Anda di halaman 1dari 16

F.

7 Mini Project

PREVALENSI ANGKA KEJADIAN PENYAKIT


DYSPEPSIA JULI-SEPTEMBER 2019
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LAMPA

dr. Fadli Amali

Pembimbing:

dr. Hj. Andi Silviani

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

PINRANG

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang
mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya bervariasi
pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).
Kumpulan gejala ini dikenal dengan istilah sindroma dispepsia yang terdiri atas
keluhan rasa tidak nyaman di perut bagian atas, mual, muntah, kembung, cepat
merasa kenyang, rasa perut penuh, dan sendawa (Djojoningrat, 2014a).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi
asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2007).

Dispepsia adalah keluhan yang diasosiasikan sebagai akibat dari kelainan saluran
makanan bagian atas yang berupa nyeri perut bagian atas, perih, mual, yang kadang-
kadang disertai rasa panas di dada dan perut, lekas kenyang, anoreksia, kembung,
regurgitasi, banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (Hadi, 2009).

Sedangkan menurut Mansjoer, Triyanti, Savitri, Wardhani dan Setiowulan, (2008).


Dispepsia merupakan kumpulan keluhan gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak
atau sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan.

Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2006 yang diterbitkan Depkes
RI pada tahun 2007, dispepsia menempati urutan ke-10 dengan proporsi 1,52%
(34.029 kasus) dari 10 kategori jenis penyakit terbanyak dirawat inap di seluruh
rumah sakit yang ada Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2007) dan pada tahun 2010
kasus dispepsia mengalami peningkatan yaitu menduduki peringkat ke-5 dari 10 besar
penyakit rawat inap di rumah sakit dengan jumlah kasus laki-laki 9.594 (38,82%) dan
perempuan 15.122 (61,18%), sedangkan untuk penyakit rawat jalan dispepsia
menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus laki-laki 34.981 dan perempuan
53.618 serta didapatkan 88.599 kasus baru dan 163.428 kunjungan (Kementerian
Kesehatan, 2012).
Dispepsia merupakan kelainan yang tidak mengancam jiwa, namun gejala yang
sering timbul seperti nyeri perut dan gangguan pencernaan membutuhkan kunjungan
medis berulang, yang akan meningkatkan biaya kesehatan dan mempengaruhi
kualitas hidup pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut di atas dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut, bagaimana gambaran prevalensi angka kejadian
penyakit Dyspepsia di wilayah kerja Puskesmas Lampa.

1.3 Tujuan
Mengetahui gambaran prevalensi angka kejadian penyakit Dyspepsia di wilayah
kerja Puskesmas Lampa.

1.4 Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Agar masyarakat bisa mengetahui tentang seberapa banyak kejadian dispepsia
sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kejadian dispepsia dan agar
masyarakat memahami tentang penanganan dispepsia dengan mengatur pola hidup
seperti makanan yang bisa dimakan dan yang tidak boleh dimakan dan dengan obat-
obatan serta agar masyarakat yang menderita dispepsia mau rutin berobat ke
pelayanan kesehatan sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang serius.

2. Bagi Instansi
Meningkatkan kerjasama serta komunikasi antara dokter internship, petugas
kesehatan dan masyarakat mengenai dyspepsia serta mengoptimalkan program
promosi kesehatan Puskesmas.

3. Bagi Peneliti lain


Dapat menganalisa hasil pengumpulan data yang telah dilakukan untuk melakukan
penelitian yang sama.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dyspepsia


Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian
atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh
pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus. Dispepsia
merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut
bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh
saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah,
heartburn, regurgitasi.

2.2. Etiologi
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid
reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke
dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti
obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab
dispepsia belum dapat ditemukan. Penyebab dispepsia secara rinci adalah:

 Menelan udara (aerofagi)


 Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
 Iritasi lambung (gastritis)
 Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
 Kanker lambung
 Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
 Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya)
 Kelainan gerakan usus
 Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
 Infeksi Helicobacter pylory
Penyebab dispepsia dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya (misalnya tukak peptic, gastritis, pankreastitis, kolesistitis dan
lainnya).
b. Dispepsia non organik atau dyspepsia fungsional atau dyspepsia non ulkus
(DNU), bila tidak jelas penyebabnya.

2.3. Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,


membagi dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus, dengan gejala :


a. Nyeri epigastrum terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antacid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodic
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas, dengan gejala seperti :
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal boating
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia non-spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe diatas) (Mansjoer, et
al, 2007).
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan
kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.

2.4 PATOFISIOLOGI

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikum


masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa
dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah
terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan.
Beberapa studi menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan
terjadinya infeksi H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor
psikososial, dan perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada
sistem saraf otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh.
Sedangkan patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara
tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang
melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3).
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori
dibawah ini:
1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli
Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan
insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli
berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan
kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan
penebalan otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot
sehingga kontraksi otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin
cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih
lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung tersebut,
dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung.
Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum
postprandial. Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang
“kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal
seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila
terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung
menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik
sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa
sebagai predictor ulkus peptikum.
3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri
pada bagian ini.
4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan
keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon
kortisol yang tinggi ternyata memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih
berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan menyebabkan semakin beratnya
klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang
olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan
asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan
kemungkinan terjadinya dyspepsia.
5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin
melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini
terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks
serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone
kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.

6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif


Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri
ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom
vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf
simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Konflik emosi akan meningkatkan
pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi
oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem
saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung
yaitu: mempersarafi lambung dengan cara merangsang sekresi asetilkolin,
gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi
disfungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan
relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat
saraf simpatis maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps
yaitu asetilkolin atau norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan
mengaktivasi atau menginhibisi presinap maupun postsinap saraf simpatik dan
parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi
menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua
neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ
lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan aktivitas,
sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.
7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima
berbagai input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian
Medial Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin
hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis,
maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis
(HPA) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis
dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan
pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan
neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T,
dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan
stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada
akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ
lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan
somatik ini berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia
organik berupa ulkus peptikum atau duodenum.

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Keluhan dyspepsia yang berulang dalam waktu cukup lama tanpa adanya
perburukan dapat mengindikasikan tidak ada proses yang serius. Beberapa
pemeriksaan penunjang penunjang yang dibutuhkan antara lain:
1. Endoskopi
Insiden keganasan meningkat seiring dengan bertambahnya usia (terutama >55
tahun), maka pemeriksaan endoskopi diindikasikan pada:
a. Pasien >55 tahun dengan dyspepsia awitan baru, atau
b. Pasien <55 tahun namun memiliki tanda bahaya, yaitu (1) anemia, (2)
perdarahan, (3) muntah terus-menerus, (4) penurunan berat badan >10% tanpa
sebab yang jelas, (5) disfagia yang berat, (6) odinofagia, (7) riwayat keganasan
lambung atau duodenum pada keluarga, (8) riwayat keganasan esophagus, (9)
riwayat ulkus peptikum sebelumnya yang terdokumentasi, (10) massa
intraabdomen, atau (11) limfadenopati.
Pemeriksaan endoskopi dapat mengidentifikasi kelainan struktural dan mukosa,
seperti gastritis, ulkus ataupun keganasan, sekaligus dapat dilakukan biopsi jaringan
untuk pemeriksaan H.pylori dan melihat gambaran ganas atau jinak pada
histopatologi. Meskipun demikian, biopsy dapat melewatkan 5-10% kasus
keganasan, terutama bila pasien telah mendapat terapi antibiotic atau antisekretorik
asam lambung.
2. Ultrasonografi (USG)
USG dilakukan untuk menilai kelainan pankreatobilier, misal batu empedu atau
kolesistitis. Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP) dan
Endoskopi Ultrasonografi (EUS) dapat menilai sistem pankreatobilier dengan lebih
detail, seperti koledokolitiasis, pankreatitis, atau pseudokista pancreas.
3. Pencitraan
Pencitraan dengan barium meal dapat digunakan untuk melihat kelainan struktur
mukosa atau adanya massa, terutama bila endoskopi tidak dapat masuk akibat
penyempitan.
4. Pemeriksaan laboratorium
Untuk gangguan fungsi pancreas (amilase dan lipase), fungsi tiroid, maupun gula
darah.
5. Urease breath test (UBT)
Digunakan sebagai baku emas untuk evaluasi infeksi H. pylori dengan sensitivitas
dan spesifisitas cukup tinggi hingga mencapai 95%.

2.6. PENATALAKSANAAN
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,
ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra kesehatan
dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas endoskopi
dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat. Pengobatan dispepsia mengenal
beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasida 20-150 ml/hari

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasida akan generalisir
sekresi asam lambung. Antasida biasanya mengandung Na bikarbonat,
Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus menerus,
sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat
dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai absorben sehingga
bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena
terbentuk senyawa MgCl2.

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak
selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat
menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki
efek sitoprotektif.

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik


atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis
respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir
dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2).


Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran
cerna bagian atas (SCBA).

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan


metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia
fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance) (Mansjoer et al, 2007).

7. Psikoterapi dan psikofarmaka (obat anti - depresi dan cemas)

Pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan


yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi
(Sawaludin, 2005). Sedangkan penatalaksanaan Non Farmakologinya adalah
sebagai berikut:

 Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung.


 Menghindari faktor resiko sepeti alcohol, makanan yang pedas, obat-obatan
yang belebihan, nikotin rokok, dan stress.
 Atur pola makan.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data


3.1.1 Rancangan Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode deskiptif dengan data sekunder
menggunakan rekam medic pasien untuk mengetahui prevalensi angka kejadian penyakit
Dyspepsia di wilayah kerja Puskesmas Lampa.
3.1.2 Populasi dan Sampel
a. Populasi target adalah seluruh pasien Puskesmas Lampa periode Juli September 2019
b. Sampel
Kriteria sampel yang memenuhi syarat yaitu :
Sampel merupakan pasien yang menderita dispepsia
Jadi total sampel dalam mini project ini adalah 200 orang
3.1.3 Waktu dan Tempat Pengumpulan Data
Pengumpulan data prevalensi pasien dyspepsia peiode Juli - September 2019 pada
Rekam Medik pasien dilaksanakan mulai tanggal 1 Juli – 30 September 2019 di Puskesmas
Lampa.
3.1.4 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data pada mini project ini adalah rekam medik pasien
dyspepsia.
3.1.5 Cara Pengumpulan Data
Semua jenis data yang dikumpulkan pada mini project ini adalah data sekunder dari
rekam medik pasien

3.1.6 Cara Analisis Data

Analisis dilakukan dengan mempresentasikan data yang telah dikumpulkan dan


ditabulasi. Setelah analisis, dilakukan penyajian data dalam bentuk tabel.
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Umum


4.1.1. Prevalensi Angka Kejadian Dyspepsia periode Juli-September 2019 di wilayah Kerja
Puskesmas Lampa
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

1.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pelaksanaan mini project

1.2 Saran
a. Puskesmas : Perlu dilakukan penyuluhan mengenai penyakit Diare bagi
masyarakat yang masih minim pengetahuan
b. Masyarakat : Diharapkan bagi masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi
dalam program-program kesehatan sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
keluarga dan masyarakat sekitarnya
c. Peneliti : Memperbaiki penelitian ini dengan cara menindaki lanjut hasil dari
penyuluhan ini.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner & Suddart.2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2. Jakarta:


EGC
2. Hadi, S.1995. Gastroenterologi Edisi 4. Bandung: Alumni
3. Herdman, T.H dan Kamitsuru. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi
2015 –
a. 2017 Edisi 10. EGC : Jakarta
4. Manjoer, A, et al.2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jakarta: Medika
aeusculapeus
5. Mansjoer, A., Triyanti, K., Savitri, R., Wardhani, W.L, dan Setiowulan, W.1999.
Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 1. Jakarta: Media Aesculapius
6. Price & Wilson.1994. Patofisiologi, Edisi 4, Jakarta: EGC
7. Suryono Slamet, et al.2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta: FKUI
8. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI
9. Warpadji Sarwono, et al.1996. Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai