UNIVERSITAS TADULAKO
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
OLEH :
RAHMAWATI DALLE
F 121 16 094
PALU
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT. Atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga tugas Geodinamika yang berjudul “Aktifitas Tektonik di
Sulawesi barat (Lengan Selatan) dan Selat makassar”
Semoga apa yang dilakukan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat
bernilai ibadah disisi Allah SWT. Aamiin.
RAHMAWATI DALLE
F 121 16 094
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
1.2.Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
Untuk mengetahui Aktifitas Tektonik di Sulawesi barat (Lengan Selatan) dan
Selat makassar
1.3. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yaitu dengan menggabungkan antara geologi
regional hasil peneliti terdahulu seperti data struktur dan tektonik regional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Geodinamika
Apakah geodinamika itu, Geodinamika adalah studi tentang
proses-proses dasar fisika untuk memahami lempeng tektonik dan
berbagai fenomena geologi (Turcotte dan Schubert, 2002). Melalui
pendekana-pendekatan di dalam geodinamika, dapat diketahui segala
aspek yang berkaitan dengan proses dinamis pada lapisan lapisan bumi.
Terutama menyangkut tentang lempeng litosfer. Proses-proses yang
berkaitan dengan lempeng litosfer sangat penting untuk diketahui agar
teori-teori mengenai proses dinamis pada kerak bumi dapat selaras dan
dengan pendekatan-pendekatan yang ada, dapat pula dipahami tentang
proses pembentukan berbagai bentuk topografi di kerak bumi.
Lempeng tektonik menjadi pembahasan yang cukup masif di dalam
geodinamika. Lempeng tektonik merupakan suatu medel dimana kulit luar
dari bumi dibagi menjadi beberapa lempeng tipis dan rigid yang bergerak
relatif antara satu dan yang lain. Pergerakan relatif ini memiliki kecepatan
dengan derajat puluhan milimeter per tahun.
2. Batas Konvergen
Terjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah
kerak bumi, yang mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu
sama lain (one slip beneath another). Wilayah dimana suatu lempeng
samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau lempeng samudra lain
disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman
inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan
parit samudra (oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.
Zona konvergensi ant dua lempeng adalah zona deformasi,
pembentukan pegunungan, dan aktivitas metamorfose. Jika lempeng
penahan berupa kerak benua, proses kompresi mengakibatkan perbatasan
lempeng meng- alami deformasi menjadi jalur pegunungan lipatan dan
akar pegunungan yg dlm mengalami proses metamor- fose. Zona
konvergensi biasanya ditandai oleh palung laut dalam dan gerakan
penunjaman (subduksi) lempeng shg membangkitkan aktivitas seismik yg
tinggi.
Gambar : Batas konvergen tektonik lempeng
3. Batas Transform
Terjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide
each other), yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak
saling memberai maupun saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal
sebagai sesar ubahan-bentuk (transform fault).
Jika dua lempeng bertemu pada suatu sesar, keduanya dapat bergerak
saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser.Umumnya, gerakan
ini berlangsung lambat dan tidak dapat dirasakan oleh manusia namun
terukur sebesar 0-15cm pertahun.Kadang-kadang, gerakan lempeng ini
macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang
berlangsung terus sampai pada suatu saat batuan pada lempeng tektonik
tersebut tidak lagi kuat menahan gerakan tersebut sehingga terjadi pelepasan
mendadak yang kita kenal sebagai gempa bumi.
Geologi daerah bagian timur dan barat Sulawesi Selatan pada dasarnya
berbeda, dimana kedua daerah ini dipisahkan oleh sesar Walanae. Di masa
Mesozoikum, basement yang kompleks berada di dua daerah, yaitu di bagian
barat Sulawesi Selatan dekat Bantimala dan di daerah Barru yang terdiri dari
batuan metamorf, ultramafik dan sedimen. Adanya batuan metamorf yang sama
dengan batuan metamorf di pulau Jawa, pegunungan Meratus di Kalimantan
tenggara dan batuan di Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa basement kompleks
Sulawesi Selatan mungkin merupakan pecahan fragmen akhibat akresi kompleks
yang lebih besar di masa awal Cretaceous (Parkinson, 1991). Adapun sedimen-
sedimen di masa akhir Crateceous mencakup formasi Balangbaru dan Marada
berada di bagian barat dan timur daerah Sulawesi Selatan, dimana formasi
Balangbaru tidak selaras dengan basement kompleks, terdiri dari batuan sandstone
dan silty-shales, sedikit batuan konglomerat, pebbly sandstone dan breksi
konglomerat, sedangkan formasi Marada terdiri dari campuran sandstone,
siltstones dan shale (van Leeuwen, 1981), dimana unit-unit formasi Balangbaru
berisi struktur khas sedimen aliran deposit, termasuk debris flow, graded bedding
dan indikasi turbidit. Batuan vulkanik berumur Paleosen terdapat di bagian timur
daerah Sulawesi Selatan dan tidak selaras dengan formasi Balangbaru. Di daerah
Bantimala batuan vulkanik ini disebut Bua dan di daerah Biru disebut Langi.
Formasi ini terdiri dari lava dan endapan piroklastik andesit dengan komposisi
trachy-andesit dengan sisipan limestone dan shale (van Leeuwen, 1981). Sifat
calc-alkali dan unsur tanah tertentu menunjukkan bahwa batuan vulkanik
merupakan hasil subduksi dari arah barat (van Leeuwen, 1981).
Bagian teratas formasi Camba yaitu batuan vulkanik Camba yang terletak
di bagian barat, terdiri dari breksi vulkanik dan konglomerat, lava dan tuf
interbedded dengan marine sedimen. Foraminifera dating menduga batuan
vulkanik Camba beumur akhir Miosen. Batuan vulkanik Parepare adalah sisa-sisa
gunung strato-volcano yang terdiri aliran lava dan breksi piroklastik berumur
akhir Miosen. Aliran lava yang menengah untuk asam dalam komposisi. Batuan
vulkanik Plio/Pliestocene gunung strato-volcano Lompobatang terletak paling
selatan daerah Sulawesi Selatan dengan ketinggian 2.871 m. Batuan vulkanik ini
terdiri dari silika yang tidak tersaturasi dalam alkali potassic dan asam silika yang
tersaturasi dengan aliran lava shoshonitic dan breksi piroklastik. Pada pertengahan
Miosen sampai dengan Pleistosen batuan vulkanik Sulawesi Selatan mencakup
formasi Camba, memiliki sifat alkali sebagai akibat dari peleburan parsial mantel
atas yang kaya akan unsur-unsur yang tidak kompatibel dengan metasomatism.
Hal ini mungkin berhubungan dengan subduksi sebelumnya di awal Miosen
dalam konteks intraplate distensional. Sifat alkali gunung api ini diduga
disebabkan oleh asimilasi berlebihan dari limestone/batu gamping tua yang
mencair dan bergabung dengan material benua kedalam subduksi busur vulkanik.
Batuan magmatis berumur Neogen di bagian barat daerah Sulawesi Tengah
berhubungan erat dengan penebalan dan pelelehan litosfer. Sifat bimodal dari
batuan Igneous berumur Neogen di daerah ini diperkirakan dari pencairan mantel
peridotit dan kerak yang menghasilkan komposisi alkalin basaltik (shoshonitic)
dan granitik yang mencair. Pada sendimentasi akhir Miosen ditandai dengan
perkembangan formasi Tacipi. Formasi Walanae secara lokal tidak selaras dengan
formasi Tacipi, dimana formasi Walanae diperkirakan berumur pertengahan
Miosen sampai dengan Pliosen. Di bagian Timur Sengkang Basin, pembentukan
Walanae dapat dibagi menjadi dua interval, yaitu interval yang lebih rendah yang
terdiri dari batuan mudstone yang berumur calcareous dan interval yang bagian
atas yang lebih arenaceous. Batu gamping (Limestone) di ujung selatan daerah
Sulawesi Selatan dan yang berada di Pulau Selayar yang disebut selayar
limestone, merupakan bagian formasi Walanae. Batuan selayar limestone terdiri
dari coral limestone, calcarenite dengan sisipan napal dan sandstone. Unit
karbonat ini diperkirakan berumur Miosen sampai dengan Pliosen. Hubungan
formasi Walanae dan Selayar limestone terdapat di Pulau Selayar. Terrace,
aluvial, endapan danau dan endapan pantai terjadi secara lokal di Sulawesi
Selatan, dimana pengangkatan Sulawesi Selatan ditandai dengan terangkatnya
deposit terumbu karang (van Leeuwen 1981).
Djuri, Sudjatmiko, Bachri, S., dan Sukido. 1998. Peta Geologi Lembar Majene
dan Bagian Barat Lembar Palopo, Sulawesi, skala 1:250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Guntoro, A. 1999. The formation of the Makassar Strait and the separation
between SE Kalimantan and SW Sulawesi. J. Asian Earth Sci., 17:79–98.
Van Leeuwen, T. M., 1981, The geology of Southwest Sulawesi with special
reference to the Biru area, Spec. Publ. Nop. 2, 1981, pp.277-304.
Villeneuve , M., Gunawan, W., Cornee, J. J., Vidalet, O., 2002, Geology of the
central Sulawesi belt (eastern Indonesia), Int. J. Earth Sci. , 91, 524–537.