Anda di halaman 1dari 29

Bimbingan Syariat

Interaksi Ikhwan dan Akhawat

1. Hukum asal muamalah adalah boleh kecuali ada dalil


yang mengharamkan
2. Berkhalwat, berdua-duaan dengan lawan jenis
3. Ikhtilath, campur baur laki-laki dan perempuan
4. Berbicara dengan lawan jenis
5. Hukum telephon, chatingan dan lainnya antara
ikhwan dan akhawat di media sosial
6. Adakah pacaran Syar’?
7. Hukum bersalaman dengan lawan jenis
Hukum Asal Muamalah adalah Boleh Sampai Ada Dalil yang
Melarangnya

Dalam islam, terdapat aturan yang harus diterapkan dalam


amaliyah individu dengan Allah subhanahu wa ta’ala (ibadah)
dan juga amaliyah antara individu dengan individu lainnya
(muamalah).

Hubungan interaksi antara sesama manusia, baik yang tunduk


kepada syari’at atau yang keluar dari ketaatan kepadanya
tidak terbatas. Setiap masa dan daerah terjadi berbagai
bentuk dan model interaksi sesama mereka yang berbeda
dengan bentuk interaksi pada masa dan daerah lainnya. Oleh
karena bukan suatu hal bijak bila hubungan interaksi sesama
mereka dikekang dan dibatasi dalam bentuk tertentu. Karena
itulah dalam syari’at Islam tidak pernah ada dalil yang
membatasi model interaksi sesama mereka. Ini adalah suatu
hal yang amat jelas dan diketahui oleh setiap orang yang
memahami syari’at islam, walau hanya sedikit.

Sebagai salah satu buktinya, dalam ilmu fiqih dikenal suatu


kaedah besar yang berbunyi:

‫ حتى يدل الدليل على التحريم‬،‫األصل في األشياء اإلباحة‬


“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil
yang menunjukkan akan keharamannya.”

Kaedah ini didukung oleh banyak dalil dalam Al Qur’an dan As


Sunnah, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala:

ِ ‫ه َُو الَّذِي َخلَقَ لَ ُك ْم َما فِي ْاأل َ ْر‬


‫ض َجمِ يعا‬
“Dialah yang menciptakan untuk kamu segala yang ada di
bumi seluruhnya.” (Qs, Al-Baqarah 29)

Dan juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ رواه مسلم‬.‫أنتم أعلم بأمر دنياكم‬


“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”
(Riwayat Muslim)

Read more https://pengusahamuslim.com/1061-prinsip-jual-


beli-dalam-ajaran-islam.html
Apakah yang Dimaksud dengan Khalwat?

Anas bin Malik berkata,

‫جاءت امرأة من األنصااار ىلى النبي صاالى ي عليل وساالم فخف بلا ف ال وي ىنكم‬
‫ألحب الناس ىلي‬
“Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam lalu Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam berkata, ‘Demi Allah kalian (kaum Anshor)
adalah orang-orang yang paling aku cintai.'” (HR. Al-Bukhari
no. 5234, Kitabun Nikah)

Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan


perkataannya, ‫“ باااب مااا يجو أن يخلو الرجاال بااالمرأة عنااد الناااس‬Bab:
Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang
wanita jika di hadapan khalayak.”

Ibnu Hajar berkata, “Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum


(dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan
khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain
(*) “Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan
atau sebagian ‫( السااااااااااكاااا‬sukak).” Dan ‫السااااااااااكاااا‬, adalah jalan
digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati
manusia.”

(*) Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):

‫عن أنس أن امرأة كان في ع للا شيء ف الت يا ر سول ي ىن لي ىلي حاجة ف ال‬
‫يا أم ففن انظري أي السااك شااتت حتى ألكااي ل حاجت فخف معلا في بعض‬
‫الطرق حتى فرغت من حاجتلا‬
“Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang
peikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam, ‘Wahai Rasulullah, saya punya ada perlu
denganmu,’ maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan
mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat
dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita
tersebut selesai dari keperluannya.”

Ibnu Hajar berkata, “Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita


tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak
(tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya
dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh
khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh
khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan,
contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu
jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak.”

Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang


diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan:

1. Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana


yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan
suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak
tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga
sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, “Anas tidak
memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga
tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala itu, namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkhalwat dengan wanita
tersebut hingga orang-orang di sekitarnya tidak
mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan
yang berlangsung antara Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas
mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan wanita tersebut lalu iapun
menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak
meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wanita itu karena
ia tidak mendengarnya.” (Fathul Bari 9/413. Adapun
perkataan Imam Nawawi bahwa “kemungkinan
wanita tersebut adalah mahrom Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam seperti Ummu Sulaim dan saudara
wanitanya.” (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat
karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim
bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu,
dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim).
2. Khalwat yang diharamkan adalah khalwat
(bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga
tertutup dari pandangan manusia. Berkata Al-Qodhi
dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak
amar ma’ruf nahi mungkar, “Jika ia melihat seorang
pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang
dilewati (orang-orang) dan tidak nampak dari
keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka
janganlah ia menghardik mereka berdua dan
janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua
berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat
mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria
tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi
hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang
pria adalah mahrom sang wanita. Hendaknya ia
berkata kepada sang pria -jika ternyata ia adalah
mahrom sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-
tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita
tersebut adalah wanita ajnabiah– hendaknya ia
berkata kepada sang pria, ‘Aku ingatkan kepadamu
dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang
bisa menjerumuskan.’”

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/28-


mewaspadai-bahaya-khalwat.html
Ikhtilath, Campur Baur Laki-Laki dan Perempuan

Asalnya, campur baur antara laki-laki dan perempuan


(ikhtilath) itu dilarang.

Bisa kita kaji lebih dahulu tentang larangan ini dari ayat Al-
Qur’an.

Lihatlah bagaimana adab ketika para sahabat Nabi ingin


menemui istri Nabi (ummahatul mukminin). Disebutkan dalam
ayat,
ْ َ ‫ب ذَ ِل ُك ْم أ‬
‫ط َل ُر ِل ُلُوبِ ُك ْم َولُلُوبِ ِل َّن‬ ٍ ‫سأ َ ْلت ُ ُموه َُّن َمت َاعا فَا ْسأَلُوه َُّن مِ ْن َو َراءِ حِ َجا‬
َ ‫َو ِىذَا‬
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
(QS. Al-Ahzab: 53)

Lihatlah sampai ada keperluan pun tetap diperintahkan


berbicara di balik tabir. Tujuannya tentu biar tidak banyak
interaksi langsung antara laki-laki dan perempuan. Karena
jelas sangat besar godaannya jika itu terjadi apalagi sampai
berdua-duaan. Lihatlah sampai Allah sebut, itu lebih
menyelamatkan hati keduanya.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat tersebut,

‫وكما نليتكم عن الدخول عليلن كذل ال تنظروا ىليلن بالكلية ولو كان ألحدكم‬
.‫حاجة يريد تناوللا منلن فف ينظر ىليلن وال يسأللن حاجة ىال من وراء حجاب‬

“Sebagaimana dilarang bagi kalian masuk menemui istri nabi,


begitu pula dilarang sekali melihat mereka. Walaupun ketika
itu ada hajat penting untuk menemui mereka, tetap tidak
boleh memandang mereka. Kalau ingin meminta sesuatu
tetap diperintahkan dari belakang tabir.” (Tafsir Al-Qur’an Al-
‘Azhim, 6: 223)

Lihatlah pula beberapa tujuan dari cara shalat misalnya akan


terlihat bahwa ajaran Islam tidak menginginkan campur baur
laki-laki dan perempuan.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

، ُ‫كى ت َ ْسلِي َمل‬ َ َ‫َّللا – صلى ي عليل وسلم – ىِذَا َسلَّ َم ل‬


ِ ْ َ‫ام النِ َسا ُء حِ ينَ ي‬ ِ َّ ‫َكانَ َر ُسو ُل‬
َ‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم – أ َ َّن ذَ ِل َ َكان‬
َّ ‫ لَا َل ن ََر – َو‬. ‫وم‬ َ ُ ‫ي‬
َ ْ
‫ن‬ َ ‫أ‬ ‫ل‬
َ ‫ب‬
ْ َ ‫ل‬ ‫ا‬‫ير‬ ‫ااااا‬‫ا‬ ‫س‬
ِ ‫ي‬
َ ‫ل‬
ِ ِ‫ام‬َ ‫م‬
َ ‫ث ه َُو فِى‬ ُ ‫َويَ ْم ُك‬
‫الر َجا ِل‬ َ َّ ْ َ
ِ َ‫سا ُء ل ْب َل أن يُد ِْر َك ُلن أ َح ٌد مِ ن‬ َ َ ِ‫ف الن‬ َ ‫ِل َك ْى يَ ْن‬
َ ‫ص ِر‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika salam dari shalat,
para jama’ah wanita kala itu berdiri. Beliau tetap duduk di
tempat beliau barang sebentar sebelum beranjak. Kami
melihat –wallahu a’lam– hal itu dilakukan supaya wanita
bubar lebih dahulu sebelum berpapasan dengan para pria.”
(HR. Bukhari, no. 870). Lihat syariat ini ingin mencegah
pertemuan antara pria dan wanita. Karena memang campur
itu tidak boleh kecuali jika sulit dihindari.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ش ارهَا‬ َ ‫ص اوُوفِ الن‬


َ ‫ِس ااءِ ُخِ ُرهَا َو‬ َ ‫الر َجا ِل أ َ َّولُ َلا َو‬
ُ ‫ش ارهَا ُخِ ُرهَا َو َخي ُْر‬ ِ ِ‫ص اوُوف‬
ُ ‫َخي ُْر‬
‫أ َ َّولُ َلا‬
“Sebaik-baik shaf laki-laki (dalam shalat berjamaah, pen.)
adalah yang paling depan dan yang paling jelek adalah shaf
yang paling belakang. Sebaliknya, shaf perempuan yang paling
baik adalah yang paling belakang dan yang paling jelek adalah
yang paling depan.” (HR. Muslim, no. 440). Kalau dikatakan
bahwa yang paling baik bagi laki-laki adalah yang paling depan
sedangkan perempuan adalah yang paling belakang,
menunjukkan bahwa memang antara laki-laki dan perempuan
tidak boleh bercampur. Semakin dekat antara keduanya akan
menimbulkan godaan yang semakin besar.

Disebutkan pula bahwa dahulu dibuat pintu khusus bagi


wanita agar tidak berpapasan dengan pria. Tujuannya jelas
agar tidak ikhtilath. Haditsnya sebagai berikut,

َ ‫سااااالَّ َم لَ ْو ت ََر ْكنَا َهذَا ْال َب‬


‫اب‬ َ ‫علَ ْي ِل َو‬ َّ ‫صااااالَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ساااااو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ لَا َل َر‬: ‫ع َم َر لَا َل‬ ُ ‫ع ْن اب ِْن‬ َ ‫و‬
‫) في‬484( ‫ع َم َر َحتَّى َماتَ ” رواه أبو داود رلم‬ ُ ُ‫ِساااءِ لَا َل نَافِ ٌ فَلَ ْم يَ ْد ُخ ْل مِ ْنلُ ا ْبن‬
َ ‫لِلن‬
. ‫كتاب الصفة باب التشديد في ذل‬

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda, “Andai saja kita membiarkan pintu
khusus untuk wanita.”

Nafi’ ketika itu lantas berkata,

ُ ُ‫فَلَ ْم يَ ْد ُخ ْل مِ ْنل ُ ا ْبن‬


َ‫ع َم َر َحتَّى َمات‬
“Ibnu ‘Umar tidak pernah masuk pintu tersebut hingga ia
meninggal dunia.” (HR. Abu Daud, no. 462. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Dalil lainnya bisa dilihat pula dalam bahasan: Shalat Berdua


dengan yang Bukan Mahram

Ikhtilath di Tempat Umum

Bagaimana menghadapi tempat-tempat umum seperti pasar,


rumah sakit dan kampus-kampus yang selalu ditemui
ikhtilath?
Yang jelas dalam batin, kita tidak ridha dan tidak
menyetujuinya.

Berusaha untuk meminimalkan pertemuan atau interaksi


antara laki-laki dan perempuan seperti memisah tempat
antara dua jenis kelamin tersebut dan membuat pintu untuk
masing-masing.

Bertakwa pada Allah semampu kita dengan rajin


menundukkan pandangan dan menyemangati jiwa untuk
meninggalkan yang haram.

Kalau terpaksa berada di tempat yang ikhtilath, hanya dalam


keadaan penting saja. Kalau hajat sudah selesai, maka
langsung segera pulang.

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk menjauhi setiap


larangan Allah.

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:

https://rumaysho.com/14887-dosakah-campur-baur-lawan-
jenis-di-pasar-kampus-dan-rumah-sakit.html
Adab Berbicara Dengan Lawan Jenis

Pertanyaan : Saya mendengar hukum yang berkaitan dengan


bolehnya seorang laki-laki berbicara dengan wanita (yang
bukan mahrom) pada keadaan berikut, apakah hal itu benar?
Keadaan yang dimaksud adalah : menanyakan tentang
keadaan keluarga si wanita, masalah kesehatan, jual beli,
berkenalan ketika akan menikah, dan mendakwahinya kepada
Islam, maka apakah hal ini benar dan apa dalilnya?

Jawaban : Segala puji bagi Allah. Syarat-syarat syar’i untuk


berbicara dengan wanita asing (bukan mahrom) disebutkan
dalam firman Allah,

‫ِوىذا سألتموهن متاعا فاسألوهن من وراء حجاب ذلكم أطلر ل لوبكم وللوبلن‬
“Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara)
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka..”
(QS. Al Ahzab : 53).

Dan demikian juga pada firman Allah,

‫فف تخكعن بال ول فيطم الذي في للبل مرض وللن لوالَ معروفا‬
“Maka janganlah kamu melemah-lembutkan suara dalam
berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al
Ahzab : 32).

Ibnu Katsir mengatakan tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya :


Janganlah kamu melembutkan suara. Allah memerintahkan
mereka (istri-istri Nabi) agar perkataan mereka jelas dan
pembicaraan mereka rinci, (maksudnya adalah hendaknya
perkataan mereka serius, ringkas, dan tidak ada basa-basi).
Dan tidak boleh berbicara dengan sesuatu yang dapat
membangkitkan nafsu dengan sebab melembutkan suara
sebagaimana keadaan wanita arab ketika berbicara dengan
laki-laki dengan memerdukan suaranya dan melemah-
lembutkannya, seperti gaya bicaranya para wanita penggoda
dan para pelacur. Maka Allah melarang mereka dari perbuatan
semacam ini.

Firman Allah (yang artinya), “Sehingga bangkit nafsu orang


yang dalam hatinya ada penyakit…” maksudnya adalah dia
berkeinginan melakukan perbuatan-perbuatan keji, yakni
perbuatan fasiq (zina) dan asusila.

Firman Allah (yang artinya), “Perkataan yang baik“,


maksudnya adalah kebenaran, sesuatu yang tidak diingkari
syariat dan jiwa manusia. Disunnahkan bagi wanita apabila dia
berbicara dengan laki-laki asing, begitu pula mahram-nya
karena hubungan perkawinan, untuk berbicara tegas tapi
tidak sampai memaki. Karena sesungguhnya wanita
diperintahkan untuk merendahkan suara”. Selesai perkataan
Ibnu Katsir rahimahullah.

Berbicara dengan wanita asing hendaknya dilakukan ketika


ada keperluan saja seperti meminta fatwa, dalam perkara jual-
beli, atau bertanya tentang pemilik rumah, dan yang
semisalnya. Dan hendaknya ringkas padat tanpa ada godaan
baik pada topiknya maupun caranya.

Adapun membatasi laki-laki hanya boleh berbicara dengan


wanita asing pada lima keadaan yang ditanyakan dalam soal,
maka kesimpulan ini perlu ditinjau lagi, karena lima hal
tersebut hanyalah contoh dan bukan untuk pembatasan,
disamping tetap harus konsekuen dengan syarat-syarat syar’i
ketika berbicara dengan wanita asing sampaipun pada
perkara-perkara yang memang ada hajat didalamnya, seperti
dakwah, meminta fatwa, jual beli dan selainnya.

Wallahu Ta’ala a’lam.

Dijawab oleh Syaikh Muhammad Sholih Al Munajjid

https://mahadilmi.id/2014/02/02/adab-berbicara-dengan-
lawan-jenis/
Hukum telephon, chatingan dan lainnya antara ikhwan dan
akhawat di media sosial

Tanya:

Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi main internet


dan ngobrol (chatting). Aku hampir tidak pernah chatting
dengan cewek. Jika terpaksa aku chatting dengan cewek maka
aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.

Kurang dari setahun yang lewat ada seorang gadis yang


mengajak aku chatting lalu meminta no hp-ku. Aku katakan
bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin
membuat Allah murka kepadaku.

Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang


sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa
berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya,
“Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia
berkata dengan nada kesal, “Terserah kamulah”.

Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui


chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”.
“Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa
aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji
tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak.
Kalau demikian aku sepakat.

Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah


menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya
bersama hamba-hamba-Nya yang shalih.
Tak lama setelah itu ada seorang gadis kurang lebih berusia 16
tahun yang berakhlak dan sangat sopan menghubungi no HP-
ku. Dia berkata dalam telepon, “Apa benar engkau bernama
A?”. “Benar, apa yang bisa kubantu”, tanyaku. Dia
mengatakan, “Fulanah, yaitu gadis yang telah kukenal via
chatting, berkirim salam untukmu”. “Salam kembali untuknya.
Mengapa tidak dia sendiri yang menghubungiku?”, tanyaku.
“Telepon rumahnya diawasi dengan ketat oleh orang tuanya”,
jawabnya.

Setelah orang tuanya kembali memberi kelonggaran, dia


kembali menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Jangan
sering telepon” namun dia selalu saja menghubungiku. Akan
tetapi pembicaraan kami sebatas hal-hal yang baik-baik. Kami
saling mengingatkan untuk melaksanakan shalat, puasa dan
shalat malam.

Setelah beberapa waktu lamanya, dia berterus terang kalau


dia jatuh cinta kepadaku dan aku sendiri juga sangat
mencintainya. Aku juga berharap bisa menikahinya sesuai
dengan ajaran Allah dan rasul-Nya karena dia adalah seorang
gadis yang berakhlak, beradab dan taat beragama setelah aku
tahu secara pasti bahwa aku adalah orang yang pertama kali
melamarnya via telepon.

Akan tetapi empat bulan yang lewat, ayahnya memaksanya


untuk menikah dengan saudara sepupunya sendiri karena
ayahnya marah dengannya. Inilah awal masalah. Aku mulai
sulit tidur. Kukatakan kepadanya, “Serahkan urusan kita
kepada Allah. Kita tidak boleh menentang takdir”. Namun dia
meski sudah menikah tetap saja menghubungiku. Kukatakan
kepadanya, “Haram bagimu untuk menghubungiku karena
engkau sudah menjadi istri seseorang”.

Yang jadi permasalahan, bolehkah dia menghubungiku via HP


sedangkan dia telah menjadi istri seseorang? Allah lah yang
menjadi saksi bahwa pembicaraanku dengannya sebatas hal
yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk menambah
ketaatan terlebih lagi ayahnya memaksanya untuk menikah
dengan dengan lelaki yang tidak dia cintai.

Jawab:

Saling menelepon antar lawan jenis itu tidaklah diperbolehkan


secara mutlak baik pihak perempuan sudah bersuami ataukah
belum. Bahkan ini adalah tipu daya Iblis.

Kau katakan bahwa tidak ada hubungan antaramu dengan dia


selain saling menasehati dan mengajak untuk melakukan amal
shalih. Perhatikan bagaimana masalah cinta dan yang lainnya
menyusup melalui hal ini. Bukankah engkau tadi mengatakan
bahwa engkau mencintainya dan diapun mencintaimu
sedangkan katamu topik pembicaraanmu hanya seputar amal
shalih? Kami tahu sendiri beberapa pemuda yang semula
sangat taat beragama berubah menjadi menyimpang gara-
gara hal ini.

Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah. Jauhilah hal ini.


Cara-cara seperti ini lebih berbahaya dari pada cara-cara
orang fasik yang secara terang-terangan ngobrol dengan
perempuan dengan tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Mereka
sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah maksiat.
Sadar bahwa suatu hal itu adalah keliru merupakan awal
langkah untuk memperbaiki diri.
Sedangkan dirimu tidak demikian bahkan boleh jadi engkau
menganggapnya sebagai sebuah ibadah yang mendekatkan
diri kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

ِ‫ساء‬ ِ ‫علَى‬
َ ِ‫الر َجا ِل مِ نَ الن‬ َ َ ‫َما ت ََر ْكتُ بَ ْع ِد فِتْنَة أ‬
َ ‫ك َّر‬
“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-
laki melebihi wanita.” (HR Bukhari no 4808 dan Muslim no
2740 dari Usamah bin Zaid).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

ِ‫ساء‬ ِ ‫فَإ ِ َّن أ َ َّو َل ِفتْنَ ِة َبنِى ِىس َْراتِي َل كَانَتْ فِى‬
َ ‫الن‬
“Sesungguhnya awal kebinasaan Bani Israil adalah disebabkan
masalah wanita.” (HR Muslim no 7124 dari Abu Said al Khudri).

Perempuan yang mengajakmu ngobrol dengan berbagai


obrolan ini padahal tidak ada hubungan kekerabatan antara
dirimu dengannya adalah suatu yang haram. Hati-hatilah
dengan cara-cara semisal ini. Moga Allah menjadikanmu
sebagai salah seorang hambaNya yang shalih.

Tanya:

Andai jawaban untuk pertanyaan di atas adalah tidak boleh


apakah boleh dia mengajak aku ngobrol via chatting?

Jawab:

Wahai saudaraku, hal ini tidaklah dibolehkan. Hubunganmu


dengannya semula adalah chatting lalu berkembang menjadi
komunikasi langsung via telepon dan ujung-ujungnya adalah
ungkapan cinta. Apakah hanya akan berhenti di sini?
Semua hal ini adalah trik-trik Iblis untuk menjerumuskan kaum
muslimin dalam hal-hal yang haram. Bersyukurlah kepada
Allah karena Dia masih menyelamatkanmu. Bertakwalah
kepada Allah, jangan ulangi lagi baik dengan perempuan
tersebut ataupun dengan yang lain.

Tanya:

Apa hukum seorang laki-laki yang chatting dengan seorang


perempuan via internet dan yang dibicarakan adalah hal yang
baik-baik?

Jawab:

Tidak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan fatwa yang


bersifat umum untuk permasalahan semisal ini karena ada
banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak. Fatwa
yang bisa saya sampaikan kepadamu adalah obrolan dengan
lawan jenis yang semisal kau lakukan adalah tidak
diperbolehkan. Bukti nyata untuk hal ini adalah apa yang kau
ceritakan sendiri bahwa hubunganmu dengan perempuan
tersebut terus berkembang ke arah yang terlarang.

[Disarikan dari Majmu Fatawa al Adab karya Nashir bin Hamd


al Fahd].

Read more https://konsultasisyariah.com/1096-bolehkah-


komunikasi-lawan-jenis-via-hp-atau-chatting.html
Adakah Pacaran Syar’i?

Tanya :

Pak, gmn caranya pacaran islami? Kayak mahasiswa –


mahasiswi kampus gitu… kampus islam, seperti UI*

Trim’s Pak..

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sejalan dengan maraknnya dakwah di berbagai media,


masyarakat muslim Indonesia mulai sadar pentingnya syariah.
Semangat ini ditandai dengan maraknya label islam dan
syariah. Hingga label ini diobral untuk semua properti yang
ada di lingkungannya. Terlepas apakah yang dia lakukan
diizinkan oleh syariat, atau sebaliknya, justru bertentangan
dengan syariat.

Di sekitar kita ada bank syariah, asuransi syariah, pegadaian


syariah, hotel syariah, dst. demikian pula kata islami, banyak
orang menggunakannya untuk menyebut melabeli
kegiatannya. Kita dengar ada musik islami, joget islami, sampai
pacaran islami.

Ada 2 kemungkinan latar belakang orang menggunakan label


ini,

[1] Dalam rangka mencari pembenar. Karena dengan label


islami, akan lebih mudah diterima masyarakat.
[2] Keinginan untuk menyesuaikan diri dengan aturan islam.
Sehingga semua kegiatan di atas dibersihkan dari unsur yang
dilarang dalam syariat islam.

Apapun itu, melihat latar belakang ini, sebenarnya mereka


memahami bahwa semua properti dan aktivitas di atas, mulai
dari bank, asuransi, pegadaian, hotel, musik, joget, sampai
pacaran, semua itu bermasalah secara syariat. Jika tidak,
mereka tidak akan menggunakan label itu sebagai langkah
pembenaran.

Yang menarik, mereka yang suka menggunakan label islam


dan syariah itu, sangat semangat untuk menjadi islam syamil,
kamil, islam kaffah.

Mengikuti firman Allah,

‫يَا أَي َلا الَّذِينَ ُ َ َمنُوا ا ْد ُخلُوا فِي الس ِْل ِم كَافَّة‬
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam islam
secara keseluruhan… (QS. al-Baqarah: 208)

Tentu saja untuk menjadi muslim yang kaffah, bukan dengan


memberi label islami untuk semua aktivitas kita. Karena label
semata tidak ada artinya, sementara hekakatnya
bertentangan dengan islam. Akan tetapi, muslim kaffah
adalah muslim yang menjalankan setiap aktivitasnya sesuai
aturan syariat. Meskipun tidak dilabeli dengan nama syariat.

Adakah Pacaran Islami?

Jika memang itu halal, mengapa harus diberi label islami?

Adanya label islam, tentu saja karena dia bermasalah.


Bagaimana mungkin pacaran bisa diberi label islami??
Sementara semua hubungan lawan jenis yang bukan mahram,
berpotensi untuk menjadi sumber dosa. Mulai yang tangan
sampai hati.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda:
َ َّ‫ فَ ِ نَا ال َعي ِْن الن‬،َ‫ أَد َْر َ َذ ِل َ الَ َم َحا َلة‬،‫ظلُ مِ نَ ال ِ نَا‬
،‫ظ ُر‬ َّ ‫ع َلى اب ِْن ُ َد َم َح‬ َ َّ ‫ِى َّن‬
َ ‫َّللا َك ت‬
َ ‫َب‬
َ َّ ُ َ ُ
ُ‫ص ِدق ذ ِل َ كللُ َويُك ِذبُل‬ َ ْ َ َّ َ
َ ُ‫ َوالو َْر ُج ي‬،‫ وال لب ت َمنى َوتشت ِلي‬،‫ان ال َمنطِ ق‬ ُ ْ ِ ‫س‬َ ‫َو ِ نَا ال ِل‬
“Sesungguhnya Allah menetapkan jatah dosa zina untuk setiap
manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari:
Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati
dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan
kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.”
(HR. Bukhari 6243)

Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

َ ‫ َو ْالو َْر ُج ي‬،‫ب الت َّ َمنِي‬


‫ُصاااا ِد ُق‬ ِ ‫ َو ِ نَا ْال َ ْل‬،‫ظ ُر‬
َ َّ‫ فَ ِ نَا ْالعَي ِْن الن‬،‫ َو ْال َ ْلبُ يَ ْ نِي‬،‫ْالعَ ْينُ ت َ ْ نِي‬
ُ‫َما ُهنَا ِل َ أ َ ْو يُ َك ِذبُل‬
“Mata itu berzina, hati juga berzina. Zina mata dengan melihat
(yang diharamkan), zina hati dengan membayangkan (pemicu
syahwat yang terlarang). Sementara kemaluan membenarkan
atau mendustakan semua itu.” (HR. Ahmad 8578)

Kalaupun pacaran islami itu fisik tidak bersentuhan, tapi saling


menatap dan menikmati…
Kalaupun pacaran islami dilakukan dibalik hijab, mata tidak
saling menatap, tapi telinga saling mendengar… mendengar
kalimat demi kalimat dari orang yang dia cintai…

Kalaupun dalam pacaran islami itu hanya dengan


berkomunikasi lewat hp… chat layaknya suami istri… tapi
bukankah hati menikmati dan bahkan membayangkannya?

Karena hakikat zina hati adalah dia membayangkan


melakukan sesuatu yang haram, yang membangkitkan
syahwat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sejenis..

Sehingga tidak ada peluang untuk melakukan pacaran islami,


selain pacaran setelah pernikahan… hanya dengan menikah,
anda bisa pacaran…

Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫لَ ْم ن ََر ل ِْل ُمت َ َحابَّي ِْن مِ ثْ َل النِك‬


‫َاح‬
Kami tidak mengetahui adanya solusi bagi orang yang saling
mencintai selain nikah. (HR. Ibnu Majah 1847 dan dishahihkan
al-Albani)

Makna hadis, seperti dijelaskan al-Munawi,

‫ فلو عفجل الذي ال يعدل‬،‫المراد أن أعظم األدوية التي يعالج بلا العشااااااق النكاح‬
‫عنل لغيره ما وجد ىليل سبيف‬
Makna hadis bahwa cara paling mujarab yang bisa mengobati
orang yang dirundung cinta adalah nikah. Tidak ada yang bisa
menandingi solusi ini selama masih memungkinkan. (Faidhul
Qadir, 5/376).
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina


Konsultasisyariah.com)

Read more https://konsultasisyariah.com/26465-cara-


pacaran-islami.html
Hukum Bersalaman Dengan Lawan Jenis

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai hukum berjabat


tangan. Berjabat tangan yang dimaksud adalah antara pria dan
pria, wanita dan wanita. Adapun berjabat tangan dengan
lawan jenis, maka ada hukum yang berbeda antara sesama
mahram dan yang bukan mahram.

Menurut jumhur (baca: mayoritas) ulama, berjabat tangan


sesama mahram dibolehkan dan dihukumi sunnah
(dianjurkan).

Sedangkan berjabat tangan dengan yang bukan mahram, ada


silang pendapat di antara para ulama, dibedakan antara
berjabat tangan dengan yang sudah tidak punya rasa suka
(syahwat) dan berjabat dengan yang masih muda.

Menurut Ulama Malikiyah, berjabat tangan dengan yang


bukan mahram tetap tidak dibolehkan walaupun berjabat
tangan dengan yang sudah sepuh dan tidak punya rasa apa-
apa (tidak dengan syahwat). Mereka beralasan dengan
keumuman dalil yang melarangnya.

Ulama Syafi’iyah mengharamkan berjabat tangan dengan


yang bukan mahram, juga tidak mengecualikan yang sudah
sepuh yang tak ada syahwat atau rasa apa-apa. Mereka pun
tidak membedakannya dengan yang muda-muda.

Sedangkan yang membolehkan berjabat tangan dengan non


mahram yang sudah tua (yang tidak ada syahwat) adalah
ulama Hanafiyah dan ulama Hambali.

Namun untuk berjabat tangan dengan non mahram yang


muda, maka tidak dibolehkan menurut mayoritas ulama dari
madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalam pendapat Ibnu
Taimiyah, seperti itu dihukumi haram. Sedangkan ulama
Hanafiyah mengaitkan larangan berjabat tangan dengan yang
muda jika disertai syahwat (rasa suka padanya). Namun ulama
Hambali melarang hal ini baik jabat tangan tersebut di balik
kain ataukah tidak. (Lihat bahasan dalam Kunuz Riyadhis
Sholihin, 11: 452)

Dalil-dalil yang melarang berjabat tangan dengan non


mahram.

‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata,

َّ ‫ يُ ْمت َ َح َّن بِ َ ْو ِل‬-‫ صلى ي عليل وسلم‬- ‫َّللا‬


ِ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ت ْال ُمؤْ مِ نَاتُ ىِ َذا هَا َج ْرنَ ىِلَى َر ُسو ِل‬ ِ َ‫كَان‬
‫شااايْتا‬ َ ِ َّ ‫علَى أ َ ْن الَ ي ُْشااا ِر ْكنَ ِبا‬ َ َ ‫ن‬
َ ‫ع‬ ‫ي‬
ِْ َ ‫ا‬ ‫ب‬ُ ‫ي‬ ُ‫َات‬ ‫ن‬ ِ‫م‬ ْ‫ؤ‬ ‫م‬
ُ ْ
‫ال‬ َ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫ج‬ ‫ا‬ َ
َ َ ِ ِ َ َ َ َ َّ ‫ع‬
‫ذ‬ ‫ى‬ ‫ى‬ ‫ب‬ َّ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬‫ل‬ ‫ي‬ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫ي‬( َّ
‫ل‬ ‫ج‬ ‫و‬ َ
‫ت فَ َ ْد‬ ْ َ َ
ِ ‫شة فَ َم ْن ألَ َّر بِ َلذا مِ نَ ال ُمؤْ مِ نَا‬ ُ َ ِ‫عات‬ َ ْ‫ لَالت‬.ِ‫َوالَ يَس ِْر ْلنَ َوالَ يَ ْ نِينَ ) ىِلَى ُخِ ِر اآليَة‬
َ
‫ ِىذَا أ َ ْل َر ْرنَ بِذَ ِل َ مِ ْن لَ ْو ِل ِل َّن‬-‫صااالى ي عليل وسااالم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ساااو ُل‬ ُ ‫أَلَ َّر بِ ْالمِ حْ نَ ِة َو َكانَ َر‬
ِ
‫َّللا َما‬ َ َّ ُ ُ ْ َ َ ْ َ ْ
َّ ‫ َوال َو‬.» ‫ « انط ِل نَ ف د بَايَ ْعتكن‬-‫صاالى ي عليل وساالم‬- ِ‫َّللا‬ َّ ‫س او ُل‬ ُ ‫لَا َل لَ ُل َّن َر‬
ْ َ
‫غي َْر أنَّلُ يُبَايِعُ ُل َّن بِال َكفَ ِم‬ َ
َ .‫ يَ َد ا ْم َرأةٍ لَط‬-‫صاالى ي عليل وساالم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ساو ِل‬ ُ ‫ساتْ يَ ُد َر‬ َّ‫َم ا‬
‫س ااءِ لَط‬ َ ِ ‫الن‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ - ‫الم‬ ‫ا‬ ‫وس‬ ‫عليل‬ ‫ي‬ ‫الى‬ ‫ا‬ ‫ص‬ - ِ ‫َّللا‬
َّ ‫ل‬ُ ‫و‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫ر‬
ُ َ َ ‫ذ‬ ‫خ‬
َ َ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ِ
َ َّ َ ‫َّللا‬ ‫و‬ – ُ ‫ة‬ ‫ا‬ ‫ِش‬
َ‫ا‬ ‫ت‬ ‫ا‬‫ع‬َ ْ‫ت‬ َ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ل‬ –
ٍَ‫َف ا ْم َرأة‬ َّ ‫ ك‬-‫صلى ي عليل وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫َّللاُ تَعَالى َو َما َم َّستْ كَف َر ُسو ِل‬ َ َ
َّ ُ‫ىِال بِ َما أ َم َره‬ َّ
.‫ َكفَما‬.» ‫علَ ْي ِل َّن « لَ ْد َبا َي ْعت ُ ُك َّن‬ َ َ ‫ذ‬‫خ‬َ َ ‫أ‬ ‫ا‬ َ ‫ذ‬ ِ ُ ‫لَط َو َكانَ َي ُو‬
‫ى‬ ‫ن‬َّ ‫ل‬ َ ‫ل‬ ‫ل‬ُ

“Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan
janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah,
tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al
Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita
mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah
diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata
ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian,
“Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”. Namun
-demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh
tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para
wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh
wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan.
Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka.
Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan
berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Dari Ma’qil bin Yasar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

َّ ‫ُطعَنَ فِي َرأْ ِس َر ُج ٍل بِمِ ْخيَطٍ مِ ْن َحدِي ٍد َخي ٌْر لَلُ مِ ْن أ َ ْن يَ َم‬
ُ‫س ا ْم َرأَة ال تَحِ ل لَل‬ ْ ‫أل َ ْن ي‬

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi,


sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang
bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20:
211. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Hadits ini sudah menunjukkan kerasnya ancaman perbuatan
tersebut, walau hadits tersebut dipermasalahkan
keshahihannya oleh ulama lainnya.

Hanya Allah yang memberi taufik.

https://rumaysho.com/10109-hukum-berjabat-tangan-
dengan-lawan-jenis.html

Anda mungkin juga menyukai