Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ikhfadhulhikmy K.B.

R
NRP : 3616100019
Kelas : A Kependudukan
Pemukiman Kumuh, Salah Pemerintahnya atau Penduduk ?
Dalam konteks dunia perencanaan, banyak masalah dalam suatu kota besar, apalagi yang
menyandang sebagai kota metropolitan kedua di Indonesia, yaitu Surabaya. Kota yang dalam
sehari hari sering dipanggil kota pahlawan. Dalam menyandang kota metropolitan kedua, surabaya
pastinya tidak asing dengan istilah kepadatan penduduk dan pemukiman kumuh. Kepadatan
penduduk sendiri adalah perbandingan dari jumlah penduduk dengan luas wilayah. Sedangkan
pemukiman kumuh adalah suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang
dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak
layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Pemukiman kumuh sendiri biasanya terjadi
di daerah bantaran rel kereta, bawah jembatan, dan sungai.
Banyak latar belakang kenapa masyarakat menitik tempatkan rumahnya di daerah bantaran
seperti itu, baik dari segi ekonomi, efektifitas, dan efisiensi. Hal ini dapat dilihat dari bukti di
lapangan yaitu pemukiman kumuh di bantaran rel kereta api wilayah ketintang dan wonokromo.
Pemukiman ini sudah ada sejak sekitar 20 tahun yang lalu. Dalam kawasan yang kumuh pasti ada
permasalahan yang sangat berkaitan satu sama yang lain, sama halnya dengan kawasan kumuh di
bantaran rel kereta di ketintang dan wonokromo sehingga memunculkan satu kesimpulan yang
menjawab pertanyaan mengapa mereka bermukim disini ?
Dalam survey yang bertujuan untuk menguatkan artikel ini, saya dapat melihat sendiri
kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah kumuh tersebut. Mereka sangat ramah ketika saya
memulai mewawancari mereka, terkesan seperti kami berdiskusi. Mayoritas dari mereka
merupakan seorang perantau dari desa, rata rata dari mereka lulusan SD – SMP dengan mayoritas
usia rata rata 30 tahun tapi tidak dipungkiri banyak juga usia sekolah dan usia tua yang bermukim
di dearah ini. Kerjaan mereka rata rata kuli bangunan, tukang pengepul sampah dan tukang becak,
rumah mereka hampir semua semi permanen, hampir semua tidak memiliki keterampilan khusus,
dan yang terakhir mereka memiliki gaji sekitar 1 juta tiap bulannya. Perkembangan jumlah
penduduk di daerah inipun bisa terbilang mengalami grafik yang meningkat, hampir setiap tahun
ada penduduk yang masuk dan menetap di daerah ini. Hal ini semakin membuat daerah ini semakin
padat dan makin kumuh karena tidak adanya tatanan dan arahan dari pihak yang berwenang. Dari
pernyataan pernyataan diatas bahwa aspek kehidupan sangat berkaitan, seperti pendidikan yang
rendah akan kalah bersaing di dunia kerja apalagi di kota besar macam Surabaya sehingga mereka
bisa tergolong pas pasan dan serabutan, dengan bekerja serabutan ini gaji yang dapat juga bisa
digolongkan gaji yang rendah. Dengan gaji yang mereka terima ini mereka gunakan untuk
menyewa tanah yang pada dasarnya penggunaan lahannya bukan untuk lahan pemukiman warga.
Ditambah dengan persepsi mereka dengan pindah ke kota besar mereka dapat bekerja
dengan layak dari pada tinggal di desa, padahal itu merupakan sebuah perjudian. Selain itu masalah
kependudukan juga menjadi problem di daerah ini, seperti penambahan penduduk yang terus
meningkat yang otomatis dengan bertambahnya jumlah rumah yang akan membuat semakin
kumuh dan tingkat kesehatan masyarakat yang belum terlalu baik. Padahal jika kita melihat hal
ini malah menambah masalah di kawasan perkotaan, baik dari keindahan kota itu sendiri dan
keselamatan masyarakatnya. Tentunya hal ini juga berkebalikan dengan predikat kota Surabaya
sebagai kota percontohan dalam mengatasi wilayah kumuh di Indonesia.
Dengan adanya masalah pasti ada solusi yang ditawarkan, banyak kebijakan pemerintah
untuk mengatasi akan hal ini, seperti penggusuran dan relokasi rumah susun. Namuh banyak yang
kontra dengan kebijakan itu. Pada daerah ini juga ada yang kontra pada upaya relokasi terutama
dari penduduk yang usia lanjut, dengan alasan yang berakenaragam seperti tidak mau repot harus
naik turun jika di rusun dan merasa nyaman sudah tinggal daerah kumuh tersebut. Mungkin ada
cara satu lagi dalam mengatasi akan hal ini, dan efeknya tidak bisa langsung dirasakan ditahun
kebijakan ini disahkan. Pemerintah harus bersinergritas dengan pemerintah daerah dan instansi
yang terkait. Pemerintah daerah harus sering melakukan sosoialisasi tentang perbandingan
kesulitan hidup di kota dengan di desa, selain itu juga pemerintah daerah harus memiliki program
pelatihan atau kursus yang mampu mengangkat ekonomi mereka yang diiringi dengan dibangun
dan dibukanya lapangan pekerjaan baru di daerah tersebut, sehingga ketika program pelatihan itu
selesei mereka dapat langsung diperkejakan di lapangan kerja yang baru tadi. Lain halnya dengan
instansi yang terkait harus memilik kebijakan yang adil dan tegas, seperti pihak PJKA yang
sebetulnya harus menolak sewa menyewa lahan di kanan kiri jalur kerata api lalu adanya
pengontrolan transmigrasi penduduk terutama ke kota kota besar sehingga bisa diminimilasir
berkembangnya pemukiman kumuh. Dengan demikian hal ini merupakan rencana jangka panjang
yang orientasinya untuk mengurangi pemukiman kumuh yang berada di Surabaya akibat dari terus
menambahnya penduduk dari desa yang mencari kerja di kota dan juga merupakan salah satu
proses memaksimalkan otonomi daerah untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri.
Ikhfadhulhikmy K.B.R
Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Anda mungkin juga menyukai