Abstract
***
Abstrak
Gotong royong merupakan sebuah nilai yang khas dari Indonesia. Negara-negara
lain mengenal Indonesia karena nilai dan budaya nya yang ramah tamah, saling
tolong menolong antar sesama, apalagi dengan budaya gotong royongnya. Namun
apakah nilai dan budaya gotong royong masih ada dalam masyarakat? Penelitian
ini dilaksanakan di salah satu kosan yang berada di Kota Tasikmalaya, lebih jelas
nya di Kecamatan Tawang Perum Pdk Cikunten Indah Jalan Winaya dengan
pendekatan dan percobaan yang diimplementasikan kepada para penghuni kosan
dengan latar belakangnya masing-masing. Hasilnya menunjukan bahwa nilai dan
budaya gotong royong di kosan tersebut sangatlah kurang. Mengapa demikian?
Karena penghuni kosan jarang mengamalkan nilai-nilai gotong royong dan hanya
mengamalkannya di momen tertentu, tidak dengan kegiatan sehari-harinya.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai dan budaya. Bermacam-
macam suku, pulau, dan adat menciptakan berbagai macam kebudayaan dan nilai
yang berlaku di setiap daerah. Namun walau demikian, berbagai macam
kebudayaan dan suku bangsa dijadikan satu dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika
yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu. Oleh karena itu Indonesia dikenal dengan
budaya dan nilainya yang ramah tamah, saling menerima perbedaan, selalu
membantu antar sesama dan gotong royong.
Akan tetapi jika dilihat di zaman sekarang, nilai-nilai khas seperti gotong
royong sudah mulai memudar. Penerapan nilai gotong royong pada sebagian
masyarakat mulai tidak terpakai karena beberapa hal diantaranya seperti sifat
individualisme dan egoisme yang melekat dalam diri masing-masing. Namun
penerapan gotong royong ini berbeda antar kota dan desa khusunya pedalaman. Di
kota, nilai dan budaya gotong royong sudah hampir pudar. Tapi berbeda dengan di
pedesaan khususnya di desa pedalaman, masyarakat nya masih menggunakan
budaya dan nilai gotong royong. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia
merupakan negara dengan berjuta pulau dan berbagai macam suku, pastinya masih
ada beberapa suku yang kental akan adat istiadatnya dan tidak terpengaruhi oleh
perkembangan zaman yang terjadi. Namun disini penulis akan memaparkan tentang
nilai dan budaya gotong royong yang berada di salah satu kosan tempat penulis
tinggal, yang mana di dalam kosan tersebut terdapat 8 orang penghuni kosan dengan
latar belakang yang berbeda-beda.
KONSEP KEBUDAYAAN
Apa yang diajarkan kepada kita selama ini tentang kebudayaan telah
menjadi suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah
menjadi pedoman dalam perjalanan hidup manusia, kebudayaan pada ekspresi
simbolik individu dalam kelompok manusia, seperti yang dikemukakan oleh
Clifford Geertz, bahwa kebudayaan itu, “merupakan pola dari pengertian-
pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam symbol-
simbol dan ditransmisikan secara historis” (Geertz dalam Irwan Abdullah 2010).
NILAI BUDAYA
Nilai adalah sesuatu yang baik dan berguna yang selalu diinginkan oleh
manusia, dicita-citakan bersama dan dianggap penting oleh seluruh umat manusia
sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu nilai berarti yang diinginkan bersama
manusia hal-hal yang baik, Inda. Nilai budaya yaitu sesuatu yang dikatakan
memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai
estetika), baik (nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama). Dan menurut C.
Kluchohn (1905-1960) mengemukakan, bahwa yang menentukan orientasi nilai
budaya manusia didunia adalah lima dasar yang bersifat universal, sebagai berikut:
a. Hakikat hidup manusia (MH)
GOTONG ROYONG
Bekerja sendirian, tentu akan lebih lama jika dibandingkan dengan bekerja
sama dengan bergotong-royong atau banyak orang.
Gotong royong dapat menimbulkan rasa sosial yang tinggi antar sesama
manusia. Misalnya saling tolong menolong pada saat kesusahan memberikan kesan
bahwa terjalinnya kekeluargaan diantara mereka tetap terjaga.
5
5. Tidak Induvidualis
Dalam beberapa dekade belakangan ini perlahan tetapi pasti sebagian besar
tatanan kehidupan ekonomi, sosial budaya dan politik dirasuki gaya hidup
konsumerisme (komsumsi yang mengada-ada) dan kebebasan hampir tanpa
kendali. Fenomena itu juga ditandai dengan meningkatnya hasrat menghamba pada
kekuasaan dan materi. Watak hedonisme, individualisme, budaya anarkis
(kekerasan), konflik dan saling menyakiti (saling bunuh) merebak dalam tata
interaksi sosial kehidupan. Norma-norma sosial dan etika sebagai perekat
kehidupan berbangsa diabaikan. Tidak dapat dielakkan norma-norma lama satu per
satu diganti dengan norma-norma baru yang berbasis pada nilai-nilai individualis.
Konsensus moral yang menjadi kerangka dasar dalam interaksi sosial bertumpu
pada nilai-nilai gotong royong yang cukup penting dalam memproduksi tatanan
kehidupan, cenderung diabaikan dan dikesampingkan.
Perubahan juga terjadi dalam sistem politik. Sistem politik telah berubah ke
arah sistem demokrasi liberal. Setiap jenjang aparat eksekutif pemerintah, bupati,
gubenur dan presiden serta anggota legistatif dipilih dengan sistem demokrasi
liberal (one head one vote). Memang dengan sistem itu kedaulatan rakyat dapat
dipenuhi dan dijalankan dengan baik karena dipandang sesuai tuntutan hak azasi
manusia. Namun, karena masyarakat belum siap untuk menjalankan sistem itu
maka dalam pelaksanaan banyak terjadi anomali yang cukup menganggu relasi
sosial dalam kehidupan masyarakat. Media sering mewartakan peristiwa konflik
antar kelompok masyarakat yang terjadi di berbagai daerah, baik karena pilkada
(pilihan bupati dan gubernur) maupun pileg (pilihan anggota legistatif). Tawuran
antar warga, pertikaian antar oknum penegak hukum. Adaptasi terhadap perubahan
sistem politik itu telah menimbulkan berbagai macam implikasi bagi relasi sosial
masyarakat, baik di aras nasional maupun lokal. Proses politik kenegaraan di
tingkat nasional dan lokal diwarnai dengan hasut-hasut menghasut, politik uang,
saling menjatuhkan, fitnah melalui selebaran gelap. Eksekutif sebagai pelaksana
pemerintahan tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh karena demi
“demokrasi”, legislatif senantiasa melakukan kontrol terhadap hal-hal yang
sebenarnya bukan jadi wewenangnya. Elit politik di legislatif dengan dalih
menjalankan prinsip demokrasi di berbagai kesempatan menunjukkan
kekuasaannya tanpa mengindahkan kepentingan bersama untuk kemajuan bangsa.
Suara rakyat sebagai konstituen yang memilih mereka kurang diperhatikan dan
cenderung diabaikan.
tingkat nasional sampai lokal terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dengan praktek korupsi dan politik uang. Memang permainan uang dalam sistem
politik liberal dapat dibenarkan tetapi ada koridor etika yang mengontrol dan tidak
bebas sesuka hati dan seenaknya. Transparansi dan akuntabilitas pada publik adalah
salah satu alat kontrol yang penting dilakukan dalam sistem demokrasi. Tetapi hal
itu belum berjalan dan diterapkan karena pemahaman demokrasi tampaknya baru
sebatas pada kebebasan atau sekadar euforia kebebasan. Saat ini ada yang
berpendapat bahwa demokrasi masih dalam masa transisi yang dipenuhi dengan
kontradiksi-kontradiksi di sana-sini. Keadaan inilah yang menimbulkan kekecauan
sosial karena perubahan seakan tanpa arah. Tidak hanya itu kehidupan pun mulai
bersifat individualis disertai dengan merebaknya gejala aleniasi dan kekerasan, baik
verbal maupun simbolik, sehingga kehidupan terasa hampa tanpa makna.
mencerca ditingkahi dengan kekerasan adalah bagian dari tata kehidupan sosial
masyarakat.
Saat ini, sadar atau tidak, secara praksis masyarakat Indonesia hanyut ke
dalam situasi terombang ambing ibarat sabut di tengah hempasan gelombang laut.
Hanyut tidak menentu ke sana kemari tanpa arah. Kehilangan orientasi nilai-nilai
(ideologi) cita-cita luhur kehidupan berbangsa (idealisme). Nilai-nilai budaya yang
tidak berakar pada budaya lokal secara perlahan tetapi pasti telah mengerosi
kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa. Kesadaran moral berlandaskan budaya
gotong royong yang menjadi pegangan dalam tata pergaulan berbangsa ikut tercuci
dan secara perlahan memudar. Dalam situasi seperti itu interaksi sosial dalam
kehidupan masyarakat diwarnai dengan tingkah yang mengarah pada demoralisasi
dan dehumanisasi. Kehampaan dan kegalauan menyelimuti masyarakat, jiwa dan
raga bangsa ini terasa semakin rapuh. Agar tidak terpuruk ke dalam jurang
kehancuran atau disintegrasi bangsa maka kita perlu menumbuhkan kembali
kesadaran kolektif dengan kembali pada nilai-nilai modal sosial yang terkandung
dalam budaya gotong royong. Tanpa upaya itu jalan mencapai kemajuan dan
kejayaan bangsa tampaknya sulit diraih.
Dari hasil penelitian dan percobaan melihat bagaimana peranan budaya dan
nilai gotong royong di kosan, bahwa memang benar budaya ini sudah hampir
menghilang. Dalam penelitian ini, penulis meneliti dari kebiasaan sehari-hari
penghuni kos. Dengan berbagai macam kepribadian dan sifat masing-masing,
penulis meneliti bagaimana sikap yang dilakukan oleh para penghuni kos saat ada
suatu pekerjaan yang memang termasuk tanggung jawab bersama. Seperti
membersihkan sekitar kos dan mencuci bekas makan bersama.
Saat lingkungan kos sedang dalam keadaan kotor, kadang tidak ada tindakan
dari penghuni kos. Mereka menyadari bahwa lingkungan kos mereka sedang dalam
keadaan kotor, namun mereka tidak bertindak untuk membersihkannya. Tapi saat
ada salah seorang penghuni kos membersihkan tempat yang kotor tersebut,
penghuni kos lain tidak ikut membantu bahkan mereka hanya melihat saja. Hal
11
tersebut sudah memperlihatkan betapa minimnya kesadaran akan budaya dan nilai
gotong royong.
Begitu pula saat ada wadah bekas makan bersama, selalu tidak ada
kesadaran untuk mengerjakannya secara bersama-sama. Mereka hanya saling
mengandalkan orang lain untuk membersihkannya. Namun menariknya ada
seorang penghuni kos yang sangat sabar dan mungkin kelewatan sabar setiap ada
cucian dan tempat yang kotor, dia selalu membersihkannya tanpa banyak bicara.
Penghuni ini berasal dari Cirebon. Tapi bukannya sadar akan pentingnya bekerja
sama, penghuni lain malah jadi mengandalkan dia untuk membersihkan yang kotor.
Sudah sangat terlihat bahwa budaya gotng royong di kosan tersebut sangat minim.
Melihat masalah minimnya budaya dan nilai gotong royong yang ada di
kosan tersebut penulis melakukan sebuah percobaan yaitu menempelkan sebuah
kata-kata di tempat penyimpanan piring.
GAMBAR 1
HASIL PERCOBAAN
Dan ternyata dengan seperti itu, penghuni kos mulai melakukan tugasnya
masing-masing tanpa saling mengandalkan namun saling bekerja sama walau masih
kadang-kadang.
SIMPULAN
Bentuk nilai-nilai gotong royong yang ada di kosan sangtlah kurang. Itu
dapat dibuktikan dari keseharian semua penghuni kosan dimana mereka belum
punya kesadaran masing-masing bahwa mereka hidup bersama dan punya tanggung
jawab bersama. Masih memerlukan sebuah dorongan untuk membuat kerja sama
terlaksanakan walaupun kadang selalu saling tunjuk dalam pengerjaan tugas.
DAFTAR PUSTAKA
S.Pawane, Faisal. 2016. Fungsi Pomabari (Gotong Royong) Petani Kelapa Kopra
di Desa Wasileo Kecamatan Maba Utara Kabupaten Halmahera Timur
Provinsi Maluku Utara, No. 10
Rolitia, Meta dkk. Nilai Gotong Royong untuk Memperkuat Solidaritas dalam
Kehidupan Masyarakat Kampung Naga.