Anda di halaman 1dari 59

MODUL 1

NYERI SENDI

SKENARIO 1
Seorang perempuan 30 tahun dating ke poliklinik dengan keluhan nyeri sendi pada kedua
tangan dan bahu yang dialami 2 bulan terakhir, disertai bengkak dan kemerahan.
Kekakuan pada sendi-sendi tersebut di pagi hari. Pasien juga kesulitan untuk memakai
baju sendiri. Pasien juga mengeluh mudah lelah dalam 1 bulan terakhir. Pasien sering
mengonsumsi obat yang dibeli sendiri, namun karena sering merasakan nyeri ulu hati,
sehingga pasien menghentikan obat tersebut.

A. KALIMAT KUNCI
1. perempuan 30 tahun
2. keluhan nyeri sendi yang dialami 2 bulan terkait disertai bengkak dan
kemerahan.
3. Kaku sendi pada pagi hari
4. Kesulitan memakai pakaian sendiri
5. Mudah lelah 1 bulan terakhir
6. Mengonsumsi obat yang dibeli sendiri, tetapi dihentikan karena sering
merasakan nyeri ulu hati

B. PERTANYAAN
1. apa penyebab terjadinya nyeri sendi pada skenario?
2. Bagaimana patofisiologi terkait keluhan pada skenario?
3. Apa langkah-langkah diagnosis pada kasus?
4. Bagaimana cara pencegahan dari kasus pada skenario?
5. Apa diagnosis banding pada skenario?
6. Obat apa saja yang dapat menyebabkan nyeri ulu hati?
7. Bagaimana prespektif islam terkait kasus?

1
C. PEMBAHASAN
1. ANATOMI MANUS
Manus adalah regio extremitas superior di distal dari sendi
radiocarpea dan merupakan piranti mekanik dan sensorium. Manus dibagi
menjadi tiga bagian: Kelima digitus terdiri atas pollex di fateral: empat
digitus lainnya di medial dari pollex-index, digitus medius, digitus annularis,
dan digitus minimus. Pada posisi normal saat istirahat. digiti membentuk
lengkung yang flexi, dengan digitus minimus yang paling flexi dan index yang
paling sedikit flexinya. Pada posisi anatomis, digiti dibuat extensi. Manus
memiliki permukaan anterior (palma telapak tangan) dan permukaan dorsalis
(dorsum manus/ punggung tangan). Batasan abduksi dan adduksi digiti adalah
dengan patokan digitus medius sebagai sumbu panjangnya. Pada posisi
anatomis, sumbu panjang pollex dirotasikan 90° terhadap digiti lainnya,
sehingga bantalan pollex mengarah ke medial: akibatnya, batasan gerak pollex
adalah tegak lurus terhadap gerak digiti manus yang lainnya.

1. Tulang

Ada tiga kelompok tulang pada manus:

Delapan tulang carpale adalah tulang-tulang dari carpus:

Lima metacarpale (I sampai V) adalah tulang-tulang dari metacarpus:

Phalanges adalah tulang-tulang digiti pollex memiliki hanya dua. Digiti lainnya
memiliki tiga.

Tulang-tulang carpale dan metacarpale index, digitus medius, digitus


annularis, dan digitus minimus (metacarpi II sampai V) cenderung berfungsi
sebagai satu unit dan membentuk sebagian besar kerangka tulang palmaris.
Tulang metacarpale pollex berfungsi secara bebas dan memiliki flexibilitas yang
meningkat pada sendi carpometacarpales untuk memungkinkan oposisi pollex
terhadap digiti.

2
Sumber : Gray’s Basic Anatomy

a) Tulang-tulang carpale

Tulang-tulang kecil carpale disusun dalam dua baris, baris proximal dan distal, tiap
baris terdiri atas empat tulang.

a. Baris proximal

Dari lateral ke medial dan dipandang dari anterior, baris proximal tulang-
tulang terdiri atas:

• Scaphoideum yang berbentuk seperti perahu.

• Lunatum, yang berbentuk seperti bulan sabit.

• Triquetrum yang memiliki tiga sisi, dan

• Pisiforme yang berbentuk seperti kacang.

3
Pisiforme adalah tulang sesamoidea di tendo flexor carpi ulnaris dan bersendi
dengan permukaan anterior triquetrum. Scaphoideum memiliki tuberculum ossis
scaphoidei yang menonjol pada facies palmaris bagian lateralnya yang mengarah ke
anterior.

b. Baris distal

Dari lateral ke medial dan bila dipandang dari anterior, baris distal tulang-tulang
carpale terdiri atas:

• trapezium yang bersisi empat tidak beraturan,

• trapezoideum yang bersisi empat,

• capitatum,yang memiliki caput, dan

• hamatum, yang memiliki kait.

Trapezium bersendi dengan tulang metacarpale pollex dan memiliki tuberculum


ossis trapezii yang khas pada facies palmarisnya, yang mengarah ke anterior. Tulang
carpale yang terbesar, capitatum, bersendi dengan basis metacarpalis III. Hamatum.
yang terletak tepat di lateral dan distal dari pisiforme, memiliki kait yang menonjol
(hamulus ossis hamati) pada facies palmaris yang mengarah ke anterior.

b) Facies articularis

Tulang-tulang carpale memiliki banyak facies articularis. Kesemuanya saling


bersendi, dan tulang-tulang carpale di baris distal bersendi dengan metacarpi digiti.
Dengan perkecualian untuk metacarpale pollex, semua gerak tulang-tulang metacarpale
pada tulang-tulang carpale sifatnya terbatas.

Facies proximalis scaphoideum dan lunatum yang luas bersendi dengan radius untuk
membentuk sendi radiocarpea.

4
c) Sulcus/arcus carpi

Tulang-tulang carpale tidak berada pada sebuah bidang datar: melainkan agak
membentuk arcus yang dasarnya mengarah ke anterior. Sisi lateral dasar ini dibentuk
oleh tuberculi scaphoideum dan trapeum. Sisi medial dibentuk oleh pisiforme dan
hamulus ossis hamati. Retinaculum flexorum melekat ke, dan membentangi jarak antara,
sisi medial dan lateral dasar untuk membentuk dinding anterior canalis carpi. Sisi-sisi
dan atap canalis carpi dibentuk oleh arcus tulang-tulang carpale.

d) Metacarpi

Masing-masing dari kelima tulang metacarpale terhubung dengan satu digitus:

• Metacarpale I terhubung dengan pollex.

• Metacarpi II sampai V secara berturut-turut terhubung dengan index. digitus medius,


digitus annularis, dan digitus minimus.

Tiap metacarpale terdiri atas basis, corpus, dan caput di distal. Semua basis
metacarpalis bersendi dengan tulang-tulang carpale: selain itu, basis metacarpalis digiti
saling bersendi. Semua caput metacarpalis bersendi dengan phalanx proximalis digiti.
Caput membentuk buku-huku jari pada permukaan dorsum manus saat digiti diflexikan.

e) Phalanges

Phalanges adalah tulang-tulang digiti:

• Metacarpale I terhubung dengan pollex.

• Metacarpi II sampai V secara berturut-turut terhubung dengan index. digitus medius,


digitus annularis, dan digitus minimus.

• Pollex memiliki dua-phalanx proximalis dan distalis

• Digiti lainnya memiliki tiga-phalanx proximalis, media, dan distalis.

5
Tiap phalanx memiliki basis, corpus, dan caput di distal. Masing-masing
basis phalangis proximalis bersendi dengan caput tulang metacarpale yang
terhubung dengannya.

Caput phalangis distalis tidak bersendi dengan tulang lain dan mendatar
menjadi tuberositas phalangis distalis yang berbentuk bulan sabit, yang berada di
bawah bantalan palmaris pada ujung digiti.

2. Sendi
a) Sendi radiocarpea

Sendi radiocarpea adalah sendi synovialis antara ujung distal radius dan
discus articularis yang menutupi ujung distal ulna. dengan scaphoideum,
lunatum, dan triquetrum. Bersama-sama, facies articularis carpi membentuk
sebuah bentuk oval dengan kontur cembung, yang bersendi dengan permukaan
cekung radius dan discus articularis yang bersesuaian.

Sendi radiocarpea memungkinkan gerak di sekitar dua axis/ sumbu.


Manus dapat abduksi, adduksi, flexi, dan extensi pada sendi radiocarpea ini.

Capsula articularis sendi radiocarpea diperkuat oleh ligament


radiocarpale palmare. ulnocarpale palmare, dan radiocarpale dorsale. Selain
itu. ligamenta collaterale carpi radiale dan ulnare membentangi jarak antara
processus styloideus radii dan ulnare dan tulang-tulang carpale di dekatnya.

Ligamenta ini memperkuat sisi medial dan lateral sendi radiocarpea dan
menopang sendi selama flexi dan extensi.

b) Sendi carpi

Sendi synovialis antara tulang-tulang carpale berbagi sebuah cavitas


articularis bersama. Capsula articularis sendi diperkuat oleh banyak ligamentum.
Meskipun gerak sendi carpi (sendi intercarpales) terbatas, sendi ini berperan
dalam rnemposisikan manus pada saat abduksi, adduksi, flexi, dan khususnya,
extensi.

6
c) Sendi carpometacarpales

Ada lima sendi carpometacarpales antara metacarpi dan baris distal tulang-
tulang carpale yang terkait.

Sendi sellaris, antara metacarpale I dan trapezium, memberi jangkauan gerak


yang luas pada pollex yang tidak didapatkan pada digiti lainnya. Gerak sendi
carpometacarpales adalah flexi, extensi, abduksi, adduksi, rotasi, dan circumduksi.1

Sumber : Gray’s Basic Anatomy

Gerak sendi carpometacarpales antara metacarpale II sampai V dan tulang-tulang


carpale jauh lebih sedikit daripada sendi carpometacarpales pollex, yang hanya

7
memungkinkan untuk gerak meluncur yang terbatas. Ke medial. Gerak sendi-sendi
makin bertambah, sehingga metacarpale V meluncur pada derajat yang terbesar. Hal ini
dapat diamati paling baik pada permukaan dorsalis manus saat manus mengepal.

d) Sendi metacarpophalangeales

Sendi-sendi antara caput metacarpi di bagian distal metacarpi dengan phalanges


proximalis digiti merupakan sendi condylaris yang memungkinkan flexi, extensi,
abduksi, adduksi, circumduksi, dan rotasi terbatas. Capsula articularis tiap sendi
diperkuat oleh ligamentum palmaria dan oleh ligamenta collaterale mediale dan laterale.

e) Sendi interphalangeales manus

Sendi interphalangeales manus adalah sendi ginglymus yang terutama


memungkinkan gerak flexi dan extensi. Struktur ini diperkuat oleh ligamenta collaterale
mediale dan laterale dan ligamenta palmaria.

2. DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

Nyeri: menurut International Association for study of pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

Nyeri sendi adalah suatu peradangan sendi yang ditandai dengan pembengkakan
sendi,warna kemerahan,panas,nyeri dan terjadinya gangguan gerak. Penyakit pada sendi
yang menyebabkan gejala nyeri adalah akibat degenerasi atau kerusakan pada
permukaan sendi tulang yang banyak ditemukan pada lansia.

Klasifikasi nyeri

Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu :

1. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang berlangsung dari beberapa detik,


biasanya dengan awitan tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera fisik. Nyeri akut
mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi dan tidak ada penyakit
8
sistemik. Nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri
ini umumnya terjadi kurang dari 6 bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu
nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan.

2. Nyeri kronik

Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang satu
periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan
sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak
memiliki awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena
biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Nyeri kronik ini juga sering didefenisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu
periode yang dapat berubah untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri berdasarkan lokasi :

1. Perifer
- Superfisial : nyeri yang muncul akibat gangguan pada kulit dan mukosa
-Viseral : rasa nyeri yang muncul akibat stimulus dari reseptor nyeri di rongga
abdomen,cranium,dan toraks.
- Nyeri alih : nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari penyebab nyeri
2. Sentral
nyeri yang timbul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak, dan
thalamus
3. Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini timbul
akibat pikiran pasien itu sendiri.
Nyeri berdasarkan mekanisme neurofisiologik :

1. Nyeri nosiseptif :
● Nyeri somatik
adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral,misal nyeri pasca
bedah,nyeri metastatik,nyeri tulang,nyeri artritik.
9
● Nyeri viseral
adalah nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ
yang berongga,misalnya usus,kandung empedu,pankreas,jantung. Nyeri
viseral seringkali diikuti referred pain dan sensasi otonom,seperti mual dan
muntah.
2. Nyeri non-nosiseptif :
● Nyeri neuropatik adalah nyeri yang timbul akibat iritasi atau trauma pada
saraf. Nyeri sering kali persisten,walaupun penyebabnya sudah tidak ada.
Biasanya pasien merasakan rasa seperti terbakar.
● Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak memenuhi kriteria somatik dan
nyeri neuropatik,dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.

D. JAWABAN PERTANYAAN
1. Penyebab terjadinya nyeri sendi pada skenario
Pada proses inflamasi pada arthritis, proses nyeri terjadi karena stimulus
nosireseptor akibat pembebasan berbagai mediator biokimiawi selama proses
inflamasi terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik yang
dimulai dengan adanya suatu antigen yang kemudian diproses oleh antigen
presenting cell (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel
dengan determinan HLA yang sesuai. Antigen yang diekskresikan tersebut akan
diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel T membentuk
kompleks trimolekuler. Kompleks trimolekuler tersebut akan mencetuskan
rangkaian reaksi imunologik dengan pelepasan berbagai sitokin IL-1,IL-2
sehingga terjadi aktivasi,mitosis dan proliferasi sel T. sel T yang teraktivasi juga
akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang berkerja
merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosinya dan
merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Setelah
berikatan dengan antigen, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks
imun yang mengendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang untuk
melakukan fagositosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit asam arakidonat,

10
radikal oksigen bebas, enzim protease yang pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan pada organ target.
Kompleks imun juga mengaktivasi sistem komplemen dan membebaskan
komponen aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit
untuk membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler. Selain itu komponen komplemen C5a juga
memiliki efek kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan mononuklear
akan berdatangan ke daerah inflamasi. Telah diketahui bahwa produk jalur
siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat mempunyai peranan yang
besar pada proses inflamasi. Terdapat 2 isofom jalur COX yang disebut COX-1
dan COX-2. Jalur COX-1 mempunyai fungsi fisiologis yang aktivasinya akan
membebaskan eikosanoid yang terlibat dalam proses fisiologis seperti
prostasiklin, tromboksan A dan prostaglandin E (PGE2). Sebaliknya jalur COX-2
akan menghasilkan prostaglandin proinflamasi yang akan berkerja sama dengan
enzimprotease dan mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi.
Peranan prostaglandin dalam menyebabkan nyeri pada proses inflamasi
ternyata lebih kompleks namun tidak ada bukti bahwa prostaglandin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan, melainkan sebagian kerusakan jaringan pada
proses inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang terbentuk selama
konversi enzimatikdari PGG2 menjadi PGH2 atau pada proses fagositosis. Pada
proses inflamasi terjadi interaksi 4 sistem yaitu sistem pembekuan darah, sistem
kinin, sistem fibrinolisis, dan sistem komplemen, yang akan membebaskan
berbagai protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat kemotaktik yang akan
menarik lebih banyak sel radang ke daerah inflmasi. Pada proses fagositosis oleh
sel prolimorfonuklear, terjadi peningkatan konsumsi O2 dan produksi radikal
oksigen bebas seperi anion superoksida dan hidrogen peroksida. Kedua radikal
oksigen bebas ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat
menyebabkan depolimerasi hialuronat sehingga dapat merusak rawan sendi dan
menurunkan viskositas cairan sendi.

11
2. Patofisiologi Keluhan terkait Kasus
a) Kaku pada pagi hari
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah
kaku pada pagi hari. Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang
selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda dengan rasa kaku yang dapat
dialami oleh pasien OA atau kadang-kadang oleh orang normal, kaku
pada pagi hari pada AR berlangsung lebih lama, pada umumnya lebih
dari satu jam. Lamanya kaku pada pagi hari AR berhubungan dengan
lamanya imobilisasi pada saat pasien sedang tidur serta beratnya
imflamasi. Gejala kaku pada pagi hari akan menghilang jika remisi dapat
tercapai. Faktor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi akibat
sinofitis. Imflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian
yang jika berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik
secara aktif maupun secara pasif.
Otot dan tendon yang dekat pada persendian yang mengalami
peradangan cenderung untuk mengalami spasme dan pemendekan.
Fenomena ini jelas terlihat pada otot intrinsik tangan yang berjalan
sepanjang persendian metacarpophalangeal. (MCP) dan otot
peroneusanterior yang berjalan sepanjang perendian talonavicularis pada
arcus pedis. Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat
beberapa mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya synovitis dan
pembentukan pamnus. Synovitis akan menyebabkan kerusakan rawan
sendi dan erosi tulang periarticular sehingga menyebabkan terbentuknya
permukaan sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi
pada daerah yang luas dan imobilisasi berlangsung lama akan terjadi fusi
tulang-tulang yang membentuk persendian.
b) Bengkak dan Kemerahan

Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi pertahanan tubuh


non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen
penyebab. Tujuan dari proses inflamasi itu adalah untuk menetralisir

12
dan menghancurkan agen penyebab serta mencegah perluasan agen
penyebab ke jaringan yang lebih luas (Tehupeiory, 2006). Reaksi
inflamasi yang berperan dalam proses melibatkan makrofag, neutrofil,
yang nantinya menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain,
TNF- , interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, alarmin, dan
leukotrien (Neogi, 2011).

Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular,


meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan
radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:

1. Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan


darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan
aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).
2. Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler,
adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang
mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari
pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis


persendian diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk
memahami patofisiologi penyakit nyeri sendi. Fungsi persendian
sinovial adalah gerakan. Setiap sendi sinovial memiliki kisaran gerak
tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran gerak
yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi
sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung tulang
pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk
gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa
dan mensekresikan cairan kedalam ruang antara-tulang. Cairan
sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan
pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas

13
dalam arah yang tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering
terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri
sendi.

Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang


terbatas pada satu sendi hingga kelainan multi sistem yang sistemik,
semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi dalam
derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat
pada persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit
reumatik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan
degenerasi yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat
pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi
merupakan akibat dari respon imun. Sebaliknya pada penyakit nyeri
sendi degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang
sekunder.pembengkakan ini biasanya lebih ringan serta
menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya
untuk terlihat pada penyakit yang lanjut. Pembengkakan dapat
berhubungan dengan pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas
dari karilago artikuler yang mengalami degenerasi kendati faktor-
faktor imunologi dapat pula terlibat (Brunner & Sudarth, 2002)

3. Langkah – langkah Diagnosis


a) Anamnesis
Identifikasi sifat dari proses yang mendasari dan situs pengaduan
akan memungkinkan untuk memeriksa ke charactizer itu. Seperti,
mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarah sebuah diagnosa yang
akurat. Aspek profil pasien, keluhan kronologi, luasnya involment
bersama, dan faktor-faktor pencetus dapat privede informasi penting.
diagnosa tertentu lebih sering pada kelompok usia yang berbeda.
Diagnostik pengelompokan os juga evodent ketika jenis kelamin dan ras
dianggap. Kronologi keluhan adalah fitur diagnostik yang penting dan
dapat dibagi menjadi timbulnya, evolusi, dan durasi. keluhan pasien dapat
14
berkembang secara berbeda dan diklasifikasikan sebagai kronis (RA),
intermiten (kristal), atau aditif.
Gangguan muskuloskeletal biasanya diklasifikasikan sebagai akut
atau kronis berdasarkan durasi gejala yang baik kurang dari atau lebih
besar dari 6 minggu, masing-masing. arthropathies akut cenderung
menular, kristal-induced, atau reaktif. kondisi kronis termasuk
PERADANGAN atau imunologi artritis (misalnya, OA, RA) dan
gangguan nonarticular (misalnya, fibromyalgia). Luasnya atau distribusi
keterlibatan artikular sering informatif. Gangguan artikular
diklasifikasikan berdasarkan jumlah sendi yang terlibat, baik sebagai
monoartikular (satu sendi), oligoartikular atau pauciarticular (dua atau tiga
sendi), atau polyarticular (empat atau lebih sendi). Sejarah klinis juga
harus mengidentifikasi pencetus acara, seperti trauma (osteonekrosis,
meniscal air mata), pemberian obat atau penyakit yang mungkin telah
berkontribusi untuk keluhan pasien.
b) Pemeriksaan Fisik
Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk memastikan struktur
yang terlibat, sifat dari patologi yang mendasari, konsekuensi fungsional
dari proses, dan adanya manifestasi sistemik atau ekstraartikular. Sebuah
pengetahuan tentang topografi anatomi diperlukan untuk mengidentifikasi
situs utama (s) keterlibatan dan membedakan artikular dari gangguan
nonarticular. Pemeriksaan muskuloskeletal tergantung pada pemeriksaan
hati-hati, palpasi, dan berbagai manuver fisik tertentu untuk memperoleh
tanda-tanda diagnostik. Meskipun sebagian artikulasi dari kerangka
apendikularis dapat diperiksa dengan cara ini, inspeksi dan palpasi yang
memadai tidak mungkin bagi banyak aksial dan sendi tidak dapat diakses.
Untuk sendi tersebut, ada lebih mengandalkan manuver tertentu dan
pencitraan untuk penilaian.
c) Investigasi Laboratorium
Sebagian besar gangguan muskuloskeletal dapat dengan mudah
didiagnosis dengan sejarah yang lengkap dan pemeriksaan fisik. Tujuan

15
tambahan dari pertemuan awal adalah untuk menentukan apakah
penyelidikan tambahan atau terapi segera diperlukan. Tingkat dan sifat
dari th e investigasi tambahan harus didikte oleh fitur klinis dan proses
patologis yang diduga. Tes laboratorium harus digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis klinis tertentu dan tidak digunakan untuk
menyaring atau mengevaluasi pasien dengan keluhan rematik jelas.
penggunaan sembarangan baterai luas tes diagnostik dan prosedur
radiografi jarang alat yang berguna atau biaya-efektif untuk membangun
diagnosis.
4. Pencegahan
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menekan faktor risiko:
1) Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi
risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS
yang menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami
perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2) Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.
Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,
menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3) Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja
lebih berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet
makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada
sendi.
4) Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,
jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin
A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi
akibat radikal bebas.
5) Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas
pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan

16
mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan
sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa
terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.
(Candra, 2013)
6) Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokok merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu
upaya pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak
menjadi perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

5. Diagnosis Banding

I. RHEUMATOID ARTHRITIS
a. Definisi
Arthritis rheumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh
inflamasi sistemik kronik dan proggresif, dimana sendi merupakan target
utama. Manifestasi klinik klasik AR adalah polyarthritis simetrik yang
terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan
synovial sendi, AR juga bias mengenai organ-organ diluar persendian
seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata. Moralitasnya meningkat akibat
adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan, dan
adanya morbilitas. Walaupun etiologi yang sebenarnya belum diketahui
dengan pasti, ada beberapa factor yang diperkirakan berperan dalam
timbulnya penyakit ini seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II
dan factor infeksi seperti virus Epstein Barr (EBV).
b. Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relative
konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di
Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%.
Prevensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar
0.75%. sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya
kurang dari 0,4% baik di daerah enggan kejadian AR telah diketahui
dengan baik, walaupun beberapa lokasi HLA juga berhubungan dengan
17
AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode activator
reseptor nuclear factor kappa. Gen ini berperan penting dalam proses
resorpsi tulang pada AR. Faktor genetic juga berperan penting dalam
terapi AR karena aktivitas enxim seperti methylentetrahydoofolate
reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme.
Pervalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki,
sehingga diduga hormone seks berperan dalam perkembangan penyakit
ini.
c. Etiologi
Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan.

1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini


memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana,
2009).
2. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam
sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada
respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular
(TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan
penyakit ini.
3. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk
semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
muncul timbulnya penyakit RA).
4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai
respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam
amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel

18
Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit
dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis.
5. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok.

d. Faktor risiko

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR anatara


lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur
lebih tua, paparan salisilat, dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir
sehari, khususnya kopi decaffeinated mungkin juga beresiko. Makanan tinggi
vitamin D, konsumsi teh, dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan
penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR menagalami perbaikan
gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali
setelah melahirkan.

Agen Infeksi Mekanisme patogenik


Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Bacterial cell walls Aktivasi makrofag

e. Patogenesis

Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas


sinovial setelah adanya faktor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel yang
selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan-bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi

19
pertumbuuhan yang irregular pada jaringan synovial yang mengalami inflamasi
sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan
sendi dan tulang. Berbagai macam sitokin, inerleukin, proteinase, dan faktor
pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan dekstruksi sendi dan
komplikasi sistemik.

RA is Characterised by Synovitis and


Joint Destruction
NORMAL RA
Synovial Inflamed
synovial
membrane
membrane

Major cell types:


• T lymphocytes
• macrophages
Pannus
Cartilage Minor cell types:
• fibroblasts
• plasma cells
• endothelium
• dendritic cells

Synovial Major cell type:


Capsule fluid • neutrophils

Cartilage thinning
Adapted from Feldmann M, et al. Ann Rev Immunol. 1996;14:397-440;
Pincus T. Drugs. 1995;50(suppl 1):1-14; Tak P, Bresnihan B. Arthritis Rheum. 2000;43:2619-2633.

Gambar 1.5 Reumatoid Athritis

Gambar 1.6 Patogenesis Rumatoid Athritis

20
f. Manifestasi klinik
RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling
sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan
lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti
oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi. Ditinjau dari stadium
penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu :
1) Stadiumsinovitis.
Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi pada
membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya
simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan
erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi.
Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang
proksimal dan metakarpofalangeal.
a. Stadium destruksi Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi
kerusakan pada jaringan sinovial.
b. Stadium deformitas Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif
dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara
menetap.
Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi
artikular dan manifestasi ekstraartikular. Manfestasi artikular RA terjadi secara
simetris berupa inflamasi sendi, bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan
nyeri, bengkak, dan kekakuan sendi, serta hidrops ringan. Tanda kardinal
inflamasi berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin
ditemukan pada awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan
hangat mungkin tidak dijumpai pada RA kronik. Sendi-sendi besar, seperti bahu
dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini
mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya
RA.

21
Gambar 1.7 Reumatoid Athritis
Distribusi sendi yang terlibat dalam RA cukup bervariasi. Tidak semua sendi
proporsinya sama, beberapa sendi lebih dominan untuk mengalami inflamasi, misalnya
sendi sendi kecil pada tangan. Manifestasi ekstraartikular jarang ditemukan pada RA.
Secara umum, manifestasi RA mengenai hampir seluruh bagian tubuh. Manifestasi
ekstraartikular pada RA, meliputi:

1. Konstitusional terjadi pada 100% pasien yang terdiagnosa RA. Tanda dan
gejalanya berupa penurunan berat badan, demam diatas 38 derajat, kelelahan,
malaise, epresi dan pada banyak kasus terjadi kaheksia, yang secara umum
merefleksi derajat inflamasi dan kadang mendahului terjadinya gelaja awal pada
kerusakan sendi.
2. Nodul, terjadi pada 30-40% penderita dan biasanya merupakan level tertinggi
aktivitas penyakit ini. Saat dipalpasi nodul biasanya tegas, tidak lembut, dan
dekat periosteum, tendo atau bursa. Nodul ini juga bisa terdapat di paru-paru,
pleura, pericardium, dan peritonuem. Nodul bisanya benign (jinak), dan
diasosiasikan dengan infeksi, ulserasi dan gangren.
3. Sjogren’s syndrome, hanya 10% pasien yang memiliki secondary sjogren’s
syndrome. Sjogren’s syndrome ditandai dengan keratoconjutivitis sicca (dry eyes)
atau xerostomia.

22
4. Paru (pulmonary) contohnya adalah penyakit pleura kemudian diikuti dengan
penyakit paru interstitial.
5. Jantung (cardiac) pada <10% penderita. Manifestasi klinis pada jantung yang
disebabkan oleh RA adalah perikarditis, kardiomiopati, miokarditis, penyakti
arteri koreoner atau disfungsi diastol.
6. Vaskulitis, terjadi pada <1% penderita, terjadi pada penderita dengan penyakit
RA yang sudah kronis.
7. Hematologi berupa anemia normositik, immmune mediated trombocytopenia dan
keadaan dengan trias berupa neutropenia, splenomegaly,dan nodular RA sering
disebut dengan felty syndrome. Sindrom ini terjadi pada penderita RA tahap
akhir.
8. Limfoma, resiko terjadinya pada penderita RA sebesar 2-4 kali lebih besar
dibanding populasi umum. Hal ini dikarenakan penyebaran B-cell lymphoma
sercara luas.

Beberapa keadaan yang diasosiakan dengan mordibitas dan mortalitas


pada pasien RA adalah penyakti kardiovaskuler, osteoporosis dan
hipoandrogenisme.

a. KOMPLIKASI

Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula,


peningkatan infeksi, deformita sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi
pernapasan, nodul rheumatoid, vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer
dan sekunder, komplikasi akibat pengobatan.

Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan


dengan aktivitas penyakit AR dan pemakaian glukokotikoid, sehingga perlu
terapi terhadap pencegahanosteoporosis dan patah tulang.

b. Pemeriksaan penunjang

1) Darah perifer lengkap: anemia, troombositosis


23
2) Rheumatoid factor, anti-cyclic citrullinated peptide antibodies
3) Laju endap darah atau CRP meningkat
4) Fungsi hati, fungsi ginjal
5) Analisis cairan sendi
6) Pemeriksaan radiologi
7) Biopsi sinovium/nodul rhematoid

c. Diagnosis

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan


sensitivitas 77-95% dan spesifisitasnya 85-98%. Tapi kriteria ini mulai
dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang
perlu untuk menyusun kriteria baru yang tingkat kesahihannya lebih baik. Saat
ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American Colege of Rheumatology/European League Against Rheumatism
2010. Diagnosis AR ditegakkan bila pasien memiliki skor 6 atau lebih.

Kriteria ini ditujukan untu klasifikasi pasien yang baru. Disamping itu,
pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR dengan riwayat penyakit
yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai AR. Pasien dengan
penyakit yang lama termasuk yang penyakit tidak aktif (dengan atau tanpa
pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR
hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai AR.

Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai
AR, kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi
seiring berjalannya waktu. Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri
sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitissecara
pencitraan. Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama
dengan batas ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi
dari batas atas normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif
tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya

24
diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif
rendah.

d. Diagnosis banding

1) Lupud Eritematosus Sistemik


2) Osteoarthritis
3) Gout Arthritis
4) Spondiloartropati Seronegatif
5) Sindrom Sjorgen

e. Tatalaksana

1) Nonfarmakologis

a) Edukasi
b) Proteksi sendi pada stadium akut
c) Foot orthotic/splint
d) Terapi spa
e) Latihan fisik
f) Suplemen minyak ikan
g) Suplemen asam lemak esensial

2) Farmakologis

a) DMARD Konvensional
b) Glukokortikoid
c) OAINS: non-selektif atau selektif COX-2

3) Terapi Bedah

Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan


kerusakan sendi yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang

25
terlokalisasi, keterbatasan gerakan yang bermakna atau keterbatasan fungsi
yang berat, kompresu saraf dan ruptur tendon.

o. Prognosis

Kriteria remisi pada arthritis pada rheumatoid dapat menggunakan


ACR/EULAR yaitu apabila pasien memenuhi seluruh kriteria berikut;

1. Jumlah sendi yang nyeri < 1


2. Jumlah sendi yang bengkak < 1
3. Nilai CRP < 1mg/dL
4. Penilaian global pasien < 1

Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi


spontan dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit
yang persisten dari progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari
populasi umum dengan penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama
kematian terbanyak diikuti dengan infeksi. Median harapan hidup lebih pendek
dengan rata-rata 7 tahun untuk laki-laki dan 3 tahun untuk perempuan dibandingkan
populasi kontrol.

II. OSTEOATHRITIS
a. Definisi

Osteoarthrosis atau osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi


degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul,
lutut, dan pergelangan kaki paling sering terkena OA..(Soeroso, 2009).
Osteoartritis merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi-sendi
penumpu berat badan dengan gambaran patologis yang berupa memburuknya
tulang rawan sendi, yang merupakan hasil akhir dari perubahan biokimiawi,
metabolisme fisiologis maupaun patologis yang terjadi pada perendian
(Dharmawirya, 2000).
b. Epidemiologi

26
OA merupakan penyakit rematik sendi yang paling banyak mengenai
terutama pada orang-orang diatas 50 tahun. Di atas 85% orang berusia 65 tahun
menggambarkan OA pada gambaran x-ray, meskipun hanya 35%-50% hanya
mengalami gejala. Umur di bawah 45 tahun prevalensi terjadinya Osteoarthritis
lebih banyak terjadi pada pria sedangkan pada umur 55 tahun lebih banyak terjadi
pada wanita. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
terjadinya Osteoarthritis pada obesitas, pada sendi penahan beban tubuh (Ariani,
2009).
Progresifitas dari OA biasanya berjalan perlahan-lahan, terjadi dalam
beberapa tahun atau bahkan dekade. Nyeri yang timbul biasanya menjadi sumber
morbiditas awal dan utama pada pasien dengan OA. Pasien dapat secara progresif
menjadi semakin tidak aktif beraktivitas, membawa kepada morbiditas karena
berkurangnya aktivitas fisik (termasuk penurunan berat yang bermakna).
Prevalensi OA berbeda-beda pada berbagai ras. OA lutut lebih banyak terjadi pada
wanita Afrika Amerika dibandingan dengan ras yang lainnya. Terdapat
kecenderungan bahwa kemungkinan terkena OA akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Penyakit ini biasanya sebanding jumlah kejadiannya pada pria
dan wanita pada usia 45-55 tahun. Setelah usia 55 tahun, cenderung lebih banyak
terjadi pada wanita. Sendi distal interfalangeal dan dan proksimal interfalangeal
seringkali terserang sehingga tampak gambaran Heberden dan Bouchard nodes,
yang banyak ditemui pada wanita (Lozada, 2009).
Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun,
30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun. Untuk osteoartritis lutut
prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Pasien
OA biasanya mengeluh nyeri waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan
pada sendi yang terkena. Pada derajat nyeri yang berat dan terus menerus bisa
mengganggu mobilitas. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang la njut usia di
Indonesia menderita cacat karena OA.(Soeroso. 2009)
c. Etiologi

Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor


biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses
27
terjadinya osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme protektif,
antara lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen, dan tulang-
tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat terganggunya faktor-
faktor protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi akibat komplikasi dari
penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan sebagainya.
d. Patogenesis

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh
kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme
lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.
Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan
sendi. Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak
makromolekul matriks tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan
dan kolagen. Hal ini menyebabkan penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-
sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang rawan sendi. Pada proses
degenerasi dari kartilago artikular menghasilkan suatu substansi atau zat yang
dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk
menhasilkan IL-1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi
matriks ekstraseluler.
Gambaran utama pada Osteoarthritis adalah:
1. Dektruksikartilagoyangprogresif

2. Terbentuknya kista subartikular

3. Sklerosisyangmengelilingitulang

4. Terbentuknyaosteofit

5. Adanyafibrosiskapsul

Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang


rawan untuk menahan kekuatan tekanan dari sendi Penurunan kekuatan dari tulang
28
rawan disertai degradasi kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada
serabut saraf dan tentu saja menimbulkankerusakanmekanik. Kondrositsendiri
akanmengalamikerusakan. Selanjutnya akan terjadi perubahan komposisi
molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi matriks
rawan sendi.
Melalui mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-
lapis. Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada
tepi sendi akan timbul respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan
pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru (osteofit) dianggap suatu
usaha untuk memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan
menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan
dapat memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada
Osteoarthritis. Lesi akan meluas dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan
sendi. Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan tulang yang dibawahnya
juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk
melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon
dengan meningkatkan selularitas dan invasi vaskular,akibatnya tulang menjadi
tebal dan padat (eburnasi). Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan
menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti nyeri sendi, kaku, dan deformitas.

Gambar 1.1 Osteoarthritis


29
Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan
mengalami fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses
peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini
menyebabkan terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh
darah subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan
subkondral tersebut. Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti
prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat
subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat
menghantarkan rasa sakit.
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator
kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi,
peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat
kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta
kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses
remodelling pada trabekula dan subkondral.
Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta
proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak
dan terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak
kehilangan rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang
subkhondral berupa penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada
ujung tulang dapat dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat
sekitarnya. Oleh sebab itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah
persendian yang terkena itu bengkak.

d. Faktor Resiko
a) Faktor resiko sistemik
1. Usia
merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan
meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme.
30
Kartilago pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam
mensintesis matriks kartilago yang distimulasi oleh pembebanan
(aktivitas) pada sendi. Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki kartilago
yang lebih tipis. Kartilago yang tipis ini akan mengalami gaya gesekan
yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal inilah yang menyebabkan
peningkatan resiko kerusakan sendi. Selain itu, otot-otot yang menunjang
sendi menjadi semakin lemah dan memiliki respon yang kurang cepat
terhadap impuls. Ligamen menjadi semakin regang, sehingga kurang
bisa mengabsorbsi impuls. Faktor-faktor ini secara keseluruhan
meningkatkan kerentanan sendi terhadap OA.
2. Jenis kelamin

Masih belum banyak diketahui mengapa prevalensi OA pada


perempuan usila lebih banyak daripada laki- laki usila. Resiko ini
dikaitkan dengan berkurangnya hormon pada perempuan pasca
menopause. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis.
Adanya mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk
unsur- unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan
dalam timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis.

3. Faktor intrinsik
a. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.
b. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.
4. Faktor beban pada persendian

1. Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat


kerusakan pada sendi.

2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan berulang


pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot yang
membantu pergerakan sendi.

31
e. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari OA biasanya terjadi secara perlahan-lahan. Awalnya


persendian akan terasa nyeri di persendian, kemudian nyeri tersebut akan menjadi
persisten atau menetap, kemudian diikuti dengan kekakuan sendi terutama saat
pagi hari atau pada posisi tertentu pada waktu yang lama (Subagjo, 2000). Tanda
kardinal dari OA adalah kekakuan dari persendian setelah bangun dari tidur atau
duduk dalam waktu yang lama, swelling (bengkak) pada satu atau lebih persendian,
terdengar bunyi atau gesekan (krepitasi) ketika persendian digerakkan(Subagjo,
2000).
Pada kasus-kasus yang lanjut terdapat pengurangan massa otot. Terdapatnya
luka mencerminkan kelainan sebelumnya. Perlunakan sering ditemukan, dan dalam
cairan sendi superfisial, penebalan sinovial atau osteofit dapat teraba (Hoaglund,
2001). Pergerakan selalu terbatas, tetapi sering dirasakan tidak sakit pada jarak
tertentu; hal ini mungkin disertai dengan krepitasi.Beberapa gerakan lebih terbatas
dari yang lainnya oleh karena itu, pada ekstensi panggul, abduksi dan rotasi
interna biasanya merupakan gerakan yang paling terbatas. Pada stadium lanjut
ketidakstabilan sendi dapat muncul dikarenakan tiga alasan: berkurangnya
kartilago dan tulang, kontraktur kapsuler asimetris, dan kelemahan otot (Hoaglund,
2001).
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan
hanya pada satu jenis pemeriksaan saja. Biasanya dilakukan pemeriksaan
reumatologi ringkas berdasarkan prinsip GALS (Gait, arms, legs, spine) dengan
memperhatikan gejala-gejala dan tanda-tanda sebagai berikut (Moskowitz, 2001) :
1) Nyeri sendi
Nyeri sendi merupakan hal yang paling sering dikeluhkan. Nyeri sendi
pada OA merupakan nyeri dalam yang terlokalisir, nyeri akan bertambah jika
ada pergerakan dari sendi yang terserang dan sedikit berkurang dengan
istirahat. Nyeri juga dapat menjalar (radikulopati) misalnya pada osteoarthritis
servikal dan lumbal. Claudicatio intermitten merupakan nyeri menjalar ke
arah betis pada osteoartritis lumbal yang telah mengalami stenosis spinal.
Predileksi OA pada sendi-sendi; Carpometacarpal I (CMC I),
32
Metatarsophalangeal I (MTP I), sendi apofiseal tulang belakang, lutu, dan
paha).
2) Kaku pada pagi hari (morning stiffness)
Kekakuan pada sendi yang terserang terjadi setelah imobilisasi
misalnya karena duduk di kursi atau mengendarai mobil dalam waktu yang
sukup lama, bahkan sering disebutkan kaku muncul pada pagi hari setelah
bangun tidur (morning stiffness).

3) Hambatan pergerakan sendi

Hambatan pergerakan sendi ini bersifat progresif lambat, bertambah


berat secara perlahan sejalan dengan bertambahnya nyeri pada sendi

4) Krepitasi

Rasa gemeretak (seringkali sampai terdengar) yang terjadi pada sendi


yang sakit.

5) Perubahan bentuk sendi

Sendi yang mengalami osteoarthritis biasanya mengalami perubahan


berupa perubahan bentuk dan penyempitan pada celah sendi. Perubahan ini
dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan sendi,
berbagai kecacatan dan gaya berjalan dan perubahan pada tulang dan
permukaan sendi. Seringkali pada lutut atau tangan mengalami perubahan
bentuk membesar secara perlahan-lahan.

6) Perubahan gaya berjalan

Hal yang paling meresahkan pasien adalah perubahan gaya berjalan,


hampir semua pasien osteoarthritis pada pergelangan kaki, lutut dan panggul
mengalami perubahan gaya berjalan (pincang). Keadaan ini selalu berhubungan
dengan nyeri.

f. Diagnosis

Diagnosis osteoarthritis lutut berdasrkan klinis, klinis dan radiologis, serta


klinis dan laboratoris (JH Klippel, 2001) :
33
a. Klinis :

Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:


2) Umur > 50 tahun
3) Kaku sendi < 30 menit
4) Krepitus
5) Nyeri tekan tepi tulang
6) Pembesaran tulang sendi lutut
7) Tidak teraba hangat pada sendi

b. Klinis, dan radiologis:

Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini:


1. umur > 50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. krepitus disertai osteofit

c. Klinis dan laboratoris:

Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di bawah ini:


1. usia >50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. Krepitus

4. nyeri tekan tepi tulang

5. pembesaran tulang
6. tidak teraba hangat pada sendi terkena

7. LED<40 mm/jam

8. RF <1:40

9. analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis

Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau kaku
dan disertai 3 atau 4 kriteria berikut:
34
1. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan

2. pembengkakan jaringan keras > 2 sendi distal interphalangea (DIP)

3. pembengkakan < 3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)

4. deformitas pada ≥ 1 diantara 10 sendi tangan

g. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Radiologi

Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan


gambaran radiologis.

Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA, ialah:

a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada


daerah yang menanggung beban)
b. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral
c. Kista tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiologis diatas, secara radiografi OA


dapat digradasi menjadi ringan sampai berat; yaitu menurut Kellgren dan
Lawrence. Harus diingat bahwa pada awal penyakit, seringkali radiografi sendi
masih normal. (Milne dkk, 2007)
2. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA, biasanya tidak banyak berguna.


Pemeriksaan laboratorium akan membantu dalam mengidentifikasi penyebab
pokok pada OA sekunder. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah)
dalam batas normal kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan
arthritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor rhematoid dan
komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan
penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel
35
peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein. (Soeroso, 2009) c) Pemeriksaan
Marker
Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan proses degradasi matriks
molekul yang akan dilepaskan kedalam cairan tubuh, seperti dalam cairan sendi,
darah, dan urin. Beberapa marker molekuler dari rawan sendi dapat digunakan
dalam diagnosis, prognostik dan monitor penyakit sendi seperti RA dan OA dan
dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme penyakit pada tingkat
molekuler.
Marker yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain:
Keratan sulfat, Konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP (cartilage
alogometric matrix protein), metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam
cairan sendi. Keratan sulfat dalam serum dapat digunakan untuk uji diagnostik
pada OA generalisata. Marker sering pula digunakan untuk menentukan beratnya
penyakit, yaitu dalam menentukan derajat penyakit.
Selain sebagai uji diagnostik marker dapat digunakan pula sebagai marker
prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan memburuknya penyakit. Pada
OA maka hialuronan serum dapat digunakan untuk membuat prediksi pada pasien
OA lutut akan terjadinya progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP
serum dapat membuat prediksi terhadap progresivitas penggunaan untuk petanda
lainnya maka marker untuk prognostik ini masih diteliti lagi secara prospektif dan
longitudinal dengan jumlah pasien yang lebih besar.
Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi terhadap respons
pengobatan. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks rawan sendi yang
dilepaskan dan yang masih tertinggal dalam rawan sendi mungkin dapat
memberikan informasi penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari
protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang dilepaskan dalam cairan
tubuh dan yang masih tertinggal dalam matriks, sangatlah konsisten dengan
aktivitas 2 enzim proteolitik yang berbeda fungsinya terhadap matriks rawan sendi
pada OA. Enzim tersebut ialah strolielisin dan agrekanase. Penelitian penggunaan
marker ini sedang dikembangkan.

36
h. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:
1. Meredakan nyeri

2. Mengoptimalkan fungsi sendi

3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas hidup

4. Menghambat progresivitas penyakit

5. Mencegah terjadinya komplikasi

Penatalaksanaan OA pada pasien berdasarkan atas distribusinya (sendi mana


yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3
hal:

1. Terapi non-farmakologis:
a. Edukasi : memberitahukan tetang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar
penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai
b. Menurunkan berat badan : Berat badan berlebih merupakan faktor resiko dan
faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus
selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus
diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.
c. Terapi fisik dan Rehabilitasi medik/fisioterapi o Terapi ini untuk melatih pasien
agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungu
sendi yang sakit. o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri,
menguatkan otot, dan menambah luas pergerakan sendi.
d. Pembedahan : Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus
dipertimbangkan terlebih dahulu risiko dan keuntungannya. Pertimbangan
dilakukan tindakan operatif bila :

1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi


2. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan
rehabilitatif

37
Ada 2 tipe terapi pembedahan : Realignment osteotomi dan replacement joint
1) Realignment osteotomi
Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan
merubah sudut dari weightbearing. Tujuan : Membuat karilago sendi
yang sehat menopang sebagian besar berat tubuh. Dapat pula
dikombinasikan dengan ligamen atau meniscus repair (Chapman,
2001).

2) Arthroplasty
Permukaan sendi yang arthritis dipindahkan, dan permukaan sendi
yang baru ditanam. Permukaan penunjang biasanya terbuat dari logam
yang berada dalam high-density polyethylene (Thomas, 2000).
Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis :
a) Partial replacement/unicompartemental
b) High tibial osteotmy : orang muda

c) Patella &condyle resurfacing

d) Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi dilakukan


sebagian oleh ligament asli dan sebagian oelh sendi buatan.

e) Cinstrained joint : fixed hinges : dipakai bila ada tulang hilang&severe


instability (Solomon, 2001).

e. Indikasi dilakukan total knee replacement apabila didapatkan nyeri, deformitas,


instability akibat dari Rheumatoid atau osteoarthritis. Sedangankan
kontraindikasi meliputi non fungsi otot ektensor, adanya neuromuscular
dysfunction, Infeksi, Neuropathic Joint, Prior Surgical fusion. Komplikasinya
antara lain, Deep vein thrombosis, Infeksi, Loosening, Problem patella; rekuren
subluksasi/dislokasi, loosening prostetic component, fraktur, catching soft
tissue. Sedangkan keuntungan dari Total Knee Replacement adalah mengurangi
nyeri, meningkatkan mobilitas dan gerakan, koreksi deformitas, menambah
kekuatan kaki, meningkatkan kualitas hidup.(Solomon, 2001)

38
2. Terapi Farmakologis:
b. Obat Sistemik
1) Analgesik oral o Non narkotik: parasetamol o Opioid (kodein, tramadol)
2) Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)
Obat pilihan utama untuk paien OA adalah Acetaminophen 500mg
maksimal 4gram perhari. Pemberian obat ini harus hati-hati pada pasien
usia lanjut karena dapat menimbulkan reaksi pada liver dan ginjal.
3) Chondroprotective
Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan yang
dapat menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi pada
pasien OA, sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam
Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifying
Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk
dalam kelompok obat ini adalah: etrasiklin, asam hialuronat, kondrotin
sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan
sebagainya.
4) Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja enzime
MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat ini baru dipakai
oleh hewan belum dipakai pada manusia.
5) Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan
dalam degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase, protease, elastase
dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan
asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi. Pada penelitian Rejholec
tahun 1987 pemakaian GAG selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan
dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir),
yang secara statistik bermakna.
6) Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok
vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler sekeliling sel.
Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas kondroitin sulfat pada
pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu : 1. Anti inflamasi
2. Efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti

39
degeneratif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat oksigen
reaktif.
7) Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim
lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA
8) Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxyl
radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak asam
hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat
merusak kondroitin secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan
bahwa pemberian superoxide dismutase dapat mengurangi keluhan-keluhan
pada pasien OA. (Fifi & Brandt, 1992)
9) Tranuzemad (medikamentosa terbaru, masih dalam penelitian)
Didalam salah satu studi dan penelitian didapatkan bukti konsep
pengobatan tranezumad dikaitkan sengan penurunan nyeri sendi dan
peningkatan fungsi dengan efek samping ringan diantara pasien dengan
OA lutut dari sedang sampai parah. Tranezumad adalah suatu humanis
IgG2 monoklonal antibodi yang bekerja menghambat nerve growth factor
yang memblik interaksi antara nerve factor dengan receptor. TrkA dan p75.
(Nancy, 2011)
c. Obat topikal
1) Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada
umumnya bersifat counter irritant.
2) Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan
campuran yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang dapat
digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diclofenac.

d. Injeksi intraartikular/intra lesi

Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan


utama dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan

40
selektifitas dalam penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek
merugikan baik yang bersifat lokal maupun sistemik. Pada dasarnya ada 2
indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan simtomatik dengan
steroid, dan viskosuplementasi (DMAODs) dengan hyaluronan untuk
modifikasi perjalanan penyakit. Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya
melakukan tindakan, adalah dokter yang telah melalui pendidikan tambahan
dalam bidang reumatologi.

1. Steroid Intra-artikuler (triamsinolone hexacetonide dan methyl


prednisolone)

Pada penyakit arthritis rhematoid menunjukan hasil yang baik.


Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien OA, oleh
karena itu obat ini dipakai dan obat ini mampu mengurangi rasa sakit
walaupun hanya dalam waktu singkat. Penelitian selanjutnya tidak
menunjukan keuntungan yang nyata pada pasien OA, sehingga hal ini
masih kontroversial.
Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami
nyeri dan inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian
NSAIDs, tak dapat mentolerir NSAIDs atau ada komorbiditas yang
merupakan kontra indikasi terhadap pemberian NSAIDs. Teknik
penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari penyulit
yang timbul. Sebagian besar literatur tidak menganjurkan dilakukan
penyuntikan lebih dari sekali dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali
terutama untuk sendi besar penyangga tubuh.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi,
sedangkan untuk sendi-sendi kecil biasanya digunakan dosis 10 mg.
2. Asam hialuronat

Disebut juga vicosupplement oleh karena salah satu manfaat


obat ini adalah memperbaiki viskositas cairan synovial. Obat ini
diberikan intra-artikuler. Obat ini memegang peranan penting dalam

41
pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan
proteoglikan.
Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan.
Penyuntikan intra artikular biasanya untuk sendi lutut (paling sering),
sendi bahu dan koksa. Diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan
interval satu minggu masing-masing 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan.
Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat
timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan
abses steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan dasar
hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur.
(ada 3 sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.
3. Stem cells

Akhir-akhir ini banyak penelitian baru mengenai penggunaan


stem sel untuk terapi OA terutama OA pada lutut, salah satunya di Iran.
Dilakukan penelitian selama periode satu tahun, dengan menyuntikan
stem sel intraartikular kepada pasien dengan OA lutut yang berat.
Didapatkan hasil ysng puas dan tidak ditemukan efek samping lokal
atau sistemik. Nyeri, status fungsional lutut, dan berjalan kaki
cenderung ditingkatkan hingga enam bulan pasca injeksi, setelah itu
rasa sakit tampaknya sedikit meningkat dan kemampuan pasien
berjalan sedikit menurun. Perbandingan gambar resonansi magnetik
(MRI) pada awal dan enam bulan pasca-suntikan sel didapatkan
peningkatan ketebalan tulang rawan, perluasan jaringan perbaikan atas
tulang subchondral dan penurunan yang cukup besar dalam ukuran
patch pembengkakan subchondral dalam tiga dari enam pasien.

Selanjutnya, terapi ini memiliki potensi regenerasi kartilago


artikular yang hancur dalam lutut osteoarthritic. Menurut hasil
penelitian ini, disimpulkan bahwa semua parameter dievaluasi muncul
semakin meningkatkan hingga enam bulan pasca injeksi. Nilai ini
sedikit berkurang sampai 12 bulan pasca injeksi. Untuk alasan ini, dapat

42
disimpulkan bahwa suntikan kedua akan membutuhkan enam bulan
setelah injeksi pertama. (Emadedin, 2012).

III. GOUT ARTHRITIS


a. Definisi
Artritis gout merupakan salah satu penyakit metabolisme yang sebagian
besar biasanya terjadi pada laki-laki usia paruh baya sampai lanjut dan
perempuan dalam masa post-menopause.
Artritis gout adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri
yang paling sering di sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada
jempol kaki, dapat juga mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan
kaki, lutut, lengan, pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan
tendon. Biasanya hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa
menjadi semakin parah dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa
sendi. Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan
metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat
(hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout merupakan penyakit akibat
penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh sehingga menyebabkan
nyeri sendi disebut Gout artritis.
Asam urat merupakan senyawa nitrogen yang dihasilkan dari proses
katabolisme purin baik dari diet maupun dari asam nukleat endogen (asam
deoksiribonukleat). Gout dapat bersifat primer, sekunder, maupun idiopatik.
1) Gout primer merupakan akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang
berlebihan atau akibat penurunan ekskresi asam urat.
2) Gout sekunder disebabkan karena pembentukan asam urat yang berlebihan
atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses penyakit lain atau
pemakaian obat-obatan tertentu.
3) Gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer,
kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologis atau anatomi yang jelas.

43
b. Faktor Risiko
1) Suku bangsa / ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di Australia.
Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan
Indonesia prevalensi yang paling tinggi pada penduduk pantai dan yang paling
tinggi di daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan
konsumsi alkohol.
2) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan
produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk
sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi
asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.
f. Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi.
Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat.
g. Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia.
Misalnya obesitas, diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia,
dsb. Adipositas tinggi dan berat badan merupakan faktor resiko yang kuat
untuk gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan adalah faktor
pelindung.
h. Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia.
Misalnya diuretik, antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk
memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan
darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan
kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat
meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan menyebabkan serangan gout.
Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat "disembuhkan" dengan
menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera
dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi

44
dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen
untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis
rendah menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat,
sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.
i. Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan
perempuan pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki
dan perempuan sama pada usia lanjut.

j. Diet tinggi purin


Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan
bagian dari kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan
dengan purin tinggi.
c. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa
kurang dari 7 mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam
urat dalam serum lebih besar dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal
monosodium urat. Serangan gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan secara mendadak kadar asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat
mengendap dalam sendi, akan terjadi respon inflamasi dan diteruskan dengan
terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang berulang – ulang,
penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan mengendap
dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga.
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan
jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran
immunoglobulin. Pada keadaan monosodium urat tinggi, aktivasi sistem komplemen
melalui jalur alternatif terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi C1 melalui
jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan
Hageman factor (Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan
partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses opsonisasi. Proses opsonisasi

45
partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut mudah untuk dikenal,
yang kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh neutrofil, monosit dan makrofag.
Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses
kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF.
Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan membrane attack complex
(MAC). Membrane ini merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang
berperan dalam ion chanel yang bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host.
Hal ini membuktikan bahwa melalui jalur aktivasi cascade komplemen kristal urat
menyebabkan proses peradangan melalui mediator IL-1 dan TNF serta sel radang
neutrofil dan makrofag.
Pada proses inflamasi, makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam
proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain
IL-1, TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony- Stimulating
Factor). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel
radang. Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara sehingga
menimbulkan respon fungsional sel dan gene expression. Respon fungsional sel
radang tersebut antara lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidasi gene
expression. Sel radang melalui jalur signal transduction pathway dan berakhir dengan
aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan
mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. signal transduction
pathway melalui 2 cara yaitu: dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-
link) atau dengan langsung menyebabkan gangguan nonspesifik pada membrane sel.
Ikatan dengan reseptor pada sel membrane akan bertambah kuat apabila
kristal urat berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan immunoglobulin
(Fc dan IgG) datau dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan
cross-link dengan berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (integrin),
nontyrosin kinase, reseptor Fc, komplemen dan sitokin serta aktivasi reseptor
melalui tirosin kinase dan second messenger akan mengaktifkan transcription factor.

46
Gambar 1.2 Patofisiologi Gout Athritis
d. Manifestasi Klinis
1) Tahap 1 (Tahap Gout Artritis akut)
Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-laki, dan
setelah 60 tahun pada perempuan. Gejala yang muncul sangat khas, yaitu radang
sendi yang sangat akut dan timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur
tanpa ada gejala apapun, kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak
dapat berjalan. Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat,
disertai keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai
lekositosis dan peningkatan endap darah. Sedangkan gambaran radiologis hanya
didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan cepat
membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun.
2) Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)
Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu tertentu.
Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu 1-10 tahun.
Namun rata-rata rentang waktunya antara 1-2 tahun. Panjangnya rentang waktu
pada tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya pernah menderita
serangan gout Artritis akut.
3) Tahap 3 (Tahap Gout Artritis Akut Intermitten)

47
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala,
maka penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan serangan artritis
yang khas seperti diatas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan
(kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dengan serangan berikutnya
makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama makin panjang, dan
jumlah sendi yang terserang makin banyak.
4) Tahap 4 (tahap Gout Artritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih.
Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi yang sering
meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa benjolan keras yang
berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium urat.
Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang disekitarnya.

Gambar 1.3 Radiologi Gout Athritis

48
Gambar 1.4 Gout Atrhitis

k. Diagnosis
Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan
sendi.
l. Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL
untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita. Pemeriksaan gula darah
dilakukan untuk mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes mellitus.
Ureum dan kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi
ginjal. Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada
dan tidaknya gejala aterosklerosis.
m. Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya
ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate (kristal MSU) dalam
cairan sendi. Pemeriksaan cairan sendi ini merupakan pemeriksaan yang
terbaik. Cairan hasil aspirasi jarum yang dilakukan pada sendi yang mengalami
peradangan akan tampak keruh karena mengandung kristal dan sel-sel radang.
Seringkali cairan memiliki konsistensi seperti pasta dan berkapur.
n. Pemeriksaan dengan Roentgen
Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan
sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada

49
penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan roentgen perlu
dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan
jaringan di sekitar sendi.
j. Penatalaksanaan
Non-farmakologis
a. Edukasi
b. Pengaturan diet
c. Istirahat sendi dan pengobatan.

Farmakologis
a. Nonstereoidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs)
NSAIDs dimulai dengan dosis maksimum pada tanda pertama dari serangan, dan
dosis diturunkan pada saat gejala sudah mulai mereda. Namun pemberian obat
harus terus diberikan sampai 48 jam setelah gejala sudah tidak muncul lagi.
b. Kolkisin
Kolkisin terbukti efektif digunakan untuk menangani akut gout artritis, kolkisin
dapat memberikan efek meredakan nyeri dalam waktu 48 jam untuk sebagian
pasien. Pemberian obat ini diberikan secara oral dengan dosis inisiasi 1 mg dan
diikuti dengan dosis 0,5 mg setiap dua jam sampai rasa tidak nyaman pada perut
atau diare membaik atau dengan dosis maksimal yang diberikan perharinya adalah
6 mg – 8 mg.
c. Kortikosteroid dan Hormon Adenokortikotropik Pada pasien yang kontraindikasi
dengan menggunakan kolkisin, atau pada pasien yang gagal diterapi dengan
kolkisin dapat diberikan ACTH. Prednison 20 – 40 mg per hari dapat diberikan 3
– 4 kali dalam sehari. Dosis kemudian diturunkan secara bertahap setiap 1 – 2
minggu. ACTH diberikan secara intramuscular dengan dosis 40 –
d. 80 IUm dengan dosis inisial 40 IU setiap 6 – 12 jam untuk beberapa hari.

50
8.Obat- obatan yang dapat menyebabkan nyeri ulu hati

I. Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSID)

Inflamasi adalah rekasi tubuh untuk mempertahankan atau


menghindari faktor lesi. COX2 dapat mempengaruhi terbentuknya PGs dan
BK. Peran PGs didalam peradangan yaitu vasodilatasi dan jaringan edema,
serta berkoordinasi dengan bradikinin menyebabkan keradangan. Mekanisme
Anti-Inflamasi
Menghambat prostaglandin dengan menghambat COX.
Karakteristik Anti-Inflamasi
NSAID hanya mengurangi gejala
klinis yang utama (erythema, edema, demam, kelainan fungsi tubuh dan
sakit). Radang tidak memiliki efek pada autoimunological proses pada
reumatik dan reumatoid radang sendi. Memiliki antithrombik untuk
menghambat trombus atau darah yang membeku.
Contoh obat NSAID
(Anti Inflamasi)
• Gol. Indomethacine
Proses didalam tubuh

Absorpsi di dalam tubuh cepat dan lengkap, metabolisme
sebagian berada di hati, yang dieksresikan di dalam urine dan
feses, waktu paruhnya 2-3 jam, memiliki anti inflamasi dan efek
antipiretic yang merupakan obat penghilang sakit yang disebabkan
oleh keradangan, dapat menyembuhkan rematik akut, gangguan
pada tulang belakang dan asteoatristis.

Efek samping
1 Reaksi gastrointrestianal: anorexia (kehilangan nafsu
makan), vomting (mual), sakit abdominal, diare.
2 Alergi: reaksi yang umumnya adalah alergi pada kulit dan
dapat menyebabkan asma.
 Gol. Sulindac
Potensinya lebih lemah dari Indomethacine tetapi lebih kuat
dari aspirin, dapat mengiritasi lambung, indikasinya sama dengan
Indomethacine.

51
• Gol. Arylacetic Acid
Selain pada reaksi aspirin yang kurang baik juga dapat
menyebabkan leucopenia thrombocytopenia, sebagian besar digunakan
dalam terapi rematik dan reumatoid radang sendi, ostheoarthitis.
• Gol. Arylpropionic Acid
Digunakan untuk penyembuhan radang sendi reumatik dan
ostheoarthitis, golongan ini adalah penghambat non selektif cox, sedikit
menyebabkan gastrointestial, metabolismenya dihati dan di keluarkan di
ginjal.
• Gol. Piroxicam
Efek mengobati lebih baik dari aspirin indomethacine dan
naproxen, keuntungan utamanya yaitu waktu paruh lebih lama 36-45 jam.
• Gol. Nimesulide
Jenis baru dari NSAID, penghambat COX-2 yang selektif,
memiliki efek anti inflamasi yang kuat dan sedikit efek samping.

II. GLUKOKORTIKOID
Kortison dan hidrokortison mempunyai efek mineralokortikoid
yang relatif tinggi yang akan menyebabkan dapat menyebabkan retensi
cairan, sehingga tidak sesuai untuk pengobatan jangka panjang. Meskipun
keduanya dapat digunakan sebagai terapi pengganti pada insufisiensi
adrenal, hidrokortison lebih baik karena kortison masih perlu diubah
menjadi hidrokortison di liver. Hidrokortison digunakan intravena untuk
pengobatan jangka pendek pada penanganan darurat beberapa keadaan.
Hidrokortison mempunyai potensi antiinflamasi yang tidak terlalu kuat,
sehingga baik digunakan secara topikal untuk inflamasi kulit karena
kemungkinan efek samping topikal maupun sistemik kecil. Kortison tidak
aktif secara topikal.
Prednisolon, mempunyai efek glukokortikoid yang dominan dan
merupakan kortikosteroid oral yang paling sering digunakan dalam terapi

52
supresi penyakit jangka panjang. Betametason dan deksametason
mempunyai aktivitas glukokortikoid yang sangat tinggi sedangkan
aktivitas mineralokortikoidnya sangat rendah; sehingga digunakan untuk
kondisi yang memerlukan kortikosteroid dosis tinggi tanpa retensi cairan
yang membahayakan. Betametason dan deksametason mempunyai masa
kerja yang lama, dengan efek mineralokortikoid yang kecil sehingga
kedua sifat ini sesuai untuk kondisi yang memerlukan supresi sekresi
kortikotropin (hiperplasia adrenal kongenital). Beberapa bentuk ester
betametason dan beklometason bila diberikan mempunyai efek topikal
(pada kulit dan paru-paru) yang lebih nyata daripada bila diberikan secara
oral, sehingga sifat ini dimanfaatkan dengan menggunakan ester tersebut
secara topikal agar kemungkinan efek samping sistemik minimal (untuk
pemakaian pada kulit dan inhalasi untuk asma). Deflazakort mempunyai
aktivitas glukokor-tikoid yang tinggi, merupakan turunan dari
prednisolon.
Efek kortikosteroid yang merugikan
Overdosis atau penggunaan
jangka panjang dapat menimbulkan efek fisiologis yang berlebihan
sehingga menimbulkan efek samping glukokortikoid maupun
mineralokortikoid. Efek samping mineralokortikoid adalah hipertensi,
retensi natrium dan air serta kehilangan kalium. Hal ini jelas terjadi pada
fludrokortison dan cukup sering terjadi pada kortison, hidrokortison,
kortikotropin dan tetrakosaktrin. Efek samping mineralokortikoid pada
betametason dan deksametason yang mempunyai efek glukokortikoid
yang besar, dapat diabaikan, sedangkan pada metil prednisolon,
prednisolon dan triamsinolon efek mineralokortikoid ringan.
Efek samping glukokortikoid antara lain diabetes dan osteoporosis,
yang berbahaya, terutama pada lanjut usia, dapat terjadi fraktur
osteoporotik pada tulang pinggul dan tulang belakang. Selain itu,
pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis avaskular pada
kepala femur. Dapat terjadi gangguan mental yang serius; paranoid atau
depresi dengan risiko bunuh diri, terutama pada pasien dengan riwayat

53
gangguan mental. Sering terjadi euphoria. Dapat terjadi hilang massa otot
(proximal myopathy). Terapi kortikosteroid mempunyai hubungan dengan
timbulnya tukak peptik meskipun lemah. (tidak jelas manfaat sediaan
yang diatur kelarutannya atau salut enterik untuk mengurangi risiko ini).
Kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan sindrom Cushing
dengan gejala-gejala moon face, striae dan acne yang dapat pulih
(reversibel) bila terapi dihentikan, tetapi cara menghentikan terapi harus
dengan menurunkan dosis secara bertahap (tappering-off) untuk
menghindari terjadinya insufisiensi adrenal akut.

III. Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs)


Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) dapat
mempengaruhi perkembangan penyakit, tetapi membutuhkan waktu 4-6
bulan pengobatan untuk mendapatkan respons terapetik penuh. Pada anak,
jika salah satu DMARDs ini tidak menunjukkan manfaat yang objektif
dalam 6 bulan sejak awal memulai pengobatan atau 3 bulan setelah waktu
pengobatan maksimum, penggunaan obat ini sebaiknya dihentikan dan
dicoba diberikan obat yang berbeda. Biasanya pengobatan dimulai dengan
AINS tunggal, karena pada beberapa bulan pertama pengobatan, biasanya,
kondisi reumatik artritisnya sulit diduga dan diagnosisnya tidak pasti.
Namun demikian,
DMARDs sebaiknya diberikan oleh dokter setelah diagnosis,
perkembangan dan keparahan penyakit sudah dipastikan. Jika
memberikan respon terhadap DMARDs, dosis AINS dapat diturunkan.
Metotreksat, etanersep, dan sulfasalazin dapat menekan perkembangan
penyakit juvenile idiopathic arthritis. Pada anak, penggunaan DMARDs
ini sebaiknya digunakan di bawah pengawasan dokter. Beberapa pasien
juvenile idiopathic arthritis (artritis juvenil krionik) tidak memerlukan
DMARDs. Metotreksat efektif untuk juvenile idiopathic arthritis,
sulfasalazin dapat merupakan pilihan alternatif tetapi sebaiknya dihindari
digunakan untuk systemic onset juvenile idiopathic arthritis.

54
DMARDs tidak hanya mengatasi gejala dan tanda penyakit radang
sendi tetapi juga manifestasi ekstra artikular seperti vaskulitis. Obat-obat
ini mengurangi laju endap darah (LED), protein C-reaktif, dan terkadang
titer faktor reumatoid. Sebagian (misalnya metotreksat dan siklosporin)
dapat menunda kerusakan erosif yang dapat ditunjukkan secara radiologi.
Pemilihan suatu DMARDs sebaiknya memperhitungkan ko-
morbiditas dan keinginan pasien. Kemanfaatan sulfasalazin, metotreksat,
emas intramuskular, dan penisilamin sebanding. Namun sulfasalazin dan
metotreksat biasa digunakan sebagai pilihan pertama karena dapat
ditoleransi lebih baik. Penisilamin dan obat yang mempengaruhi sistem
imun (imunomodulator) kadang juga dipakai dalam reumatoid artritis
yang memperlihatkan kelainan ekstra artikular seperti vaskulitis, dan pada
pasien yang menggunakan dosis kortikosteroid yang besar. Jika pasien
memberikan respons terhadap pemberian obat, hal ini sering dapat
menurunkan kebutuhan akan kortikosteroid dan obat lainnya secara nyata.
Emas dan penisilamin efektif pada reumatisme palindromik. Lupus
eritematosus sistemik dan diskoid kadang diobati dengan klorokuin atau
hidroksiklorokuin.
Jika pemberian salah satu DMARDs tidak memberikan manfaat
dalam waktu 6 bulan (atau 3 bulan untuk penghambatan tumour necrosis
factor), sebaiknya diberikan DMARDs yang lain. Pada keadaan tertentu
dan di bawah pengawasan ketat, kombinasi 2 atau lebih DMARDs dapat
dipertimbangkan.
IMUNOSUPRESAN
Metotreksat merupakan DMARDs yang
sesuai untuk artritis reumatik sedang sampai berat. Azatioprin,
siklosporin, siklofosfamid, leflunomid dan penghambat sitokin
(adalimumab, anakinra, etanercept, dan infliksimab) dipertimbangkan
sebagai lebih toksik dan digunakan jika pasien tidak memberikan respon
pada pemberian DMARDs lain. Metotreksat biasanya diberikan dalam
dosis awal 7,5 mg secara oral seminggu sekali, kemudian diatur sesuai

55
respon sampai maksimum 15 mg seminggu sekali (kadang sampai 20 mg).
Diperlukan pemeriksaan darah lengkap (termasuk hitung jenis darah putih
dan hitung platelet), pemeriksaan fungsi ginjal dan pemeriksaan fungsi
hati. Pada pasien yang mengalami efek samping pada saluran cerna dan
mukosa, untuk anak di atas dua tahun dan dewasa dapat diberi asam folat
5 mg setiap minggu untuk menurunkan frekuensi efek samping, biasanya
paling tidak 24 jam setelah pemberian metotreksat.
Azatioprin biasanya diberikan dalam dosis 1,5 sampai 2,5 mg/kg
bb/ hari dalam dosis terbagi. Diperlukan pemeriksaan hitung darah untuk
mendeteksi kemungkinan netropenia atau trombositopenia yang biasanya
diatasi dengan pengurangan dosis. Mual, muntah dan diare dapat timbul,
biasanya sejak awal pengobatan, dan mungkin memerlukan penghentian
pengobatan. Infeksi herpes zoster juga mungkin muncul.
Leflunomid bekerja pada sistem imun sebagai DMARDs. Efek
terapetiknya dimulai setelah 4-6 minggu dan perbaikan penyakit berlanjut
pada 4-6 bulan berikutnya. Khasiat leflunomid sebanding dengan
metotreksat dan sulfasalazin, dan dapat dipilih jika kedua obat tersebut
tidak dapat digunakan. Metabolit aktif leflunomid bertahan cukup lama.
Prosedur wash-out obat dari dalam tubuh diperlukan jika terjadi
efek samping serius, atau sesaat sebelum memulai pemberian DMARDs
lain, atau pada wanita dan pria sebelum konsepsi. Efek samping
leflunomid termasuk juga depresi sumsum tulang. Efek imunosupresi
meningkatkan risiko infeksi dan malignansi.
Siklosporin dapat diberikan untuk reumatoid artritis aktif yang
berat jika terapi konvensional lini kedua tidak memadai atau tidak efektif.
Terdapat bukti bahwa siklosporin bisa memperlambat perkembangan
erosif dan memperbaiki pengendalian gejala pada pasien yang memberi
respon sebagian terhadap metotreksat. Pada anak, siklosporin jarang
digunakan untuk juvenile idiopathic arthritis, penyakit jaringan ikat,
vaskulitis, dan uvelitis, namun dapat dipertimbangkan jika pasien gagal
memberikan respon terhadap pengobatan lain.

56
Siklofosfamid dapat digunakan pada dosis 1 sampai 1,5 mg/kg
bb/hari secara oral untuk reumatoid artritis dengan manifestasi sistemik
yang berat. Obat ini bersifat toksik dan penggunaannya memerlukan
pemeriksaan hitung darah (termasuk pemeriksaan jumlah platelet).
Siklofosfamid dapat juga diberikan secara intravena dalam dosis 0,5
sampai 1 g (dengan mesna profilaktik) untuk artritis reumatoid sistemik
berat dan untuk penyakit jaringan ikat (khususnya dengan vaskulitis aktif),
diberi berulang mula-mula dengan selang dua minggu kemudian selang
sebulan (tergantung pada respons klinis dan pemantauan hematologis).
Imunosupresan digunakan juga pada penanganan kasus berat
lupus eritematosus sistemik dan kelainan gangguan jaringan ikat lainnya.
Obat-obat ini sering diberikan bersama kortikosteroid untuk pasien yang
mengalami gangguan ginjal yang berat atau progresif. Obat-obat ini dapat
digunakan pada kasus polimiositis yang resisten terhadap kortikosteroid.
Obat-obat ini digunakan karena mempunyai efek hemat kortikosteroid
yang dibutuhkan pada pasien dengan kebutuhan terhadap kortikosteroid
yang tinggi. Biasanya dipakai azatioprin. Azatioprin dan metotreksat
digunakan dalam pengobatan psoriatic arthropathy untuk kasus yang
berat atau progresif yang tidak dapat dikendalikan dengan obat-obat
antiinflamasi.

9.Prespektif Islam

ْ ‫صالَ َةَ َلَ ا ْل ُم‬


‫س ِل ِميْنََ َم ْعش َََر يَا‬ َْ ‫ص ْلبَ َهُ يُ ِق ْي ََم َلَ ِل َم‬
َ ‫ن‬ ُ ‫عِ فِي‬
َ ‫الرك ُْو‬
ُّ ‫س ُج ْو َِد‬
َُّ ‫َوال‬

Wahai kaum Muslimin, tidak ada shalat bagi orang yang tidak meluruskan tulang
punggungnyaَdalamَruku’َdanَsujud.َH.RَAhmad

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009
; 2773-2779
2. Sudoyo, Aru W., Setiyo Hadi Bambang, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi VI. Jakarta : internapublishing. Hal. 313
3. Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
4. Kasper, Fauci, Hauser & dkk, 2012. Harriosons Prinsip Of Internal Medicine. 19
ed. Amerika Serikat: McGraw-Hill Companies. halaman 2226-2233
5. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Osteoartritis, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B.
Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I,
Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
6. Wiraputra, Ida Bagus Made Andy. Putra, Tjokorda Raka. 2017. Gout Arthritis.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran. Universitas Udayana
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. 2014. Interna Publishing.
Jakarta.
8. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan Praktik Klinis. 2015.
Interna Publishing. Jakarta.
9. Digilib.unila.ac.i
10. Pusat Informasi Obat Nasional. Badan Pengawas Obat dan Makanan. pionas.
pom.go.id

58
59

Anda mungkin juga menyukai