Anda di halaman 1dari 46

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Bandar Udara dan Sistem Bandar Udara


Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):
Bandar udara adalah area tertentu di daratan atau perairan (termasuk bangunan,
instalasi dan peralatan) yang diperuntukkan baik secara keseluruhan atau sebagian
untuk kedatangan, keberangkatan dan pergerakan pesawat.
Menurut Undang-undang No.15 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah
No.70 Tahun 2001, Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan
untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan / atau
bongkar muat kargo dan / atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi.
Sistem lapangan terbang menurut Basuki (1986) dibagi menjadi dua, yaitu
landside (sisi darat) dan airside (sisi udara). Keduanya dibatasi oleh terminal.
Sebuah lapangan terbang melingkupi kegiatan yang sangat luas, yang mempunyai
kebutuhan yang berbeda, bahkan kadang - kadang berlawanan, seperti misalnya
kegiatan keamanan membatasi sedikit mungkin hubungan (pintu-pintu) antara
landside dan airside, sedangkan kegiatan pelayanan memerlukan sebanyak
mungkin pintu terbuka dari landside ke airside agar pelayanan berjalan lancar.
Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung
(jalan masuk bandara), lapangan parkir dan sirkulasi kendaraan, dan bangunan
terminal. Sistem bandar udara dari sisi udara terdiri dari area pintu gerbang
apron, taxiway, holding pad, exit taxiway, runway, dan jalur penerbangan di
angkasa ( Horonjeff dan McKelvey, 1993 ).
Menurut Modul Pengajaran Sertifikasi Kecakapan Personil Fas. Teknik
Bandara (2010), taxiway adalah suatu jalur tertentu di dalam lokasi bandar udara
yang menghubungkan antara landasan pacu (runway) dengan landas parkir
(apron) di daerah bangunan terminal dan sebaliknya, terdiri dari exit taxiway,
pararel taxiway, dan high speed taxiway.

5
Gambar 2.1. Sistem Lapangan Terbang

Landasan pacu (runway) menurut Modul Pengajaran Sertifikasi


Kecakapan Personil Fas. Teknik Bandara (2010) adalah suatu bidang
persegipanjang tertentu di dalam lokasi bandar udara yang berupa suatu
perkerasan yang disiapkan untuk pesawat melakukan kegiatan pendaratan dan
tinggal landas.
Menurut Modul Pengajaran Sertifikasi Kecakapan Personil Fas. Teknik
Bandara (2010), apron adalah suatu bidang tertentu di dalam bandar udara yang
disediakan sebagai tempat bagi pesawat saat melakukan kegiatan menaikkan dan
menurunkan penumpang, muatan pos dan kargo dari pesawat, pengisian bahan
bakar, parkir, dan perawatan pesawat.

6
2.2 Karakteristik Pesawat Terbang
Sebelum merancang pengembangan sebuah lapangan terbang, dibutuhkan
pengetahuan karakteristik pesawat terbang secara umum untuk merencanakan
prasarananya. Karakteristik pesawat terbang antara lain :
 Berat (Weight)
Berat pesawat diperlukan untuk merencanakan tebal perkerasan dan
kekuatan landasan pacu.
 Ukuran (Size)
Lebar dan panjang pesawat (Fuselag) mempengaruhi dimensi landasan
pacu.
 Kapasitas Penumpang
Kapasitas penumpang berpengaruh terhadap perhitungan perencanaan
kapasitas landasan pacu.
 Panjang Landasan Pacu
Berpengaruh terhadap luas tanah yang dibutuhkan suatu bandar udara.
Anggapan bahwa makin besar pesawat terbang, makin panjang landasan
tidak selalu benar. Bagi pesawat besar, yang sangat menentukan kebutuhan
panjang landasan adalah jarak yang akan ditempuh sehingga menentukan
berat lepas landas (Take Off Weight).
Karakteristik dari beberapa pesawat terbang dapat dilihat pada
Tabel 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1 Karakteristik Pesawat Terbang

Sumber :ICAO (International Civil Aviation Organization)

7
2.3 Berat Pesawat Terbang (Aircraft Weight)
Beberapa komponen dari berat pesawat terbang yang paling menentukan
dalam menghitung panjang landas pacu dan kekuatan perkerasannya, yaitu :
 Operating Weight Empty
Adalah berat dasar pesawat terbang, termasuk di dalamnya crew dan
peralatan pesawat terbang, tetapi tidak termasuk bahan bakar dan
penumpang atau barang yang membayar.
 Pay Load
Adalah produksi muatan (barang atau penumpang) yang membayar,
diperhitungkan menghasilkan pendapatan bagi perusahaan. Pertanyaan
yang sering muncul, berapa jauh pesawat bisa terbang, jarak yang bisa
ditempuh pesawat disebut jarak tempuh (range). Banyak faktor yang
mempengaruhi jarak tempuh pesawat, yang paling penting adalah pay
load. Pada dasarnya pay load bertambah, jarak tempuhnya berkurang atau
sebaliknya pay load berkurang, jarak tempuh bertambah.
 Zero Fuel Weight
Adalah batasan berat, spesifik pada tiap jenis pesawat, di atas batasan berat
itu tambahan berat harus berupa bahan bakar, sehingga ketika pesawat
sedang terbang, tidak terjadi momen lentur yang berlebihan pada
sambungan.
 Maximum Structural Landing Weight
Adalah kemampuan struktural dari pesawat terbang pada waktu melakukan
pendaratan.
 Maximum Structural Take Off Weight
Adalah berat maximum pesawat terbang termasuk didalamnya crew, berat
pesawat kosong, bahan bakar, pay load yang diizinkan pabrik, sehingga
momen tekuk yang terjadi pada badan pesawat terbang, rata-rata masih
dalam batas kemampuan yang dimiliki oleh material pembentuk pesawat
terbang.
 Berat Statik Main Gear dan Nose Gear
Pembagian beban statik antara roda pendaratan utama (main gear) dan
nose gear, tergantung pada jenis/tipe pesawat dan tempat pusat gravitasi

8
pesawat terbang. Batas-batas dan pembagian beban disebutkan dalam buku
petunjuk tiap-tiap jenis pesawat terbang, yang mempunyai perhitungan
lain dan ditentukan oleh pabrik.

2.4 Ukuran Fisik Pesawat

Gambar 2.1 Ukuran Fisik Pesawat


Ukuran fisik yang perlu diketahui untuk perancangan bandar udara adalah
lebar sayap (wingspan), panjang badan pesawat (length), jarak roda (wheel base),
jarak antar roda pendaratan ( wheel tread ), dan tinggi pesawat ( height ).
Karakteristik pesawat terbang yang dipertimbangkan dalam perencanaan
lapangan terbang adalah :

9
1. Bentang sayap (wing span), jarak antar roda pendarat utama (wheel tread)
dan panjang badan (fuselage) dari pesawat terbang rencana mempengaruhi
ukuran lebar landasan pacu (runway), lebar landasan penghubung
(taxiway), jarak antara landasan pacu dan landasan penghubung, dimensi
apron, diameter manuver perputaran pesawat terbang (jejari putar) dan
letak gedung terminal pada kompleks bandar udara.
2. Wheel base/ jarak antara roda pendarat utama (main gear) dan roda depan
(nose gear) dan wheel tread/ jarak antara roda pendarat utama
mempengaruhi perencanaan ukuran lebar landasan pacu (runway), lebar
landasan penghubung (taxiway), jarak antara landasan pacu dan landasan
penghubung, dan ukuran segmentasi plat beton untuk perkerasan apron
3. Berat pesawat terbang rencana mempengaruhi ukuran panjang landasan
pacu (runway) yang diperhitungkan menurut kondisi lepas landas (take off)
dan pendaratan (landing), ketebalan struktur lapisan perkerasan pada
landasan pacu dan landasan penghubung, serta jenis perkerasan pada
apron.

Komponen berat pesawat terbang yang dipertimbangkan dalam


perhitungan adalah : berat pesawat terbang maksimum terstruktur pada saat
lepas landas (Maximum structural Take-Off Weight) yakni meliputi muatan
penumpang, barang, bahan bakar utama dan cadangan dengan distribusi beban
5% pada roda depan (nose gear) dan 95% pada roda pendarat utama (main
gear). Skema distribusi beban MTOW pada Pesawat terbang rencana

10
2.5 Konfigurasi Roda Pesawat
Konfigurasi roda pendaratan utama (main landing gear) menunjukan
bagaimana reaksi perkerasan terhadap beban yang diterimanya. Konfigurasi roda
pendaratan utama dirancang untuk dapat mengatasi gaya-gaya yang ditimbulkan
pada saat melakukan pendaratan dan berdasarkan beban yang lebih kecil dari
beban pesawat lepas landas maksimum. Konfigurasi roda pendaratan utama,
ukuran dan tekanan untuk beberapa pesawat dirangkum pada Tabel 3.1. Jenis
konfirgurasi roda pesawat berupa tunggal (single), ganda (dual), dan dua ganda
(dual tandem) mempengaruhi secara langsung tebal perkerasan. Contoh geometrik
pesawat terkait dengan konfigurasi roda dua ganda dapat dilihat pada gambar di
ukuran fisik pesawat.
Tabel 2.2 Konfigurasi roda pendaratan pesawat

No. Konfigurasi Distribusi Tipe Pesawat Ukuran (m)


Roda Pendarat Beban pada terbang
x y z
Utama masing- rencana
masing roda
pendarat
utama

11
1. Single Wheel 47,5% DC-9 0,64
Gear B-737 0,78
B-727 0,86

2. Dual Wheel 47,5% DC-8 0,80 1,40


Gear DC-10 1,40 1,62
B-720B 0,80 1,24
B-707-120B 0,86 1,40
B-707-320B 0,86 1,40
A-300B 0,89 1,40

3. Tandem Dual 23,75% B-747-300 1,10 1,47 3,00


Wheel B-747-400 1,10 1,47 3,00
Gear B-747-SP 1,10 1,47 3,00
Airbus A-380 1,10 1,47 3,00

2.6 Lingkungan Lapangan Terbang


Lingkungan lapangan terbang yang berpengaruh terhadap panjang
landasan yaitu :
a. Temperatur
Pada temperatur yang lebih tinggi, dibutuhkan landasan yang lebih
panjang, sebab pada temperatur yang tinggi tingkat density udara akan
rendah, dengan menghasilkan output daya dorong pesawat terbang yang
rendah. Sebagai standar temperatur dipilih temperatur di atas muka laut
sebesar 59° F = 15° C, dengan perhitungan sebagai berikut : Ft = 1 +
[0,01* (T − (15 − (0,0065* h)))]

12
dimana, Ft = Faktor koreksi temperatur
T = Aerodrome reference temperatur (°C)
h = Ketinggian (m)
b. Ketinggian Altitude
Rekomendasi dari ICAO, menyatakan bahwa harga ARFL bertambah
sebesar 7 % setiap kenaikan 300 m (1.000 ft) dihitung dari ketinggian
muka air laut, dengan perhitungan :

dimana, Fe = Faktor koreksi elevasi


h = Ketinggian (m)

c. Kemiringan landasan (Runway Gradient)


Kemiringan keatas memerlukan landasan yang lebih panjang jika
dibanding terhadap landasan yang datar atau yang menurun. Kriteria
perencanaan lapangan terbang membatasi kemiringan landasan sebesar 1,5
%. Faktor koreksi kemiringan (Fs) sebesar 10% setiap kemiringan 1 %,
berlaku untuk kondisi lepas landas.
Fs = 1 + (0,1* S )
dimana, Fs = Faktor koreksi elevasi
S = Kemiringan landasan (%)
d. Kondisi Permukaan Landas Pacu
Di permukaan landas pacu terdapat genangan tipis air (standing water)
sangat dihindari karena membahayakan operasi pesawat. Standing water
menghasilkan permukaan yang sangat licin bagi roda pesawat membuat
daya pengereman sangat jelek. Itulah sebabnya drainase lapangan terbang
harus baik untuk membuang air permukaan landasan. Bila landas pacu
permukaan yang basah atau licin, panjang landasan harus ditambah dengan
4,5 % sampai 9,5 %, sebagaimana tercantum dalam FAA AC 150/5325-4.
e. Menghitung ARFL
ARFL (Aeroplane Reference Field Length) menurut ICAO adalah landas
pacu minimum yang dibutuhkan untuk lepas landas, pada maximum

13
sertifikated take off weight, elevasi muka air laut, kondisi standart
atmosfir, keadaan tanpa ada angin bertiup, dan landas pacu tanpa
kemiringan. Setiap pesawat mempunyai ARFL berlainan yang dikeluarkan
pabrik pembuatnya. Untuk mengetahui panjang landas pacu bila pesawat
take off di ARFL, dipergunakan rumus :
ARFL= (𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐿𝑎𝑛𝑑𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑐𝑢 𝑅𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑎)/(𝐹𝑒. 𝐹𝑡. 𝐹𝑠)
dimana, Fe = Ketinggian Altitude (m)
Ft = Faktor Koreksi Temperatur
Fs = Faktor Koreksi Kemiringan
f. Aerodrome Reference Code
Reference code dipakai oleh ICAO, untuk mempermudah membaca antar
beberapa spesifikasi pesawat, dengan berbagai karakteristik fisik lapangan
terbang. Code bisa dibaca untuk elemen yang berhubungan dengan
karakteristik kemampuan pesawat terbang dan ukuran-ukuran pesawat
terbang. Klasifikasi landasan pacu didasarkan pada amandemen ke-36
ICAO hasil konferensi ke IX yang mulai efektif berlaku sejak 23 Maret
1983 (ICAO, 1990).

2.7 Runway (Landasan Pacu) Bandar Udara


2.7.1 Elemen-elemen Landasan Pacu
Landasan pacu digunakan untuk pendaratan (landing) dan lepas landas
(take off) pesawat udara. Elemen – elemen dasar landasan pacu antara lain :
a. Perkerasan struktural sebagai tumpuan pesawat udara.
b. Bahu landasan yang berbatasan dengan perkerasan struktural,
direncanakan sebagai penahan erosi akibat air dan semburan mesin jet,
serta melayani perawatan landasan.
c. Area keamanan landasan pacu (runway safety area) yang terdiri dari
struktur perkerasan, bahu landasan, dan area bebas halangan.
d. Blast pad, area yang direncanakan untuk mencegah erosi pada permukaan
yang berbatasan dengan ujung landasan pacu.
Dalam perencanaan fasilitas Bandar udara di tinjau dari segi sisi udara
yaitu:
1. Panjang Runway

14
Untuk perencanaan panjang runway digunakan pesawat kritis sebagai
acuan untuk pengembangan bandara. Pesawat kritis tersebut adalah B727-
200.
2. Lebar Runway
Pada desain upgrading Bandara Tanjung Harapan, pesawat kritis yang
digunakan adalah jenis pesawat Boeing 727-200 dengan karakteristik yang
tertera pada tabel ARC pesawat kritis adalah 4C. Dari tabel dapat
diketahui lebar runway.
3. Runway Shoulder
Runway shoulder adalah suatu bidang tertentu sepanjang tepi kiri dan
kanan landasan yang berbatasan dengan perkerasan struktural yang
dipergunakan sebagai penahan erosi akibat semburan jet, serta melayani
peralatan perawatan landasan, dan juga memperkecil resiko kerusakan
pada pesawat terbang bila pesawat tersebut harus keluar landasan. Runway
shoulder harus dirancang dengan kekuatan yang cukup untuk menahan
pesawat yang tergelincir tanpa mengakibatkan kerusakan struktural pada
pesawat dan juga harus mampu menyangga kendaraan darat yang
beroperasi pada bahu seperti peralatan pemeliharaan dan tangki bahan
bakar. Selain itu bahu runway juga harus berfungsi sebagai penahan erosi
yang disebabkan oleh semburan jet pesawat.
Berdasarkan rekomendasi ICAO Annex – 14 Aerodromes:
 Runway shoulder harus disediakan untuk runway dengan kode
huruf D atau E, dan lebar runway lebih kecil dari 60 m.
 Runway shoulder harus disediakan untuk runway dengan kode
huruf F.
Adapun ketentuan untuk lebar runway shoulders adalah:
Lebar runway shoulder harus dibuat simetris pada tiap sisi
Runway sehingga lebar keseluruhan runway width + runway
shoulders tidak kurang dari:
 60 m jika kode huruf D atau E; dan
 75 m jika kode huruf F

15
Untuk mencegah salah pendaratan di bahu karena kondisi visual
yang hampir sama dengan runway, dibutuhkan visual yang kontras
antara keduanya baik dengan pemberian warna yang berbeda
ataupun garis penanda runway.
4. Runway Strips
Runway strips merupakan suatu area yang membentang mulai dari
sebelum threshold, yang berguna untuk mengurangi resiko kecelakaan
pada pesawat apabila pesawat melenceng dari landasan serta untuk
melindungi pesawat yang “ flying over ” pada saat take off atau landing.
Runway strips meliputi struktur perkerasan, bahu, dan daerah yang
dibersihkan, dikeringkan,dan dipadatkan, termasuk di dalamnya Runway
dan stopway. Keberadaan objek selain peralatan navigasi yang diletakkan
pada runway strips dapat menyebabkan bahaya. Oleh karena itu, tidak
ada objek lain selain peralatan navigasi yang diperbolehkan berada pada
runway strips dalam jarak 60 m dari garis tengah runway.
Berdasarkan ICAO Annex 14-Aerodromes Chapter 3 Physical
Characteristics point 3.3.1 ;3.3.2; 3.3.12; dan 3.3.15 maka diperoleh
tabel Length of Runway Strips, tabel Width of Runway Strips,
tabel Longitudinal Slopes of Runway Strips, dan tabel Transverse Slope
of Runway Strips.
5. Runway End Safety Area (RESA)
RESA adalah suatu area yang simetris, merupakan perpanjangan dari
sumbu landasan dan berbatasan dengan strips yang berguna untuk
mengurangi resiko kecelakaan pesawat. Dari ICAO, didapat:
 Panjang : Area keamanan ujung landasan, dibuat dengan
panjangsecukupnya tetap paling kurang 90 m.
 Lebar : Jika memungkinkan, sebaiknya sama dengan
lebar runway strips.
 Longitudinal Slope : Sebaiknya tidak melebihi kemiringan
menurun lebih dari 5%, serta se- gradual mungkin, hindari
kemiringan tajam dan tiba-tiba.

16
 Transversal Slope : Kemiringan menanjak maupun menurun
tidak melebihi 5%, serta se- gradual mungkin.
6. Stopway
Stopway adalah suatu area berbentuk empat persegi panjang di atas tanah
yang berada diakhir Take Off Run Available (TORA). Stopway
digunakan untuk memberi tempat berhenti pesawat yang gagal lepas
landas. Kemiringan stopway disesuaikan dengan persyaratanlandasan,
kecuali:
 Pembatasan kemiringan 0,8% pada seperempat awal dan akhir
landasan tidak berlaku
 Kemiringan Stopway diukur dari ujung landasan sebesar 0,3%
tiap 30 m bagi landasandengan kode 3 atau 4.

Berdasarkan ICAO Annex 14-Aerodromes Chapter 3 Physical


Characteristics point 3.6.1 dan 3.6.2, diperoleh:

 Panjang Stopway = 60 m (diambil)


 Lebar Stopway = 45 m (sama seperti runway)
 Longitudinal Slope = 1 %
7. Clearway
Clearway adalah daerah berbentuk empat persegi panjang di atas tanah
atau air di bawah pengawasan bandar udara. Disediakan dan dipilih untuk
keperluan pesawat apabila pesawatmengalami kegagalan pada saat initial
climb. Dalam Annex 14-Aerodromes Chapter 3 Physical Characteristics
point 3.6.1 dikatakan bahwa origin/permulaan dari Clearway dimulai dari
akhir Take Off Run Available.
Berdasarkan ICAO Annex 14 pasal 3.6.2 ; 3.6.3 ; 3.6.4, maka didapat:
a. Panjang clearway tidak melebihi ½ take off run available (TORA).
Dalam perencanaan ini panjang Clearway diambil 0.5 (ARFL take-
off)
b. Lebar clearway minimum adalah 75 m untuk masing-masing
sisinya. Dalam perencanaan ini, diambil lebar clearway sebesar 75

17
m di masing-masing sisi runway, sehingga total lebar clearway
adalah 2 x 75 m =150 m
c. Slope on clearway, dari Aerodrome Design Manual diambil nilai
1.25%.
8. Declared Distance
Declared distance adalah jarak yang diinformasikan kepada pilot
berkenaan denganketerbatasan suatu landasan untuk melayani berbagai
manuver dari pesawat yang landing dan take-off pada landasan tersebut.
Declared distance meliputi:
 TORA (Take-Off Run Available)
 TODA (Take-Off Distance Available)
 ASDA (Accelerate Stop Distance Available)
 LDA (Landing Distance Available).
a. TORA (Take-Off Run Available)
TORA adalah panjang runway menurut ARFL yang telah dikoreksi
terhadap elevasi,temperatur, dan slope. Berdasarkan perhitungan
yang telah dilakukan sebelumnya.
b. TODA (Take-Off Distance Available)
Ketika suatu runway menyediakan clearway, maka TODA adalah
panjang TORA yangditambah panjang clearway tersebut.
TODA = TORA+clearway
c. Accelerate Stop Distance Available (ASDA)
ASDA yaitu panjang TORA ditambah dengan panjang stopway.
Panjang stopway dapat dilihat di Aeroplane Flight Manual. Namun
stopway tidak selalu ada pada suatu runway karena pengadaannya
tergantung kondisi sekitar. Ditentukan bahwa panjang Stopway
adalah 60 meter. Ini adalah panjang landasan yang tersedia bagi
pesawat yang membatalkan take off -nya yang berkenaan dengan
kerusakan mesin.
ASDA = TORA+stopway
d. Landing Distance Available (LDA)

18
LDA adalah panjang runway yang dibutuhkan pesawat untuk
landing. Panjang LDA ini sama dengan panjang ARFL setelah
dikoreksi terhadap elevasi.

Gambar 2.2 Sketsa Declared Distance

2.7.2 Kunfigurasi Landasan Pacu


Konfigurasi dari landasan pacu ada bermacam-macam yang merupakan
kombinasi dari konfigurasi dasar (Basuki, 1986) yakni :
 Landasan Tunggal
Adalah konfigurasi yang paling sederhana. Kapasitas dalam kondisi
Visual Flight Rule (VFR) antara 45 – 100 gerakan tiap jam.
 Landasan Pararel
Kapasitas landasan sejajar terutama tergantung kepada jumlah landasan
dan pemisahan antara dua landasan, yang biasa adalah dua landasan
sejajar.
 Landasan Dua Jalur
Landasan dua jalur terdiri dari dua landasan sejajar dipisahkan
berdekatan (700 ft – 2499 ft).
 Landasan Bersilangan
Landasan ini mempunyai dua atau tiga landasan dengan arah berlainan,
berpotongan satu sama lain.
 Landasan V Terbuka
Landasan dengan arah divergen, tetapi tidak saling berpotongan

19
2.7.3 Karakteristik Landasan Pacu
Karakteristik Landasan pacu dapat dilihat sebagai berikut :
a. Lebar Perkerasan Landasan Pacu
Lebar landasan pacu sudah ditentukan dengan standar ICAO Kemiringan
Memanjang (Longitudinal Slope) Landasan Pacu Kemiringan
memanjang landasan pacu telah ditentukan dengan standar ICAO.
b. Kemiringan Melintang (Transversal Slope) Landasan Pacu
Untuk menjamin pengaliran air permukaan yang berada diatas landasan
pacu, perlu kemiringan melintang dengan standar.

2.7.4 Kapasitas Landasan Pacu


Untuk memperhitungkannya dapat dengan cara :
a. Cara Grafik
Dalam menentukan kapasitas operasi dari runway melalui cara grafik
adalah dengan berdasarkan grafik hubungan campuran pesawat dengan
konfigurasi landasan pacu. Langkah pertama adalah dengan menentukan
Exit Rating. Cara menentukan Exit Rating dapat dengan cara grafik
berdasarkan FAA. Melalui konfigurasi landasan pacu dan jenis exit
taxiway, nilai exit rating dapat ditentukan. Nilai exit rating dapat didapat
dari Grafik 2.3 berikut :

Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara


(Horonjeff,1998),ICAO

Grafik 2.3 Menentukan nilai Exit Rating berdasarkan FAA

20
Langkah kedua adalah dengan menentukan jenis campuran pesawat. Jenis
campuran pesawat ditentukan berdasar pada kelas jenis pesawat masing-masing
berdasarkan FAA. Penggolongan pesawat udara tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 2.4 berikut :

Tabel 2.4 Penggolongan Pesawat Terbang untuk cara-cara


Kapasitas Praktis

Kelas Jenis Penggolongan Pesawat


Boeing 707 , 747 , 720 ; Douglas DC-8, DC-10 ; Lockhead L-
A
1011
Boeing 727 , 737 ; Douglas DC-9 ; BACI-11 ; semua pesawat
B
penerbangan bermesin piston dan turboprop yang besar
Pesawat terbang kecil yang digerakkan propeller untuk
C
penerbangan seperti Fairchild F-27 dan pesawat jet bisnis
Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeller bermesin
D ganda dan beberapa pesawat dengan mesin tunggal yang lebih
besar
Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeller bermesin
E
tunggal
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), FAA

Dari nilai exit rating yang keluar dan campuran kelas pesawat yang
didapatkan, maka kapasitas operasi per jam dari runway pada kondisi VFR
(Visual Flight Rules) dan pada Kondisi IFR (Instrument Flight Rules) dapat
ditentukan.

21
Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO

Grafik 2.4 Kapasitas per jam landas pacu tunggal dalam


kondisi VFR untuk operasi-operasi campuran (FAA)

Sumber : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara ( Horonjeff,1998 ), ICAO

Grafik 2.5 Kapasitas per jam landas pacu tunggal, landasan


pacu sejajar berjarak rapat dan landasan pacu – V terbuka dalam
kondisi IFR (FAA)

Karena campuran sebenarnya ini berbeda dari yang diberikan pada bagan
kapasitas, maka harus digunakan grafik untuk mendapatkan campuran interpolasi.
Grafik interpolasi tersebut dapat dilihat dengan Grafik 2.6 berikut :

22
Grafik 2.6 Interpolasi pesawat kelas C dengan pesawat kelas B
Ekivalen (FAA)

sumber: Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara


(Horonjeff,1998 ), ICAO

2.8 Klasifikasi Taxyway Bandar Udara


Taxiway merupakan suatu jalur yang telah dipersiapkan, di mana pesawat
terbang dapat bergerak di permukaan bumi (taxiing ) dari satu tempat ke tempat
lain di suatu lapanganterbang. Fungsi utama taxiway sebagai jalan penghubung
antara landasan pacu dengan aprondi daerah bangunan terminal, atau antara
landasan pacu atau apron dengan hangar pemeliharaan. Taxiway harus
direncanakan sedemikian rupa, sehingga pesawat terbang yang baru mendarat
tidak mengganggu pesawat lain yang sedang bermanuver menuju ke
ujunglandasan pacu untuk take-off. Sistem landasan hubung paling sedikit
meliputi landasanhubung masuk (entrance taxiway) dan landasan hubung ke luar (
exit taxiway ).
Kapasitas maksimum dan efisiensi dari sebuah lapangan terbang
diwujudkan denganmenentukan keseimbangan antara kebutuhan runway, terminal

23
penumpang dan kargo, aircraft storage, dan service area. Elemen-elemen
fungsional yang terpisah dan berbeda itu dihubungkan dengan system taxiway.
Sistem taxiway harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mengatasi
keterbatasan pergerakan pesawat dari dan ke runway serta apron. Sistem taxiway
harus mampu mengakomodasi tingkat kebutuhan untuk kedatangan dan
keberangkatan pesawat. Pada tingkat penggunaan runway yang rendah, system
taxiway dapat melayani arus pergerakan pesawat dengan baik. Tetapi jika
penggunaan runway meningkat, maka kapasitas system taxiway pun harus
ditingkatkan. Pada saat kedatangan maupun keberangkatan pesawat pada jarak
pemisah minimum, system taxiway harus mampu melayani pesawat keluar dan
masuk runway secepatnya.Dalam perencanaan taxiway secara umum ada
beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan, yakni rute taxiway antar bagian
aerodrome harus diusahakan sependek dan sesederhanamungkin dengan seminim
mungkin persimpangan, kelokan, dan bottle neck (penyempitan) dan sebanyak
mungkin jalan satu arah. Selain itu ada pula pertimbangan lain yang
cukup penting, yakni rute taxiway harus didesain dengan menghindari area yang
menyediakan akses penumpang ke pesawat. Selain itu, semua bagian taxiway
harus dapat terlihat dari menarakontrol dan efek semburan jet pada area yang
berhubungan dengan taxiway harus diminimalisasi.

2.8.1 Lebar dan Kemiringan Taxiway


Sesuai dengan tabel, penentuan lebar taxiway ditentukan oleh kode huruf
dan wheel base- nya. Pesawat rencana tipe B727-200 berdasarkan klasifikasi ARC
seperti telah dibahas sebelumnya memiliki kode huruf C.

2.8.2 Tikungan Pada Taxiway


Taxiway curves atau lengkung taxiway ialah garis yang terletak tepat di
tengah taxiway yang sedang berkelok. Jarak dari titik pusat rotasi belokan dengan
lengkung taxiway ialah jari-jari belokan tersebut. Perubahan arah dalam taxiway
harus diusahakan sekecil mungkin dandesain dari taxiway curves harus
sedemikian rupa sehingga ketika pesawat sedang membelok, jarak bebas
minimum dari roda utama terluar pesawat ke tepi taxiway ( minimum clearance

24
distance of outer main wheel to taxiway edge ) tidak kurang dari batas yang telah
ditentukan.

Gambar 2.2 Taxiway Curve

2.8.3 Jarak Minimum Pemisah Taxiway ( Taxiway Minimum Seperation


Distance )
Jarak minimum pemisah taxiway adalah jarak minimum pemisah antara
garis tengah taxiway dengan runway, antara garis tengah antar taxiway yang
paralel satu sama lain, ataupun antaragaris tengah taxiway dengan dengan objek
lain. Jarak minimum pemisah taxiway dengan taxiway atau objek lain pada
dasarnya dihitung berdasarkan lebar sayap (wing span), deviasi lateral (lateral
deviation ),dan penambahan (increment).
Deviasi lateral adalah jarak antara garis tengah pesawat dengan garis
tengah Taxiway sebagai hasil dari ketidak tepatan pesawat berjalan di atas garis
tengah taxiway. Ketidak tepatan ini adalah hal yang normal terjadi sehingga
deviasi lateral menunjukkan jarak yang mungkin digunakan pada operasi
normal. Increment adalah faktor keamanan yang ditambahakan dengan tujuan
memberikan ruang ekstra bagi pesawat yang sedang taxiing. Nilai
increment untuk pesawat yang lebih besar diberi lebih besar pula karena

25
keputusan yang harus diambil oleh pilot dalam menentukan jarak bebas
(clearance distance) semakin bertambah sulit seiring dengan bertambah besarnya
ukuran wing span dan bertambah besarnya momentum yang dihasilkan oleh
pesawat lebih besar sehingga dapat menyebabkan pesawat meluncur ke tepi
taxiway. Berikut diberikan data minimum separation distance dengan
memperlihatkan faktor-faktor yang berpengaruh.

Gambar 2.3 Jarak Pemisah Antara Taxiway dengan Object

Gambar 2.4 Jarak Pemisah Antara Taxiway dengan Runway Jarak


pemisah minimum:

26
2.8.4 Rapid Exit Taxiway
Tujuan pembuatan rapid exit taxiway ialah mengurangi waktu okupansi
suatu pesawat sehingga runway dapat segera digunakan oleh pesawat yang lain
dan kapasitasa erodrome akan meningkat. Jika derajat kejenuhan Runway pada
saat jam sibuk sekitar 25 operasi (baik take off maupun landing), maka sudut
yang tepat untuk exit taxiway dibutuhkan, atau dengankata lain rapid exit taxiway
dibutuhkan. Sudut pertemuan (intersection angle) antara runway dengan rapid exit
taxiway harus diantara 25 – 40° dan yang terbaik ialah 30°.
Rapid exit taxiway harus didesain dengan radius turn-off curve minimal:

 550 m untuk kode nomor 3 atau 4; dan


 275 m untuk kode nomor 1 atau 2.

Desain menggunakan pesawat kritis dengan kode 4C, maka radius turn off
curve minimal adalah 550 m.

27
Gambar 2.5 Rapid Exit Taxiway

2.8.5 Taxiway Shoulders and Strips


Taxiway shoulder ialah area yang ditambahkan pada tepi perkerasan
taxiway. Kegunaan utama dari taxiway shoulder ialah untuk mencegah kerusakan
mesin pesawat dari batuan atau benda lain yang tersedot oleh dan ke dalam mesin
pesawat tersebut. Selain itu taxiway shoulderr juga ditujukan untuk mencegah
terjadinya erosi pada tepi perkerasan. Taxiway shoulders harus ditambahkan untuk
taxiway dengan kode huruf C, D, E, atau F. Taxiway perlu dilengkapi bahu pada
kedua sisinya sehingga lebar taxiway ditambah bahutidak kurang dari:
 60 m untuk kode huruf F;
 44 m untuk kode huruf E;
 38 m untuk kode huruf D; dan
 25 m untuk kode huruf C.
 Lebar taxiway shoulder untuk desain ini adalah 25 m.

Taxiway strip ialah area termasuk taxiway yang ditujukan untuk


melindungi pesawat yang beroperasi pada taxiway dan untuk mengurangi resiko
kerusakan pesawat akibat tergelincir dari taxiway. Jarak taxiway strip ke centre
line taxiway untuk desain ini, dapat dilihat padatabel 5.11 kolom (11), adalah 46.5
m . Sehingga dapat dihitung lebar taxiway strip adalah 2 x 46,5 = 93 m.

28
2.8.6 Kemiringan Taxiway (Taxiway Slope)
1. Kemiringan longitudinal pada taxiway tidak lebih dari:
 1.5% untuk kode huruf C, D, E, atau F; dan
 3 % untuk kode huruf A atau B.
2. Transverse slope pada taxiway tidak lebih dari :
 1.5% untuk kode huruf C, D, E, atau F; dan
 2 % untuk kode huruf A atau B.

Untuk desain ini, longitudinal slope taxiway 1.5% dan transverse slope
taxiway 1.5%.

2.9 Apron
Apron adalah daerah yang dimaksudkan untuk menempatkan pesawat
terbang, agar pesawat terbang tersebut dapat memuat atau menurunkan
penumpang, angkutan surat, barang atau kargo, parkir, serta melakukan kegiatan
pemeliharaan.Apron yang terletak di bangunan terminal (terminal apron)
dirancang untuk mengakomodasi manuver dan parkir pesawat terbang. Apron
berhubungan dengan fasilitas-fasilitas terminal penumpang, oleh sebab itu, apron
harus dihubungkan dengan fasilitas terminal agar penumpang dapat naik ke
pesawa tterbang atau turun dari pesawat terbang dengan mudah.
Jenis-jenis apron dibedakan dari masing-masing fungsinya :
1. Terminal Apron, daerah yang dirancang untuk manuver dan parker
pesawat yang bersebelahan atau mudah dihubungkan dengan fasilitas
terminal penumpang.Terminal Apron digunakan untuk mengisi bahan bakar
dan pemeliharaan pesawat dan untuk menaikkan serta menurunkan barang-
barang/kargo.
2. Cargo Apron, apron yang digunakan untuk tempat berhenti dan menaik-
turunkan muatan pesawat yang hanya mengangkut barang, kargo, surat (tanpa
penumpang).
3. Parking Apron, sebuah bandara dapat memiliki fasilitas ini bila
memungkinkan adanya pesawat yang parkir dalam jangka waktu yang
panjang.

29
4. Service and Hangar Apron , service apron adalah tempat terbuka untuk
perawatan serta perbaikan pesawat. Hangar apron merupakan lokasi
pemindahan pesawat dari danmenuju hanggar.
5. Isolated Apron, diperuntukkan bagi pesawat-pesawat yang perlu diamankan,
misaldicurigai membawa bahan peledak. Lokasinya jauh dari apron biasa.
Dikenal empat jenis konfigurasi apron, yaitu
a. Konfigurasi Frontal
b. Konfigurasi Jari
c. Konfigurasi Satelit
d. Konfigurasi Terbuka.
Pembedaan tipe apron ini didasarkan pada :
a. Pengaturan penambatan pesawat
b. Hubungan antara terminal dengan pesawat tersebut

Aircraft stand adalah daerah pada apron yang dimaksudkan untuk tempat
parkir pesawat.Jarak minimum dari sebuah pesawat yang berada dalam
aircraft stand dengan bangunan/pesawat/objek lain tidak boleh kurang dari
nilai clearance yang diberikan dalam tabel.

2.9.1 Dimensi Apron


Ukuran apron tergantung pada tipe dan besar pesawat, ruang yang
dibutuhkan pesawat untuk masuk atau keluar parkir, serta ruang yang dibutuhkan
pesawat untuk berputar. Secara keseluruhan Apron harus dapat menunjang
kelancaran lalu lintas di lapangan terbang,terutama pada saat waktu puncak.

30
Gambar 2.6 Sketsa penentuan Dimensi Apron

Keterangan:
A = Lebar service road = Berbatasan langsung dengan apron,
tetapi konstruksi perkerasan berbeda = 10 m
B = Clearance antara hidung pesawat terbang dengan fixed
object di service road = 7.5 m
C = panjang pesawat terbang= 70.4 m (tabel 5.1)
D = Minimum clearance antara ekor pesawat yang parkir dengan
apron taxiway center line. = 46,5 m (dari tabel 5.12)
E = Jarak antara apron taxiway centerline
dengan pinggir apron = 7,5 m
F = Jarak minimum antara runway center line dengan taxiway
(apron taxiway) center line = 180 m.

2.9.2 Lebar Apron


Lebar apron, yang merupakan penjumlahan dari clearance antara hidung
pesawat terbang dengan fixed object di service road, panjang pesawat terbang,
minimum clearance antara ekor pesawat yang parkir dengan apron taxiway center
line, dan jarak antara apron taxiway center line dengan pinggir apron. Dengan
demikian:

31
2.9.3 Panjang Apron
Panjang apron dihitung berdasarkan jumlah luasan yang dibutuhkan untuk
clearance dan wing span yang dibutuhkan pada jam puncak.

2.9.4 Kemiringan Apron


Kemiringan suatu apron, termasuk tempat parkir pesawat, harus dibuat
sedemikian agar tidak terjadi genangan air di permukaan apron. Kemiringan di
tempat parkir pesawat tidak boleh lebih dari 1%.

2.9.5 Letak Apron


Jarak antara apron dengan gedung terminal atau bangunan lain pada
lapangan terbang harus dibuat secukup mungkin untuk kenyamanan penumpang
saat melakukan pergerakan. Untuk pesawat yang berkode huruf C, jarak minimum
apron dengan bangunan lain adalah 4,5 meter.

2.9.6 Jumlah Pintu Gerbang


Untuk menghitung jumlah pintu gerbang ( gate) di apron, digunakan
proyeksi lalu lintas udara. Waktu okupansi merupakan waktu terlama yang di
izinkan bagi pesawat untuk berhenti di apron.Jumlah gate (G) pada jam puncak
dihitung dengan rumus:

Dimana:
V = Volume jam puncak
T = Waktu okupansi
µ = Faktor pengguna.

32
2.9.7 Sistem Parkir Pesawat
Terdapat beberapa jenis terminal apron yang penentuannya sangat
bergantung pada besarnya kapasitas pesawat dan penumpang serta jenis jasa yang
akan dilayani. Adapun beberapa jenis konfigurasi sistem parkir pesawat antara
lain:
 Konfigurasi Frontal /Linier
Apron dengan konfigurasi frontal cocok untuk bangunan terminal dengan
empat pintuatau kurang. Jika bangunan terminal membutuhkan lebih dari
empat pintu, maka sirkulasi penumpang menjadi sulit.
 Konfigurasi Pier
Konfigurasi ini digunakan jika terminal mempunyai 9 pintu atau lebih
karena lebih ekonomis. Ada beberapa sistem pier yaitu sistem pier tunggal,
ganda dan multi-pier, penentuan tipe sistem pier didasarkan pada jumlah
pintu ( gate) yang dibutuhkan. Jika jumlah pintu yang dibutuhkan 8
sampai 12 pintu, maka konfigurasi pier tunggal lebih memadai, sedangkan
untuk jumlah gate 8 sampai 20 digunakan konfigurasi pier ganda.
Untuk gate lebih dari 20 digunakan sistem konfigurasi multi-pier.
 Konfigurasi Satelit
Digunakan untuk memungkinkan adanya ruang Apron yang bebas dari
gangguan dan memungkinkan pola parkir pesawat yang rapat. Sistem ini
menyebabkan jarak antara pintu pesawat ke ticket counter menjadi lebih
jauh dan tidak begitu efisien dilihat dari banyak pintu yang dapat
dialokasikan.
 Konfigurasi Apron Terbuka
Merupakan sistem dimana pesawat diparkir di depan terminal dengan
lebih dari dua barisan parkir. Hubungan antara pesawat dengan gedung
terminal dilakukan dengan berjalan atau dengan kendaraan tertutup.
Keuntungannya, jarak taxiing dari runway ke apron menjadi berkurang.

33
Gambar 2.7 Kunfigurasi multi-pier

2.10 Terminal Penumpang


Fungsi utama terminal adalah :
 Pertukaran moda
Perjalanan udara merupakan perjalanan campuran berbagai moda yaitu
mencakup perjalanan akses darat dan dilanjutkan dengan perjalanan udara,
dalam hal ini tidak banyak perjalanan udaranya.
 Pemrosesan perjalanan udara
Terminal adalah tempat untuk pengurusan perjalanan udara diantaranya
pembelian tiket, pendaftaran penumpang, loket pemeriksaan, rumah
makan, ruang tunggu, pelayanan taxi, telpon dsb.
 Operator Bandar Udara
Disini berfungsi sebagai tempat penampungan yang mengumpulkan
penumpang secara kontinyu baik yang datang maupun yang pergi.
Perancangan bangunan terminal harus menyediakan daerah pelayanan
terpisah untuk menjaga kemacetan bagi penumpang dan barang, juga harus
menyediakan kemudahan sirkulasi penumpang baik yang naik maupun
yang turun.

34
2.10.1 Fasilitas Terminal Penumpang
Kawasan terminal penumpang meliputi apron untuk tempat naik-turun
penumpang ke dandari pesawat udara (passenger loading apron) dan bangunan
terminal. Fasilitas yang harus tersedia di terminal penumpang antara lain:
a. Access interface, yang meliputi:
 Pelataran (curb) kedatangan dan keberangkatan untuk naik turun
penumpangdengan menggunakan kendaraan baik kendaraan pribadi
maupun kendaraanumum.
 Pedestrian way sebagai jalur sirkulasi antara kawasan parkir dengan
bangunanterminal, bus stop, pool taksi, dan pelataran antar moda lain.
b. Pemrosesan penumpang, yang meliputi:
 Counter masing-masing maskapai penerbangan untuk tiket dan check-
in bagasi.
 Counter kegiatan pengamanan dan pengendalian, misalnya keamanan,
bea cukai,kesehatan, dan imigrasi.
 Fasilitas klaim bagasi.
 Ruang - ruang sirkulasi dan pergerakan penumpang.
 Ruang penunjang misalnya toilet, mushola, telepon umum, pos,
internet, ruangkesehatan, dan counter pemesanan hotel.
 Display informasi mengenai jadwal penerbangan, pengarahan dalam
bangunan,dan informasi fasilitas.
 Fasilitas makan dan minum (restoran, café).
 Fasilitas konsesi, antara lain toko, bank, persewaan mobil, asuransi,
dan duty-freeshop untuk bandar udara internasional.
 Fasilitas pengantar, termasuk fasilitas observasi.
c. Flight interface
 Ruang tunggu keberangkatan (gate lounge) yaitu ruang tunggu yang
disediakansesuai dengan nomor pesawat yang bersangkutan.
 Fasilitas penghubung (eskalator, moving sidewalks, bus).
 Fasilitas lain termasuk ruang tunggu transit dan transfer.
d. Fasilitas untuk maskapai penerbangan, antara lain:
 Ruang kerja yang berada dekat dengan counter maskapai tersebut.

35
 Fasilitas penanganan bagasi termasuk conveyor belt dan kereta
barang.
 Fasilitas telekomunikasi.

2.10.2 Perencanaan Terminal Penumpang


Dasar dari perencanaan kompleks terminal adalah jumlah penumpang pada
waktu jam puncak. Prinsip utama dalam perencanaan bangunan terminal
penumpang adalah meminimumkan jarak jalan kaki bagi penumpang,
melancarkan pergerakan penumpangdan bagasi, serta mempertimbangkan
kemungkinan pengembangan di masa depan. Dalam tugas besar ini, perencanaan
terminal penumpang meliputi perhitungan kebutuhan dasar ruang terminal,
penyesuaian kebutuhan ruang berdasarkan sistem pemisahan
terminal, perhitungan kedalaman bangunan terminal, dan penentuan lebar curb
side.
a. Kebutuhan dasar ruang terminal.
Luas bangunan terminal penumpang didasarkan atas jumlah
pelayanan penumpang/tahun dan jumlah penumpang waktu sibuk.
b. Penyesuaian kebutuhan ruang berdasarkan sistem pemisahan terminal.
Untuk menjamin kelancaran pergerakan penumpang, perlu dilakukan
pemisahan tempat keberangkatan dan kedatangan penumpang serta
pergerakan bagasi. Pemisahan dapat dilakukan dalam 1 lantai maupun
dengan membuat terminal berlantai 1,5 atau 2 di mana tiap lantai
mempunyai fungsi berbeda. Sistem terminal 1 lantai biasanya digunakan
untuk bandar udara berukuran kecil. Dalam sistem ini, tempat check in, gate
lounges, dan tempat pelayanan bagasi berada pada lantai yang sama.
Meskipun berada dalam 1 lantai, tempat keberangkatan, kedatangan
penumpang, serta pergerakan bagasi berada pada daerah yang terpisah.Pada
sistem terminal 1,5 lantai, lantai pertama digunakan untuk check in
penumpangdan pelayanan bagasi. Gate lounges dan fasilitas konsesi berada
pada lantai kedua. Pada sistem terminal 2 lantai, lantai pertama digunakan
untuk seluruh pelayanan kedatangan (arrival) dan lantai ke dua digunakan
untuk seluruh pelayanan keberangkatan (departure). Sistem ini cocok untuk

36
bandar udara yang besar / sibuk. Luas bangunan untuk setiap sistem dapat
diketahui dengan membagi luas kebutuhan ruang (luas lantai total) dengan
faktor luas lantai bangunan yang dapat dilihat pada berikut ini:
c. Kedalaman bangunan terminal.
Kedalaman bangunan terminal adalah jarak dari pintu masuk bangunan
terminalsampai dinding bagian dalam bangunan. Kedalaman bangunan
terminal penumpang pada umumnya ditentukan berdasarkan evaluasi
terhadap lay out check in counter, tipe baggage claim conveyor belt yang
digunakan, kepadatan penumpang di dalam bangunan terminal, dan
sebagainya. Standar kedalaman bangunan terminal dapat dilihat dalam tabel
berikut.
d. Curb Side
Curb side adalah area tempat naik turun penumpang dari dan ke
kendaraan pengantar/penjemput, ruang untuk berjalan dan menunggu
kedatangan kendaraan. Hal ini menyebabkan perlunya ruang lebar yang
memadai dan memungkinkan penumpang membawa bagasinya dengan
nyaman, dan panjang ruangnya cukup untuk memungkinkan kendaraan
(arus lalu-lintas) mendekat secara lancar.

2.11 Perkerasan
Perkerasan merupakan suatu struktur yang terdiri dari beberapa lapisan
yaitu kombinasi dari surface, base course dengan beberapa kekerasan dan daya
dukung yang berbeda. Struktur tersebut disusun sedemikian rupa diatas sub grade
dan berfungsi untuk menerima beban diatasnya yang kemudian mendistribusikan
ke lapisan sub grade. Karena itu tiap-tiap lapisan dari atas ke bawah harus cukup
kekerasan dan ketebalannya, sehingga tidak mengalami perubahan karena tidak
mampu menahan beban.
Seperti halnya perkerasan jalan raya, maka untuk lapangan terbang atau
bandar udara terdiri dari dua jenis perkerasan yaitu :

37
a. Perkerasan Lentur (Flexible pavement)
Merupakan perkerasan yang terbuat dari campuran aspal dan sgregat yang
terdiri dari surface, base course dan sub base course. Lapisan tersebut
digelar diatas lapisan tanah asli yang telah dipadatkan.
b. Perkerasan Kaku (Rigid pavement)
Merupakan struktur perkerasan yang terbuat dari campuran semen dan
agregat, terdiri dari slab-slab beton dengan ketebalan tertentu, dibawah
lapisan beton adalah sub base course yang telah dipadatkan dan ditunjang
oleh lapisan grade (tanah asli).

2.11.1 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur (Flexible pavement)


Beberapa metode yang dipergunakan dalam perencanaan perkerasan
landasan pacu, diantaranya adalah :
1. Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Dengan Metode CBR
Metode ini dikembangkan oleh Corps of Engineering, US Army. Kriteria
dasar dalam penggunaan metode ini adalah :
 Prosedur-prosedur test yang dipergunakan untuk komponen-
komponen perkerasan yang ada cukup sederhana
 Metodenya telah menghasilkan perkerasan yang memuaskan.
 Dapat dipergunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan
perkerasan lapangan terbang dalam waktu yang relatif singkat.
 Penggunaan metode CBR dapat dipergunakan untuk menentukan
besarnya ketebalan lapisan-lapisan Subbase Course, Base Course
dan Surface Course yang diperlukan, dengan memakai kurvakurva
design dan data-data test lapisan tanah yang ada.

Langkah-langkah penggunaan metode CBR adalah sbb :

 Menentukan pesawat rencana.


Penentuan didasarkan pada harga MTOW terbesar yang dimiliki
pesawat terbang yang akan dipergunakan pada landasan yang
direncanakan. Penentuan pesawat rencana dipergunakan untuk
mendapatkan data-data mengenai harga MTOW (Maximum Take

38
Off Weight), data tentang spesifikasi roda pendaratan, seperti :
beban satu roda (Pk), tekanan roda (pk), luas kontak area (A), jari-
jari kontak (r) dan panjang jarak antar roda (p).
 Menentukan harga ESWL (Equivalent Single Wheel Load) Untuk
dapat mencari harga ESWL, dicari telebih dahulu harga
pengimbang, dengan menggunakan rumus :

Dimana, r = Radius bidang kontak (inchi)


A = Luas bidang kontak (inchi2)
Nilai faktor lenturan pada masing-masing posisi spesifikasi roda
pendaratan dicari yang mempunyai harga tertinggi, baik untuk roda
tunggal maupun roda ganda. Dari hasil tersebut, diperoleh rasio
beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam susunan. (lihat
persamaan dibawah ini)

Dimana, Ps = Rasio ESWL roda tunggal


Pd = Rasio ESWL roda ganda
Fd = Faktor lenturan roda ganda
Fs = Faktor lenturan roda tunggal
Harga rasio beban tunggal terhadap keseluruhan roda dalam
susunan dikalikan dengan harga beban total pesawat terbang pada
susunan roda, diperoleh harga ESWL pesawat terbang.
 Menentukan CBR Subgrade, Subbase Course dan Base Course.
Penentuan harga CBR pada masing-masing lapisan perkerasan ini,
dimaksudkan untuk dapat menentukan tebal masing-masing lapisan
yang akan dihitung.
 Menentukan jumlah Pergerakan Pesawat (Annual Departure).
Penentuan jumlah Pergerakan Pesawat yang ada di bandara
(Annual Departure), dimaksudkan untuk dapat memperoleh harga

39
faktor perulangan αi dari Grafik 2.8 dengan mengetahui jumlah
roda pesawat rencana.
 Menghitung total tebal perkerasan masing-masing lapisan. Dengan
menggunakan rumus dari Corp of Engineers :

Dimana, t = Tebal total perkerasan (inchi; cm)


αi = Harga faktor perulangan (diperoleh dengan
menggunakan Grafik 2.8)
ESWL = Equivalent Single Wheel Load (diperoleh
dengan cara seperti diatas)
A = Luas kontak area (inchi; cm)

Sumber : merancang dan merencanakan lapangan terbang Ir.


Heru basuki

Grafik 2.8 Faktor Pengulangan Beban

40
Dengan memasukkan harga CBR untuk masing-masing lapisan
perkerasan, maka harga ketebalan untuk masing-masing bagian
perkerasan (Subbase Course, Base Course dan Surface
Course)dapat diketahui harganya.

2.11.2 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode FAA


Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan dalam
perencanaan lapangan terbang. Dikembangkan oleh badan penerbangan federal
Amerika, merupakan pengembangan metode CBR. Perencanaan perkerasan
lentur (flexible pavement) metode FAA dikembangkan oleh badan penerbangan
federal Amerika dan merupakan pengembangan metode CBR yang telah ada.
Jenis dan kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa
perhitungan. FAA telah membuat klasifikasi tanah dengan membagi dalam
beberapa kelompok, dengan tujuan untuk mengetahui nilai CBR tanah yang ada.
Perhitungan tebal perkerasan didasarkan pada grafik-grafik yang dibuat
FAA, berdasarkan pengalaman-pengalaman dari Corps of Enginners dalam
menggunakan metode CBR. Perhitungan ini dapat diuji sampai jangka waktu 20
tahun dan untuk menentukan tebal perkerasan ada beberapa variabel yang harus
diketahui :
 Nilai CBR Subgrade dan nilai CBR Subbase Course
 Berat maksimum take off pesawat (MTOW)
 Jumlah keberangkatan tahunan (Annual Departure)
 Type roda pendaratan tiap pesawat

Langkah-langkah penggunaan metode FAA adalah sbb :

 Menentukan pesawat rencana.


Dalam pelaksanaannya, landasan pacu harus melayani beragam tipe
pesawat dengan tipe roda pendaratan dan berat yang berbeda- beda,
dengan demikian diperlukan konversi ke pesawat rencana.
 Menghitung Equivalent Annual Departure.
Equivalent Annual Departure terhadap pesawat rencana dihitung
dengan rumus :

41
Dimana, R1 = Equivalent annual departure pesawat rencana
R2 = Equivalent Annual Departure, jumlah annual
departure dari semua pesawat yang dikonversikan ke
pesawat rencana menurut type pendaratannya.
= Annual Departure * Faktor konversi
W2 = Beban Roda Pesawat Rencana
W1 = MTOW * 95% * 1/n
n = Jumlah roda pesawat pada main gear
 Menghitung tebal perkerasan total.
Tebal perkerasan total dihitung dengan memplotkan data CBR
subgrade yang diperoleh dari FAA, Advisory Circular 150/5335-5,
MTOW ( Maximum Take Off Weight ) pesawat rencana, dan nilai
Equivalent Annual Departure ke dalam Grafik 2.9

Grafik 2.9 Penentuan Tebal Perkerasan untuk Dual Wheel

 Menghitung tebal perkerasan Subbase.


Dengan nilai CBR subbase yang ditentukan, MTOW, dan
Equivalent Annual Departure maka dari grafik yang sama didapat

42
harga yang merupakan tebal lapisan diatas subbase, yaitu lapisan
surface dan lapisan base. Maka, tebal subbase sama dengan tebal
perkerasan total dikurangi tebal lapisan diatas subbase.
 Menghitung tebal perkerasan permukaan ( surface )
Tebal surface langsung dilihat dari Grafik yang berupa tebal
surface untuk daerah kritis dan non kritis.

Grafik 2.10 Penentuan Tebal Base Course Minimum


 Menghitung tebal perkerasan Base Coarse.
Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase
Course dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Hasil
ini harus dicek dengan membandingkannya terhadap tebal Base
Coarse minimum dari grafik. Apabila tebal Base Coarse minimum
lebih besar dari tebal Base Coarse hasil perhitungan, maka
selisihnya diambil dari lapisan Subbase Course, sehingga tebal
Subbase Course-pun berubahMetode ini adalah metode yang
paling umum digunakan dalam perencanaan lapangan terbang.
Dikembangkan oleh badan penerbangan federal Amerika. Jenis dan

43
kekuatan tanah dasar (subgrade) sangat mempengaruhi analisa
perhitungan.

2.11.3 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode LCN


Metode LCN adalah metode perencanaan perkerasan dan evaluasi
landasan yang dirumuskan oleh United Kingdom Air Ministry Directory of Work,
kemudian prosedur perencanaannya diperbaiki oleh Directorateof Civil
Enginnering Development of United Kingdom Departement of The Enviroment.
Dalam prosedurnya kapasitas daya dukung perkerasan dinyatakan dalam angka
LCN. Konsepnya adalah bila angka LCN perkerasan lapangan terbang lebih besar
daripada LCN pesawat, maka pesawat dapat aman mendarat di lapangan tersebut.
Langkah-langkah penggunaan metode LCN adalah sbb :

1. Hitung harga ESWL (Equivalent Single Wheel Load).


Dalam menghitung harga ESWL ditentukan berdasarkan pada pesawat
rencana, dengan rumus :

Dimana, MTOW = Maximum Take Off Weight


n = Jumlah roda pesawat main gear
2. Tentukan harga LCN (Load Classification Number)
Dengan harga ESWL dan tekanan roda pesawat rencana yang sudah
diketahui, diplotkan pada grafik , sehingga didapat harga LCN.
3. Hitung tebal perkerasan total.
Ketebalan total pekerasan dapat diketahui dengan memplotkan harga LCN
pesawat rencana dan nilai CBR Subgrade pada grafik Kurva Perencanaan
Perkerasan Lentur Landasan.
4. Hitung tebal perkerasan Subbase Course.
Dengan menggunakan grafik yang sama, plotkan harga CBR Subbase
Course dan harga LCN pesawat rencana, didapat harga ketebalan lapisan
diatas Subbase Course (lapisan Surface Course dan lapisan Base Course).
Maka, tebal Subbase Course adalah sama dengan tebal perkerasan total
dikurangi dengan tebal lapisan diatas Subbase Course.

44
5. Hitung tebal perkerasan Base Coarse.
Tebal Base Coarse sama dengan tebal lapisan diatas Subbase Course
dikurangi tebal lapisan permukaan (Surface Course). Ketebalan lapisan
Base Coarse dapat dicari dengan menggunakan grafik yang sama,dengan
cara memplotkan harga CBR Subbase Course dan harga LCN pesawat
rencana.

2.12 Perencanaan Drainase


2.12.1 Kriteria Perencanaan Drainase
Kriteria yang digunakan untuk perencanaan drainase yang ada pada bandar
udara ada beberapa macam :
 Waktu Konsentrasi
Nilai waktu konsentrasi dihitung dengan rumus :
tc = t0 + td
Dimana : tc = Waktu konsentrasi (jam)
t0 = Waktu masuk (jam)

C = Koefisien Run Off


L0 = Panjang saluran terjauh (m)
S0 = Slope lahan

Δh = Beda tinggi (m)


td = Waktu aliran (jam)

 Intensitas Hujan
Dihitung dengan rumus:

45
Dimana : I = Intensitas hujan (mm/jam)
R = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
tc = Waktu konsentrasi (jam)
 Debit Limpasan
Untuk menghitung debit limpasan air hujan digunakan rumus:
Q = Cgab . Cs . I . A
Dimana : Q = Debit air hujan (m3/detik)
Cgab = Koefisien Run Off
Cs = Koefisien Tanah

I = Intensitas hujan (m/detik)


A = Luas daerah tangkapan (m2)
 Kapasitas Saluran
Debit aliran suatu saluran dinyatakan sebagai hasil perkalian dari
kecepatan aliran dan luas penampang, yang dinyatakan dalam
persamaan Manning. Persamaannya : Q = V . A
Dengan :

Dimana : Q = Kapasitas saluran (m3/detik)


V = Kecepatan aliran di saluran (m/detik)
A = Luas penampang basah (m2)
P = Keliling basah saluran (m)
S = Kemiringan dasar saluran
n = Koefisien kekasaran Manning

46
Bila Q kapasitas saluran > Q yang mengalir, maka dimensi saluran
sudah memenuhi.

2.12.2 Perencanaan Saluran Drainase


Dalam perencanaan drainase diperlukan studi pustaka, untuk mengetahui
dasar–dasar teori yang akan digunakan. Faktor–faktor hidrologi yang berpengaruh
dalam perencanaan saluran drainase adalah curah hujan dan intensitas curah
hujan. Curah hujan pada suatu daerah dataran merupakan salah satu faktor yang
menentukan besarnya debit limpasan air hujan yang akan terjadi pada suatu
dataran rendah atau yang menerimanya. Semakin besar curah hujan yang terjadi
pada suatu daerah dataran semakin besar pula limpasan air hujan yang akan
diterima daerah dataran tersebut. Begitupun sebaliknya, semakin kecil curah hujan
yang terjadi pada suatu daerah dataran semakin kecil pula limpasan air hujan yang
akan terjadi.

2.12.3 Curah Hujan Rata-Rata


Ada tiga macam metode yang umum dipakai untuk mengetahui besarnya
curah hujan rata-rata pada suatu DAS, yaitu sebagai berikut :
a. Metode Rata – Rata Aljabar
Cara menghitung rata-rata aritmatis (arithmetic mean) adalah cara yang
paling sederhana. Metode rata-rata hitung dengan menjumlahkan curah
hujan dari semua tempat pengukuran selama satu periode tertentu dan
membaginya dengan banyaknya tempat pengukuran. Jika dirumuskan
dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut :

di mana :
R = curah hujan rata-rata (mm)
R1, R2.....Rn = besarnya curah hujan masing-masing pos (mm)
n = banyaknya pos hujan

47
Gambar 2.11 Sketsa stasiun curah hujan cara rata-rata hitung

Metode rata – rata aljabar dipilih dengan pertimbangan jumlah pos


penakaran hujan terbatas atau cukup (lebih dari satu), untuk luas DAS
kecil (<500 km2), topografi bisa berupa pegunungan.

b. Metode Poligon Thiessen


Cara ini dikenal juga sebagai metode rata – rata timban (weighted). Cara
ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk
dengan menggambarkan garis – garis sumbu tegak lurus terhadap garis
penghubung antara dua pos penakar terdekat

di mana :
R = curah hujan rata-rata (mm)
R1, R2.....Rn = curah hujan masing-masing stasiun (mm)
A1, A2......An = luas areal poligon (km2)

48
Gambar 2.12 Pembagian daerah dengan cara Thiessen
Metode Poligon Thiesen dipilih dengan pertimbangan jumlah pos
penakaran hujan terbatas atau cukup (lebih dari satu), untuk luas
DAS sedang antara 500 s/d 5000 km2, topografi bisa berupa
dataran.
c. Metode Isohyet
Cara ini merupakan metode yang akurat untuk menentukan hujan rata –
rata namun diperlukan keahlian dan pengalaman. Cara ini
memperhitungkan secara aktual pengaruh tiap – tiap stasiun hujan.

di mana :

R = curah hujan rata – rata (mm)

R1, R2.....Rn = curah hujan rata – rata antar isohyet (mm)

A1, A2......An = luas areal antar isohyet (km2)

49
Gambar 2.13 Pembagian daerah cara garis Ishohyet

Metode Ishoyet dipilih dengan pertimbangan jumlah pos penakaran


hujan yang cukup, untuk luas DAS besar > 5000 km2, topografi
bisa berupa berbukit dan tidak beraturan.

50

Anda mungkin juga menyukai