TARJUMAN AL MUSTAFID:
Khazanah Tafsir Berbahasa Melayu Pertama di Nusantara
Oleh: Miftahuddin
Abstrak
A. Pendahuluan.
Aceh yang menempati posisi amat penting dalam perkembangan
wacana intelektual Islam di Asia Tenggara, khususnya sejak munculnya
diskursus berdarah sekitar wahdat al-wujûd.1 Tragedi keagamaan ini telah
melibatkan banyak tokoh, baik penggagas dan pendukung wahdat al-wujûd,
yaitu Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Samatrani, dan Saifurrijal, maupun
penentangnya, Nuruddin al-Raniri yang radikal dan Abdurrauf al-Sinkili
yang evolusioner.
Seiring dengan wacana di atas, di Aceh juga telah melahirkan
sebuah karya intelektual penting pada paruh kedua abad ke-17, berupa
tafsir al-Qur‟an lengkap pertama, Tarjumân al-Mustafîd karya al-Sinkili,
yang menggunakan bahasa Melayu. Meskipun sebelumnya, yaitu sejak
abad ke-16, telah banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang diberikan padanan kata
1 Aliran Wahdat al-wujud adalah aliran yang pada dasarnya berlandaskan pada
tonggak-tonggak rasa, sebagaimana terungkap dalam perkataannya: “maha suci Zat yang
menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri”. Lihat Abu al-Wafa‟ al-
Ganimi at-Taftazani, Madkhal ila Tasawwuf al-Islam, Penerjemah: A. Rafi‟i Usman,
(Jakarta: Pustaka Salman, 1985), h. 201.
2
salah satu tarekat tertua. Tarekat ini mengambil inspirasi dari banyak buku tentang penafsiran
mistik yang dihubungkan dengan Imam Ja‟far al-Sadiq, Imam Syi‟ah ke-6 (w. 148 H/765 M).
Di samping itu, juga dipengaruhi cerita-cerita tentang kehidupan Abu Yazid al-Bistami (w.
261 H/874 M). eksponen utama silsilah Syattariyah adalah Abu Yazid al-Ishq dari
Transoxania. Di wilayah Turki Usmani, tarekat ini dikenal sebagai Bistamiyah, sedangkan di
Iran dan Transoxania dikenal sebagai Ishqiyah. Lihat Azra, Renaisans Islam Asia
Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosda, 1999), hlm. 137.
3
politik yang terjadi pada eranya. Penelusuran ini menjadi sangat penting,
karena segala produk pemikiran al-Sinkili merupakan hasil interaksi
dialogis dirinya dengan komunitas dan lingkungannya, di mana sudah
tentu ia tidak dapat dipisahkan dari keduanya.
Nama lengkap al-Sinkili adalah Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-
Fansuri al-Sinkili. Ia lahir pada tahun 1620 M di Singkel dan wafat pada
tahun 1693 M. Ia dimakamkan di dekat kuala atau mulut sungai Aceh.4
Dari namanya terlihat bahwa ia adalah orang Melayu dari Fansur. Masa
hidupnya juga memiliki interval waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar
73 tahun.
Masa pendidikan awalnya dilewati di desa Sinkel, terutama dari
ayahnya. Kemudian melanjutkan studinya ke Fansur yang saat itu
merupakan Islamic Center dan titik penghubung antara orang Melayu
dengan komunitas Muslim di Asia Barat dan Asia Selatan. Untuk
kemudian, al-Sinkili melakukan perjalanan ilmiah dengan melanjutkan
studinya ke kota Banda Aceh dan seterusnya ke beberapa kota di Timur
Tengah sekitar tahun 1642 M.5
Untuk memperdalam dan memperluas pengetahuannya, al-Sinkili
melakukan study tour ke berbagai wilayah, di mulai dari Doha di wilayah
Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Makkah, dan Madinah. Di Doha, ia
Hamzah wafat sekitar tahun 1607 M. Namun, tidak dapat dikesampingkan kemungkinan
adanya interaksi studinya dengan Syamsuddin yang wafat 1630 M, walaupun ia dalam usia
belasan tahun. Lihat Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 1999), Cetakan ke-5, hlm. 190-191. Begitu juga, ada kemungkinan
terjadinya interaksi al-Sinkili dengan ar-Raniri, karena al-Raniri berada di Aceh sekitar tahun
1637-1645 M. sedangkan al-Sinkili berangkat ke Arabia tahun 1642. Namun, walaupun tidak
ada indikasi interaksi, dari paham yang dianut oleh al-Sinkili terlihat bahwa ia penganut
ortodoksi sebagaimana al-Raniri.
4
mengutip M. Shaghir Abdullah, menyatakan 19 nama guru yang mengajarnya “ilmu luar”, di
antaranya, mengkaji al-Qur‟an dan tafsir. Sayangnya, Braginsky tidak menyebutkan siapa
nama guru tersebut dan di mana al-Sinkili menemuinya. Lihat Azra, Perspektif …., hlm.
105. Juga Vladimir I. Braginsky, selanjutnya disebut Braginsky, Yang Indah, Berfaedah,
dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19, (Jakarta: INIS, 1998), seri INIS ke-
34, hlm. 474.
9 Ibid., hlm.
6
12 Mengenai isi proposal dan perubahan yang terjadi lihat A. Hasymi, Syi’ah dan
Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan sejak Awal Sejarah Islam di
Kepulauan Nusantara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 119-120.
13 Tercatat bahwa Mir‟at al-Tullab, Risalat Adab al-Murid ila al-Syaikh, dan komentar
terhadap Ahadis Arba‟in karya al-Nawawi. Lihat Muhammad Nur Ichwan, selanjutnya
disebut Ichwan, “Tarjuman al-Mustafid,” Artikel hasil penelitian Muhammad Nur Ichwan,
hlm. 8.
14 Ibid., hlm. 8-9.
8
15 Ibid., hlm. 7.
9
Muhammad ibn Ali al-Baydawi as-Syafi‟i yang wafat tahun 685 H. Tafsir Anwar al-Tanzil wa
Asrar al-Ta‟wil yang populer dengan tafsir al-Baydawi merupakan karya yang mengedepankan
penafsiran sekitar Kalam dengan corak Sunni. Di samping itu, karya al-Baydawi ini bercorak
tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmud. Lihat Muhammad Husein al-Zahabi, selanjutnya disebut al-
Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (tkp.: tp., 1976), Cetakan ke-2, Juz I, hlm. 296-299.
18 Azra, Perspektif …., hlm. 106 dan 123.
19 Jalalayn terdiri dari dua Jalal, yaitu: pertama, Jalal al-Din Muhammad ibn Ahmad
ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Mahalli al-Syafi‟i. lahir di Mesir tahun 791 H dan wafat tahun
864 H. di samping menulis tafsir, ia juga menulis pada bidang fikih, kalam, usul, mantiq, dan
lainnya; kedua, Abu al-fadal Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad al-
Suyuti al-Syafi‟i. Lahir tahun 849 H dan wafat 911 H. Dalam penulisan tafsir Jalalayn, porsi
Mahalli adalah dari al-Kahfi sampai al-Nas dan al-fatihah, sedangkan Suyuti melengkapi dari
al-Baqarah sampai al-Isra‟. Lihat al-Zahabi, At-Tafsir …., Juz 1, h. 251-252 dan 333-334.
20 Peter Riddel, “Controversy in Qur‟anic Exegesis and its Relevance to the Malayu-
Indonesian World,” dalam Anthony Reid (Editor), The Making of an Islamic Political
Discourse in Southeast Asia, Monash Papers on Southeast Asia No. 27, (Victoria: Centre
of Southeast Asian Studies Monash University, 1993), hlm. 64. Sedangkan Khazin
merupakan tafsir bercorak bi al-Ra’yi karya Abu al-Hasan Ala‟ al-Din Ali ibn Muhammad ibn
10
Ibrahim ibn Umar ibn Khalil al-Syaihi al-bagdadi al-Syafi‟I al-Sufi. Lahir di Bagdad tahun 678
H dan wafat tahun 741 H. kitab ini merupakan ikhtisar dari dari tafsir al-Bagawi (Ma‟alim al-
Tanzil) yang wafat tahun 510 H. Namun, dalam Khazin banyak terdapat tambahan berupa
penta‟wilan dan Israiliyyat. Lihat Ibid., Juz I, hlm. 234-235 dan 310-312.
21 Sayangnya, hanya ada satu contoh dalam tulisan Nur Ichwan. Lihat Ichwan,
“Tarjuman ….,” hlm. 7-8. bandingkan dengan Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-
Suyuti, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt.), Juz 2, hlm.
344.
22 Lihat J. J. G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt ,
dari sini dapat dilakukan analogi bahwa karya terjemahan al-Sinkili, kalau
ini benar terjemahan an sinch, adalah juga karya tafsir, karena merupakan
karya terjemahan dari tafsir al-Qur‟an.
Di samping itu, signifikansi dari contoh penafsiran tersebut
tentunya masih dipertanyakan, sebagaimana telah penulis sebutkan
bahwa titik lemah makalah ini adalah kurangnya data sekitar keberadaan
tafsir tersebut. Lalu, Apakah dengan menterjemahkan dari tafsir Jalâlayn
atau Baydâwi, lalu Tarjumân menjadi sebuah tafsir kelas dua atau kacangan.
Sebagai sebuah karya tafsir awal yang berbahasa Melayu, Tarjumân
telah mendapatkan perhatian dan posisi tersendiri dalam komunitas
Muslim di Nusantara. Kelemahan mayoritas umat akan bahasa Arab,
sehingga menyulitkan mereka dalam mempelajari al-Qur‟an dan beberapa
kitab Tafsir yang telah ada di kawasan ini, menyebabkan Tarjumân
menjadi karya yang sangat dibutuhkan.
Di samping itu, popularitas Tarjumân juga ditentukan oleh:23
pertama, karya tafsir ini tersosialisasikan dan tersebar melalui jalur
kenegaraan dan perdagangan. Meskipun Kesultanan Aceh semakin
menurun, hubungan multi-lateralnya dengan kekuasaan lain di Nusantara
tetap berjalan dan pelabuhan dagangnya tetap eksis menjadi persinggahan
para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Lewat kedua jalur ini karya-
karya al-Sinkili menjadi populer, termasuk karya tafsirnya; kedua, dengan
diterbitkannya pertama kali pada tahun 1884 di Istanbul, Turki, di mana
dinasti Usmaniyah saat itu masih sangat kuat dan dianggap sebagai
representasi kekhilafahan Islam, karya ini didistribusikan secara lebih luas
hingga ke Makkah dan Madinah, di mana banyak Muslim Jawi datang,
baik untuk menunaikan ibadah haji maupun untuk menuntut ilmu dan
Braginsky, adalah seorang pengikut setia Ibn Arabi. Lihat juga Braginsky, Yang Indah ….,
hlm. 474. Namun, Btaginsky lupa bahwa al-Kurani mengikuti upaya rekonsiliasi antara
wahdat al-wujud dan syari‟atdenganmenekankan pentingnya pengamalan ketentuan syari‟at
dalam praktek Sufi. Lihat Azra, Renaisans …, hlm. 128.
13
D. Kesimpulan.
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa konklusi, pertama, al-
Sinkili telah menghasilkan sebuah karya monumental, terlepas dari
kapasitas keilmuannya di bidang tafsir al-Qur‟an dan kondisi sosial politik
era itu, berupa tafsir lengkap berbahasa Melayu pertama, Tarjumân al-
Mustafîd; kedua, tafsir ini merupakan karya terjemahan dari kitab tafsir
berbahasa Arab yang telah ada sebelumnya, baik itu Jalâlayn, Baydâwi,
maupun beberapa tafsir pendukung lainnya, di mana tafsir dari
terjemahan ini ditulis setelah melihat lemahnya komunitas Muslim era itu
dalam memahami al-Qur‟an dan beberapa kitab tafsir yang telah ada
sebelumnya yang berbahasa Arab; ketiga, keberadaan Tarjumân al-Mustafîd
26 Lebih jauh dengan perkembangan tafsir di Nusantara ini lihat Azra, Perspektif
…., hlm. 126. Juga Helmiati, “Wacana …,” hlm. 3-8.
14
Daftar Kepustakaan
Al-Mahalli, Jalal al-Din, dan Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsîr al-Qur’ân al-
‘Azîm, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, tt., Juz 2.