7 Mini Project
Pembimbing:
PINRANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang
mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya bervariasi
pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).
Kumpulan gejala ini dikenal dengan istilah sindroma dispepsia yang terdiri atas
keluhan rasa tidak nyaman di perut bagian atas, mual, muntah, kembung, cepat
merasa kenyang, rasa perut penuh, dan sendawa (Djojoningrat, 2014a).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2007).
Dispepsia adalah keluhan yang diasosiasikan sebagai akibat dari kelainan saluran
makanan bagian atas yang berupa nyeri perut bagian atas, perih, mual, yang kadang-
kadang disertai rasa panas di dada dan perut, lekas kenyang, anoreksia, kembung,
regurgitasi, banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (Hadi, 2009).
Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2006 yang diterbitkan Depkes
RI pada tahun 2007, dispepsia menempati urutan ke-10 dengan proporsi 1,52%
(34.029 kasus) dari 10 kategori jenis penyakit terbanyak dirawat inap di seluruh
rumah sakit yang ada Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2007) dan pada tahun 2010
kasus dispepsia mengalami peningkatan yaitu menduduki peringkat ke-5 dari 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit dengan jumlah kasus laki-laki 9.594 (38,82%) dan
perempuan 15.122 (61,18%), sedangkan untuk penyakit rawat jalan dispepsia
menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus laki-laki 34.981 dan perempuan
53.618 serta didapatkan 88.599 kasus baru dan 163.428 kunjungan (Kementerian
Kesehatan, 2012).
Dispepsia merupakan kelainan yang tidak mengancam jiwa, namun gejala yang
sering timbul seperti nyeri perut dan gangguan pencernaan membutuhkan kunjungan
medis berulang, yang akan meningkatkan biaya kesehatan dan mempengaruhi
kualitas hidup pasien.
1.3 Tujuan
Mengetahui gambaran prevalensi angka kejadian penyakit Dyspepsia di wilayah
kerja Puskesmas Lampa.
1.4 Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Agar masyarakat bisa mengetahui tentang seberapa banyak kejadian dispepsia
sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kejadian dispepsia dan agar
masyarakat memahami tentang penanganan dispepsia dengan mengatur pola hidup
seperti makanan yang bisa dimakan dan yang tidak boleh dimakan dan dengan obat-
obatan serta agar masyarakat yang menderita dispepsia mau rutin berobat ke
pelayanan kesehatan sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang serius.
2. Bagi Instansi
Meningkatkan kerjasama serta komunikasi antara dokter internship, petugas
kesehatan dan masyarakat mengenai dyspepsia serta mengoptimalkan program
promosi kesehatan Puskesmas.
TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Etiologi
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid
reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke
dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti
obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab
dispepsia belum dapat ditemukan. Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
2.4 PATOFISIOLOGI
2.6. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,
ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan
dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi
dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat. Pengobatan dispepsia mengenal
beberapa golongan obat, yaitu:
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasida akan generalisir
sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus menerus,
sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat
dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai absorben sehingga
bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena
terbentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki
efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
6. Golongan prokinetik
METODE PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
a. Puskesmas : Perlu dilakukan penyuluhan mengenai penyakit Diare bagi
masyarakat yang masih minim pengetahuan
b. Masyarakat : Diharapkan bagi masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi
dalam program-program kesehatan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
keluarga dan masyarakat sekitarnya
c. Peneliti : Memperbaiki penelitian ini dengan cara menindaki lanjut hasil dari
penyuluhan ini.
.
DAFTAR PUSTAKA