Anda di halaman 1dari 39

Askep BPH Benigna Prostat Hiperplasi

Hipertrofi
kapukonline.com | Up-date Askep / Asuhan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasi /
Hipertrofi (BPH) - ASKEP BEDAH

PENGERTIAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh
karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah
RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).

ETIOLOGI BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti
kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
dengan BPH adalah proses penuaan. Ada beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain :

1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger Kirby, 1994 : 38).

PATHWAY BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)

1. Download Pathway BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI)

GEJALA BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)


Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma
Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :

1. Gejala Obstruktif yaitu :


1. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
2. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
3. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
4. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
1. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
3. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing

DIAGNOSIS BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain

1. Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms)
antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada
sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif dapat berupa urgensi,
frekuensi serta disuria.
2. Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan
retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan
terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin
3. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
1. Derajat I = beratnya ± 20 gram.
2. Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
3. Derajat III = beratnya > 40 gram.
3. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan
untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
2. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
3. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya
keganasan.
4. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
1. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
2. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
3. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
1. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
2. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar
prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
3. IVP (Pyelografi Intravena). Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan
adanya hidronefrosis.
4. Pemeriksaan Panendoskop. Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli.

PENATALAKSANAAN BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI / HIPERPLASI (BPH)

Modalitas terapi BPH adalah :

1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun
tergantung keadaan klien
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa
disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis
rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
1. Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
2. Klien dengan residual urin > 100 ml.
3. Klien dengan penyulit.
4. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
5. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
2. Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95 % )
2. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
3. Perianal Prostatectomy
4. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
DIAGNOSA dan PERENCANAAN KEPERAWATAN BENIGNA PROSTAT
HIPERTROPI/PLASI (BPH)

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :

Pre Operasi :

1. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran


prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk
berkontraksi secara adekuat.
1. Tujuan : tidak terjadi obstruksi
2. Kriteria hasil :
1. Berkemih dalam jumlah yang cukup
2. Tidak teraba distensi kandung kemih
3. Rencana Tindakan:
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung
kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
Rasional: Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung
Rasional: Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik)
Rasional: Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat
penyembuhan
2. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih,
kolik ginjal, infeksi urinaria.
1. Tujuan :Nyeri hilang / terkontrol
2. Kriteria hasil:
1. Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol
2. Menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individu.
3. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat
3. Rencana Tindakan:
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung
Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi (antispamodik)
Mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
3. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1. Tujuan: Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2. Kriteria hasil:
1. Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital
stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa
lembab dan keluaran urin tepat.
3. Rencana Tindakan:
1. Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200
ml/
Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal
2. Pantau masukan dan haluaran cairan
Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian
3. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat
Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
4. Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi
5. Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi,
contoh: Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah
trombosit
Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta
dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor
pembekuan darah
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah
1. Tujuan: Pasien tampak rileks.
2. Kriteria hasil:
1. Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
2. Menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan
rasa takut
3. Rencana Tindakan:
1. Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu
2. Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan
3. Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau
perasaan
Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan
masalah
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi
1. Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya
2. Kriteria hasil:
1. Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu
2. Berpartisipasi dalam program pengobatan
3. Rencana Tindakan:
1. Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian Membantu
pasien dalam mengalami perasaan
2. Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien Memberikan dasar
pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.

Post Operasi :

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
1. Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
2. Kriteria hasil
1. Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang
2. Ekspresi wajah klien tenang.
3. Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
4. Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
5. Tanda – tanda vital dalam batas normal
3. Rencana Tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih
Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih
2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih
Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam
24 sampai 48 jam
Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter
Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah
tindakan TUR-P
Mengurangi tekanan pada luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi
Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang
Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan
distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme
8. Observasi tanda – tanda vital
Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau
anti spasmodik )
Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.
1. Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi.
2. Kriteria hasil:
1. Klien tidak mengalami infeksi.
2. Dapat mencapai waktu penyembuhan.
3. Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock
3. Rencana Tindakan:
1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril
Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup (2500 – 3000) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal
3. Pertahankan posisi urobag dibawah
Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih
4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam
Mencegah sebelum terjadi shock.
5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Mengidentifikasi adanya infeksi.
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik
Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan
3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
1. Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
2. Kriteria hasil:
1. Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
2. Tanda – tanda vital dalam batas normal .
3. Urine lancar lewat kateter .
3. Rencana Tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan
dan tanda – tanda perdarahan
Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan
defekasi
Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan
4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah,
untuk sekurang – kurangnya satu minggu
Dapat menimbulkan perdarahan prostat
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas
Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik,
menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan
warna urine
Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah
kerusakan jaringan yang permanen
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari
TUR-P.
1. Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan
2. Kriteria hasil:
1. Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
2. Klien menyatakan pemahaman situasi individual .
3. Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
4. Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
3. Rencana tindakan :
1. Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh
TUR – P terhadap seksual
Untuk mengetahui masalah klien
2. Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula
dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)
Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak
disfungsi seksual
3. Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi
Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan
4. Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit
dan kunjungan lanjutan
Untuk mengklarifikasi kekhawatiran dan memberikan akses kepada
penjelasan yang spesifik
5.
5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
1. Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat
lanjutan .
2. Kriteria hasil:
1. Klien akan melakukan perubahan perilaku.
2. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
3. Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan
kebutuhan berobat lanjutan
3. Rencana tindakan:
1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu
Dapat menimbulkan perdarahan
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6
minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan
Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi
kebutuhan mengedan pada waktu BAB
3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari
Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah
4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter
Untuk menjamin tidak ada komplikasi
5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh
Untuk membantu proses penyembuhan
6.
6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan
1. Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.
2. Kriteria hasil:
1. Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
2. Klien mengungkapan sudah bisa tidur .
3. Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
3. Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan
kemungkinan cara untuk menghindari
Meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan
perawatan
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi
kebisingan
Suasana tenang akan mendukung istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur
Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi
nyeri (Analgesik)
Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan :
Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Lab / UPF Ilmu Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr. Soetomo.
4. Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.
Surabaya
5. Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN dengan BATU GINJAL

KONSEP MEDIS

Pengertian

Batu ginjal merupakan batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia
dan Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi. Batu saluran kemih
dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari sistem kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-
buli dan uretra.

Batu ini mungkin terbentuk di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau
memang terbentuk di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu
buli-buli karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.

Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infundibulum,
pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal dan merupakan batu
slauran kemih yang paling sering terjadi (Purnomo, 2000, hal. 68-69).

Insiden dan Etiologi

Penyakit batu saluran kemih menyebar di seluruh dunia dengan perbedaan di negara berkembang
banyak ditemukan batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran
kemih bagian atas (gunjal dan ureter), perbedaan ini dipengaruhi status gizi dan mobilitas
aktivitas sehari-hari.

Angka prevalensi rata-rata di seluruh dunia adalah 1-12 % penduduk menderita batu saluran
kemih. Penyebab terbentuknya batu saluran kemih diduga berhubungan dengan gangguan aliran
urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan keadaan-keadaan lain yang
masih belum terungkap (idiopatik)

Secara epidemiologis, terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya batu saluran
kemih yang dibedakan sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

1. Faktor Intrinsik, meliputi:


1. Herediter; diduga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
2. Umur; paling sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
3. Jenis kelamin; jumlah pasien pria 3 kali lebih banyak dibanding pasien wanita.
2. Faktor Ekstrinsik, meliputi:
1. Geografi; pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi
daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu)
2. Iklim dan temperatur
3. Asupan air; kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium dapat
meningkatkan insiden batu saluran kemih.
4. Diet; diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terjadinya batu saluran
kemih.
5. Pekerjaan; penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas fisik (sedentary life).

Teori Terbentuknya Batu Saluran Kemih

Beberapa teori terbentuknya batu saluran kemih adalah:

1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk di dalam urine karena adanya inti batu atau sabuk batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan kelewat jenuh akan mengendap di
dalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti, batu dapat berupa kristal atau
benda asing saluran kemih.
2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin, globulin dan
mukoprotein) sebagai kerangka tempat mengendapnya kristal-kristal batu.
3. Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat penghambat pembentuk
kristal yakni magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar
salah satu atau beberapa zat ini berkurang akan memudahkan terbentuknya batu dalam
saluran kemih.

Komposisi Batu

Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat, kalsium fosfat, asam
urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xanthyn dan sistin. Pengetahuan tentang komposisi
batu yang ditemukan penting dalam usaha pencegahan kemungkinan timbulnya batu residif.

Batu Kalsium

Batu kalsium (kalsium oksalat dan atau kalsium fosfat) paling banyak ditemukan yaitu sekitar 75
- 80% dari seluh batu saluran kemih. Faktor tejadinya batu kalsium adalah:

1. Hiperkalsiuria: Kadar kalsium urine lebih dari 250 - 300 mg/24 jam, dapat terjadi
karena peningkatan absorbsi kalsium pada usus (hiperkalsiuria absorbtif), gangguan
kemampuan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal (hiperkalsiuria renal) dan adanya
peningkatan resorbsi tulang (hiperkalsiuria resoptif) seperti pada hiperparatiroidisme
primer atau tumor paratiroid.
2. Hiperoksaluria: Ekskresi oksalat urine melebihi 45 gram/24 jam, banyak dijumpai pada
pasien pasca pembedahan usus dan kadar konsumsi makanan kaya oksalat seperti teh,
kopi instan, soft drink, kakao, arbei, jeruk sitrun dan sayuran hijau terutama bayam.
3. Hiperurikosuria: Kadar asam urat urine melebihi 850 mg/24 jam. Asam urat dalam
urine dapat bertindak sebagai inti batu yang mempermudah terbentuknya batu kalsium
oksalat. Asam urat dalam urine dapat bersumber dari konsumsi makanan kaya purin atau
berasal dari metabolisme endogen.
4. Hipositraturia: Dalam urine, sitrat bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat
sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Keadaan hipositraturia
dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal, sindrom mal-absorbsi atau pemakaian
diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.
5. Hipomagnesiuria: Seperti halnya dengan sitrat, magnesium bertindak sebagai
penghambat timbulnya batu kalsium karena dalam urine magnesium akan bereaksi
dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan dengan kalsium
dengan oksalat.

Batu Struvit

Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya batu ini dipicu oleh adanya
infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi ini adalah golongan pemecah urea (Uera splitter
seperti: Proteus spp., Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas dan Stafilokokus) yang
dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi basa melalui hidrolisis urea
menjadi amoniak. Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat dan
karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan karbonat apatit.

Batu Urat

Batu asam urat meliputi 5 - 10% dari seluruh batu saluran kemih, banyak dialami oleh penderita
gout, penyakit mieloproliferatif, pasein dengan obat sitostatika dan urikosurik (sulfinpirazone,
thiazide dan salisilat). Kegemukan, alkoholik dan diet tinggi protein mempunyai peluang besar
untuk mengalami penyakit ini. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu asam urat adalah:
urine terlalu asam (pH < 6, volume urine < 2 liter/hari atau dehidrasi dan hiperurikosuria.

Patofisiologi

Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan infeksi saluran kemih.
Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah adalah retensi urine atau keluhan miksi
yang lain sedangkan pada batu saluran kemih bagian atas dapat menyebabkan hidroureter atau
hidronefrosis. Batu yang dibiarkan di dalam saluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses
ginjal, pielonefrosis, urosepsis dan kerusakan ginjal permanen (gagal ginjal)

Gambaran Klinik dan Diagnosis

Keluhan yang disampaikan pasien tergantung pada letak batu, besar batu dan penyulit yang telah
terjadi. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan nyeri ketuk di daerah kosto-vertebra, teraba
ginjal pada sisi yang sakit akibat hidronefrosis, ditemukan tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine
dan jika disertai infeksi, didaptkan demam/menggigil.

Pemeriksaan sedimen urine menunjukan adanya lekosit, hematuria dan dijumpai kristal-kristal
pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan kuman
pemecah urea.

Pemeriksaan faal ginjal bertujuan mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan
untuk mempersipkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVP. Perlu juga diperiksa kadar
elektrolit yang diduga sebagai penyebab timbulnya batu saluran kemih (kadar kalsium, oksalat,
fosfat maupun urat dalam darah dan urine).
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan melihat kemungkinan adanya batu radio-opak dan
paling sering dijumpai di antara jenis batu lain. Batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).

Pemeriksaan pieolografi intra vena (IVP) bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal.
Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi opak atau batu non opak yang tidak tampak
pada foto polos abdomen.

Ultrasongrafi dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan IVP seperti pada
keadaan alergi zat kontras, faal ginjal menurun dan pada pregnansi. Pemeriksaan ini dapat
menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli (tampak sebagai echoic shaddow), hidronefrosis,
pionefrosis atau pengkerutan ginjal.

Penatalaksanaan

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih harus segera dikeluarkan agar tidak
menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan pada batu saluran
kemih adalah telah terjadinya obstruksi, infeksi atau indikasi sosial. Batu dapat dikeluarkan
melalui prosedur medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL, melalui tindakan endo-urologi,
bedah laparoskopi atau pembedahan terbuka.

Pencegahan

Setelah batu dikelurkan, tindak lanjut yang tidak kalah pentingnya adalah upaya mencegah
timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7%/tahun atau kambuh
>50% dalam 10 tahun.

Prinsip pencegahan didasarkan pada kandungan unsur penyusun batu yang telah diangkat. Secara
umum, tindakan pencegahan yang perlu dilakukan adalah:

1. Menghindari dehidrasi dengan minum cukup, upayakan produksi urine 2 - 3 liter per hari
2. Diet rendah zat/komponen pembentuk batu
3. Aktivitas harian yang cukup
4. Medikamentosa

Beberapa diet yang dianjurkan untuk untuk mengurangi kekambuhan adalah:

1. Rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan menyebabkan
suasana urine menjadi lebih asam.
2. Rendah oksalat
3. Rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuria
4. Rendah purin
5. Rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada hiperkalsiuria absorbtif type II

FOKUS PENGKAJIAN KEPERAWATAN BATU GINJAL

Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:


Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang perlu dikaji adalah:

1. Aktivitas/istirahat:

1. Gejala:
1. Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk
2. Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi
3. Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera
serebrovaskuler, tirah baring lama)
2. Sirkulasi
1. Tanda:
1. Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
2. Kulit hangat dan kemerahan atau pucat
3. Eliminasi
1. Gejala:
1. Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya
2. Penurunan volume urine
3. Rasa terbakar, dorongan berkemih
4. Diare
2. Tanda:
1. Oliguria, hematuria, piouria
2. Perubahan pola berkemih
4. Makanan dan cairan:
1. Gejala:
1. Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
2. Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat
3. Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup
2. Tanda:
1. Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus
2. Muntah
5. Nyeri dan kenyamanan:
1. Gejala:
1. Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu
ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan)
2. Tanda:
1. Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi
2. Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
6. Keamanan:
1. Gejala:
1. Penggunaan alkohol
2. Demam/menggigil
7. Penyuluhan/pembelajaran:
1. Gejala:
1. Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK
kronis
2. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme
3. Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat,
tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

Tes Diagnostik

Lihat konsep medis.

DIAGNOSA KEPERAWATAN BATU GINJAL

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma


jaringan, edema dan iskemia seluler.
2. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu,
iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
3. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) berhubungan dengan mual/muntah (iritasi saraf
abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi berhubungan
dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Nyeri (akut) berhubungan dengan peningkatan frekuensi kontraksi ureteral, taruma


jaringan, edema dan iskemia seluler.
1. Intervensi:
1. Catat lokasi, lamanya/intensitas nyeri (skala 1-10) dan penyebarannya. Perhatiakn
tanda non verbal seperti: peningkatan TD dan DN, gelisah, meringis, merintih,
menggelepar
Rasional: Membantu evaluasi tempat obstruksi dan kemajuan gerakan batu. Nyeri
panggul sering menyebar ke punggung, lipat paha, genitalia sehubungan dengan
proksimitas pleksus saraf dan pembuluh darah yang menyuplai area lain. Nyeri
tiba-tiba dan hebat dapat menimbulkan gelisah, takut/cemas
2. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap
perubahan karakteristik nyeri yang terjadi
Rasional: Melaporkan nyeri secara dini memberikan kesempatan pemberian
analgesi pada waktu yang tepat dan membantu meningkatkan kemampuan koping
klien dalam menurunkan ansietas.
3. Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan kepada staf perawatan setiap
perubahan karakteristik nyeri yang terjadi
Rasional: Meningkatkan relaksasi dan menurunkan ketegangan otot.
4. Bantu/dorong pernapasan dalam, bimbingan imajinasi dan aktivitas terapeutik
Rasional: Mengalihkan perhatian dan membantu relaksasi otot
5. Bantu/dorong peningkatan aktivitas (ambulasi aktif) sesuai indikasi disertai asupan
cairan sedikitnya 3-4 liter perhari dalam batas toleransi jantung.
Rasional: Aktivitas fisik dan hidrasi yang adekuat meningkatkan lewatnya batu,
mencegah stasis urine dan mencegah pembentukan batu selanjutnya
6. Perhatikan peningkatan/menetapnya keluhan nyeri abdomen
Rasional: Obstruksi lengkap ureter dapat menyebabkan perforasi dan
ekstravasasiurine ke dalam area perrenal, hal ini merupakan kedaruratan bedah
akut
7. Kolaborasi pemberian obat sesuai program terapi:
1. Analgetik
2. Antispasmodik
3. Kortikosteroid

Rasional:

4. Analgetik (gol. narkotik) biasanya diberikan selama episode akut untuk


menurunkan kolik ureter dan meningkatkan relaksasi otot/mental
5. Menurunkan refleks spasme, dapat menurunkan kolik dan nyeri.
6. Mungkin digunakan untuk menurunkan edema jaringan untuk membantu
gerakan batu
8. Pertahankan patensi kateter urine bila diperlukan
Rasional: Mencegah stasis/retensi urine, menurunkan risiko peningkatan tekanan
ginjal dan infeksi
2. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh batu,
iritasi ginjal dan ureter, obstruksi mekanik dan peradangan.
1. Intervensi:
1. Awasi asupan dan haluaran, karakteristik urine, catat adanya keluaran batu.
Rasional: Memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi.
Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu dan mempengaruhi pilihan
terapi
2. Tentukan pola berkemih normal klien dan perhatikan variasi yang terjadi
Rasional: Batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas saraf
sehingga menimbulkan sensasi kebutuhan berkemih segera. Biasanya frekuensi
dan urgensi meningkat bila batu mendekati pertemuan uretrovesikal.
3. Dorong peningkatan asupan cairan
Rasional: Peningkatan hidrasi dapat membilas bakteri, darah, debris dan
membantu lewatnya batu
4. Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: Akumulasi sisa uremik dan ketidak seimbangan elektrolit dapat menjadi
toksik pada SSP
5. Pantau hasil pemeriksaan laboratorium (elektrolit, BUN, kreatinin)
Rasional: Peninggian BUN, kreatinin dan elektrolit menjukkan disfungsi ginjal
6. Berikan obat sesuai indikasi:
1. Asetazolamid (Diamox), Alupurinol (Ziloprim)
2. Hidroklorotiazid (Esidrix, Hidroiuril), Klortalidon (Higroton)
3. Amonium klorida, kalium atau natrium fosfat (Sal-Hepatika)
4. Agen antigout mis: Alupurinol (Ziloprim)
5. Antibiotika
6. Natrium bikarbonat
7. Asam askorbat
Rasional:

8. Meningkatkan pH urine (alkalinitas) untuk menurnkan pembentukan batu asam.


9. Mencegah stasis urine dan menurunkan pembentukan batu kalsium.
10. Menurunkan pembentukan batu fosfat
11. Menurnkan produksi asam urat.
12. Mungkin diperlukan bila ada ISK
13. Mengganti kehilangan yang tidak dapat teratasi selama pembuangan bikarbonat
dan atau alkalinisasi urine, dapat mencegah pemebntukan batu.
14. Mengasamkan urine untuk mencegah berulangnay pembentukan batu alkalin.
7. Pertahankan patensi kateter tak menetap (uereteral, uretral atau nefrostomi).
Rasional: Mungkin diperlukan untuk membantu kelancaran aliran urine.
8. Irigasi dengan larutan asam atau alkali sesuai indikasi
Rasional: Mengubah pH urien dapat membantu pelarutan batu dan mencegah
pembentukan batu selanjutnya.
9. Siapkan klien dan bantu prosedur endoskopi
Rasional: Berbagai prosedur endo-urologi dapat dilakukan untuk mengeluarkan
batu
3. Kekurangan volume cairan (resiko tinggi) berhubungan dengan mual/muntah (iritasi
saraf abdominal dan pelvis ginjal atau kolik ureter, diuresis pasca obstruksi.
1. Intervensi:
1. Awasi asupan dan haluaran
Rasional: Mengevaluasi adanya stasis urine/kerusakan ginjal
2. Catat insiden dan karakteristik muntah, diare
Rasional: Mual/muntah dan diare secara umum berhubungan dengan kolik ginjal
karena saraf ganglion seliaka menghubungkan kedua ginjal dengan lambung
3. Tingkatkan asupan cairan 3-4 liter/hari
Rasional: Mempertahankan keseimbangan cairan untuk homeostasis, juga
dimaksudkan sebagai upaya membilas batu keluar
4. Awasi tanda vital.
Rasional: Indikator hidrasi/volume sirkulasi dan kebutuhan intervensi
5. Timbang berat badan setiap hari
Rasional: Peningkatan BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi
6. Kolaborasi pemeriksaan HB/Ht dan elektrolit
Rasional: Mengkaji hidrasi dan efektiviatas intervensi
7. Berikan cairan infus sesuai program terapi
Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi (bila asupan per oral tidak cukup)
8. Kolaborasi pemberian diet sesuai keadaan klien
Rasional: Makanan mudah cerna menurunkan aktivitas saluran cerna, mengurangi
iritasi dan membantu mempertahankan cairan dan keseimbangan nutrisi
9. Berikan obat sesuai program terapi (antiemetik misalnya Proklorperasin/
Campazin).
Rasional: Antiemetik mungkin diperlukan untuk menurunkan mual/muntah
4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan terapi berhubungan
dengan kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
1. Intervensi:
1. Tekankan pentingnya memperta-hankan asupan hidrasi 3-4 liter/hari
Rasional: Pembilasan sistem ginjal menurunkan kesemapatan stasis ginjal dan
pembentukan batu
2. Kaji ulang program diet sesuai indikasi.
1. Diet rendah purin
2. Diet rendah kalsium
3. Diet rendah oksalat
4. Diet rendah kalsium/fosfat

Rasional: Jenis diet yang diberikan disesuaikan dengan tipe batu yang ditemukan

3. Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas


Rasional: Obat-obatan yang diberikan bertujuan untuk mengoreksi asiditas atau
alkalinitas urine tergantung penyebab dasar pembentukan batu
4. Jelaskan tentang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik (nyeri berulang,
hematuria, oliguria)
Rasional: Pengenalan dini tanda/gejala berulangnya pembentukan batu diperlukan
untuk memperoleh intervensi yang cepat sebelum timbul komplikasi serius
5. Tunjukkan perawatan yang tepat terhadap luka insisi dan kateter bila ada.
Rasional: Meningkatakan kemampuan rawat diri dan kemandirian

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta


2. Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC,
Jakarta
3. Purnomo, BB ( 2000), Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, Jakarta
4. Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta
Askep / Asuhan Keperawatan Tonsilitis
kapukonline.com Up date Askep / Asuhan Keperawatan Tonsilitis - ASKEP ANAK

A. DEFINISI TONSILITIS

Tonsilitis akut adalah peradangan pada tonsil yang masih bersifat ringan. Radang tonsil pada
anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga infeksi pada faring biasanya juga
mengenai tonsil sehingga disebut sebagai tonsilofaringitis. ( Ngastiyah,1997 )

B. ETIOLOGI TONSILITIS

Penyebab tonsilitis bermacam – macam, diantaranya adalah yang tersebut dibawah ini yaitu :

1. Streptokokus Beta Hemolitikus


2. Streptokokus Viridans
3. Streptokokus Piogenes
4. Virus Influenza

Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections)

C. PROSES PATOLOGI TONSILITIS

Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas, akan
menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke tonsil.
Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses inflamasi dan
infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya udara.

Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta ditemukannya eksudat
berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri
telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia.

D. PATHWAYS TONSILITIS

1. Download Pathway Tonsilitis

E. MANIFESTASI KLINIS TONSILITIS

Tanda dan gejala tonsilitis akut adalah :

1. Nyeri tenggorok
2. Nyeri telan
3. Sulit menelan
4. Demam
5. Mual
6. Anoreksia
7. Kelenjar limfa leher membengkak
8. Faring hiperemis
9. Edema faring
10. Pembesaran tonsil
11. Tonsil hiperemia
12. Mulut berbau
13. Otalgia (sakit di telinga)
14. Malaise

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG TONSILITIS

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilitis akut adalah
pemeriksaan laboratorium meliputi :

1. Leukosit : terjadi peningkatan


2. Hemoglobin : terjadi penurunan
3. Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat

G. KOMPLIKASI TONSILITIS

Komplikasi yang dapat muncul bila tonsilitis akut tidak tertangani dengan baik adalah :

1. Tonsilitis kronis
2. Otitis media
H. PENATALAKSANAAN TONSILITIS

Penanganan pada klien dengan tonsilitis akut adalah :

1. Penatalaksanaan medis
1. Antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,
eritromisin dll
2. Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.
3. Analgesik untuk meredakan nyeri
2. Penatalaksanaan keperawatan
1. Kompres dengan air hangat
2. Istirahat yang cukup
3. Pemberian cairan adekuat, perbanyak minum hangat
4. Kumur dengan air hangat
5. Pemberian diit cair atau lunak sesuai kondisi pasien

I. FOKUS PENGKAJIAN ASKEP TONSILITIS

1. Keluhan utama
1. Sakit tenggorokan, nyeri telan, demam dll
2. Riwayat penyakit sekarang : serangan, karakteristik, insiden, perkembangan, efek terapi
dll
3. Riwayat kesehatan lalu
1. Riwayat kelahiran
2. Riwayat imunisasi
3. Penyakit yang pernah diderita ( faringitis berulang, ISPA, otitis media )
4. Riwayat hospitalisasi
4. Pengkajian umum
1. Usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda vital dll
5. Pernafasan
1. Kesulitan bernafas, batuk
2. Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
1. T0 : bila sudah dioperasi
2. T1 : ukuran yang normal ada
3. T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
4. T3 : pembesaran mencapai garis tengah
5. T4 : pembesaran melewati garis tengah
6. Nutrisi
1. Sakit tenggorokan, nyeri telan, nafsu makan menurun, menolak makan dan
minum, turgor kurang
7. Aktifitas / istirahat
1. Anak tampak lemah, letargi, iritabel, malaise
8. Keamanan / kenyamanan
1. Kecemasan anak terhadap hospitalisasi
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN dan FOKUS INTERVENSI KEPERAWATAN
TONSILITIS

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada Tonsilitis akut adalah :

1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi pada faring dan tonsil


1. Intervensi Keperawatan :
1. Pantau suhu tubuh anak ( derajat dan pola ), perhatikan menggigil atau
tidak
2. Pantau suhu lingkungan
3. Batasi penggunaan linen, pakaian yang dikenakan klien
4. Berikan kompres hangat
5. Berikan cairan yang banyak ( 1500 – 2000 cc/hari )
6. Kolaborasi pemberian antipiretik
2. Nyeri berhubungan dengan pembengkakan pada tonsil
1. Intervensi Keperawatan:
1. Pantau nyeri klien(skala, intensitas, kedalaman, frekuensi)
2. Kaji Tanda-tanda Vital
3. Berikan posisi yang nyaman
4. Berikan tehnik relaksasi dengan tarik nafas panjang melalui hidung dan
mengeluarkannya pelan – pelan melalui mulut
5. Berikan tehnik distraksi untuk mengalihkan perhatian anak
6. Kolaborasi pemberian analgetik
3. Resiko perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
adanya anoreksia
1. Intervensi Keperawatan :
1. Kaji conjungtiva, sclera, turgor kulit
2. Timbang BB tiap hari
3. Berikan makanan dalam keadaan hangat
4. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi seringsajikan makanan dalam
bentuk yang menarik
5. Tingkatkan kenyamanan lingkungan saat makan
6. Kolaborasi pemberian vitamin penambah nafsu makan
4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
1. Intervensi Keperawatan :
1. Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
2. Observasi adanya kelelahan dalam melakukan aktifitas
3. Monitor Tanda-tanda Vital sebelum, selama dan sesudah melakukan
aktifitas
4. Berikan lingkungan yang tenang
5. Tingkatkan aktifitas sesuai toleransi klien
5. Gangguan persepsi sensori : pendengaran berhubungan dengan adanya obstruksi pada
tuba eustakii
1. Intervensi Keperawatan:
1. Kaji ulang gangguan pendengaran yang dialami klien
2. Lakukan irigasi telinga
3. Berbicaralah dengan jelas dan pelan
4. Gunakan papan tulis / kertas untuk berkomunikasi jika terdapat kesulitan
dalam berkomunikasi
5. Kolaborasi pemeriksaan audiometri
6. Kolaborasi pemberian tetes telinga

DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan


pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta :
EGC;1999
2. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
3. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ;
1997
4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
ASKEP KEGAWATDARURATAN AKIBAT ASMA

A. Pengertian

Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversible dimana trakea dan bronkus
berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu, dan dimanifestasikan dengan
penyempitan jalan napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi. (Brunner & Suddarth,
Edisi 8, Vol. 1, 2001. Hal. 611).

Asma adalah suatu penyakit peradangan kronik pada jalan napas yang mana peradangan ini
menyebabkan perubahan derajat obstruksi pada jalan napas dan menyebabkan kekambuhan.
(Lewis, 2000, hal. 660).

Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespons terhadap terapi
konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam. Ini merupakan situasi yang
mengancam kehidupan dan memerlukan tindakan segera.

Jenis-jenis Asma :
a) Asma alergik
Yaitu asma yang disebabkan oleh alergen, misalnya: serbuk sari binatang, marah, makanan dan
jamur. Biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergen dan riwayat medis masa lalu,
iskemia dan rhinita alergik.
b) Asma idiopatik atau non alergik
Yaitu tidak berhubungan dengan alergen spesifik, faktor-faktor seperti common cold, infeksi
traktus respiratorius, latihan, emosi dan lingkungan pencetus serangan. Serangan menjadi lebih
berat dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empisema.
c) Asma gabungan
Yaitu bentuk asma yang paling umum, mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun
bentuk idiopatik atau non alergik.

Klasifikasi Asma:
1 Mid Intermiten
Yaitu kurang dari 2 kali seminggu dan hanya dalam waktu yang pendek; tanpa gejala,
diantara serangan-serangan pada waktu malam kurang dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru
FEV dan PEF diperkirakan lebih dari 80%.
2. Mid Persistent
Yaitu serangan lebih ringan tetapi tidak setiap hari, serangan pada waktu malam timbul
lebih dari 2 kali sebulan. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan sebesar 80%.
3. Moderat Persistent
Yaitu serangan timbul setiap hari dan memerlukan penggunaan bronkodilator serangan
timbul 2 kali atau lebih dalam seminggu dan pada waktu malam timbul gejala berat setiap
minggu. Fungsi paru-paru FEV atau PEF diperkirakan 60-80%.
4. Severe Persistent.
Yaitu gejala muncul terus menerus dengan aktivitas yang terbatas, peningkatan frekuensi
serangan dan peningkatan frekuensi gejala pada waktu malam.

Penyebab / Faktor resiko serangan asma

a) Faktor Ekstrinsik
Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dan disebabkan oleh alergen yang diketahui
karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari yang hidup, bulu
halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap makanan seperti susu atau
coklat, polusi.
b) Faktor Intrinsik
Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor non
spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma. Asma
instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul sesudah usia
40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung atau pada
percabangan trakeobronchial.

Patofisiologi
Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari
faktor berikut ini.

1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.


2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.

Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak dihasilkan
dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.

Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang
terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan pelepasan produk
sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari
suptamin yang bereaksi lambat.

Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan broncho
spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.

Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf pagal
melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf pada jalan
nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok, emosi dan polutan.
Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.

Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang


pembentukan mediator kimiawi.

Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan hiperventilasi
untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2
berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa CO2) menurun sehingga
terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak
alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang
ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-otot pernafasan
bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat disertai ventilasi alveolar yang menurun
menyebabkan retensi CO2 dalam darah (Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH
menurun). Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas.

Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi jaringan
pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke pembuluh darah
yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting ini juga
mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.

Tanda dan Gejala


- Batuk produktif
- Wheezing
- Dispnea
- Mengi
- Ekspirasi memanjang
- Barrel chest (dada tong)
- Orthopnea
- Berkeringat
- Tachypnea
- Tachycardia.

Pemeriksaan Diagnostik

a. Test Fungsi paru ( spirometri)


Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi jalan
napas akut. Fungsi paru yang rendah mengakibatkan dan menyimpangkan gas darah (
respirasi asidosis) , mungkin menandakan bahwa pasien menjadi lelah dan akan
membutuhkan ventilasi mekanis, adalah criteria lain yang menandakan kebutuhan akan
perawatan di rumah sakit. Meskipun kebanyakan pasien tidak membutuhkan ventilasi
mekanis, tindakan ini digunakan bila pasien dalam keadaan gagal napas atau pada mereka
yang kelelahan dan yang terlalu letih oleh upaya bernapas atau mereka yang kondisinya
tidak berespons terhadap pengobatan awal.

b. Pemeriksaan gas darah arteri


Dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan maneuver fungsi pernapasan karena
obstruksi berat atau keletihan, atau bila pasien tidak berespon terhadap tindakan. Respirasi
alkalosis ( CO2 rendah ) adalah temuan yang paling umum pada pasien asmatik.
Peningkatan PCO2 ( ke kadar normal atau kadar yang menandakan respirasi asidosis )
seringkali merupakan tanda bahaya serangan gagal napas. Adanya hipoksia berat, PaO2 <
60 mmHg serta nilai pH darah rendah.

c. Arus puncak ekspirasi


APE mudah diperiksa dengan alat yang sederhana, flowmeter dan merupakan data yang
objektif dalam menentukan derajat beratnya penyakit. Dinyatakan dalam presentase dari
nilai dungaan atau nilai tertinggi yang pernah dicapai. Apabila kedua nilai itu tidak
diketahui dilihat nilai mutlak saat pemeriksaan.

d. Pemeriksaan foto thoraks


Pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau
komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat penangan seperti atelektasis, pneumonia,
dan pneumothoraks. Pada serangan asma berat gambaran radiologis thoraks
memperlihatkan suatu hiperlusensi, pelebaran ruang interkostal dan diagfragma yang
menurun. Semua gambaran ini akan hilang seiring dengan hilangnya serangan asma
tersebut.

e. Elektrokardiografi
Tanda – tanda abnormalitas sementara dan refersible setelah terjadi perbaikanklinis adalah
gelombang P meninggi ( P pulmonal ), takikardi dengan atau tanpa aritmea
supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan.

Penanganan Asma

1. Agenis Beta : untuk mendilatasi otot-otot polos bronkial dan meningkatkan gerakan
sililaris. Contoh obat : epinefrin, albutenol, meta profenid, iso proterenoli isoetharine, dan
terbutalin. Obat-obat ini biasa digunakan secara parenteral dan inhalasi.
2. Metil salin untuk bronkodilatasi, merilekskan otot-otot polos, dan meningkatkan gerakan
mukus dalam jalan nafas. Contoh obat: aminophyllin, teophyllin, diberikan secara IV dan
oral.
3. Antikolinergik, contoh obat : atropin, efeknya : bronkodilator, diberikan secara inhalasi.
4. Kortikosteroid, untuk mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh obat:
hidrokortison, dexamethason, prednison, dapat diberikan secara oral dan IV.
5. Inhibitor sel mast, contoh obat: natrium kromalin, diberikan melalui inhalasi untuk
bronkodilator dan mengurangi inflamasi jalan nafas.
6. Oksigen, terapi diberikan untuk mempertahankan PO2 pada tingkat 55 mmHg.
7. Fisioterapi dada, teknik pernapasan dilakukan untuk mengontrol dispnea dan batuk
efektif untuk meningkatkan bersihan jalan nafas, perkusi dan postural drainage dilakukan
hanya pada pasien dengan produksi sputum yang banyak.

KAJIAN KEPERAWATAN KRITIS


Pengkajian
a. Keluhan :
– Sesak nafas tiba-tiba, biasanya ada faktor pencetus
– Terjadi kesulitan ekspirasi / ekspirasi diperpanjang
– Batuk dengan sekret lengket
– Berkeringat dingin
– Terdengar suara mengi / wheezing keras
– Terjadi berulang, setiap ada pencetus
– Sering ada faktor genetik/familier

AIRWAY
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan sputum pada jalan nafas.
Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini memperlihatkan
kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :

a. Amankan pasien ke tempat yang aman.


R/ lokasi yang luas memungkinkan sirkulasi udara yang lebih banyak untuk pasien.
b. Kaji tingkat kesadaran pasien
R/ dengan melihat, mendengar, dan merasakan dapat dilakukan untuk mengetahuan.
c. tingkat kesadaran pasienSegera minta pertolongan.
R/ bantuan segera dari rumah sakit memungkinkan pertolongan yang lebih intensif
d. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut pasien.
R/ mengetahui tingkat pernapasan pasien dan mengetahui adanya penumpukan sekret.
e. Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan pasien setengah
telungkup dan membuka mulutnya.
R/ memudahkan untuk mengeluarkan sputum pada jalan napas
BREATHING

Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya usaha napas pasien untuk
memperoleh oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status asmatikus pasien
mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat sehingga
pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam
bergerak. Pada pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau
adanya mengi.

Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas

Intervensi :

a. Kaji usaha dan frekuensi napas pasien.


R/ mengetahui tingkat usaha napas pasien.
b. Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada hidung pasien serta pipi ke mulut
pasien
R/ mengetahui masih adanya usaha napas pasien
c. Pantau ekspansi dada pasien
R/ mengetahui masih adanya pengembangan dada pasien

CIRCULATION

Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk memperoleh oksgien maka
jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya
peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik
pada waktu inspirasi, arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai
tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini
dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation ini.

Diagnosa Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
- pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh nadi jugularis
R/ mengetahui masih adanya denyut nadi yang teraba

DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak & Gallo, Keperawatan Kritis, Edisi VI,Vol I, Jakarta, EGC, 2001
2. Tucker S. Martin, Standart Perawatan Pasien, Jilid 2, Jakarta, EGC, 1998
3. Reeves. Keperawatan Medikal Bedah. Ed 1. Jakarta : Salemba Medika; 2001
4. Halim Danukusantoso, Buku Saku Ilmu Penyakit Paru, Jakarta, Penerbit Hipokrates ,
2000.
5. Smeltzer, C . Suzanne,dkk, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1.
Jakarta , EGC, 2002
6. Krisanty Paula, dkk. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Cetakan Pertama, Jakarta,
Trans Info Media, 2009.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN LUKA BAKAR

A. Definisi

Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan
petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Guyton & Hall, 1997).

B. Insiden

Perawatan luka bakar mengalami perbaikan / kemajuan dalam dekade terakhir ini, yang
mengakibatkan menurunnya angka kematian akibat luka bakar. Pusat-pusat perawatan luka bakar
telah tersedia cukup baik, dengan anggota team yang menangani luka bakar terdiri dari berbagai
disiplin yang saling bekerja sama untuk melakukan perawatan pada klien dan keluarganya. Di
Amerika kurang lebih 2 juta penduduknya memerlukan pertolongan medik setiap tahunnya untuk
injuri yang disebabkan karena luka bakar. 70.000 diantaranya dirawat di rumah sakit dengan
injuri yang berat.

Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga akibat kecelakaan pada semua kelompok
umur. Laki-laki cenderung lebih sering mengalami luka bakar dari pada wanita, terutama pada
orang tua atau lanjut usia ( diatas 70 th) (Rohman Azzam, 2008).

C. Etiologi

Etiologi dari luka bakar (Guyton & Hall, 1997) :

1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)


2. Gas
3. Cairan
4. Bahan padat (Solid)
5. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
6. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
7. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
D. Fase Luka Bakar

Fase – fase luka bakar (Guyton & Hall, 1997) yaitu :

1. Fase akut.

Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan

mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan
circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat
setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi
dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.

2. Fase sub akut.

Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan
jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:

1) Proses inflamasi dan infeksi.


2) Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju
epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3) Keadaan hipermetabolisme.

3. Fase lanjut.

Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi
organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang
hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
E. Klasifikasi luka bakar (Hudak & Gallo, 1997)

1. Dalamnya luka bakar

Kedalaman Penyebab Penampilan Warna Perasaan

Ketebalan Jilatan api, Kering tidak ada Bertambah Nyeri


partial sinar ultraviolet gelembung, edema merah
superfisial (terbakar oleh minimal atau tidak ada,
(tingkat I) matahari) pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas

Lebih dalam Kontak dengan Blister besar dan Berbintik – Sangat nyeri
dari partial bahan air atau lembab yang bintik yang
(tingkat II) bahan padat. ukurannya bertambah kurang jelas,
Jilatan api besar. Pucat bila putih, coklat,
- Superfisial
kepada pakaian. ditekan dengan ujung pink, daerah
- Dalam Jilatan langsung jari, bila tekanan merah coklat
kimiawi, sinar dilepas berisi kembali
ultraviolet

Ketebalan Kontak dengan Kering disertai kulit Putih, kering, Tidak sakit,
sepenuhnya bahan cair atau yang mengelupas. hitam, coklat sedikit sakit,
padat. Nyala Pembuluh darah seperti tua, hitam, rambut mudah
api, kimia, arang terlihat dibawah merah lepas bila
kontak dengan kulit yang mengelupas. dicabut
arus listrik Gelembung jarang,
dindingnya sangat tipis,
tidak membesar, tidak
pucat bila ditekan
2. Luas luka bakar
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule
of nine atua rule of wallace yaitu:
3. Berat ringannya luka bakar

Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :

1) Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.


2) Kedalaman luka bakar.
3) Anatomi lokasi luka bakar.
4) Umur klien.
5) Riwayat pengobatan yang lalu.
6) Trauma yang menyertai atau bersamaan.

American college of surgeon membagi dalam:

A. Parah – critical:
1) Tingkat II : 30% atau lebih.
2) Tingkat III : 10% atau lebih.
3) Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.
4) Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang luas.
B. Sedang – moderate:
1) Tingkat II : 15 – 30%
2) Tingkat III : 1 – 10%
C. Ringan – minor:
1) Tingkat II : kurang 15%
2) Tingkat III : kurang 1%

F. Patofisilogi

WOC terlampir (http://www.artanto.com)


G. Perubahan Fisiologis Pada Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)

Tingkatan hipovolemik (s/d 48- Tingkatan diuretik (12 jam –


72 jam pertama) 18/24 jam pertama
Perubahan
Mekanisme Dampak Interstitial ke Hemodilusi
dari vaskuler

Fungsi renal Aliran darah renal Oliguri Peningkatan aliran Diuresis


berkurang karena darah renal karena
desakan darah desakan darah
turun dan CO meningkat
berkurang

Kadar sodium / Na+ direabsorbsi Defisit Kehilangan Na+ Defisit


natrium oleh ginjal, tapi sodium melalui diuresis sodium
kehilangan Na+ (normal kembali
melalui eksudat setelah 1 minggu)
dan tertahan
dalam cairan
edema

Kadar potassium K+ dilepas sebagai Hiperkalemi K+ bergerak Hipokalemi


akibat cidera kembali dalam sel,
jaringan sel – sel K+ terbuang
darah merah, K+ melalui diuresis
berkurang (mulai 4-5 hari
ekskresi karena setelah luka bakar)
fungsi renal
berkurang

Kadar protein Kehilangan


Hipoproteine
protein ke dalam mia
jaringan akibat
kenaikan
permeabilitas

Keseimbangan Katabolisme Keseimbanga Katabolisme Keseimbanga


nitrogen jaringan, n nitrogen jaringan, n nitrogen
kehilangan negatif kehilangan protein, negatif
protein dalam immobilitas
jaringan, lebih
banyak
kehilangan dari
masukan

Keseimbangan Metabolisme Asidosis Kehilangan sodium Asidosis


asam basa anaerob karena metabolik bicarbonas melalui metabolik
perfusi jaringan diuresis,
berkurang, hipermetabolisme
peningkatan asam disertai peningkatan
dari produk akhir, produk akhir
fungsi renal metabolisme
berkurang
(menyebabkan
retensi produk
akhir tertahan),
kehilangan
bikarbonas serum

Terjadi karena Stres karena


sifat cidera luka
Aliran darah renal berlangsung lama
berkurang
dan terancam
psikologi pribadi
Eritrosit Terjadi karena Luka bakar Tidak terjadi pada Hemokonsent
panas, pecah termal hari – hari pertama rasi
menjadi fragil

Lambung Curling ulcer Rangsangan Akut dilatasi dan Peningkatan


(ulkus pada central di paralise usus jumlah
gaster), hipotalamus cortison
perdarahan dan
lambung, nyeri peningkatan
jumlah
cortison

Jantung MDF meningkat Disfungsi Peningkatan zat CO menurun


2x lipat, jantung MDF (Miokard
merupakan Depresant Factor)
glikoprotein yang sampai 26 unit,
toxic yang bertanggung jawab
dihasilkan oleh terhadap syok
kulit yang septic
terbakar

H. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar (Guyton & Hall, 1997)

A. Luka bakar grade II :


1) Dewasa > 20%
2) Anak/orang tua > 15%
B. Luka bakar grade III
C. Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.

I.Penatalaksanaan (Long, Barbara C, 1996)

A. Resusitasi A, B, C.
1) Pernafasan
Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.
Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL, Bensin iritasi Bronkhokontriksi obstruksi
gagal nafas.
2) Sirkulasi:
Gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler
hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
B. Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
C. Resusitasi cairan Baxter.
Dewasa : Baxter.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.

Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:


RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
< 1 tahun : BB x 100 cc
1 – 3 tahun : BB x 75 cc
3 – 5 tahun : BB x 50 cc
½ à diberikan 8 jam pertama
½ à diberikan 16 jam berikutnya.

Hari kedua:
Dewasa : Dextran 500 – 2000 + D5% / albumin.
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
(Albumin 25% = gram x 4 cc) à 1 cc/mnt.
Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.

D.Monitor urine dan CVP.

E. Topikal dan tutup luka


1) Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.
2) Tulle.
3) Silver sulfadiazin tebal.
4) Tutup kassa tebal.
5) Evaluasi 5 – 7 hari, kecuali balutan kotor.

E.Obat – obatan:

Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.

Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.

Analgetik : kuat (morfin, petidine)

Antasida : kalau perlu

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2. PT EGC.


Jakarta.

Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran
EGC. Jakarta

Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik.Volume I. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.

Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Penerbit Buku Kedoketran EGC. Jakarta.

Anonim. (2009). Kumpulan Artikel Keperawatan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Luka Bakar (Combustio). (Online) http://www.artanto.com.

Anda mungkin juga menyukai