Anda di halaman 1dari 35

Presentasi Kasus

SEORANG LAKI-LAKI 56 TAHUN DENGAN HEMIPARESIS


SINISTRA DAN PARESE NERVUS VII & XII SINISTRA
UMN ET CAUSA STROKE HEMORRHAGIC (ICH
DAN IVH), DAN HIPERTENSI STAGE II

Oleh :
Steven Irving
G991903056

Pembimbing :
dr. Ninik Dwiastuti, Sp KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An. T
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sukoharjo
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk : 15 Desember 2019
Tanggal Periksa : 20 Desember 2019
No. RM : 0139xxxx

B. Keluhan Utama
Nyeri pada paha kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien merupakan konsulan dari bagian Orthopaedi dengan
keluhan utama nyeri pada paha kiri post op curettage + ORIF rekonstruktif
+ bone graft atas indikasi CF patologis femur sinistra ec fibrous dysplasia.
Pasien datang diantar ibunya ke RSDM setelah terjatuh karena tersandung
batu pada Minggu, 15 Desember 2019. Terdapat nyeri pada paha kiri
pasien setelah terjatuh. Kaki bagian kiri pasien tidak dapat digerakan sama
sekali.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa : (+) 2 tahun lalu di femur dextra
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat mondok : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal

2
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat asma : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi


Pasien makan tiga kali sehari dengan sepiring nasi dan lauk pauk berupa
tahu, telur, dan sayur.
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan seorang pelajar. Bapak pasien bekerja sebagai
pegawai swasta. Ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien tinggal
bersama ayah dan ibunya. Pasien dirawat di RSUD Dr. Moewardi dengan
fasilitas kesehatan BPJS.

3
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : tampak lemah
Status Kesadaran : GCS E4V5M6.
Gizi : kesan cukup
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 72 kali/ menit, irama teratur
Respirasi : 20 kali/ menit, irama teratur
Suhu : 36oC per aksiler
C. Kepala
Bentuk mesocephal, simetris, luka (-), rambut hitam, tidak mudah rontok,
tidak mudah dicabut, atrofi otot(-)
D. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-),
lagoftalmus (-/-), pasien bisa mengangkat alis mata dengan simetris
E. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-/-)
F. Mulut
Sianosis (-), mukosa basah
G. Leher
Simetris, JVP tidak meningkat, pembasaran limfonodi (-), atrofi otot leher
(-), kaku (-), benjolan (-)
H. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
I. Thorax
1. Bentuk dada normochest, retraksi (-), pengembangan dada simetris.
2. Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak

Palpasi : iktus cordis teraba pada SIC V linea midclavicularis


sinistra
Perkusi : konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising
(-)
3. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan = kiri, gerakan
paradoksal (-)
Palpasi : simetris, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : suara dasar vesikuler normal, ronkhi basah kasar (-/-)
J. Toraks
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)

4
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
K. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) 15 x/menit
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba, bruit (-)
L. Ekstremitas
Oedem Akral dingin

- -
- -
Atrofi

- -
- -

M. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Otonom : BAK dan BAB dalam batas normal
Fungsi Koordinasi : dalam batas normal
Tanda Meningeal : (-)
Reflek Primitif : (-)
Fungsi Sensorik : dalam batas normal
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus RF RP
5/5/5 5/5/5 N N +2/+2 +2/+2 - -
5/5/5 sde N sde +2/+2 sde - sde

Nervus Cranialis
Nervus I : tidak dilakukan
Nervus II, III : pupil isokor (3 mm/3 mm), refleks cahaya
langsung dan tak langsung (+/+)
Nervus III,IV,VI : gerak bola mata dalam batas normal
Nervus VII, XII : dalam batas normal
Nervus V : reflek kornea (+/+)
Nervus VIII : dalam batas normal
Nervus IX, X : dalam batas normal

5
Nervus XI : otot sternokleidomastoideus dan trapezius dalam
batas normal

6
N. Range of Motion (ROM)

NECK
ROM Pasif ROM Aktif
Fleksi 0-700 0-700
Ekstensi 0-400 0-400
Lateral bending kanan 0-600 0-600
Lateral bending kiri 0-600 0-600
Rotasi kanan 0-900 0-900
Rotasi kiri 0-900 0-900

Ekstremitas Superior ROM aktif ROM pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
o
Shoulder Fleksi 0-165 0-165o 0-165o 0-165o
o
Ekstensi 0-60 0-60o 0-60 o
0-60o
Abduksi 0-170o 0-170o 0-170o 0-170o
o
Adduksi 0-50 0-50o 0-50 o
0-50o
External Rotasi 0-100o 0-100o 0-100o 0-100o
Internal Rotasi 0-70o 0-70o 0-70o 0-70o
o
Elbow Fleksi 0-140 0-140o 0-140 o
0-140o
Ekstensi 0-0o 0-0o 0-0o 0-0o
o
Pronasi 0-75 0-75o 0-75 o
0-75o
Supinasi 0-80o 0-80o 0-80o 0-80o
Wrist Fleksi 0-800 0-800 0-800 0-800
0
Ekstensi 0-70 0-70º 0-70º 0-70º
0
Ulnar deviasi 0-35 0-350 0-35 0
0-350
0
Radius deviasi 0-20 0-20º 0-20º 0-20º
Finger MCP I fleksi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
MCP II-IV fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
DIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
PIP II-V fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º

Ekstremitas Inferior ROM aktif ROM Pasif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-1350 sde 0-135 0
sde
Ekstensi 0-300 sde 0-300 sde
0 0
Abduksi 0-45 sde 0-45 sde
0 0
Adduksi 0-30 sde 0-30 sde
Eksorotasi 0-450 sde 0-450 sde
0 0
Endorotasi 0-35 sde 0-35 sde
Knee Fleksi 0-1350 sde 0-1350 sde
0 0
Ekstensi 0-0 sde 0-0 sde
0 0
Ankle Dorsofleksi 0-15 sde 0-15 sde

7
Plantarfleksi 0-450 sde 0-450 sde
Eversi 0-50 sde 0-50 sde
Inversi 0-50 sde 0-50 sde

O. Manual Muscle Testing (MMT)


NECK
Fleksor M. Sternocleidomastoideus 5
Ekstensor 5

Ekstremitas Superior Dextra Sinistra


Shoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 5
M Biseps 5 5
Ekstensor M Deltoideus anterior 5 5
M Teres mayor 5 5
Abduktor M Deltoideus 5 5
M Biceps 5 5
Adduktor M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5
Internal M Lattissimus dorsi 5 5
M Pectoralis mayor 5 5
Rotasi
Eksternal M Teres mayor 5 5
M Infra supinatus 5 5
Rotasi
Elbow Fleksor M Biceps 5 5
M Brachialis 5 5
Ekstensor M Triceps 5 5
Supinator M Supinator 5 5
Pronator M Pronator teres 5 5
Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis 5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5
Abduktor M Ekstensor carpi radialis 5 5
Adduktor M ekstensor carpi ulnaris 5 5
Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 5
Ekstensor M Ekstensor digitorum 5 5

Ekstremitas inferior Dextra Sinistra


Hip Fleksor M Psoas mayor 5 sde
Ekstensor M Gluteus maksimus 5 sde
Abduktor M Gluteus medius 5 sde
Adduktor M Adduktor longus 5 sde
Knee Fleksor Harmstring muscle 5 sde
Ekstensor Quadriceps femoris 5 sde
Ankle Fleksor M Tibialis 5 sde

8
Ekstensor M Soleus 5 sde

P. Status Ambulasi
Skor ADL dengan Barthel Index
Activity Score
Feeding
0 = unable 10
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 0
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 5
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 0
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangani 0
sendiri
5 = occasional accident

9
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 0
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 10
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 5
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable 0
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 35

Interpretasi hasil:
0-20 : ketergantungan total
21-60 : ketergantungan berat
61-90 : ketergantungan sedang
91-99 : ketergantungan ringan
100 : mandiri
Status Ambulasi: ketergantungan berat

10
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (16 Desember 2019)

Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI
Hb 12.0 g/dl 11.5 – 15.5
HCT 37  35-45
Eritrosit 4.51 106/l 4.00 – 5.20
Leukosit 11.5 103/l 4.5 - 14.5
Trombosit 282 103/l 150 – 450
INDEX ERITROSIT
MCV 82.9 /um 80.0 - 96.0
MCH 27.6 pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.2 g/dl 33.0 – 36.0
RDW
RDW 13.8 % 11.6 – 14.6
MPV 8.4 fl 7.2 – 11.1
PDW 16 % 25 - 65
HITUNG JENIS
Eosinofil 0.00 % 0.0 - 0.04
Basofil 0.20 % 0.0 – 1.00
Netrofil 85.60 % 29.0 – 72.0
R
Limfosit 11.0 % 30.0 – 48.0
Monosit 3.20 % 0.00 – 5.00
KIMIA KLINIK
Kreatinin 0.2 mg/dl 0.3 - 0.7
Ureum 17 mg/dl <48
ELEKTROLIT
Natrium 131 mmol/L 132-145
Kalium 3.6 mmol/L 3.1-5.1
Kalsium 1.07 mmol/L 1.17-1.29

HbsAg reaktif nonreaktif Nonreaktif

Pemeriksaan Laboratorium (2 Desember 2019)

11
HEMATOLOGI
Hb 10.0 g/dl 11.5 – 15.5
HCT 32  35-45
Eritrosit 3.83 106/l 4.00 – 5.20
Leukosit 11.5 103/l 4.5 - 14.5
Trombosit 282 103/l 150 – 450
ELEKTROLIT
Natrium 139 96 mmol/L 132-145
Kalium 4.2 mmol/L 3.1-5.1
Kalsium 1.10 mmol/L 1.17-1.29

Pemeriksaan MSCT kepala tanpa kontras (17 Desember 2019)

Kesimpulan :
1. Mengarah gambaran poliostosis fibrous dysplasia di os occipital os
humerus bilateral, os radius et ulna bilateral, os femur bilateral, regio
pelvis, os tibia et fibula bilateral
2. Fraktur patologis pada subtrocanther femur kiri dengan fragmen
contracted dan displaced, collum femur kiri dan acetabulum
Pemeriksaan Femur AP dan Lat (18 Desember 2019)

12
Kesimpulan :
1. Terpasang internal fiksasi pada os femur kiri dengan masih tampak garis
fraktur pada subtrochanter os femur kiri, aposisi dan alignment cukup
2. Fraktur patologis pada collum femur kiri dan acetabulum kiri
3. Terpasang drain 1/3 proksimal regio femur kiri

IV. ASSESSMENT
Klinis : Post curettage + ORIF rekonstruktif + bone graft
Topis : Femur Sinistra subtrochanteric
Etiologi : Trauma dan Fibrous Dysplasia

V. DAFTAR MASALAH
 Masalah medis : Hemiparese (S)
Parese N. VII dan XII (S) UMN
Hipertensi stage II
Disartria

 Problem Rehabilitasi Medik


1. Fisioterapi : kelemahan anggota gerak kiri
2. Speech Terapi : tidak ada
3. Okupasi Terapi : status ambulasi
ketergantungan berat
4. Sosiomedik : tidak ada
5. Ortesa-protesa : tidak ada
6. Psikologi : tidak ada

13
VI. PENATALAKSANAAN
a) Terapi Medikamentosa :
- Head up 30º
- Oksigen 3 lpm nasal kanul
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi Ketorolac 30 mg/12 jam
- Injeksi Citicolin 1 gr/12 jam
- Injeksi Santagesik 1 gr/12 jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12 jam
- Lain-lain tunggu hasil lab dan CT Scan kepala
b) Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi :
- ROM exercise
- Mobility bertahap dengan alat bantu
2. Speech terapi :
Tidak ada speech terapi.
3. Okupasi terapi :
- Tidak ada okupasi terapi.
4. Sosiomedik :
Edukasi terhadap keluarga pasien mengenai bagaimana perawatan
pasien dan pentingnya peran keluarga dalam pengawasan dan
membantu pasien untuk melakukan latihan rehabilitasi di rumah.
Memotivasi pasien untuk selalu berlatih sehingga dapat kembali
bekerja seperti semula.
5. Ortesa dan protesa :
Ortesa dan protesa tidak ada. Jika diperlukan alat bantu, alat bantu
jalan yang diperlukan untuk pasien pada kasus ini yaitu crutch.
6. Psikologis :
Evaluasi status mental pasien dan merencanakan terapi psikologis
berdasarkan hasil pemeriksaan status mental pasien tersebut,
memberikan terapi supportif pada keluarga pasien. Mengawasi
adanya gejala-gejala depresi pada pasien.

14
VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP
A. Impairment
Hemiparesis sinistra e.c Stroke Hemorrhagik (ICH dan IVH), parese
N. VII dan XII sinistra UMN, kesulitan berbicara
B. Disabilitas
Gangguan sedang Activity of Daily Living (perubahan sikap dari
berbaring, duduk dan berjalan), membutuhkan bantuan orang lain.
C. Handicap
Penurunan aktivitas sosial untuk sementara waktu.

VIII. PLANNING
Planning Diagnostik : -
Planning Terapi : - Fisioterapi:
Target untuk mencegah komplikasi akut.
Planning Edukasi : - Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa
terjadi.
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan
yang dilakukan.
- Edukasi untuk home exercise dan ketaatan
untuk melakukan terapi.
Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi, ROM dan MMT.

15
IX. TUJUAN
A. Jangka pendek
1. Minimalisasi disabilitas pada pasien
2. Mempersingkat waktu perawatan
B. Jangka panjang
1. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan
aktivitas harian dan dapat kembali bekerja.
2. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot.
3. Memelihara ROM.
4. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit
yang diderita pasien.

X. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

a. Definisi Stroke
Menurut WHO, stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak fokal maupun
global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang
sebelumnya tanpa peringatan; dan yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan
cacat,atau kematian; akibat gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan maupun
non perdarahan, sehingga menimbulkan gejala fokal maupun global > 24 jam
(Iskandar, 2004).
Stroke yang merupakan gangguan peredaran darah di otak, dalam bahasa
Inggris disebut juga dengan Cerebrovascular Accident (CVA). Gangguan
perdarahan ini dapat berupa:
1. Iskemik/ Iskemia
Iskemik ini terjadi apabila aliran darah berkurang atau terhenti pada sebagian
daerah di otak.
2. Perdarahan/ Hemoragik
Perdarahan terjadi apabila dinding pembuluh di otak ruptur.
Gangguan peredaran darah ini mengakibatkan fungsi otak terganggu, dan
bila berat dapat mengakibatkan kematian sebagian sel-sel otak atau yang
disebut infark.
Stroke perdarahan dan stroke iskemik memiliki beberapa perbedaan gejala dan
tanda, berikut adalah perbedaannya:
Gejala Stroke Hemoragik Stroke Iskemik
Onset Mendadak, saat aktivitas Mendadak, saat istirahat
Nyeri kepala Hebat Ringan
Kejang + -
Muntah + -
Penurunan kesadaran Sangat nyata Ringan/sangat ringan
Tanda
Meningeal sign + -
Tabel 2.1 Perbedaan Stroke Hemoragik dan Iskemik (Iskandar, 2004)
b. Penggolongan Stroke

17
Penyakit neurologis yang sering mengakibatkan kematian ini dibagi
dalam 2 golongan besar yaitu:
1. Stroke Iskemik
Iskemia berasal dari kata Yunani yang berarti ischein, yang berarti
menghentikan dan haima yang berarti darah. Stroke Iskemik disebut juga
sebagai stroke non-hemoragik atau biasa disingkat NHS (non hemorrhagic
stroke). Stroke jenis ini adalah stroke yang paling sering terjadi karena 80-
90% dari kasus stroke yang ada adalah stroke iskemik.
Stroke iskemik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan
terjadinya serangkaian perubahan dalam otak, apabila tidak ditangani
dengan segera akan berakhir dengan kematian pada bagian otak tersebut.
Stroke iskemik terjadi bila karena suatu hal yang menyebabkan suplai
darah ke otak terhambat atau terhenti. Walaupun berat otak hanya sekitar
1400 gram, namun menuntut suplai darah yang relatif sangat besar yaitu
sekitar 20% dari seluruh curah jantung. Kegagalan dalam memasok darah
dalam jumlah yang mencukupi akan mengakibatkan gangguan fungsi
bagian otak atau nekrosis dan kejadian inilah yang lazimnya disebut stroke
(Iskandar, 2004).
Macam atau derajat dari stroke iskemik berdasarkan dari
perjalanan klinisnya adalah sebagai berikut:
a. TIA (Transient Ischemic Attack)
TIA atau sering disebut dengan serangan stroke sementara atau
dikenal sebagai mini stroke merupakan gejala neurologis yang hanya
berlangsung kurang dari 24 jam. Meskipun hanya sesaat, TIA
merupakan peringatan akan datangnya serangan yang lebih parah. Jika
pernah mengalami TIA berarti penderita memiliki risiko lebih tinggi
untuk terkena stroke dan serangan jantung.
b. RIND (Reversible Ischemic Neurological Deficits)
RIND adalah kelainan atau gejala neurologis yang akan
menghilang antara lebih dari 24 jam sampai 3 minggu.
c. Stroke Progresif (Stroke in evolution)

18
Stroke progresif adalah kelainan atau gejala klinisnya secara
bertahap berkembang dari yang ringan sampai semakin berat.
d. Stroke Komplit (Completed Stroke)
Stroke komplit adalah stroke dengan defisit neurologis yang
menetap dan sudah tidak berkembang lagi. Kelainan neurologis yang
muncul bermacam-macam tergantung daerah otak yang mengalami
lesi.

3. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik atau stroke perdarahan adalah stroke yang terjadi
bila pasokan darah ke otak terganggu akibat pembuluh darah pecah dan
berdarah di dalam otak, kemudian otak mengalami perdarahan kemudian
volume darah menekan otak sehingga terjadi gangguan.
Otak manusia, mengendalikan segala sesuatu di tubuh termasuk
gerakan, berbicara, pemahaman, dan emosi. Kerusakan otak pada manusia
dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tersebut. Kondisi ini kebanyakan
terjadi pada orang tua, tetapi dapat terjadi pada usia berapa pun. Gejala-
gejala yang terjadi cenderung lebih parah daripada yang disebabkan oleh
stroke iskemik.
Berdasarkan jenisnya, stroke hemoragik dibedakan menjadi 2,
yaitu sebagai berikut:
a. Perdarahan Intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh arteri di
dalam otak pecah. Sekitar 10% dari semua stroke adalah jenis ini.
Karena darah bocor keluar menuju ke jaringan otak pada tekanan
tinggi, kerusakan yang disebabkan dapat lebih besar dibandingkan
stroke karena penyumbatan.
Gejala stroke yang disebabkan oleh perdarahan di dalam otak
adalah kelemahan, mati rasa dan / atau kesemutan pada satu sisi tubuh,
kesulitan berbicara atau memahami, pusing, atau penglihatan kabur.

19
Gejala ini dapat disertai juga dengan gejala lain seperti sakit kepala
parah tiba-tiba, perubahan kesadaran, muntah atau leher kaku.
b. Perdarahan Subarachnoid (PSA)
Otak manusia dilapisi 2 lapisan membran yang melindungi dari
tulang tengkorak. Antara dua lapisan membran ini terdapat ruang yang
disebut ruang subarachnoid, yang diisi dengan cairan serebrospinal
(CSS). Jika darah yang dekat dengan permukaan otak pecah dan
mengalami kebocoran masuk ke ruang subarachnoid, ini disebut
subarachnoid haemorrhage (SAH). Jenis stroke ini menyumbang 5%
dari semua stroke. Perdarahan subarachnoid adalah jenis stroke yang
sangat serius dan sekitar 50% orang-orang yang mengalaminya tidak
akan bertahan hidup.
Satu-satunya gejala yang sering kali terjadi tiba-tiba adalah
sakit kepala yang parah. Hal ini kadang-kadang digambarkan seperti
kepala dipukul dengan palu, sakit yang dirasakan tidak seperti apa
yang pernah dialami sebelumnya. Gejala lainnya bisa saja terjadi
kehilangan kesadaran, kejang, mual dan muntah, kepekaan terhadap
cahaya, leher kaku (memakan waktu 3-12 jam), kebingungan dan
demam. Gejala ini juga dapat disertai oleh masalah berbicara dan
kelemahan pada satu sisi tubuh.

C. Gejala dan Tanda Stroke


Gejala dan tanda yang sering dijumpai pada penderita dengan stroke akut
adalah sebagai berikut:
1. Adanya serangan defisit neurologis / kelumpuhan
fokal, seperti : hemiparesis, yaitu lumpuh sebelah badan yang kanan atau
yang kiri saja.

2. Baal atau mati rasa sebelah badan, terasa


kesemutan, terasa seperti terkena cabai seperti terbakar.

3. Mulut mencong, lidang mencong saat diluruskan.

20
4. Bicara jadi kacau.

5. Sulit menelan, saat minum sering tersedak.

6. Sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai


dengan keinginan atau gangguan bicara berupa pelo, rero, sengau, dan
kata-katanya tidak dapat dimengerti atau tidak dipahami (afasia).

7. Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata


yang terucap, tidak ada artinya dan tidak karuan, tidak memahami
pembicaraan orang lain.

8. Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak


memahami tulisan.

9. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil.

10. Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun.

11. Menjadi pelupa (demensia).

12. Vertigo (pusing, puyeng), perasaan berputar yang


menetap saat tidak beraktifitas.

13. Onset/ awal terjadinya penyakit cepat dan


mendadak pada saat bangun tidur / istirahat.

14. Biasanya sebelumnya ada serangan kelumpuhan


sementara (TIA= Transient Ischemic Attack).

15. Penglihatan terganggu, sebagian lapang pandangan


tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap,
atau ganda sesat (hemianopsia).

16. Tuli satu telinga atau pendengaran berkurang.

17. Kelopak mata sulit dibuka atau terjatuh.

21
18. Gerakan tidak terkoordinasi, kehilangan
keseimbangan, sempoyongan, atau kehilangan koordinasi sebelah badan.

19. Gangguan kesadaran pingsan sampai koma.

Untuk mendeteksi gejala stroke sejak dini, perlu dilakukan skrining


stroke. Hal ini dapat diketahui gejala stroke muncul apabila:
1. Mulut mencong (facial drop),
caranya dengan meminta penderita memperlihatkan giginya atau
tersenyum.
Normal : kedua sisi muka bergerak simetris.
Abnormal : salah satu sisi muka tertinggal.
2. Gangguan bicara dan bahasa, caranya dengan
meminta penderita untuk mengatakan kalimat tertentu.
Normal : dapat mengucapkan dengan benar dan jelas.
Abnormal : bicara kacau, menggunakan kata yang salah atau tidak
dapat berbicara.
3. Lengan lemah (arm drift), caranya dengan
menahan kedua lengan penderita lurus ke depan sekitar 10 detik, dengan
mata tertutup.
Normal : dapat mengangkat lurus kedua tangannya.
Abnormal : hanya satu tangannya saja yang dapat terangkat lurus ke
depan dengan sempurna.
4. Gangguan gerakan bola mata.
5. Gangguan koordinasi.

D. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko suatu penyakit adalah suatu kondisi atau keadaan
yang menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap serangan suatu penyakit
dibandingkan dengan orang lain yang tidak memiliki faktor-faktor risiko
tersebut. Untuk penyakit stroke, faktor-faktor penyebab tersebut dapat dibagi
dua menurut tingkat pengendaliannya, yaitu:

22
1. Faktor-faktor yang tidak bisa dihindari atau
dikendalikan.
Faktor-faktor ini merupakan faktor alamiah yang melekat pada
seseorang tertentu. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengendalikan faktor-faktor ini. Berikut adalah beberapa faktor yang tidak
dapat dikendalikan:
a. Usia
Dari berbagai studi yang dilakukan tentang penyakit stroke,
umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
stroke. Orang yang telah berumur tua pada umumnya lebih rentan
terkena penyakit stroke dibandingkan dengan yang lebih muda. Ini
adalah kondisi alamiah yang harus diterima. Saat umur bertambah,
kondisi jaringan tubuh sudah mulai kurang fleksibel dan lebih kaku,
termasuk dengan pembuluh darah.
b. Jenis Kelamin
Pria lebih rentan terkena penyakit stroke dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini mungkin lebih berhubungan dengan faktor-faktor
pemicu lainnya yang lebih banyak dilakukan oleh pria dibandingkan
dengan perempuan, misalnya merokok, minum alkohol, dan
sebagainya.
c. Ras atau warna kulit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempunyai
ras warna kulit putih lebih banyak yang terkena stroke dibandingkan
dengan ras dengan berwarna kulit berwarna gelap.
d. Keturunan
Orang yang berasal dari keluarga yang memiliki riwayat
terkena stroke akan lebih rentan dibandingkan dengan orang lain yang
tidak memiliki riwayat penyakit tersebut dalam keluarganya.

2. Faktor-faktor yang bisa dikendalikan atau dihindari

23
Faktor-faktor ini merupakan akibat dari kebiasaan yang buruk yang
bisa meningkatkan risiko terkena penyakit stroke, tetapi faktor faktor ini
dapat dikendalikan. Faktor-faktor inilah yang seharusnya diperhatikan agar
bisa meminimalisasi terjadinya stroke.
a. Hipertensi atau tekanan darah tinggi
Orang-orang yang terkena hipertensi memiliki risiko yang lebih
besar untuk terkena serangan stroke. Bahkan tekanan darah tinggi ini
merupakan penyebab penyakit stroke yang utama. Orang yang
memiliki darah tinggi, aliran darahnya menjadi tidak normal dan
lambat akibat penyempitan yang terjadi pada pembuluh darah. Suplai
oksigen dan glukosa ke otak pun (yang dibawa oleh aliran darah) juga
akan mengalami penurunan.
b. Penyakit jantung
Penyakit jantung juga merupakan faktor penting yang
menyebabkan serangan stroke. Gangguan atau kelainan jantung
menyebabkan pompa darah ke seluruh bagian tubuh lainnya, termasuk
ke otak, menjadi tidak normal. Dari hal ini bisa dipahami hubungan
yang erat antara penyakit jantung dan stroke.
c. Diabetes melitus
Penyakit diabetes melitus juga menjadi pemicu terjadinya
serangan stroke pada seseorang. Orang yang terkena diabetes melitus
akan mempunyai gangguan pada pembuluh darah yang juga
mempengaruhi aliran darah.
d. Kadar kolesterol darah yang tinggi
Kandungan kolesterol dalam darah yang terlalu tinggi di atas
ambang normal (hiperkolesterolemia) juga akan menjadi faktor pemicu
terjadinya stroke.
e. Merokok
Kebiasaan merokok akan meningkatkan kadar fibrinogen di
dalam darah. Fibrinogen yang tinggi dapat mempermudah terjadinya

24
penebalan pembuluh darah yang akan menyebabkan pembuluh darah
menjadi kaku dan tidak lentur, serta bisa menimbulkan plak.
f. Obesitas atau kelebihan berat badan
Orang yang kelebihan berat badan umumnya memiliki
kandungan lemak yang lebih banyak. Hal tersebut membuat kerja
jantung menjadi lebih berat sehingga orang yang obesita berisiko
terkena stroke atau gangguan jantung.
g. Alkohol
Secara umum, meningkatnya konsumsi alkohol selalu disertai
dengan meningkatnya tekanan darah yang mengarah pada peningkatan
risiko stroke iskemik dan hemoragik. Konsumsi alkohol yang tidak
berlebihan dapat mengurangi daya penggumpalan platelet dalam darah,
seperti halnya aspirin.
h. Obat-obatan terlarang
Penggunaan obat-obatan terlarang seperti kokain dan senyawa
olahannya dapat menyebabkan stroke, di samping memicu faktor
risiko lain seperti hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah.
Kokain juga meyebabkan gangguan atau mempercepat denyut jantung
(aritmia). Obat-obatan tersebut menyebabkan pembentukan gumpalan
darah. Marijuana mampu mengurangi tekanan darah dan apabila
berinteraksi dengan faktor risiko lain, seperti hipertensi dan merokok,
akan menyebabkan tekanan darah naik turun dengan cepat. Keadaan
ini berpotensi merusak pembuluh darah.
i. Cedera kepala dan leher
Cedera pada kepala dapat menyebabkan perdarahan di dalam
otak. Kerusakannya pun sama seperti pada stroke hemoragik. Cedera
pada leher, apabila terkait dengan robeknya tulang punggung atau
pembuluh carotis — akibat peregangan atau pemutaran leher secara
berlebihan atau karena tekanan pada pembuluh merupakan penyebab
stroke yang cukup signifikan, terutama pada seorang berusia muda.
j. Infeksi

25
Infeksi virus dan bakteri yang dapat bergabung dengan faktor
risiko lain tersebut memicu terjadinya stroke. Secara alamiah, sistem
kekebalan tubuh biasanya melakukan perlawanan terhadap infeksi
yang meningkatkan peradangan dan menangkal infeksi pada darah.
Sayangnya, reaksi kekebalan ini meningkatkan faktor penggumpalan
darah yang justru memicu risiko stroke embolik-iskemik.

E. Diagnosis Stroke
Diagnosis ditujukan untuk mencari beberapa keterangan apakah pasien
menderita stroke atau tidak. Anamnesis yang dilakukan dapat menuntun
untuk menentukan kausa paling mungkin yang ditemukan pada pasien stroke.
Menelusuri gejala–gejala klinis yang berupa sakit kepala, mual, muntah,
gangguan visual sampai pada penurunan kesadaran. Selain itu dilakukan
penelusuran tentang faktor-faktor risiko apa yang terjadi. Setelah anamnesis
dilakukan, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik meliputi penilaian tanda-
tanda vital, pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan toraks, abdomen,
kulit dan ekstremitas.
Pemeriksaan neurologis dilakukan seperti pemeriksaan saraf kranialis,
rangsang selaput otak, system motorik, reflex, koordinasi, sensorik, dan
fungsi kognitif. Diagnosa yang cepat dilakukan dengan menggunakan CT
scan. CT scan dapat mendeteksi lebih dari 90% kasus PSA dengan ruptur
aneurisma. Pada tampilan CT scan akan terlihat gumpalan pada ruang
subaraknoid pada siterna basal dan sulkus. Diagnosa lain juga dapat
dilakukan dengan pungsi lumbal apabila hasil CT scan meragukan atau tidak
menunjukan tanda perdarahan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara
mengambil cairan serebrospinal dan melihat kandungan di dalamnya. Pada
stroke punksi lumbal akan menunjukan adanya sel eritrosit yang massif.
1. Anamnesis
Proses anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah
badan, mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi
dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun
tidur, sedang bekerja, ataupun sewaktu istirahat.

26
2. Pemeriksaan fisik
Penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti
tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat
kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan skala
koma glasglow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi
seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang
terjadi, disertai pemeriksaan saraf – saraf otak dan motorik apakah fungsi
komunikasi masih baik atau adakah disfasia. Jika kesadaran menurun dan
nilai skala koma glasglow telah ditentukan, setelah itu lakukan
pemeriksaan refleks – refleks batang otak yaitu :
a. Reaksi pupil terhadap cahaya
b. Refleks kornea
c. Refleks okulosefalik.
d. Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,
hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu
tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf – saraf otak dan anggota
gerak. Kegawatan kehidupan sangat erat hubungannya dengan
kesadaran menurun, karena makin dalam penurunan kesadaran, makin
kurang baik prognosis neurologis maupun kehidupan. Kemungkinan
perdarahan intra serebral dapat luas sekali jika terjadi perdarahan –
perdarahan retina atau preretina pada pemeriksaan funduskopi.
3. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
neurokardiologi, pemeriksaan radiologi.
a. Laboratorium.
1) Pemeriksaan darah rutin.
2) Pemeriksaan kimia darah lengkap.
a) Gula darah sewaktu.
Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan
kemudian berangsur – angsur kembali turun. Diabetes melitus
merupakan salah satu faktor risiko stroke.
b) Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim
SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL
kolesterol serta total lipid).

27
3) Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap), meliputi waktu
protrombin, kadar fibrinogen, viskositas plasma, dan pemeriksaan
tambahan yang dilakukan atas indikasi homosistein.
b. Pemeriksaan neurokardiologi
Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan
elektrokardiografi. Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik jika
mengarah kepada kemungkinan adanya potensial source of cardiac
emboli (PSCE), maka pemeriksaan echocardiografi terutama
transesofagial echocardiografi (TEE) dapat dilakukan untuk visualisasi
emboli cardial.
c. Pemeriksaan radiologi
1) CT-scan otak
Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan
pemeriksaan ini sangat penting untuk menentukan manajemen
karena adanya perbedaan manajemen pada stroke perdarahan
dengan stroke infark. Pada stoke infark, pemeriksaan CT-scan otak
mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan
pada hari – hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan
proses patologik di batang otak.
2) Pemeriksaan foto thoraks.
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda
hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain
pada jantung. Selain itu, dapat mengidentifikasi kelainan paru yang
potensial mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk
prognosis.

Untuk diagnosis stroke, yang dilakukan secara umum antara lain


(Sukandar, 2008):

28
a. Pendekatan awal ialah memastikan keseimbangan pernafasan dan
memeriksa secara cepat apakah lesi adalah iskemia atau perdarahan
berdasarkan pemantauan CT scan.
b. Pada pasien stroke iskemia dalam beberapa jam pertama terjadinya
gejala, harus segera dievaluasi untuk terapi reperfusi.
c. Tekanan darah seharusnya direndahkan jika meningkat hingga 220/120
mmHg atau terdapat bukti dari pembedahan aortik, infark miokardial
akut, edema pulmonari, atau encefalofati hipersensitif.
d. Pasien dengan stroke perdarahan seharusnya diperiksa untuk mengetahui
apakah mereka perlu dioperasi melalui endovaskular atau pendekatan
kraniotomi.
e. Setelah fase hiperakut telah lewat, perhatian ditujukan pada pencegahan
penurunan bertahap, minimalisir komplikasi, dan merancang strategi
pencegahan sekunder yang tepat.

F. Pencegahan Penyakit Stroke


Tindakan pencegahan dibedakan atas pencegahan primer dan sekunder.
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah stroke pada mereka yang belum
pernah terkena stroke. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mereka yang
pernah terkena stroke, termasuk TIA (Wahjoepramono, 2005).
Pencegahan terjadinya stroke harus dilakukan sepanjang masa. Dengan
bertambahnya usia, kemungkinan untuk terserang stroke. Oleh karena itu,
harus diusahakan untuk selalu mengurangi atau menghilangkan berbagai
faktor risiko, terutama dengan melakukan diet dan olahraga secara teratur
(Wirakusumah, 2001).

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya
hidup dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada

29
orang sehat maupun kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang
stroke.
Menurut (Wahjoepramono, 2005), pencegahan primer dapat
dilakukan dengan modifikasi gaya hidup yang meliputi :
a. Penurunan berat badan : mengupayakan
berat badan normal.
b. Pola makan yang tidak memicu
hipertensi: mengkonsumsi buah-buahan, sayuran, dan produk susu
rendah lemak serta mengurangi konsumsi lemak jenuh.
c. Diet rendah garam : mengurangi intake
garam <100 mmol per hari (2,4 g Na atau 6 g NaCl).
d. Aktivitas fisik : aktivitas fisik rutin
seperti jalan santai minimal 30 menit per hari.
Berikut adalah upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan
primer pada penyakit stroke:
a. Mengatur pola makan yang sehat
b. Melakukan olah raga yang teratur
c. Menghentikan rokok.
d. Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat.
e. Memelihara berat badan.
f. Menghentikan pemakaian kontrasepsi oral.
g. Penanganan stress dan istirahat cukup.
h. Melakukan pemeriksaan kesehatan teratur

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan melalui pengobatan pada faktor
risiko. Hal ini dilakukan melalui terapi obat untuk mengatasi penyakit
dasarnya, seperti penyakit jantung, diebetes, hipertensi dengan obat-
obatan seperti obat antihipertensi, antihiperlipidemik, antidiabetes.

G. Perubahan Pasca Stroke

30
Stroke adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara instan dan
cepat sehingga perlu ditangani dengan beberapa terapi secara maksimal.
Keluhan pascastroke pada penderita yang mengalaminya dibedakan menjadi
beberapa yaitu:
1. Keluhan Pasca-Stroke secara Fisik
Keluhan ini dapat diperbaiki dengan melakukan latihan-latihan
yang sesuai dengan keluhan yang ada. Keluhan secara fisik dapat berupa
kelumpuhan, melemahnya respon pada syaraf, sulit untuk berbicara,
gangguan mata, melemahnya kemampuan otot, rambut rontok, tubuh
mengalami lemas, dan sebagainya.
2. Keluhan Pasca-Stroke secara Mental
Seseorang setelah terkena stroke pasti tidak bisa langsung pulih
seperti keadaan semula, diperlukan penguatan mental agar penderita yang
merasa tidak mampu, tersisihkan, dan merasa minder terhadap orang lain.
Oleh karena itu, diperlukan partner yang selalu mengajak bicara dan
motivasi untuk mencegah timbulnya serangan stroke kembali.
3. Keluhan Pasca-Stroke secara Sosial
Lingkungan bagi penderita pasca-stroke sangat berperan penting
dalam pemulihan keluhan pasca-stroke ini. Sangat diperlukan kepercayaan
diri dan motivasi yang tinggi bagi penderitanya untuk menanggulangi
serangan stroke kembali.

H. Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke


1. Fase awal
Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder akibat tirah
baring (kontraktur dan ulkus dekubitus) dan melindungi fungsi yang tersisa.
Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum memungkinkan
dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah proper bed
positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu
penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional.

31
Prinsip penempatan posisi penderita stroke adalah pada posisi
telentang, bantal kecil diletakkan di bawah trochanter kaki sisi sakit, axilla
sisi sakit disangga bantal, abduksi lengan 60-90 derajat dan tangan lebih
tinggi dari siku, kaki yang sakit ditinggikan.
Pasien dengan risiko terjadinya ulkus dekubitus harus diposisikan
daan dimiringkan minimal tiap 2 jam, sesuai arah putaran jarum jam, 2 jam
miring kanan, 2 jam telentang, 2 jam iring kiri. Pda posisi miring, dicegah
tekanan pada trokanter dengaan posisi 30 derajat inklinasi lateral. Posisi
kepala dielevasikan maksimal 30 derajat.
Latihan luas gerak sendi (ROM exercise) dilakukan sesuai dengan
kekuatan otot pasien, yaitu sebagai berikut:
a. Passive ROM exercise
Untuk kekuatan 0 atau 1
b. Active ROM exercise:
- Active assistive, kekuatan otot 2
- Active, kekuatan otot ≥ 3
- Active resistive, kekuatan otot 4 atau 5
c. Stretching exercise
Latihan peregangan, kekuatan otot > 3

2. Fase lanjutan
Tujuannya adalah untuk mencapai kemandirian fungsional dalam
mobilisasi dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada
waktu penderita secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan
stroke infark, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke.
Penderita dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari
setelah stroke.
Program pada fase ini meliputi :
a. Fisioterapi
Pada fase ini, penderita dilatih lebih aktif, meliputi turning, rolling,
sitting, kneeling.

32
1) Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan
2 ke bawah)
2) Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan
otot.
3) Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif tergantung
dari kekuatan otot.
4) Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.
5) Latihan fasilitasi / reedukasi otot. Reedukasi motorik harus
berdasarkan:
- Sisi sakit harus diaktifkan dengan cara postur yang benar
melalui gerakan aktif dan pasif.
- Penderita harus diposisikan pada postur pola anti spastik.
- Latihan aktif dan pasif otot yang lumpuh harus dimulai
sejak awal hingga fase lanjut.
6) Latihan mobilisasi. Latihan ini dimulai setelah keseimbangan duduk
tercapai dan dilanjutkan ke latihan berdiri dan berjalan.
b. Okupasi Terapi (aktifitas
kehidupan sehari-hari/AKS)
Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian
dalam AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas
yang terkena belum tentu baik. Dengan alat Bbantu yang disesuaikan,
AKS dengan menggunakan satu tangan secara mandiri dapat
dikerjakan. Kemandirian dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat
yang disesuaikan.
c. Terapi Bicara
Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi.
Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:
1) Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas,
menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.
2) Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan
mengucapkan kata-kata.

33
3) Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi
mengucapkan kata-kata.
4) Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.
d. Ortotik Prostetik
Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti
dalam membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering
digunakan antara lain arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee
back slap, short leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee
ankle foot orthotic (KAFO).
e. Psikologi
Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan
melampaui serial fase psikologis, yaitu fase syok, fase penolakan, fase
penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-
fase tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara
lambat, berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang
telah lewat. Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai
untuk dapat menerima rehabilitasi.
f. Sosial Medik dan Vokasional
Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara
keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi
dan lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita.

34
DAFTAR PUSTAKA

Bradberry JC and Fagan SC. 2005. Pharmacotherapy : Stroke, Fifth Edition.


McGraw-Hill. Medical Publishing Division. 375-394.

Dipiro, JT, Talbert RL, Yees GC, et al. 2008. Pharmacotherapy A


Pathophysiologic Approach 7th Edition. McGraw-Hill. USA. p. 452-462.

Goetz, C.G. 2007. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical


Neurology. 3rd ed. Saunders. Philadelphia.

Iskandar J. 2004 Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. Jakarta:


PT. Bhuana Ilmu Populer.

Laswati H, Andriati, Pawana A, dan Arfianti L. 2004. Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi. Edisi ke-3. Sagung Seto.

Sukandar EYR. Andrajati JI. Sigit IK, Adnyana, dan Setiadi AAP. 2008. ISO
Farmakoterapi. Jakarta : ISFI Penerbitan. hal. 150.

Wahjoepramono. Stroke Tata Laksana Fase Akut. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Pelita Harapan. 2005.

35

Anda mungkin juga menyukai