Anda di halaman 1dari 19

A.

Konsep Individu dan Perilakunya

Menurut para ahli psikologi modern bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan, selain
dipandang sebagai makhluk biologis, juga makhluk unik yang berbeda dengan mkhluk hidup
lainnya di muka bumi. Manusia adalah sekaligus objek, serta makhluk individual sekaligus
sosial. Manusia pada umumnya tidak bersifat pasif, yaitu menerima keadaan dan tunduk
kepada suratan tangan atau kodrat-Nya, tetapi secara sadar dan aktif menjadikan dirinya
sesuatu. Ciri khas manusia adalah memiliki kebutuhan yang secara terus-menerus untuk
dipenuhinya.

Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secra utuh, menyangkut fisik,
emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk didalamnya adalah persepsi individu
tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu dengan orang lain maupun
lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta tujuan,
harapan, dan keinginan. Hal-hal lain yang pentig dalam konsep diri, yaitu:

1. Aspek utama dalam perkembangan identitas diri adalah nama dan panggilan anak.
2. Pandangan individu tentang dirinya dipengaruhi oleh bagaimana individu
mengartikan pandangan orang lain terhadap dirinya.
3. Suasana keluarga yang serasi atau harmonis dan berpandangan positif akan
mendorong kreaktivitas, menghasilkan perasaan yang positif dan berarti bagi
anak.
4. Penerimaan keluarga akan kemampuan anak sesuai dengan perkembangannya
sangat mendorong aktualisasi diri dan kesadaran akan potensi dirinya. Kepada
anak-anak disarankan agar seminimal mungkin menggunakan kata-kata jangan,
tidak boleh, dan nakal tanpa penjelasan lebih lanjut.

Seperti yang telah disebutkan manusia adalah makhluk bioloogis yang memiliki ciri-ciri
bernapas, membutuhkan makanan dan minuman, mengembangkan keturunan, tumbuh dan
kembang, serta bergerak. Secara alamiah manusia adalah makhluk yang sejak lahir tidak
dibekali alat-alat untuk bertahan hidup dalam lingkungannya. Sebagai makhluk biologis,
sebenarnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah. Modal utama manusia untuk dapat
bertahan dalam dunia ini karena memiliki akal dan kecerdasan.
Selanjutnya bahwa pola pertumbuhan dan perkembangan manusia sudah ditentukan sejak
masih dalam kandungan. Setiap sel tumbuh dan perkembangan sesuai dengan perkembangan
masing-masing, yang semuanya mengarah pada satu tujuan menjadi makhluk manusia
dengan organ-organ yang tersusun secara serasi.

Perilaku manusia tidak lepas dari proses pematangan organ-organ tubuh. Sebagai ilustrasi
bahwa seorang bayi belum dapat duduk atau berjalan apabila organ-organ tubuhnya belum
cukup kuat untuk menompang tubuh. Oleh karena itu, perlu pematangan tulang belakang
terutama tulang leher, punggung, pinggang, dan kelangkang, serta tulang kaki. Selain itu juga
seorang bayi tidak akan berjalan dulu sebelum dapat duduk, atau duduk dulu sebelum
tengkurap, dan sebagainya.

Perilaku individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi akibat adanya rangsangan
(stimulus), baik dalam dirinya (internal) maupun dari luar individu (eksternal). Pada
hakekatnyya perilaku individu mencakup individu yang tampak (over behavior) dan atau
perilaku yang tidak tampak (innert behavior atau covert behaviort).

Kaitannya dengan respons atau perilaku individu (organisme) terhadap stimulus, baik
internal maupun eksternal sebagaimana dikemukakan oleh Bimo Walgito (2001), dapat
diformulasikan secara sederhana sebagai berikut: S (stimulus)-O (organisme)-R (respons),
artinya: organisme aktif ambil bagian dalam menentukan respons.

Jadi, perilaku individu timbul sebagai akibat adanya interaksi antara rangsangan dan
organisme (individu). Menurut Bandura (1977) sebagaimana dikutip oleh Bimo Walgito
(2001), formulasi perilaku, dan peran perilaku terhadap lingkungan maupun organisme atau
individu dapat digambarkan sebagai berikut (namun, tidak menggunakan individu atau
organisme, melainkan person).

Konsep dan Teori Perilaku

Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Perilaku manusia
adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri (Seokidjo, N., 1993: 55). Secara operasional,
perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari
luar subjek tersebut (Seokidjo, N., 1993: 58).
Ensiklopedi Amerika, perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme terhadap
lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan
reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi
atau perilaku tertantu (Notoatmodjo, S., 1997: 60).

Umum, perilaku manusia pada hakekatnya adalah proses interaksi individu dengan
lingkungannya sebagai manifestasi hayati bahwa dia adalah makhluk hidup ( Sri Kusmiayati
dan Desminiarti, 1990: 1).

Menurut penulis, yang disebut perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena
adanya stimulus dan respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.

B. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Individu

Faktor Imitasi

Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Faktor ini telah diuraikan oleh
Gabriel Tarde, ia beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan
pada faktor imitasi saja. Peran imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Terbukti misalnya
pada anak- anak yang sedang belajar bahasa, seakan-akan mereka mengimitasi dirinya
sendiri, mengulang-ulangi bunyi kata-kata, melatih fungsi- fungsi lidah, dan mulut untuk
berbicara. Kemudian ia mengimitasi kepada orang lain, dan memang orang sulit belajar
bahasa tanpa mengimitasi orang lain, bahkan tidak hanya berbahasa saja, tetapi juga tingkah
laku tertentu, cara memberi hormat, cara berterima kasih, cara memberi isyarat, cara
berpakai, adat istiadat, dan lain-lainnya kita pelajari pada mula-mula mengimitasi. Juga cara
berpakaian, adat istiadat dan konvensasi-konvensasi lainnya faktor imitasilah yang
memegang peran penting.

Faktor Sugesti

Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis, baik yang datang dari diri sendiri,
maupun yang datang dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik dari
individu yang bersangkutan. Karena itu sugesti dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri sendiri atau sugesti yang datang dari dalam
diri individu yang bersangkutan.
b. Hetero-sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain.

Baik auto-sugesti maupun hetero-sugesti dalam kehidupan sehari-hari memegang


peranan yang penting. Banyak yang tidak diharapkan oleh individu disebabkan baik karena
auto-sugesti maupun hetero-sugesti

Faktor Identifikasi

Dalam psikologi identifikasi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang
lain, baik secara lahiriyah maupun bathiniyah. Misalnya identifikasi anak laki-laki untuk
sama seperti ayahnya atau anak perempuan untuk menjadi sama dengan ibunya.

Proses identfikasi, antara lain :


a. Mula-mula berlansung secara tidak sadar (secara dengan sendirinya)
b. Irrasional yaitu berdasarkan perasaan-perasaan atau kecendrungan-kecendrungan
dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional.
c. Identifikasi berguna untuk melengkapi sistem norma-norma, cita-cita, dan pedoman-
pedoman tingkah laku orang yang mengidentifikasi itu.

Sigmund Freud menjelaskan bahwa identifikasi adalah sebuah istilah untuk menguraikan
mengenai cara seorang anak belajar norma-norma sosial dari orang tuanya. Identifikasi
berarti kecendrungan atau keinginan dalam diri anak untuk menjadi sama seperti ayah atau
ibunya. Kecendrungan ini bersifat tidak sadar bagi seorang anak, dan tidak hanya merupakan
kecendrungan anak dalam bersifat lahiriyah saja tapi justru secara batin.

Faktor genetik atau faktor endogen


Faktor genetik keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan
perkembangan perilaku makhluk hidup itu. Faktor genetik berasal dari dalam diri individu
(endogen), antar lain:
 Jenis ras, setiap ras didunia memiliki perilaku yang spesifik, saling berbeda satu
dengan lainnya.

 Jenis kelamin, perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dai cara berpakaian
dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Pria berperilaku atas dasar pertimbangan
rasional atau akal, sedangkan wanita atas dasar pertimbangan emosional atau
perasaan. Perilaku pada pria disebut maskulin, sedangkan perilaku wanita disebut
feminin.

 Sifat fisik, kalau amati perilaku individu akan berbeda-beda karena sifat fisikny,
misalnya perilaku i dividu yang pendek dan gemuk berbeda dengan individu yang
memiliki fisik tinggi kurus.

 Sifat kepribadian. Salah satu pengertian kepribadian yang dikemukakan oleh Maramis
(1999) adalah “keseluruhan pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang sering
digunakan oleh seseorang dalam usaha adaptasi yang terus menerus terhadap
hidupnya”.
Kepribadian menurut masyarakat awam adalah bagaimana individu tampil dan
menimbulkan kesan bagi individu lainnya. Contoh: pemalu, pemarah, peramah,
pengecut, dan sebagainya.
Jadi, perilaku individu adalah manifestasi dari kepribadian yang dimilikinya
sebagai perbaduan antara faktor genetik dan lingkungannya. Perilaku individu tidak
ada yang sama karena adanya perbedaan kepribadian yang dimiliki individu, yang
dipengaruhi oleh aspek kehidupan, seperti pengalaman, usia, waktu, tabiat, sistem
norma, nilai, dan kepercayaan yang dianutnya.

 Bakat pembawaan. Bakat menurut Notoatmodjo (1997) yang mengutip pendapat


Willian B. Michell (1960) adalah “kemampuan individu untuk melakukan sesuatu
yang sedikit sekali bergantung pada latihan menganai hal tersebut.
Bakat merupakan interaksi dan faktor genetik dan lingkungan serta bergantung
pada adanya kesempatan untuk pengembangan. Contoh individu yang berbakat seni
lukis, perilaku seni lukisnya akan cepar menonjol apabila mendapat latihan dan
kesempatan dibandingkan individu yang tidak berbakat.

 Inteligensi, menurut Terman inteligensi adalah ”kemampuan untuk berpikir abstrak”


(Sukardi, 1997). Sedangkan Ebbinghaus mendefinisikan inteligensi adalah
“kemampuan untuk membuat kombinasi”. Dari batasan tersebut dapat dikatakan
bahwa inteligensi sangat beroengaruh terhadap perilaku individu. Oleh karena itu, kita
kenal ada individu yang inteligen, yaitu individu yang dalam mengambil keputusan
dapat bertindak tepat, cepat , dan mudah. Sebaiknya bagi individu yang memiliki
inteligensi rendah dalam mengambil keputusanakan bertindak lambat.

Faktor Eksogen atau faktor dari luar individu


a. Faktor lingkungan. Lingkungan di sini menyangkut segala sesuatu yang ada disekitar
individu, baik fisik, biologis maupun sosial. Ternyata lingkungan sangat berpengaruh
terhadap perilaku individu karena lingkungan merupakan lahan untuk perkembangan
perilaku.
Contoh:
 Individu yang bergaul dengan individu yang hidup di lingkungan hitam,
peerilakunya banyak diwarnai keadaan tersebut.
 Mahasiswa yang hidup di lingkungan kampus perilakunya dipengaruhi oelh
pemikiran ilmiah, rasional, dan intelektual.

b. Pendidikan. Secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu


sejak dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan
lingkungannya, baik secara formal maupun informal. Proses kegiaan pendidikan pada
dasarnya melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok.
Kegiatan pendidikan formal maupun informal berfokus pada proses belajar
mengajar, ddengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku, yaitu dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dari tidak dpat menjadi dapat.
Contoh:
 Individu yang berpendidikan S1, perilakunya akan berbeda dengan yang
berpendidikan SLTP.
 Individu yang berpendidikan perawat, perilakunya berbeda dengan yang
berpendidikan guru.
 Individu yang berpendidikan guru perawat, perilakunya berbeda dengan yang
berpendidikan guru SLTA.
 Agama, merupakan tempat mencari makna hidup yang terakhir atau
penghabisan. Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam
konstruksi kepribadian seseorang sangat berpengaruh dalam cara berpikir,
bersikap, bereaksi, dan berperilaku individu.
Seseorang yang mengerti dan rajin melaksanakan ajaran agama dalam
kehidupannya, akan berperilaku dana berbudi luhur sesuai dengan ajaran
agama yang diyakininya.
Penganut agama tertentu, akan menunjukkan perilaku berbeda dengan
penganut agama yang lain.

c. Sosial ekonomi, telah disinggung sebelumnya bahwa salah satu lingkungan yang
berpengaruh terhadap perilaku seseorang adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial
dapat menyangkut sosial budaya dan sosial ekonomi. Khusus menyangkut lingkungan
sosial ekonomi, sebagai contoh keluarga yang status ekonominya berkecukupan, akan
mampu menyadaiakan segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap perilaku individu-individu yang ada
didalam keluarga tersebut. Sebaliknya, keluarga yang sosial ekonominya rendah, akan
mengalami kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidup seari-hari. Oleh karena itu,
keluarga tersebut akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara, misalnya:
mengadaikan barang, meminjam uang, bon ke toko di dekat rumahnya, dan lain-lain.

d. Kubudayaan, menurut Mac Lever sebagaimana dikitip oleh Soerjono Soekanto (2001)
“Ekspresi jiwa terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni
kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan.
Koentjoroningrat (1990) memberikan batasan kebudayan adalah “keseluruhan
gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, serta dari hasil
budi dan karyanya itu”.
Dalam arti sempit kebudayaan diartikan sebagai kesenian, adat-istiadat atau
peradaban manusia. Ternyata hasil kebudayaan manusia akan mempengaruhi perilaku
manusia itu sendiri.
Contoh:
 Kebudayaan Jawa akan memperngaruhi perilaku masyarakat Jwa pada
umumnya dan orang Jawa pada khususnya.
 Kebudayaan suku bangsa tertentu yang terkenal dengan kahalusannya, akan
berbeda dengan kebudayaan suku bangsa lainnya yang dinilai keras.

e. Faktor-faktor lain
 Susunan saraf pusat memegang peranan penting karena merupakan sarana untuk
memindahkan energa yang berasal dari stimulus melalui neuron ke simpul saraf
tepi yang seterusnya akan berubah menjadi perilaku. Impuls-impuls saraf indra
pendengaran, penglihatan, pembau, pengecap, dan peraba, yang disalurkan dari
tempat masuknya stimulus melalui impuls-impuls saraf ke susunan saraf pusat,
yaitu otak dan setelah disadari melalui persepsi maka individu akan berperilaku.
 Persepsi merupakan proses diterimanya rangsang melalui penca indra, yang
didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang
ada di dalam maupun di luar dirnya. Melalui perssepsi dapat diketahui perubahan
perilaku seeseorang. Setiap individu kadang-kadang memiliki persepsi yang
berada walaupun mengamati objek yang sama.
 Emosi, Maramis (1999) menyebutkan bahwa emosi adalah “Manifestasi perasaan
atau efek keluar disertai banyak komponen fisiologik, dan biasanya berlangsung
tidak lama”. Perilaku individu dapat dipengaruhi emosi. Aspek psikologis yang
mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani. Perilaku
induvidu yang sedang marah, kelihatan mukanya merah.

Bentuk perilaku
Perilaku dapat diberikan batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap
rangsangan yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar
bentuk perilaku ada dua macam, yaitu:
1. Perilaku pasif (respons internal)
Perilaku yang sifatnya masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat
diamati secara langsung. Perilaku ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata.
Contoh:
 Berpikir
 Berfantasi
 Berangan-angan
 Mengetahui manfaat KB, namun tidak mau menjadi akseptor
 Menganjurkan orang lain untuk mengimunisasikan bayinya, akan tetapi
anaknya sendiri tidak diimunisasi.

2. Perilaku aktif (respons eksternal)


Perilaku yang sifatnya terbuka. Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati
langsung, berupa tindakan yang nyata.
Contoh:
 Seorang ibu tidak hanya mengajurkan orang lain untuk mengimunisasikan
bayinya, akan tetapi ibu tersebut membawa bayinya ke Puskesmas untuk
diimunisasi.
 Mengerjakan soal ulangan.
 Membaca buku pelajaran.

f. Domain perilaku
Menurut Benyamin Bloom yang dipaparkan oelh Notoatmodjo (1997), perilaku
manusia dapat dibagi ke dalam tiga domain.

1. Cognitive
Domain (Ranah
Kognitif)
2. Affective 3. Psychomotor
Domain (Ranah Domain (Ranah
Afektif) Psikomotor)
perilaku

Pengukuran domain perilaku:

1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan)


2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)
3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practive (keterampilan)

Menurut Ki Hajar Dewantara, perilaku manusia terdiri dari cipta, rasa, dan karsa.
Terbentuknya perilaku baru, khususnya pada orang dewasa dapat dijelaskan sebagai berikut.

Diawali dari cognitive domain, yaitu individu tahu terlebih dahulu terhadap stimulus
berupa objek sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada individu.

Affective domain, yaitu timbul respons batin dalam bentuk sikap dari individu
terhadap objek yang diketahuinya. Berakhir pada psychomot domian, yaitu objek yang telah
diketahui dan disadari sepenuhnya yang akhirnya menimbulkan respons berupa tindakan.
Cognitive domain affective domain psychomotor domain

Dalam kenyataannya, stimulus yang diterima oleh subjek dapat langsung


menimbulkan tindakan, tanpa mengetahui makna stimulus yang diterima. Singkatnya,
tindakan seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan maupun sikap. Selanjutnya akan
diuraikan secara ringkas ketiga domain tersebut.

Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khusunya
mata dan telinga terhadap objek tertentu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari
pengetahuan umumnya bersifat langgeng.

Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, baik yang
bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat langsung dilihat, tetapi
hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup tersebut. Sikap secara
realistas menunjukkan adanya kesesuaian respons terhadap stimulus tertentu.

C. Iteraksi Individu dengan Lingkungan

Pada umumnya kita dapatkan melalui hubungan kita dengan orang lain. Jika seseorang
bertanya pada anda bangaimana kehidupan sosial anda berlangsung, mungkin anda menjawab
bahwa anda akan berpergian dengan seseorang yang menarik, bahwa anda menghadiri pesta
Jum’at malam, dan sebagainya. Dengan kata lain, kita cenderung menerapkan istilah “sosial”
untuk interaksi yang bersifat hiburan-bermain dengan orang lain. Namun sesungguhnya,
istilah itu berlaku untuk berbagai interaksi yang meliputi dua atau lebih orang. Pesta
merupakan kesempatan sosial, tetapi begitu juga halnya berbincang-bincang dengan ibu anda,
atau meminta tolong tetangga anda untuk menyiram tanaman anda selagi anda pergi berlibur.

Maka, orang membutuhkan orang lain, dan konsekuensinya mereka cenderung


menghabiskan sebagian besar dari waktu jaganya dengan berinteraksi sosial. Apa pengeruh
semua kegiatan sosial ini pada kita? Kegiatan sosial itu mengajarkan pada kita keyakinan,
nilai, dan perilaku yang dapat diterima orang disekitar kita dan yang penting bagi interaksi
sosial dengan mereka. Tanpa sosialisasi, manusia tidak hanya gagl menjadi “sosial” tetapi
juga menjadi apa yang kita anggap sebagai “manusia” dalam pengertian psikologi dan
perilaku (Clausen, 1968). Sifat dasar manusia adalah sesuatu yang benar-benar sosial.
Jauhkan ‘kesosialan’ itu dan anda menjauhkan sebagian besar dari ‘kemanusiaan’. Semua
yang anda tinggalkan adalah jasmani yang kasar. Singkatnya, interaksi ada atau tidak ada,
memperkokoh atau memperlemah, dapat membentuk dan merusak diri. Untuk lebih baik atau
buruk, seperti yang dinyatakan Mead, kita harus benar-benar sosial.

a. Tahap-tahap Interaksi

Menurut DeVito (1995), seseorang berinteraksi melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Tahapan kontak
Dalam tahapan kontak, seseorang mengadakan kontak perceptual dengan
orang lain, dalam melalui penglihatan, pendengaran, atau pembauan. Jika orang
mengadakan kontak dengan orang lain karena orang lain menarik perhatiaannya,
karena cantik, karena gagah, dan sebagainya, maka kontak denikian adalah kontak
penglihatan.

2. Tahapan ketertiban
Dalam tahapan ketertiban, seseorang mulai mengadakan penjajaakan lebih
lanjut.

3. Tahapan keintiman
Dalam tahapan keintiman, interaksinya lebih intens. Pada umumnya, ada
komitmen interpersonal, yaitu keduanya komit satu dengan yang lain dan masih
bersifat prifancy
D. Pengertian Tingkah Laku Menyimpang.
Menurut Sarlito (1989:197) mengemukakan bahwa “penyimpangan perilaku adalah
keseluruhan atau semua tingkah laku yang menyimpang dari yang berlaku dalam
masyarakat yaitu yang melanggar norma-norma agama, etik, peraturan sekolah,keluarga
dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat diatas, maka suatu perbuatan dikatakan sebagai perilaku yang
menyimpang atau deviant behavior jika rnyata perbuatan tersebut bertentangan dengan
norma hukum, norma agama dan norma-norma lainnya yang berlaku dalam masyarakat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1989:11) yang berpendapat bahwa
“penyimpangan perilaku remaja adalah perilaku remaja yang timbul karena
ketidakseimbangan antara nilai-nilai social budaya dengan norma-norma atau apabila tidak
ada keselarasan antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-
cita.

Adapun pengertian tingkah laku menyimpang lainnya yang dikemukakan menurut Hurlock
(1998) menjelaskan bahwa tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku yang dianggap
tercela, tingkah laku yang melanggar aturan-aturan serta nilai-nilai social.

Jadi berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkah laku
menyimpang adalah tingkah laku yang dianggap tercela, melanggar norma-norma, nilai-nilai
social yang dihasilkan dari suatu stimulus negative sehingga menyebabkan respon terhadap
tingkah laku individu.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Menyimpang dan Usaha-Usaha


Penanggulangannya.
a) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku menyimpang.

Menurut Wilnes dalam bukunya punishment and reformation sebab-sebab


penyimpangan/kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan
yang dibawa sejak lahir).
2. Faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan
rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi.

Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan beberapa penyebab terjadinya penyimpangan


seorang individu (faktor objektif), yaitu

1. Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan. Seseorang yang tidak sanggup


menyerap norma-norma kebudayaan ke dalam kepribadiannya, ia tidak dapat
membedakan hal yang pantas dan tidak pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari
proses sosialisasi yang tidak sempurna, misalnya karena seseorang tumbuh
dalam keluarga yang retak (broken home). Apabila kedua orang tuanya tidak bisa
mendidik anaknya dengan sempurna, maka anak itu tidak akan mengetahui hak dan
kewajibannya sebagai anggota keluarga.
2. Proses belajar yang menyimpang. Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang
karena seringnya membaca atau melihat tayangan tentang perilaku menyimpang. Hal
itu merupakan bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan karena
proses belajar yang menyimpang. Karier penjahat kelas kakap yang diawali dari
kejahatan kecil-kecilan yang terus meningkat dan makin berani/nekad merupakan
bentuk proses belajar menyimpang.
3. Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial. Terjadinya ketegangan
antara kebudayaan dan struktur sosial dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang.
Hal itu terjadi jika dalam upaya mencapai suatu tujuan seseorang tidak memperoleh
peluang, sehingga ia mengupayakan peluang itu sendiri, maka terjadilah perilaku
menyimpang.
4. Ikatan sosial yang berlainan. Setiap orang umumnya berhubungan dengan
beberapa kelompok. Jika pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang
menyimpang, maka kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku
menyimpang.
5. Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang. Seringnya
media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak kejahatan (perilaku
men yimpang). Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar dari sub-kebudayaan
yang menyimpang.

Menurut Philip Graham dalam (Sarlito Wirawan Sarwono 1994 : 199-200 ) penyebab
peilaku menyimpang remaja dapat digolongkan menjadi 2 faktor, Yaitu :

1) Faktor lingkungan (Faktor Eksternal) :


a. Malnutrisi ( kekurangan gizi)
b. Kemiskinan di kota-kota besar
c. Gangguan lingkungan (populasi, kecelakaan lalu lintas, bencana alam dan lain-lain)
d. Migrasi ( urbanisasi, pengunsian karena perang dan lain-lain)
e. Faktor sekolah ( kesalahan mendidik, faktor kurikulum dan lainlain)
f. Keluarga yang bercerai-berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama dan lain-
lain)
g. Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga :Kematian orang tua, Orang tua yang
sakit berat atau cacat, Hubungan antar keluarga tidak harmonis, Orang tua sakit jiwa,
Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, tempat
tinggal tidak memenuhi syarat dan lain-lain.

2) Faktor pribadi (Faktor Internal) :

a. Faktor bakat yang mempengaruhi tempramen (menjadi pemarah, heperaktif dan


lain-lain)
b. Cacat tubuh
c. Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri

Berdasarkan pendapat diatas, disimpulkan bahwa faktor penyebab penyimpangan


perilaku remaja terbagi atas dua faktor yaitu lingkungan (Eksternal) dan factor pribadi
(Internal). Penyimpangan karena faktor lingkungan dapat disebabkan oleh kekurangan
gizi, kemisikinan, gangguan lingkungan, kesalahan pendidikan di sekolah, keadaan
keluarga yang tidak kondusif dan adanya gangguan dalam pengasuhan dalam keluarga.
Gangguan pengasuhan anak oleh keluarga misalnya kematian orang tua, orang tua sakit,
cacat dan keadaan keadaan perekonomian keluarga. Sedangkan faktor pribadi bisa
disebabkan oleh faktor bakat, cacat tubuh dan ketidakmampuan anak dalam
menyesuaikan diri.

b). Usaha-usaha penanggulangan perilaku menyimpang.

Menurut Rogers (dalam Adam dan Gullotta, 1983: 56-57) ada lima ketentuan yang harus
dipenuhi untuk membantu remaja :
1. Kepercayaan yaitu remaja harus percaya kepada orang yang membantu yang
membantunya (orang tua, guru, psikolog, ulama, dan sebagainya), ia harus yakin
bahwa penolong ini tidak akan membohonginya adan bahwa kata-kata penolong
memang benar adanya. Untuk memenuhi ketentuan pertama ini, sering kali tenaga
professional (psikolog, konselor) lebih efektif daripada orangtua atau gurunya sendiri
hal ini dikarenakan remaja telah memiliki penilaian tertentu kepada orang tua atau
guru tidak akan dipercayanya lagi. Di pihak lain, tenaga professional ini tidak dikenal
oleh remaja kecuali dalam jam-jam konseling saja. Dengan demikian, kata-kata
psikolog atau konselor itu lebih bisa dipercayainya karena tidak dibandingkannya
dengan tingkah laku sehari-hari dari psikolog atau konselor itu sendiri. Walaupun
demikian, kepada psikolog atau konselor atau tenaga professional lainnya perlu
dicarikan akal terlebih dahulu untuk membujuk remaja itu, misalnya dengan alasan tes
bakat atau untuk membantu psikolog atau konselor dalam memecahkan persoalan
orang tua.
2. Kemurnian hati yaitu remaja harus merasa bahwa penolong itu sungguh-sungguh mau
membantunya tanpa syarat. Ia tidak suka kalau orang tua, misalnya mengatakan:
“Bener deh, Mama saying sama kamu dan Mama bantu kamu, tapi kamu juga mesti
ngerti dong. Pelajaranmu itukan pentin. Pelajaranmu dulu utamakan, nanti yang
lainnya mama bantu deh. Inikan buat kepentingan kamu sendiri”. Buat remaja kalau
membantu, bantu saja tidak perlu ditambahi “tetapi-tetapi”. Karena itulah remaja
sering meminta nasihat dari temannya sendiri. Yang sering dijadikan sasaran untuk
meminta bantuan adalah rubik-rubik konsultasi di berbagai majalah atau radio.
Walaupun sering tidak tuntas karena terbatasnya ruangan atau waktu dan terbatasnya
informasi yang diberikan oleh penanya.
3. Kemampuan mengerti dan menghayati perasaan remaja (emphaty) perasaan remaja.
Dalam posisi yang berbeda antara anak dan orang dewasa (perbedaan usia, perbedaan
status, perbedaan cara berpikir dan sebagainya) sulit bagi orang dewasa (khususnya
orang tua) untuk berempati pada remaja karena setiap orang (khususnya yang tidak
terlatih) akan cenderung untuk melihat segala persoalan dari sudut pandangnya sendiri
dan mendasarkan penilaian dan reaksinya pada pandangannya sendiri itu. Di pihak
remajanya sendiri ada kecenderungan sulit untuk menerima uluran tangan orang
dewasa karena ia tidak ada empati terkadung di dalam uluran tangan itu.
4. Kejujuran. Remaja mengharapkan penolongan menyampaikan apa adanya saja,
termasuk hal-hal yang kurang menyenangkan. Apa yang salah dikatakan salah, apa
yang benar dikatakan benar. Yang tidak bisa diterima adalah jika da hal-hal yang pada
ia disalahkan, tetapi pada orang lain atau orangtuanya sendiri dianggap benar.
Kebiasaan orang tua untuk membohongi remaja lama kelamaan akan meruntuhkan
ketentuan pertama dan utama dalam rangka membantu remaja, yakni kepercayaan
remaja itu sendiri terhadap penolongnya.
5. Mengutamakan persepsi remaja sendiri. Sebagaimana halnya dengan semua orang
lainnya, remaja akan memandang sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. Kemampuan
untuk memahami pandangan remaja, serta seluruh perasaan yang ada dibalik
pandangan itu, merupaka modal untuk membangun empati terhadap remaja.
Dalam praktiknya, ada beberapa tekniuk yang bisa dilakukan oleh tenaga
professional dalam menangani masalah remaja (Adams & Gullotta, 1983):
1. Penanganan individual.
Remaja ditangani sendiri, tanpa ada tatap muka empat mata dengan psikolog atau
konselor. Penanganan individual ini dapat dilakukan dengan :
a. Pemberian petunjuk atau nasihat (guidance). Konselor ataupun psikolog akan
memanfaatkan pengetahuan yang lebih banyak dari klien untuk memberikan
informasi atau mencarikan jalan keluar mengenai hal-hal dan masalah-masalah
yang belum diketahui oleh kliee. Misalnya tentang cara belajar, seksualitas dan
lain-lain
b. Konseling. Konselor atau psikolog tidak menentukan dirinya pada posisi yng
lebih tahu daripada kliennya, memecahkan persoalan. Tujuan konselor untuk
menmjadi mitra klien sebagai tempat.
c. Psikoterapi. Di sini ahlinya biasanya adalah psikolog atau psikeater yang telah
mendapatkan latihan khusu. Keterampilan khusus diperlukan karena teknik ini
memang lebih sukar daripada dua teknik sebelumnya dan kasus-kasus yang
ditangani pun lebih berat. Psikoterapi adalah menyembuhkan jiwa yang
terganggu, mulai dari gangguan ringan seperti stress hingga gangguan yang berat
seperti psikoneurosis dan yang sangat berat seperti psikosis. Sasarannya adalah
mengubah struktur kejiwaan klien agar ia mampu untuk lebih menyesuaikan diri
terhadap lingkungannya. Dalam hubungan ini ada bebrapa aliran psikoterapi,
yaitu:
1. Terapi tingkah laku yang berorientasi pada aliran behaviourisme. Tujuannya
menghilangkan perilaku yang mengganggu dengan memberikan latihan-
latihan sedemikian rupa, sehingga tingkah laku yang mengganggu itu hilang.
Prinsipnya adalah memberikan hukuman setiap kali tingkah laku yang
mengganggu itu muncul dan memberikan ganjaran jika tingkah laku positif
yang muncul.
2. Terapi psikoanalitik. Menggunakan teori psikoanalisis dari Sigmund
freudyang bertujuan untuk menjelajahi alam ketidaksadaran klien, sampai
faktor penyebab gangguan terbongkar. Teknik ini memerlukan keahlian yang
sangat tinggi dan makan waktu, biaya dan tenaga yang banyak. Di Indonesia
teknik ini jarang dilakukan.
3. Terapi humanistik. Tujuannya adalah membantu klien untuk menerima
dirinya sendiri, menyadari potensi-potensinya dan mengembangkannya secara
optimal, menumbuhkan kepercayaan diri dan belajar untuk puas pada apa
yang telah dicapainya.
4. Terapi transpersonal. Biasanya dilakukan oleh rohaniawan atau orang-orang
“pinter” dan ahli–ahli yang menganut aliran khusus, seperti zen budhisme,
meditassi transedental, dan dipraktikan juga oleh beberapa ulama islam.
Tujuannya untuk mengajak klien menempatkan dirinya sebagai hal yang
wajar karena itu adalah kehendak daripada suatu sistem yang lebih besar dan
cara untuk mengatasinya adalah mengembalikan diri pada sistem yang besar
itu dengan berdo’a bermeditasi dan sebagainya. Di Indonesia salah satu
lembaga yang menggunakan teknik ini untuk menerapi penderita
ketergantungan narkoba dan alcohol pada remaja adalah Pondok Remaja
Inabah dari Pesantren Suryalaya di Ciamis.

2. Penanganan keluarga.

Dalam rangka menangani masalah remaja adakalanya dilakukan terapi


sekaligus terhadap seluruh atau sebagaian anggota keluarga (Ayah, Ibu, dan anak-
anak). Biasanya hal ini dilakukan jika dinilai bahwa masalah yang dihadapi remaja
berkaitan erat dengan perilaku atau cara-cara pendekatan yang dilakukan oleh orang
tua atau anggota keluarga lainnya di rumah terhadap remaja yang bermasalah itu.
Tujuannya agar keluarga sebagai kesatuan yang utuh bisa berfungsi lebih baik dan
setiap anggota keluarga bisa menjalankan perannya masing-masing yang saling
mendukung dan saling mengisi dengan anggota keluarga lainnya. Dasar terapi
keluarga ini antara lain adalah teori lapangan dari Kurt Lewin, biasanya juga
dikombinasikan dengan terapi individual.
3. Penanganan kelompok.

Biasanya konselor atau psikolog memilih orang-orang yang persoalannya


sama, keluhannya sama, usia atau latar belakangnya sama untuk dijadikan satu dalam
kelompok terapi. Konselor atau psikolog bertugas merangsang anggota terapi
kelompok untuk bertukar pikiran, saling mendorong, memotivasi, memcahkan
persoalan dan sebagainya. Dengan terapi kelompok maka masing-masing bisa belajar
dari anggota kelompok dan menyadari bahwa ia tak sendiri dalam menghadapi
masalahnya.
4. Penanganan pasangan

Jika dikehendaki terapi melalui hubungan yang intensif antara dua orang, bisa
juga dilakukan terapi pasangan. Klien ditangani berdua dengan temannya,
sahabatnaya atau salah satu anggota keluarganya dan sebagainya. Maksudnya adalah
agar masing-masing bisa betul-betul menghayati hubungan yang mendalam, saling
memberi, memahami, membela dan sebagainya.

Penyimpangan perilaku yang hampir tidak mungkin disembunyikan adalah skizofrenia,


khususnya jika ada riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama. Ada
kontroversi terhadap penanganan gangguan jiwa ini, yang pertama mengatakan bahwa lebih
baik diserahkan kepada rumah sakit, tetapi mengingat bahwa terkadang pelayanan dan
penanganan di rumah sakit terkadang sangat tidak manusiawi maka lebih baik jika ditangani
sendiri di rumah, diperlakukan dengan kasih saying sebagaimana layaknya manusia. Akan
tetapi terkadang anggota keluarga tidak tau harus berbuat apa jika penderita sedangb
mengamuk. Yang kemudian akan melakukajnn pemasungan.

Perilaku yang memerlukan penanganan medis selanjutnya adalah pengguna narkoba dan
alkohol. Terapinya adalah mengurangi sedikit demi sedikit dosis pemberian zat-zat sambil
memberi obat-obat lain untuk menanggulangi efek sampingnya. Baru setelah keadaannya
reda dapat diajak komunikasi dan dilakukan psikoterapi.

Penyimpangan perilaku lain yang juga memerlukan penanganan medis adalah Anorexia
nervosa. Walaupun penyimpangan ini tergolong psikoneurosis, tetapi terapi medis diperlukan
untuk menjaga tubuh penderita agar tidak semakin buruk dan kemudian memulihkannnya
kembali. Sementara terapi medis di berikan, psikoterapi harus di langsungkan yaitu dengan
teknik konseling untukmengembangkan kemampuan penderita untuk memecahkan sendiri
masalahnya dan mempunyai citra yang positif tentang dirinya sendiri dan dengan
dikombinasikan terapi behaviourisme.
Di sisi lain ada jenis-jenis penyimpangan perilaku atau gangguan kejiwaan yang semata-mata
hanya memerlukan penanganan psikologis. Misalnya kecenderungan bunuh diri, penderita
harus dijauhkan dari segala benda dan kemunmgkinan untuk melakukanj bunuh diri
kemudian diajak berbicara tentang masalahnya. Konselor perlu dengan serius menanggapi
niatnya untuk bunuh diri dan menggali motivasi yang ada di belakangnya, kemudian diajak
berbicara hal-hal yang menyenangkan dalam hidupnya. Membenarkan beberapa tindakan
yang pernah dilakukan penderita. Bersikaplah optimis dan suportf. Akhirnya buatlah suatu
daftar anggota keluarga, teman, kerabat, dan tenaga-tenaga professional di sekitar penderita
yang seawaktu-waktu bisa dimintai bantuan dalam keadaan darurat (Jensen, 1985).

Penyimpangan-penyimpangan lain seperti stress dan depresi bisa dibantu dengan teknik
guidance (penasihatan) atau konseling, sedangkan jenis gangguan seperti phobia,
obsesikompilasi bisa dibantu dengan teknik terapi tingkah laku (behaviuoristik).
Penyimpanagn perilaku remaja, khususnya yang tergolong ketidakmampuan penyesuaian
diri, stress atau psikoneurosis yang akan hilang sendiri walaupun tanpa penanganan secara
khusus. Hal ini dimungkinkan karena jiwa remaja yang masih berkembang dan belum stabil.
Untuk itu, jika orang tua atau wali mengamati adanya perilaku menyimpang satau gangguan
kejiwaan pada remaja itu sebaiknya mereka meminta bantuan tenaga professional.

Anda mungkin juga menyukai

  • DCM
    DCM
    Dokumen7 halaman
    DCM
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • DCM
    DCM
    Dokumen7 halaman
    DCM
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • DORONGAN
    DORONGAN
    Dokumen4 halaman
    DORONGAN
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN HASIL ASSESMENT
    LAPORAN HASIL ASSESMENT
    Dokumen40 halaman
    LAPORAN HASIL ASSESMENT
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Mental
    Kesehatan Mental
    Dokumen1 halaman
    Kesehatan Mental
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • Makalah ICT
    Makalah ICT
    Dokumen15 halaman
    Makalah ICT
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat
  • Makalah ICT
    Makalah ICT
    Dokumen15 halaman
    Makalah ICT
    Haura Adilla
    Belum ada peringkat