Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul "Qanun Syari’at Islam" ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh yang berisikan mengenai pengertian,
eksistensi, dan esensi dari syariat islam.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua Teman-teman
yang telah berhadir pada sore ini, khususnya kepada bapak Muharram, M.A
selaku dosen mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh, yang senantiasa
memberikan bimbingan serta pengajarannya pada kami dan teman-teman
seperjuangan. Semoga Allah SWT meridhai segala usaha kita semua. Amin.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

DAFTAR ISI 2

A. Pendahuluan 3

a. Latar Belakang 3

b. Rumusan Masalah 3

B. Pembahasan 3

a. Definisi(Qanun Syariat Islam) 3

b. Eksistensi (Qanun Syariat Islam) 5

c. Esensi (Qanun Syariat Islam) 11

C. Kesimpulan 15

DAFTAR PUSTAKA 16

2
A. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Nanggroe Aceh Darussalam di kenal dengan sebutan seramoe mekkah
(serambi mekkah). Nafas islam begitu menyatu dalam adat budaya orang
Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan islam. Contoh paling dekat
adalah pembuatan rencong sebagai senjata tradisional di ilhami dari
Bismillah. Seni tari-tarian seudati konon katanya berasal dari kata
syahadatain, dua kata untuk meresmikan diri menjadi pemeluk islam.
Saat syariat islam secara kaffah dideklarasikan pada tahun 2001, pro dan
kontra terus bermunculan sampai sekarang. Keterlibatan pemerintah dituding
ada unsur politik untuk memblokir bantuan Negara non muslim terhadap
kekuatan GAM ( gerakan Aceh merdeka).

b. Rumusan masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dapat lah diketahui rumusan
tentang qanun syariat islam sebagai berikut:
1. Defenisi ,
2. Eksistensi, dan
3. Esensinya .

B. Pembahasan
a. Definisi(Qanun Syariat Islam)
Qanun artinya hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang
dengan melalui dua proses, yaitu proses pembudidayaan hukum dan
diformalkan oleh lembaga legislatif.1 Dengan kata lain, qanun merupakan
hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah,
sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Qanun dalam arti
hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:

1
http://pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.blogspot.com/

3
a. Mendatangkan kemakmuran;
b. Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
c. Mencapai dan menegakkan keadilan.
d. Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.2

Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus


Aceh,Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa
mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke
dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan yang dibuat oleh
pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya
diAceh. Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :

1. Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang


aqidah, ibadah dan syariat islam.
2. Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras),
pelaku yang mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40
kali. Hakim tidak di beri izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi
rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi khamar dijatuhi hukuman
ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling sedikit 3 bulan dan
denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan paling
sedikit Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3. Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh
ALLAH untuk kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an
maupun dengan sunnah Rasul. Syariat islam, secara etimologi (bahasa)
bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber air, bertujuan untuk
memberikan kemaslahatan kepada manusia.
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) “syariat islam secara
harfiah adalah jalan(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh
setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat

2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta:Balai Pustaka, 1992),
hlm.13.

4
ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa larangan maupun suruhan yang
meliputi seluruh aspek manusia.” Manusia tidak bisa hidup tanpa sumber air,
dengan kata lain manusia tidak bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan
manusia mendapatkan hidup yang lebih baik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan merupakan
totalitas ajaran agama Islam yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah, yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablumminannas).
Dalam konteks itu, UU No.44 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Keistimewaan Aceh dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
mengamanahkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah dari perkara ibadah
(hablumminallah), muamalah (hablumminannas), syiar, pendidikan, jinayah
sampai kepada perkara dusturiah. Jadi totalitas dari ajaran Alquran dan Hadis
harus diterapkan secara menyeluruh dan konprehensif di Aceh.3
Setiap aspek kehidupan dalam syariat islam pelaksanaanya tidak hanya
sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya
maksud dan tujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat(sebab)
yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta
mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang
bersifat ta’abbuddi dan yang hikmahnya tidak masuk akal(ma’qul) yaitu ada
rincian rahasia di balik pensyari’atannya itu(Yusuf Qardhawi 1994).4

b. Eksistensi(Qanun Syariat Islam)


Menurut bahasa, eksistensi artinya adanya atau keberadaan.5 Penerapan
syariat Islam di aceh di bentuk didalam peraturan daerah (qanun) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA). Masukan substansi Syari’at Islam sebagai bahan pembuatan Qanun
(perda) berasal dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), sebagai badan

3
http://aceh.tribunnews.com/2014/08/08/dilematis-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh
4
http://pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.blogspot.com/
5
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), hlm. 253.

5
normatif yang memiliki kedudukan sebagai mitra sejajar dengan Pemerintahan
Aceh. Adapun tugas MPU adalah memberikan masukan, pertimbangan,
bimbingan dan nasihat serta saran-saran dalam mengeluarkan kebijakan daerah
dari aspek Syariat Islam, baik kepada Pemerintahan Aceh maupun kepada
masyarakat. Masukan pertimbangan dan saran ditujukan terhadap kebijakan
daerah, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip Syariat Islam.
Perda syariah (qanun) ini sangat berbeda dengan peraturan-peraturan
lainnya, selain proses pembuatannya yang mengikutsertakan ulama-ulama
agama, dasar pembentukannya juga berbeda. Hukum-hukum yang umum
(kulliyah) yang menjadi nas-nas hukum di dalam Syari’at Islam itu adalah
sebagai “qawa’id ‘ammah” (aturan umum) untuk menyusun UU Islam. Atas
dasar qawa’id ‘ammah inilah Syari’at Islam berjalan dengan memberikan
mandat yang sepenuhnya kepada “Uli al-Amr” (Raja atau Pemerintah) untuk
melaksanakan hukum-hukum tersebut dengan mengikuti saluran dasar dan nas-
nas yang telah ditentukan di dalam Syari’at Islam melalui al-Qur’an dan
Sunnah yang menjadi sumber utama pembentukan hukum.
UUPA sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan menurut Islam.
Syariat Islam diartikan sebagai tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek
kehidupan. Oleh karena pengertian Syariat Islam dirumuskan dalam aspek
yang sangat luas, maka dalam praktik pelaksanaannya akan mengalami
kesukaran-kesukaran. Kesukaran yang utama adalah adanya ketentuan yang
membatasi wewenang Pemerintah Aceh dalam mengeluarkan Qanun/perda dan
Peraturan Gubernur, dimana setiap Qanun tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, Qanun lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.6
Pemerintah daerah nanggroe aceh Darussalam, telah menetapkan beberapa
qanun yang mengatur tentang tindak pidana syariat, yaitu qanun no. 11 tahun
2002 tentang pelaksanaan syari’at islam bidang aqidah, ibadah syi’ar islam.

6
http://regafelix.wordpress.com/2011/12/15/eksistensi-perda-syariah-dalam-sistem-hukum-
nasional/

6
Qanun no. 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya, qanun no.
13 tahun 2003 tentang maisir (perjudian), qanun no 14 tahun 2003 tentang
khalwat (mesum).

Qanun-qanun tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat bila ditinjau


secara hukum kenegaraan , karena telah difasilitasi atau didukung oleh
undang-undang pemerintahan aceh (UUPA). Peraturan tentang syari’at islam
pelaksanaannya dalam UUPA tersebut tertera pada bab XVII pasal 125.

1. Syari’at islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syari’ah dan


akhlak.
2. Syari’at islam meliputi ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga),
mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan),
tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi’ar dan pembelaan islam.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at islam diatur dalam
qanun aceh.
Materi UUPA dan beberapa qanun tersebut adalah ketetapan atau
peraturan-peraturan mengenai tindak pidana yang dibuat oleh pemerintah
daerah untuk mengatur masyarakatnya, supaya menjadi taat dan lebih baik
dalam menjalani kehidupan ini, tanpa melanggar hak-hak Allah dan hak-hak
manusia.7
Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-pokok Syariat Islam
mengatur mengenai prinsip-prinsip dasar pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Oleh karena itu, raqan tersebut akan menjadi payung hukum pelaksanaan
syariat Islam. Setiap produk hukum daerah yang terkait dengan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh harus mengacu padanya, di samping Pasal 125-127
Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),
dimana penyelengaraan syariat Islam merupakan tanggung jawab daripada
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

7
Syahrizal dkk, Pemikiran hukum dalam implementasi syariah islam di aceh,(NAD: Dinas syariat
islam aceh, 2007), hlm. 11.

7
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberikan
kewenangan oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan syariat Islam secara
menyeluruh. Kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam tersebut diberikan
melalui serangkai Undang-Undang (UU) nasional dan Keputusan Presiden
(Kepres).
Awalnya, kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam sekarang ini
dituangkan melalui UUNo. 44 Tahun 2009, sebagai salah satu solusi untuk
mengakhiri konflik berdarah yang berkepanjangan di Aceh. Muatan UU
tersebut kemudian diperkuat oleh Kepres No. 11 Tahun 2003.Pemerintah Aceh
berpandangan bahwa keputusan tersebut masih dianggap kurang mendukung
pelaksanaaan Islam syariat Islam yang menyeluruh di bumi serambi Mekkah
ini. Setelah kesepakatan damai diraih, pelaksanaan syariat Islam kemudian
diperkuat oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2006 tentang
Pemerintah Aceh atau yang lebih dikenal dengan UUPA.
Untuk mengaktualisasi serangkaian UU dan Kepres yang mendukung
pelaksanaan syariat Islam tersebut, pemerintah bersama-sama dengan ulama
menyusun serangkai peraturan daerah, yang kemudian disebut dengan qanun.
Qanun-qanun tentang syariat Islam tersebut termuat dalam Perda tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Qanun Tahun 2002 tentang Peradilan
Islam, Aqidah, Ibadah, dan Syariat Islam, Qanun 2003 tentang Khamar, Maisir,
dan Khalwat, dan 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Pelaksanaan syariat Islam
di Aceh selalu mengacu pada Qanun-qanun tersebut. Dalam dataran realitas
pelaksanaan syariat Islam sering terlihat hanya pada permasalahan etika
berpakaian, khalwat, dan mempertahankan system aqidah Ahlu Sunnah wa
Jama’ah. Pelaksanaan syariat Islam di provinsi ini belum terlihat mampu
dijabarkan dalam lingkup yang lebih luas semisal dalam bidang ekonomi,
politik, pendidikan, HAM, dan pelayanan publik. Ada yang berpendapat
tentang kendala yang menyebabkan belum mampunya Syariat Islam di Aceh
merambah pada permasalahan-permasalahan pengelolaan pemerintahan dan
urusan publik. Di antara permasalahan tersebut adalah:
1. Syariat dijalankan dengan “cara-cara yang sekuler”

8
Selama ini syariat Islam dijalankan oleh satu lembaga yang tidak
memiki hubungan komunikasi dan koordinasi yang kuat dengan dinas lainnya.
Di lapangan, dinas ini lebih terlihat menjalankan fungsi administrasi dan
fasilitasi bantuan pemerintah ke masyarakat, seperti penyaluran bantuan dana
pembangunan mesjid dan atribut-atribut mesjid.
Kurangnya komunikasi dan koordinasi antar lembaga pemerintahan
tersebut tidak hanya terjadi pada lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang
jauh berbeda dengan dinas Syariat Islam, namun keadaan tersebut bahkan
terjadi pada lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang hampir mirip seperti
dinas syariat Islam yaitu Wilayatul Hisbah dan Satpol PP, yang tidak saling
tahu program kerja, aktivitas dan capaian yang dilakukan oleh dinas lainnya.
Hal ini terungkap ketika penulis mengikuti pelatihan penulisan Renstra yang
diselenggarakan oleh Forum Peneliti Aceh yang didanai oleh WordBank
beberapa waktu lalu.
Dengan keadaan yang demikian, seolah-olah syariat Islam hanyalah
menjadi urusan dinas syariat Islam atau WH dan tengku-tengku dayah.Urusan
syariat Islam terpisah dari urusan pembangunan manusia dan non-manusia
yang diselenggarakan oleh pemerintah Aceh. Hal ini terjadi karena dinas
syariat Islam dibatasi kewenangan hanya pada permasalahan-permasalahan
syariat yang dimaknai secara sempit.Sehingga wajar sekali bila pelaksanaan
syariat Islam di Aceh berjalan di tempat dan hanya berkutit pada permasalahan
khalwat, etika berpakaian, klaim aliran sesat selain aliran Ahlu sunnah wal
jama’ah dan permasalahan-permasalahan individu lainnya.

2. Terlalu banyak dinas untuk mengurusi permasalahan agama.


Dengan dilaksanakannya syariat Islam di Aceh, praktis bertambahnya
dinas untuk menjamin pelaksanaannya tersebut.Awalnya hanya ada satu yang
ditambah yaitu dinas syariat Islam dimana WH merupakan bagian yang tidak
terpisahkan darinya. Kemudian disusul dengan pembentukan Mahkamah
Syari’ah. Pada masa Pemerintahan Irwandi, WH dileburkan ke dalam bagian
satpol PP. sehingga permasalahan syariat Islam ditangani oleh minimalnya 2

9
lembaga; dinas syariat Islam, berfungsi melahirkan Qanun dan administrasi
keagamaan, dan satpol PP/WH berfungsi sebagai pengontrol dan pelaksana
lapangan. Ini belum termasuk Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan
organisasi-organisasi tengku activist seperti HUDA dan MUNA, serta
Kementerian Agama wilayah Aceh.
Idealnya, dengan banyaknya lembaga yang menanggani masalah umat
muslim Aceh, maka semakin baik pula pelaksanaan syariat Islam. Namun,
ternyata semakin banyak lembaga pemerintahan yang menanggani urusan
tersebut, pelaksanaan syariat Islam menjadi semakin rumit.Hal ini barangkali
terjadi karena adanya ego sektoral, dimana masing-masing lembaga ingin
tampil di depan sehingga mengabaikan koordinasi dan komunikasi antar
lembaga. Serta dibatasinya kewenangan dinas syariat Islam sehingga
membatasi intensitas pelaksanaan yang berakibat pada menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan.

3. Syariat Islam ditangan rakyat.


Dengan menurunnya kepercayaan masyarakat tersebut, sehingga
pelaksanaan syariat Islam di Aceh sangat beragam antar satu kabupaten dan
kabupaten lainnya dan satu desa dengan desa lainnya. Ketidakpercayaan dan
kejenuhan terhadap kemampuan pemerintah juga mengakibatkan masyarakat
untuk main hakim sendiri. Sering sekali kita membaca berita di mana
pelanggar terlebih dahulu dihakimi massa sebelum kemudian diserahkan ke
polisi.
Hal ini ditambah “unik” dengan diberikannya kewenangan lembaga
adat untuk menerapkan hukum-hukum adat terhadap pelaksanaan syariat
Islam.Meskipun secara teoritis Islam mengenal dan mengakui hukum adat
sebagai bagian dari pelaksanaan hukum Islam. Malah beberapa ulama sunni
seperti Abu Hasan Ali Al – Mawardi dalam kitab adab sangat
merekomendasikan penerapan hukum adat tersebut sebagai pelengkap syariat,
namun dengan kondisi sosial Aceh yang memiliki minimalnya 5 etnis,
penerapan hukum menjadi sangat beragam.

10
Sehingga definisi keadilan di depan hukum juga menjadi sangat
bervariatif, tergantung di desa mana dan etnis apa yang menerapkan hukum
Islam tersebut. Sehingga Keadilan yang di dapat dari hukum Islam di Aceh
menjadi tidak sama dari apa yg didapat semua masyarakat Aceh. Idealnya
hukum sebagai atribut negara untuk mengatur warganya, sebagai jalan untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan kolektif, haruslah sama di seluruh
provinsi ini. Sehingga, seorang warga tidak memilih-milih tempat untuk
melakukan perbuatan-perbuatan buruk terhadap diri sendiri dan orang banyak.
Sehingga para pendatang juga dapat bersikap sama ketika berapa di beberapa
kabupaten berbeda di Aceh.

c. Esensi(Qanun Syariat Islam)


Menurut bahasa, esensi artinya hakikat, inti atau hal yang pokok.8
Semenjak adanya hak otonomi khusus, Aceh mulai membenah diri dalam
menjalankan peraturan agama di bawah naungan konstitusi negara. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa beberapa undang-undang yang berkaitan
dengan pelaksanaan syariat Islam telah dirintis dan diterapkan di Aceh. Pada
saat yang bersamaan, undang-undang tersebut kenyataannya masih berkutat
pada tataran regulasi yang masih jauh dari implementasi yang komprehensif.
Asumsi ini diperkuat oleh kenyataan syariat Islam yang ada sekarang di Aceh
belum menyentuh subtansi, namun semua itu masih sebatas simbol-simbol
Islam. Di samping itu, beberapa undang-undang yang sudah diimplemantasi
juga belum menyentuh semua element masyarakat Aceh dan juga belum
mencakup kepada seluruh sisi-sisi kehidupan. Padahal bila dikaitkan dengan
slogan syariat Islam Kaffah, realitas yang tampak ke permukaan saat ini
ternyata masih sangat jauh dari konsep Kaffah yang dipahami secara
sesungguhnya.
Salah satu penghambat penerapan Syariat Islam Kaffah hingga saat ini
pada umumnya adalah kurangnya pemahaman masyarakat Aceh sendiri tentang
bagaimana Islam Kaffah pada hakikatnya. Pada sisi lain, ketergantungan

8
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus...,hlm. 270.

11
sebagian masyarakat pada kebiasaan buruk akibat mengikuti arus global seperti
busana yang tidak Islami, pergaulan bebas, korupsi dan perilaku yang
dicontohkan oleh para pemimpin, juga menjadi penyebab terhambatnya
implementasi syariat Islam Kaffah.9
Selain itu, tidak terwujudnya kerja sama antara intansi-intansi
pemerintahan sesuai fungsinya masing-masing merupakan faktor tidak
maksimalnya implementasi syariat Islam Kaffah yang di emban oleh instansi
terkait, yang dalam hal ini adalah dinas syariat Islam (DSI). 10 Untuk
berpartisipasi dalam menunjang implementasi syariat Islam kaffah di Aceh
sejak disahkannya undang-undang tentang syariat Islam, sebagian intelektual
muslim Aceh telah berupaya merumuskan dan menyediakan konsep-konsep
pelaksanaannya, tetapi terkadang konsep tersebut belum mewakili aspirasi dari
intelektual lainnya sehingga menimbulkan berbagai kritikan dan debat kusir
yang tentunya tidak membawa efek positif. Sementara itu para intelektual yang
merasa aspirasinya tidak terakomodir juga tidak menawarkan konsep lain yang
lebih solutif dan konstruktif. Akibatnya pelaksanaan syariat Islam yang
bedasarkan kepada konsep yang ada juga mengalami stagnan.
Kenyataan yang terjadi setelah penerapan syari’at islam seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa, semua orang menginginkan pelaksanaan
syari’at islam secara kaffah, namun dalam kenyataannya setelah hampir tujuh
tahun sejak gendang syari’at islam ditabuh belum menunjukkan hasil yang
maksimal.
Ada sebagian orang menginginkan syari’at islam diterapkan secara utuh
dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dengan tidak melihat kemampuan
masyarakat dan sumber daya manusia yang tersedia dalam mengamalkan
syari’at islam. Padahal semua orang tahu bahwa, pemahaman agama di aceh

9
http://miftahuddinhanafiah.blogdetik.com/penerapan-syariat-islam-di-aceh-antara-kenyataan-
dan-harapan/

12
sudah jauh tertinggal akibat dikebirinya pendidikan agama sejak puluhan tahun
yang lalu, maka jika sekitar syari’at islam ingin diterapkan secara ekstrim
ditengah-tengah masyarakat dikhawatirkan akan menimbulkan konflik baru
atau hal-hal yang tidak diharapkan. Oleh karena itu penerapan syari’at islam
dalam suatu wilayah tertentu harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman
masyarakat tertentu dan dilaksanakan secara bertahap, meskipun dalam segala
aspek kehidupan. Sebab seperti kata rusjdi Ali Muhammad, tidak mudah untuk
menemukan format implementasi syari’at islam yang aplikatif meskipun
sebahagian ajaran islam telah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, apalagi
kalau pelaksanaan syari’at islam tersebut tidak ada keseriusan para penguasa
untuk memulai dan memprakarsai jalannya syari’ah, maka rakyat tidak
mungkin dan tidak sanggup memulainya apalagi dengan kondisi aceh hari ini,
yang penuh kenikmatan duniawi.
Jelasnya, tidak mudah menerapkan syari’at islam secara kaffah dalam
segala aspek kehidupan meskipun itu menjadi harapan semua orang, tapi
setidaknya ada usaha sedikit demi sedikit kearah itu. Nabi saja perlu waktu
selama hampir seperempat abad untuk menerapakan syari’at islam secara
kaffah baru mendapat penggakuan dari allah dengan turunnya ayat Allah surat
al-maidah ayat 3 yang artinya: “pada hari ini telah aku sempurnakan buat kamu
agama kamu, dan aku telah sempurnakan nikmat ku padamu dan aku telah rela
islam agamamu”.
Dalam konferensi internasional tanggal, 19-21 juli yang lalu di Hermes
Place Banda Aceh banyak pihak yang menggungat tentang kenyataan yang
terjadi setelah diberlakukan syari’at islam di NAD misalnya Dr.Musda Mulia,
mengatakan bahwa perda-perda syari’at belum menyentuh kaum perempuan,
“alih-alih mensejahterakan malahan membuat masyarakat, khususnya kaum
perempuan terpinggirkan dan jauh dari ukuran sejahtera,”pemaksaan
penggunaan jilbab bagi perempuan, pengekangan kebebasan beraktivitas bagi
perempuan di ranah publik lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, “ jelas sekali
terlihat bahwa implementasi syari’at islam di aceh dan daerah-daerah lainnya
di Indonesia selalu dimulai dengan mengontrol tubuh perempuan, membatasi

13
gerak dan aktivitas perempuan, dan merumahkan kembali kaum perempuan.”
Intinya adalah berbagai qanun bernuansa syariat yang dimunculkan
menurutnya selalu mendekriditkan perempuan, dan syariat islam menjadikan
perempuan sebagai objek sasaran dalam berbagai hal.
Selain itu, banyak pihak yang menilai dan mempertanyakan, mengapa
sejak diberlakukan syari’at islam di NAD yang selalu menjadi sasaran adalah
masyarakat kelas bawah, mengapa hukum cambuk misalnya belum pernah
diterapkan kepada ‘masyarakat atas’ padahal dia telah terbukti secara sah
melakukan perbuatan mesum dan sebagainya? Pelaksanaan syari’at islam di
aceh mampu mewujudkan berbagai harapan sebagaimana yang telah
dikemukan sebelumnya, akan tetapi faktanya masih mimpi karena syari’at
terpinggirkan oleh birokrasi berwajah garang.
Disamping itu, seperti telah dikemukan sebelumnya bahwa dari beberapa
harapan yang dikemukakan non muslim terlihat jelas wujud kekhawatiran
mereka tentang pelaksanaan syari’at islam di NAD, meskipun sudah beberapa
kali ditegaskan bahwa syari’at islam hanya berlaku bagi orang islam, tapi
mereka tetap khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan peluang untuk
hidup layak sebagai orang kristiani untuk menjadi Kristen yang baik. Terlebih
lagi oleh adanya kenyataan yang merupakan gerakan fundamentalis atau
muslim militan yang di anggap begitu bersemangat untuk menghancurkan
agama lain. Kekhawatiran ini memang harus kita ketahui dan kita pelajari,
sebab non muslim pada dasarnya ingin menjauhkan umat islam dari
syari’atnya.
Namun demikian dari khawatiran ini, barang kali kita juga perlu belajar
dari kabupaten bulukumba Sulawesi selatan dimana perda-perda yang
bernuansa syariah bukan dicurigai dan bukan pula dikhawatiran, tapi justru
didukung oleh non muslim, karena perda-perda syari’ah disana telah mampu
membuat warga non muslim menjadi tentram. Menurut manta bupati
bulukumba Andi Partobal pobokori, sejak diterapkan nuansa syariat islam pada
tahun 2001, tingkat kriminalitas menurun 85% tidak ada lagi warung yang

14
menjual minuman keras, tidak ada lagi perkelahian pelajar, angka pembunuhan
dan pemerkosaan yang dulunya tinggi, sekarang menurun drastis.
C. KESIMPULAN

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa masa depan syariat


islam di NAD tidak hanya buntuk kepentingan masyarakat aceh semata-mata,
akan tetap juga untuk kepentingan daerah-daerah lain di Indonesia, terutama
daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki akar keislaman yang kuat dan telah
pula mencanangkan penerapan syariat islam di Aceh. Untuk menjadi motivasi
bagi daerah- daerah lain yang ingin dan sedang menerapkan syariat islam.

Pelaksanaan syariat islam akan menjadi sukses jika mampu mewujudkan


masyarakat menjadi lebih makmur,damai,adil, dan lebih-lebih lagi jika syariat
islam itu benar-benar mampu menjadikan seorang muslim menemukan jati dirinya
sebagai muslim sejati, dan tidak menghalangi orang lain untuk menjelaskan
agamanya serta berhasil mencapai tujuan yang rahmatan lilalamin, dalam segala
aspek kehidupan jika syariat islam diaceh gagal, akibatnya juga akan dirasakan
tidak hanya oleh masyarakat aceh, tapi juga masyarakat lainnya terutama yang
telah disebutkan sebelumnya. Disinilah perlunya keseriusan berbagai pihak mulai
dari orang perorang, masyarakat, pemerintah dan negara. Meskipun berbagai
pihak telah berusaha maksimal untuk merealisasikan syariat islam di NAD,
namun tetap saja ada orang yang merasa tidak puas, was-was, mencibir, meledek,
mentertawakan dan bahkan ragu baik kalangan muslim sendiri maupun dari
kalangan non muslim. Mudah-mudahan penerapan syariat islam tidak menjadi
bahan tertawaan, bahan ledekan atau menjadi bahan hinaan orang.

15
DAFTAR PUSTAKA

1
http://pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.blogspot.com/

2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta:Balai
Pustaka, 1992), hlm.13.

3
http://aceh.tribunnews.com/2014/08/08/dilematis-pelaksanaan-syariat-islam-di-
aceh
4
http://pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh.blogspot.com/
5
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 253.

6
http://regafelix.wordpress.com/2011/12/15/eksistensi-perda-syariah-dalam-
sistem-hukum-nasional/

7
Syahrizal dkk, Pemikiran hukum dalam implementasi syariah islam di
aceh,(NAD: Dinas syariat islam aceh, 2007), hlm. 11.

8
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus...,hlm. 270.

9
http://miftahuddinhanafiah.blogdetik.com/penerapan-syariat-islam-di-aceh-
antara-kenyataan-dan-harapan/

16

Anda mungkin juga menyukai