan
125 ml
ASI Sekehendak bayi Sekehendak bayi Sekehendak bayi
Sumber: World Health Organization, 2003
Tabel 4.4 Jenis dan Frekuensi Pemberian MPASI
Usia Jenis Pemberian Frekuensi/hari
6 – 8 bulan ASI dan makanan Usia 6 bulan:
lumat (sari Teruskan ASI dan makanan
buah/bubur) lumat 2 kali sehari
Usia 7 – 8 bulan:
Teruskan ASI dan makanan
lumat 3 kali sehari
9 – 11 bulan ASI dan makanan Teruskan ASI dan makanan
lunak atau cincang lunak 3 kali ditambah
makanan selingan 2 kali sehari
12 – 24 bulan ASI dan makanan Teruskan ASI dan makanan
keluarga keluarga 3 kali sehari
ditambah makanan selingan 2
kali sehari
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014
Laju pertumbuhan anak baduta lebih cepat daripada anak usia
prasekolah, sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif lebih besar.
Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya,
tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara
pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Oleh karena itu,
pola makan anak baduta harus sangat diperhatikan oleh pengasuh atau
orang tua, dimana porsi makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan
frekuensi yang sering (Hijra dkk, 2016).
Kekurangan atau kelebihan zat gzi pada periode usia 0-2 tahun
umumnya bersifat ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup
jangan pendek dan jangka panjang. Kekurangan gizi pada anak
dihubungkan dengan defisiensi makronutrien dan mikronutrien. Anak yang
mengalami defisiensi asupan protein pada masa seribu hari pertama
kehidupan dan berlangsung lama meskipun asupan energinya tercukupi
akan mengalami hambatan pada proses pertumbuhan tinggi badan
(Millward, 2017).Stunting akan mempengaruhi perkembangan otak dalam
jangka panjang yang selanjutnya memberikan dampak pada kemampuan
kognitif dan prestasi pendidikan anak. Selain itu, gangguan pertumbuhan
linear juga akan mempengaruhi daya tahan tubuh serta kapasitas kerja
(Tessema dkk, 2013).
2) ASI Ekslusif
ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah bayiyang
diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, madu, air
teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya,
bubur, biskuit dan tim. ASI merupakan makana yang ideal diberikan
kepada bayi sehingga pemberian ASI secara eksklusif dianjurkan selama
masih mencukupi kebutuhan bayi. Salah satu cara untuk meningkatkan
produksi ASI sehingga pemberian ASI secara eksklusif dapat berhasil
adalah dengan inisiasi menyusui dini (IMD) (Lonnerdal, 2000). Inisiasi
menyusui dini (IMD) adalah pemberian ASI (air susu ibu) pada 1 jam
pertama atau <1 jam setelah melahirkan dengan cara kontak dengan kulit
secara langsung.
B. Kerangka Teori

Stunting

Asupan Makan Anak

ASI Eksklusif MPASI

Status Gizi Ibu Pola Asuh

Pengetahuan Gizi Ibu

Pendidikan Ibu
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan jenis rancangan cross sectional. Cross sectional
merupakan penelitian yang mempelajari dinamika kolerasi antara faktor resiko dengan
efek, melalui pendekatan, observasi dan pengumpulan data (Sudigdo Sastroasmoro dan
Sofyan Ismael, 1995).
B. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat
Penelitian ini akan dilakukan di posyandu desa Sukatani kecamatan Sukatani,
Kabupaten Purwakarta.
2. Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Desember 2019 sampai dengan
Maret 2020.
C. Populasi Dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah balita stunting di desa Sukatani
kecamatan Sukatani, Kabupaten Purwakarta.
2. Sampel
Sampling pada penelitian ini menggunakan teknik non probability sampling
dengan jenis consecutive sanpling yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi
kriteria akan masuk menjadi sampel.
3. Kriteria inklusi :
a. Status gizi stunting
b. Orang tua bersedia di wawancara
c. Berusia 6 bulan-5 tahun
4. Kriteria ekslusi
Responden mengundurkan diri menjadi subjek pada saat penelitiaan.
5. Definisi Operasional
Variabel Definisi Oprasional Hasil Ukur Skala

Pengetahuan ibu Segala informasi yang 1 = Kurang Ordinal


diketahui dan dapat 2 = Cukup
dipahami oleh Ibu 3 = Baik
mengenai ASI dan
MPASI
Riwayat pemberian . Pemberian ASI 1 = Kurang dari 6 Ordinal
ASI Eksklusif eksklusif adalah bayi bulan
yang diberikan ASI 2 = 6 bulan
tanpa diberikan 3 = Lebih dari 6
tambahan cairan atau bulan
makanan padat selain
obat-obatan dan
vitamin sejak lahir
sampai dengan bayi
usia sekarang.
Pemberian MPASI Pemberian MPASI 1 = 1-2 kali Ordinal
Pertama adalah ketepatan 2 = 2-3 kali
pemberian makanan 3 = 3-4 kali
pendamping secara 4 = 4-5 kali
kualitas maupun
kuantitas.

6. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini :
a. Timbangan digital digunakan untuk mengukur berat badan responden yang sudah
berusia lebih dari 1 tahun.
b. Microtoice digunakan untuk mengukur tinggi badan responden yang sudah
berusia lebih dari 1 tahun.
c. Infantometer digunakan untuk mengukur berat badan dan panjang badan
responden yang berusia kurang dari 1 tahun.
a. Metline digunakan untuk mengukur panjang badan atau tinggi badan aktual
respoden.
d. Kuesioner yang berisi identitas, pengetahuan ibu, riwayat pemberian ASI Ekslusif
dan praktik pemberian ASI.

Daftar Pustaka

Udoh EE, Amodu OK. Complementary feeding practices among mothers and nutritional
status of infants in 2 Akpabuyo Area, Cross River State Nigeria. Springerplus. 2016; 5:2073
Sawadogo, P. S., Martin-Prével, Y., Savy, M., Kameli, Y., Traissac, P., Traoré, A. S., &
Delpeuch, F. (2006). An Infant and Child Feeding Index Is Associated with the Nutritional
Status of 6- to 23-Month-Old Children in Rural Burkina Faso. The Journal of Nutrition,
136(3), 656–663. doi:10.1093/jn/136.3.656
Udoh, E. E., & Amodu, O. K. (2016). Complementary feeding practices
among mothers and nutritional status of infants in Akpabuyo Area, Cross
River State Nigeria. SpringerPlus, 5(1). doi:10.1186/s40064-016-3751-7
Galetti, V., Mitchikpè, C. E. S., Kujinga, P., Tossou, F., Hounhouigan,
D. J., Zimmermann, M. B., & Moretti, D. (2015). Rural Beninese Children
Are at Risk of Zinc Deficiency According to Stunting Prevalence and Plasma
Zinc Concentration but Not Dietary Zinc Intakes. The Journal of Nutrition,
146(1), 114–123. doi:10.3945/jn.115.216606

World Health Organization. Global strategy for infant and young child feeding. Report.
2003;1–30.
Millward, D. J. (2017). Nutrition, infection and stunting: the roles of
deficiencies of individual nutrients and foods, and of inflammation, as
determinants of reduced linear growth of children. Nutrition Research
Reviews, 30(01), 50–72. doi:10.1017/s0954422416000238
Lönnerdal, B. (2000). Dietary Factors Influencing Zinc Absorption. The
Journal of Nutrition, 130(5), 1378S–1383S. doi:10.1093/jn/130.5.1378s

De Onis M, Blossner M & Borghi E. Prevalence and trends of stunting among pre-school children,
1990-2020. Public Health Nutrition. 2011; 15: 142-148.
Yuliarti, N. 2010. Keajaiban ASI –Makanan Terbaik untuk Kesehatan, Kecerdasan,
dan Kelincahan Si Kecil. Yogyakarta : Andi Off set
Walyani, E. S. 2015. Perawatan Kehamilan dan Menyusui Anak Pertama agar Bayi
Lahir dan Tumbuh Sehat. Yogyakarta : Pustaka Baru Press
Olsa, Edwin, Dkk (2017). Hubungan Sikap Dan Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian
Stunting Pada Anak Baru Sekolah Dasar Di Kecamatan Nanggalo. Jur nal FK
UNAND: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2018). Prevalensi Stunting di Asia Tenggara.
Info Data dan Informasi.

Anda mungkin juga menyukai