Anda di halaman 1dari 13

1

BAGAIMANA PERAN NILAI DAN BUDAYA GOTONG ROYONG


DI LINGKUNGAN KOSAN MALEO TASIKMALAYA

Jihad Muhamad Yajen


Universitas Siliwangi
e-mail : jihadmuhamad27@gmail.com

Abstract

Mutual cooperation is a typical value of Indonesia. Other countries recognize


Indonesia because of its cultural values and suave, between the members help each
other, especially with a culture of mutual cooperation. However, if values of mutual
cooperation and culture still exist in society? This study was conducted in one of
the lodging house in the city of Tasikmalaya, more clearly in the district of Tawang
Perum PDK Cikunten Lovely Way Winaya with experimental approaches and are
implemented to the occupants of the lodging house with the background of each.
The result shows that the values and culture of mutual cooperation in the lodging
house is lacking. Why is that? Because the occupant boarding rarely practice the
values of mutual cooperation and just put it into practice at a particular moment,
not with their daily activities.

Keywords: mutual cooperation, values, culture, lodging house

***

Abstrak

Gotong royong merupakan sebuah nilai yang khas dari Indonesia. Negara-negara
lain mengenal Indonesia karena nilai dan budaya nya yang ramah tamah, saling
tolong menolong antar sesama, apalagi dengan budaya gotong royongnya. Namun
apakah nilai dan budaya gotong royong masih ada dalam masyarakat? Penelitian
ini dilaksanakan di salah satu kosan yang berada di Kota Tasikmalaya, lebih jelas
nya di Kecamatan Tawang Perum Pdk Cikunten Indah Jalan Winaya dengan
pendekatan dan percobaan yang diimplementasikan kepada para penghuni kosan
dengan latar belakangnya masing-masing. Hasilnya menunjukan bahwa nilai dan
budaya gotong royong di kosan tersebut sangatlah kurang. Mengapa demikian?
Karena penghuni kosan jarang mengamalkan nilai-nilai gotong royong dan hanya
mengamalkannya di momen tertentu, tidak dengan kegiatan sehari-harinya.

Kata Kunci : gotong royong, nilai, budaya, kosan


2

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai dan budaya. Bermacam-
macam suku, pulau, dan adat menciptakan berbagai macam kebudayaan dan nilai
yang berlaku di setiap daerah. Namun walau demikian, berbagai macam
kebudayaan dan suku bangsa dijadikan satu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Oleh karena itu Indonesia dikenal dengan
budaya dan nilainya yang ramah tamah, saling menerima perbedaan, selalu
membantu antar sesama dan gotong royong.

Akan tetapi jika dilihat di zaman sekarang, nilai-nilai khas seperti gotong
royong sudah mulai memudar. Penerapan nilai gotong royong pada sebagian
masyarakat mulai tidak terpakai karena beberapa hal diantaranya seperti sifat
individualisme dan egoisme yang melekat dalam diri masing-masing. Namun
penerapan gotong royong ini berbeda antar kota dan desa khusunya pedalaman. Di
kota, nilai dan budaya gotong royong sudah hampir pudar. Tapi berbeda dengan di
pedesaan khususnya di desa pedalaman, masyarakat nya masih menggunakan
budaya dan nilai gotong royong. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia
merupakan negara dengan berjuta pulau dan berbagai macam suku, pastinya masih
ada beberapa suku yang kental akan adat istiadatnya dan tidak terpengaruhi oleh
perkembangan zaman yang terjadi. Namun disini penulis akan memaparkan tentang
nilai dan budaya gotong royong yang berada di salah satu kosan tempat penulis
tinggal, yang mana di dalam kosan tersebut terdapat 8 orang penghuni kosan dengan
latar belakang yang berbeda-beda.

KONSEP KEBUDAYAAN

Manusia tidak terlepas dari kebudayaan, menurut koentjara-ningrat


kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu,
maka istilah kebudayaan atau dalam bahasa Inggrisnya berasal dari bahasa latin
colore, yang berarti “mengelola, mengerjakan:, terutama mengelola tanah atau
bertani, dari arti ini berkembang arti curture (Koentjaraningrat 200 : 9-10).
3

Menurut E.B. Taylor (1832-1917), mengemukakan bahwa budaya adalah


suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan
yang didapat oleh manusia sebagai angota masyarakat.

Apa yang diajarkan kepada kita selama ini tentang kebudayaan telah
menjadi suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah
menjadi pedoman dalam perjalanan hidup manusia, kebudayaan pada ekspresi
simbolik individu dalam kelompok manusia, seperti yang dikemukakan oleh
Clifford Geertz, bahwa kebudayaan itu, “merupakan pola dari pengertian-
pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam symbol-
simbol dan ditransmisikan secara historis” (Geertz dalam Irwan Abdullah 2010).

NILAI BUDAYA

Nilai adalah sesuatu yang baik dan berguna yang selalu diinginkan oleh
manusia, dicita-citakan bersama dan dianggap penting oleh seluruh umat manusia
sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu nilai berarti yang diinginkan bersama
manusia hal-hal yang baik, Inda. Nilai budaya yaitu sesuatu yang dikatakan
memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai
estetika), baik (nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama). Dan menurut C.
Kluchohn (1905-1960) mengemukakan, bahwa yang menentukan orientasi nilai
budaya manusia didunia adalah lima dasar yang bersifat universal, sebagai berikut:
a. Hakikat hidup manusia (MH)

b. Hakikat karya manusia (MK)

c. Hakikat waktu manusia (MW)

d. Hakikat alam manusia (MA)

e. Hakikat hubungan antar manusia (MM)

Nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari penghuni kosan merupakan nilai


dalam menjalin hubungan antar sesama, nilai-nilai hubungan kebersamaan antara
sesame dapat membuat tiap individu menjadi lebih dekat dan dapat menciptakan
sikap saling memiliki.
4

GOTONG ROYONG

Gotong-royong adalah nilai-nilai tradisonal dan modal sosial yang mengatur


pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kepercayan, keterbukaan, saling
peduli, saling menghargai, dan saling menolong. Menurut Koentjaraningrat gotong
royong dibagi menjadi dua yaitu gotong-royong kerja bakti karena bukan
merupakan kepentingan individual (perorangan), tetapi merupakan kepentingan
bersama, seperti: bersih desa, perbaikan jalan desa, dan perbaikan saluran air
(selokan). Dan gotong-royong kerja dalam ketetanggaan, kekerabatan, ekonomi.

Gotong-royong memiliki beberapa fungsi, antara lain sebagai berikut :

1. Pekerjaan Cepat Selesai

Bekerja sendirian, tentu akan lebih lama jika dibandingkan dengan bekerja
sama dengan bergotong-royong atau banyak orang.

2. Pekerjaan yang Berat Menjadi Ringan

Gotong royong dapat menjadikan pekerjaan yang berat menjadi ringan


karena semula pekerjaan yang dibebankan kepada seseorang akan terasa berat jika
dikerjakan sendirian, tetapi jika dikerjakan secara bersama-sama akan menjadi
ringan.

3. Memupuk Persatuan dan Kesatuan

Gotong royong dapat memupuk persatuan dan kesatuan antar manusia.


Bagaimanapun juga tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Mereka
memerlukan orang lain untuk membantu menyelesaikan pekerjaannya. Adanya
kerja sama yang baik antara manusia satu dengan manusia lainnya akan terjadi
kerukunan hidup. Kerukunan hidup yang dipupuk secara terus menerus akan
terjalin rasa persatuan dan kesatuan antar manusia.

4. Menumbuhkan Rasa Sosial

Gotong royong dapat menimbulkan rasa sosial yang tinggi antar sesama
manusia. Misalnya saling tolong menolong pada saat kesusahan memberikan kesan
bahwa terjalinnya kekeluargaan diantara mereka tetap terjaga.
5

5. Tidak Induvidualis

Manusia induvidualis adalah manusia yang hanya mementingkan


kepentingan dirinya saja tanpa memperdulikan kepentingan orang lain di
sekitarnya. Gotong royong adalah bekerja sama yang ditujukan untuk kepentingan
besama. Orang yang suka melakukan tolong menolong, berarti lebih mementingkan
kepentingan orang banyak daripada kepentingan dirinya sendiri. Secara otomatis
orang yang senang bergotong royong akan jauh dari sifat individualis.

SITUASI MASYARAKAT KONTEMPORER dan BUDAYA GOTONG


ROYONG

Belakangan ini interaksi sosial masyarakat Indonesia dapat digambarkan


sedang mengalami situasi kekacauan sosial. Kekacauan sosial ini mirip dengan
konsep anomie yang digunakan oleh Durkheim untuk menggambarkan kondisi
relasi masyarakat atau individu dimana konsensus melemah, nilai-nilai dan tujuan
(goal) bersama meluntur, kehilangan pegangan nilai-nilai norma dan kerangka
moral, baik secara kolektif maupun individu. Ini terjadi karena perubahan sosial
berlangsung begitu cepat sehingga terjadi disorientasi nilai-nilai. Dalam konteks
Indonesia perubahan sosial seiring dengan reformasi yang terjadi tanpa terencana
(dalam waktu singkat) telah menyebabkan nilai-nilai lama yang selama ini menjadi
pegangan dan acuan dalam relasi sosial berbasis pada semangat dan nilai-nilai
gotong royong mulai melemah. Sementara itu, nilai-nilai baru yang berkembang
selama era reformasi masih lemah dan belum dapat dijadikan acuan dan pegangan.
Belakangan ini justru muncul nilai-nilai baru dalam relasi sosial masyarakat yang
mengarah pada mengutamakan kebebasan. Ada kecenderungan relasi sosial lebih
bersifat individualis bercampur dengan sifat materialistik. Juga ada indikasi bahwa
dalam relasi sosial mengesampingkan nilai-nilai kebersamaan, moral, etika dan
toleransi. Relasi sosial yang selama ini bersifat intrinsic yakni hubungan yang
ganjarannya tidak bermotif ekonomi, berubah menuju bersifat extrinsic yang
ganjarannya sering bermotif kepentingan ekonomi (nilai materialistik). Mengapa
terjadi disorientasi nilai? Sebagai sebuah perubahan sosial, tentu banyak faktor
berpengaruh pada proses disorientasi nilai-nilai itu. Modernisasi yang telah
berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan selama beberapa dekade tentu
6

mempunyai kontribusi. Namun, banyak pengamat menduga disorientasi nilai itu


berlangsung akibat pengaruh ideologi asing yang masuk bersamaan dengan
globalisasi dan liberalisasi ekonomi.

Dalam beberapa dekade belakangan ini perlahan tetapi pasti sebagian besar
tatanan kehidupan ekonomi, sosial budaya dan politik dirasuki gaya hidup
konsumerisme (komsumsi yang mengada-ada) dan kebebasan hampir tanpa
kendali. Fenomena itu juga ditandai dengan meningkatnya hasrat menghamba pada
kekuasaan dan materi. Watak hedonisme, individualisme, budaya anarkis
(kekerasan), konflik dan saling menyakiti (saling bunuh) merebak dalam tata
interaksi sosial kehidupan. Norma-norma sosial dan etika sebagai perekat
kehidupan berbangsa diabaikan. Tidak dapat dielakkan norma-norma lama satu per
satu diganti dengan norma-norma baru yang berbasis pada nilai-nilai individualis.
Konsensus moral yang menjadi kerangka dasar dalam interaksi sosial bertumpu
pada nilai-nilai gotong royong yang cukup penting dalam memproduksi tatanan
kehidupan, cenderung diabaikan dan dikesampingkan.

Gotong royong tampaknya hanya berfungsi sebagai simbol belaka. Sering


didiskusikan tetapi kurang dipraktekkan dalam relasi sosial kehidupan masyarakat.
Bahkan ada upaya untuk menyingkirkannya karena dianggap tidak pas lagi dengan
tuntutan kehidupan masa kini. Untuk menyesuaikan dengan perubahan sesuai
arahan nilai-nilai baru maka diperlukan konstitusi dan norma-norma baru. Banyak
perubahan yang dilakukan dengan penuh kesadaran tetapi cukup banyak perubahan
yang dilakukan diluar kesadaran karena ada desakan kepentingan politik-ekonomi
dari pihak-pihak tertentu (agen-agen) lewat berbagai macam institusi ekonomi,
sosial, budaya dan politik.

Dalam bidang ekonomi, azas demokrasi ekonomi yang bertumpu pada


sistem gotong royong kekeluargaan (koperasi) secara perlahan dirubah menuju
pada sistem pasar terbuka dan bebas. Untuk mendukung perubahan itu diciptakan
lembaga-lembaga baru, seperti pasar modal dan lembaga lain. Badan usaha yang
selama ini dibawah pengawasan negara karena menyangkut kepentingan dan hajat
hidup orang banyak satu persatu di privatisasi (dijual ke swasta sesuai tuntutan
sistem pasar bebas). Tidak hanya itu, eksplorasi sumber daya alam yang seharusnya
7

dikuasai negara dan sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat juga


dilego ke pasar yang kemudian banyak dikuasai perusahaan asing yang dimiliki
oleh negara-negara maju penggagas sistem neoliberal.

Perubahan juga terjadi dalam sistem politik. Sistem politik telah berubah ke
arah sistem demokrasi liberal. Setiap jenjang aparat eksekutif pemerintah, bupati,
gubenur dan presiden serta anggota legistatif dipilih dengan sistem demokrasi
liberal (one head one vote). Memang dengan sistem itu kedaulatan rakyat dapat
dipenuhi dan dijalankan dengan baik karena dipandang sesuai tuntutan hak azasi
manusia. Namun, karena masyarakat belum siap untuk menjalankan sistem itu
maka dalam pelaksanaan banyak terjadi anomali yang cukup menganggu relasi
sosial dalam kehidupan masyarakat. Media sering mewartakan peristiwa konflik
antar kelompok masyarakat yang terjadi di berbagai daerah, baik karena pilkada
(pilihan bupati dan gubernur) maupun pileg (pilihan anggota legistatif). Tawuran
antar warga, pertikaian antar oknum penegak hukum. Adaptasi terhadap perubahan
sistem politik itu telah menimbulkan berbagai macam implikasi bagi relasi sosial
masyarakat, baik di aras nasional maupun lokal. Proses politik kenegaraan di
tingkat nasional dan lokal diwarnai dengan hasut-hasut menghasut, politik uang,
saling menjatuhkan, fitnah melalui selebaran gelap. Eksekutif sebagai pelaksana
pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh karena demi
“demokrasi”, legislatif senantiasa melakukan kontrol terhadap hal-hal yang
sebenarnya bukan jadi wewenangnya. Elit politik di legislatif dengan dalih
menjalankan prinsip demokrasi di berbagai kesempatan menunjukkan
kekuasaannya tanpa mengindahkan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa.
Suara rakyat sebagai konstituen yang memilih mereka kurang diperhatikan dan
cenderung diabaikan.

Perubahan politik di tingkat nasional dan lokal dalam upaya menerapkan


demokrasi telah berlangsung. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat telah
berubah dengan dikeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah. Otonomi daerah
telah memungkinkan pembagian kekuasaan dan pendistribusian dana
pembangunan antara pusat dan daerah lebih proporsional. Kepala daerah memiliki
kekuasaan untuk menerapkan berbagai kebijakan sesuai kebutuhan daerah. Namun,
sejauh ini otonomi daerah nampaknya cenderung dimaknai sebagai peluang
8

ekonomi dan politik untuk memenuhi hasrat kepentingan merengkuh kepuasan


materi dan kekuasaan para elit dan para petualang politik yang haus kekuasaan dan
materi. Tidak mengherankan kemudian beberapa kepala daerah (bupati), gubernur,
anggota DPR/DPRD dan para elit politik terlibat dalam kasus penyalahgunaan
wewenang dan terlibat korupsi. Cukup banyak para koruptor itu menjadi penghuni
lembaga pemasyarakatan. Tampaknya tidak ada kata jera atau mengatakan tidak
pada korupsi. Justru belakangan ini perilaku korupsi kian meningkat dan
merajalela. Media hampir setiap hari menayangkan dan melaporkan kasus korupsi
para petinggi partai dan pejabat negara. Tidak sedikit para koruptor itu menjadi
tersangka dan yang telah dijebloskan ke penjara oleh Komite Pemberantasan
Korupsi (KPK). Hancurnya nilai-nilai moral dan kesadaran kebersamaan ini bisa
jadi mendorong para koruptor tanpa merasa bersalah menilep dana APBN yang
dikumpulkan dari tetesan keringat rakyat. Dana APBN sering di salah gunakan
untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Meskipun masih banyak rakyat yang
hidup dililit kemiskinan tetapi para koruptor mempertontonkan gaya hidup
bermewah-mewah. Para koruptor membeli beberapa rumah mewah, mobil dengan
harga fantastis milyaran rupiah dan perilaku memperbanyak isteri (siri). Kesadaran
bahwa tindakan korupsi adalah perilaku yang merugikan dan dapat memiskinkan
rakyat sirna ditelan syahwat serakah.

Bersamaan dengan itu, nilai-nilai demokrasi liberal yang menjadi acuan


selama 15 tahun ini tidak hanya memperlemah sistem politik nasional dan lokal dan
fungsi negara tetapi juga telah mempengaruhi perilaku aktor politik dalam interaksi
sosial. Ada kecenderungan interaksi sosial para elit politik tidak lagi didasarkan
pada nilai-nilai sosial (moral/etika) tetapi lebih menonjolkan nilai materi (uang).
Hasrat memenuhi tuntutan materi (uang) telah mengesampingkan nilai-nilai moral
(etika) yang terkandung dalam gotong royong. Tanpa disadari pembusukan moral
(korupsi, teror, intimidasi, prasangka dsbnya) merebak dalam berbagai aspek
kehidupan, baik sosial maupun politik. Nilai-nilai sosial dan moral dalam
kehidupan sosial-politik telah melonggar kalau tidak boleh dikatakan hancur
berantakan karena dorongan hasrat mengejar rente ekonomi (keuntungan ekonomi)
sesaat. Money Politics (politik uang) atau suap menyuap, korupsi adalah menjadi
kenyataan dalam berbagai tingkatan kehidupan politik. Elit politik mulai dari
9

tingkat nasional sampai lokal terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dengan praktek korupsi dan politik uang. Memang permainan uang dalam sistem
politik liberal dapat dibenarkan tetapi ada koridor etika yang mengontrol dan tidak
bebas sesuka hati dan seenaknya. Transparansi dan akuntabilitas pada publik adalah
salah satu alat kontrol yang penting dilakukan dalam sistem demokrasi. Tetapi hal
itu belum berjalan dan diterapkan karena pemahaman demokrasi tampaknya baru
sebatas pada kebebasan atau sekadar euforia kebebasan. Saat ini ada yang
berpendapat bahwa demokrasi masih dalam masa transisi yang dipenuhi dengan
kontradiksi-kontradiksi di sana-sini. Keadaan inilah yang menimbulkan kekecauan
sosial karena perubahan seakan tanpa arah. Tidak hanya itu kehidupan pun mulai
bersifat individualis disertai dengan merebaknya gejala aleniasi dan kekerasan, baik
verbal maupun simbolik, sehingga kehidupan terasa hampa tanpa makna.

Insting-insting paling mendasar bahwa manusia sebagai makhluk sosial


yang berpegang teguh pada norma-norma dan etika moral dalam tata kehidupan
lenyap atau sirna. Insting-insting manusia sebagai makhluk ekonomi lebih
menonjol. Rasionalitas sosial yang memungkinkan manusia untuk saling bekerja
sama dengan sesama atau orang lain tidak menjadi pegangan. Yang muncul ke
permukaan adalah dorongan hasrat untuk berkuasa dalam rangka mereguk
keuntungan ekonomi. Akibatnya, permusuhan antar sesama karena saling
berkompetisi, saling mencurigai dan prasangka-prasangka senantiasa mewarnai
kehidupan masyarakat. Semua ini mendorong pada situasi kekacauan sosial yang
kemudian menyebabkan menurunnya sistem kekeluargaan, kebersamaan dan
kepercayaan sebagai penguat kohesi sosial. Perasaan kebersamaan meluntur dan
semangat saling menjatuhkan dan bermusuhan muncul ke permukaan. Ancaman
disintegrasi sosial tampaknya akibat yang mungkin tidak dapat terelakkan. Saling
tidak percaya dan curiga senantiasa menyertai kehidupan. Trust sebagai nilai
penting dalam mendorong kebersamaan, seperti yang dijelaskan oleh Fukuyama,
sangat rendah. Pemimpin tidak mempercayai rakyat dan rakyat tidak mempercayai
pemimpin, elit politik tidak percaya pada masyarakat dan masyarakat tidak percaya
lagi pada elit politik dan seterusnya. Krisis kepercayaan ini tidak hanya melanda
tatanan kehidupan politik nasional tetapi juga lokal. Hujat menghujat, saling
10

mencerca ditingkahi dengan kekerasan adalah bagian dari tata kehidupan sosial
masyarakat.

Saat ini, sadar atau tidak, secara praksis masyarakat Indonesia hanyut ke
dalam situasi terombang ambing ibarat sabut di tengah hempasan gelombang laut.
Hanyut tidak menentu ke sana kemari tanpa arah. Kehilangan orientasi nilai-nilai
(ideologi) cita-cita luhur kehidupan berbangsa (idealisme). Nilai-nilai budaya yang
tidak berakar pada budaya lokal secara perlahan tetapi pasti telah mengerosi
kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Kesadaran moral berlandaskan budaya
gotong royong yang menjadi pegangan dalam tata pergaulan berbangsa ikut tercuci
dan secara perlahan memudar. Dalam situasi seperti itu interaksi sosial dalam
kehidupan masyarakat diwarnai dengan tingkah yang mengarah pada demoralisasi
dan dehumanisasi. Kehampaan dan kegalauan menyelimuti masyarakat, jiwa dan
raga bangsa ini terasa semakin rapuh. Agar tidak terpuruk ke dalam jurang
kehancuran atau disintegrasi bangsa maka kita perlu menumbuhkan kembali
kesadaran kolektif dengan kembali pada nilai-nilai modal sosial yang terkandung
dalam budaya gotong royong. Tanpa upaya itu jalan mencapai kemajuan dan
kejayaan bangsa tampaknya sulit diraih.

GOTONG ROYONG di KOSAN

Dari hasil penelitian dan percobaan melihat bagaimana peranan budaya dan
nilai gotong royong di kosan, bahwa memang benar budaya ini sudah hampir
menghilang. Dalam penelitian ini, penulis meneliti dari kebiasaan sehari-hari
penghuni kos. Dengan berbagai macam kepribadian dan sifat masing-masing,
penulis meneliti bagaimana sikap yang dilakukan oleh para penghuni kos saat ada
suatu pekerjaan yang memang termasuk tanggung jawab bersama. Seperti
membersihkan sekitar kos dan mencuci bekas makan bersama.

Saat lingkungan kos sedang dalam keadaan kotor, kadang tidak ada tindakan
dari penghuni kos. Mereka menyadari bahwa lingkungan kos mereka sedang dalam
keadaan kotor, namun mereka tidak bertindak untuk membersihkannya. Tapi saat
ada salah seorang penghuni kos membersihkan tempat yang kotor tersebut,
penghuni kos lain tidak ikut membantu bahkan mereka hanya melihat saja. Hal
11

tersebut sudah memperlihatkan betapa minimnya kesadaran akan budaya dan nilai
gotong royong.

Begitu pula saat ada wadah bekas makan bersama, selalu tidak ada
kesadaran untuk mengerjakannya secara bersama-sama. Mereka hanya saling
mengandalkan orang lain untuk membersihkannya. Namun menariknya ada
seorang penghuni kos yang sangat sabar dan mungkin kelewatan sabar setiap ada
cucian dan tempat yang kotor, dia selalu membersihkannya tanpa banyak bicara.
Penghuni ini berasal dari Cirebon. Tapi bukannya sadar akan pentingnya bekerja
sama, penghuni lain malah jadi mengandalkan dia untuk membersihkan yang kotor.
Sudah sangat terlihat bahwa budaya gotng royong di kosan tersebut sangat minim.

BAGAIMANA MENINGKATKAN BUDAYA GOTONG ROYONG

Melihat masalah minimnya budaya dan nilai gotong royong yang ada di
kosan tersebut penulis melakukan sebuah percobaan yaitu menempelkan sebuah
kata-kata di tempat penyimpanan piring.

GAMBAR 1

Penulisan kata-kata tersebut ditujukan agar semua para penghuni kos


menyadari tanggung jawab masing-masing dan bisa saling membantu juga selalu
bergotong royong.
12

HASIL PERCOBAAN

Dari hasil penempelan kata-kata tersebut ternyata tidak mampu membuat


semua penghuni sadar akan hal saling membantu atau budaya gotong royong, hanya
beberapa orang saja yang mulai tersadar.

Dengan hasil yang tidak memuaskan dari percobaan pertama, akhirnya


penulis memikirkan percobaan kedua dengan memberikan arahan pada saat semua
orang berkumpul. Inti dalam arahan tersebut membicarakan bahwa jika setelah
beres makan jangan ada yang menyimpan wadah bekas makan di wc, namun harus
langsung dicuci dan dikembalikan ke tempatnya. Dan jika ada yang tidak
membersihkan bekas makannya akan langsung ditegur.

Dan ternyata dengan seperti itu, penghuni kos mulai melakukan tugasnya
masing-masing tanpa saling mengandalkan namun saling bekerja sama walau masih
kadang-kadang.

SIMPULAN

Bentuk nilai-nilai gotong royong yang ada di kosan sangtlah kurang. Itu
dapat dibuktikan dari keseharian semua penghuni kosan dimana mereka belum
punya kesadaran masing-masing bahwa mereka hidup bersama dan punya tanggung
jawab bersama. Masih memerlukan sebuah dorongan untuk membuat kerja sama
terlaksanakan walaupun kadang selalu saling tunjuk dalam pengerjaan tugas.

Yang seharusnya sikap gotong royong berasal dari kesadaran sendiri,


namun disini kami memerlukan sebuah kesepakatan terlebih dahulu untuk
melakukan pekerjaan secara bersama. Sangat sulit untuk menanamkan nilai gotong
royong tanpa adanya kemauan dan kesadaran dari masing-masing individu. Namun
harapan penulis semoga saja nilai gotong royong pada kosan ini terus meningkat
seiring berjalannya waktu.
13

DAFTAR PUSTAKA

S.Pawane, Faisal. 2016. Fungsi Pomabari (Gotong Royong) Petani Kelapa Kopra
di Desa Wasileo Kecamatan Maba Utara Kabupaten Halmahera Timur
Provinsi Maluku Utara, No. 10

Effendi, Tadjuddin. 2013. Budaya Gotong Royong Masyarakat dalam Perubahan


Sosial saat ini. Vol. 2, No 1.

Rolitia, Meta dkk. Nilai Gotong Royong untuk Memperkuat Solidaritas dalam
Kehidupan Masyarakat Kampung Naga.

Anda mungkin juga menyukai