Anda di halaman 1dari 10

1.

Ngaben, Bali

Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah umat Hindu Bali. Jenazah yang
akan dikremasi dibaringkan di dalam sebuah patung unik berbentuk lembu, lalu dibakar di
tengah-tengah sanak keluarga. Patung tersebut berdiri di tengah menara bernama bade.

Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:

Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau
laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga
dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).

Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala
unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-
masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.

Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan
merelakan kepergian yang bersangkutan.
2. Rambu Solo, Tana Toraja

Rambu Solo merupakan upacara pemakaman yang sangat menarik untuk diikuti karena
diselenggarakan dengan beberapa susunan acara dan kegiatan kesenian. Saat proses pemakaman,
kamu tidak hanya melihat proses pemakamannya saja.

Proses pemakaman Rambu Solo terdiri dari pembungkusan jenazah, penghiasan peti jenazah,
proses perarakan, dan peletakan peti jenazah di Lakkian, kompleks pemakaman di Tana Toraja.

Acara utama dari Rambu Solo’ berlangsung dalam dua tahapan besar. Pertama adalah upacara
yang dilaksanakan di halaman rumah yang meninggal dunia dan yang kedua dilaksanakan di
lapangan besar. Pada tahap pertama, keluarga akan memindahkan letak jenazah, dari sini jenazah
sudah dianggap meninggal dunia. Selanjutnya, keluarga yang meninggal akan menerima tamu-
tamu yang datang dengan membawa sumbangan baik uang maupun barang. Akhir dari tahap
pertama ini ditandai dengan penyebelihan babi dan kerbau lalu memasukkan jenazah di dalam
kotak.
Upacara tahap kedua dilakukan dengan mengarak jenazah hingga akhirnya sampai di lapangan.
Setelah proses ini selesai, keluarga akan menerima tahu dan membicarakan berapa banyak
kerbau yang akan dikorbankan. Apabila kesepakatan telah tercapai, esok harinya sejumlah
kerbau yang disepakati akan disembelih hingga jenazah benar-benar dimakamkan dengan
sempurna.
3. Aruh Baharin, Kalimantan Selatan

Upacara yang diadakan selama 7 hari 7 malam ini merupakan ungkapan rasa syukur dari
masyarakat Dayak terhadap hasil panen yang melimpah, keberhasilan berdagang, melaut, atau
beternak. Aruh Baharin tidak diadakan setiap tahun, kamu hanya bisa menemukan upacara ini
setiap 3 atau 5 tahun sekali.

dilakukan oleh masyarakat suku Dayak yang berdomisili di Dusun Halong, Desa Kapul,
Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Propinsi Kalimantan Selatan. Upacara adat ini
biasanya dilakukan setelah musim panen padi ladang (pahumaan). Menurut kepercayaan mereka,
dalam tradisi Aruh Baharin, beras hasil panen padi belum boleh digunakan sebelum digelar
upacara adat Aruh Baharin yang dipusatkan di balai adat, rumah adat atau di tempat khusus yang
sengaja disiapkan untuk keperluan upacara.
4. Etu, Flores

Dalam upacara ini, masing-masing kampung akan mengirimkan perwakilannya untuk diadu
dalam sebuah pertarungan tinju. Pertandingan ini diadakan di tengah lapangan dan ditonton oleh
seluruh masyarakat Nakageo. Sebelum hari pertandingan, masing-masing peserta akan
mengadakan ritual adat untuk memohon kekuatan.

Kesamaannya dengan olahraga tinju konvensional, tinju tradisional ini juga berlangsung di arena
di tengah kampung.[5] Petinjunyapun juga terdiri dari dua orang pria.[5] Keduanya saling
meninju namun petinju etu tidak menggunakan sarung tangan.[5] Hanya salah satu tangan
petarung dililit sabut kelapa yang disebut kepo atau wholet. Alat ini digunakan sebagai senjata
untuk melumpuhkan lawan.[5] Tidak ada ketentuan pasti dalam aturan ronde.[5] Etu langsung
saja dihentikan bila salah satu petarung jatuh atau mengeluarkan darah.[5] Pada umumnya tinju
adat ini berlangsung antara dua sampai lima menit, tergantung kekuatan masing-masing
petarung.[5] Etu dipimpin wasit atau seka, dalam istilah setempat. Ada dua sampai tiga
orang seka.[5] Selain wasit, ada petugas yang disebut sike yaitu yang bertugas untuk
mengendalikan para petarung agar tidak membabibuta menyerang dan melukai
lawan.[5] Sike bisa dengan mudah melaksanakan tugas karena memegang ujung bagian belakang
sarung yang dikenakan petarung.[5] Apabila begitu petarungan sudah dianggap di luar
batas, sike hanya menarik saja ujung kain menjauhkan petarung dari lawannya.[5]
5. Katoba, Sulawesi Tenggara

Katoba merupakan upacara adat keagamaan Islam di Sulawesi Tenggara untuk anak-anak yang
baru dikhitan. Sehari setelah dikhitan, anak-anak akan dipakaikan pakaian adat, lalu dipikul di
bahu anggota keluarganya untuk menemui imam.

Katoba merupakan salah satu upacara adat keagamaan Islam masyarakat Suku Muna di Sulawesi
Tenggara, Indonesia, bagi anak-anak berusia menjelang akil balik (6 sampai 12 tahun).[1] Pada
upacara adat ini, anak-anak diberi sejumlah nasihat oleh seorang imam. Upacara ini biasanya
dilakukan sehari setelah upacara kangkilo, yaitu khitan.[2] Menurut tradisi, upacara ini sudah
dilakukan sejak zaman pemerintahan raja Muna bernama La Ode Abdul Rahman yang konon
menerima tradisi ini dari seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad alias Saidhi
Raba.[3]

Pada upacara ini, anak laki-laki maupun perempuan mengenakan pakaian tradisional dan riasan,
lalu dipikul di atas bahu oleh anggota-anggota keluarganya atau berjalan kaki ke rumah pemuka
agama. Di sana, pemuka agama tersebut memberikan sejumlah nasihat agar anak-anak tersebut
menjalankan perintah Allah dan dilarang berdosa kepada Allah, Nabi, dan sesama
manusia.[4] Berikut ini adalah "kalimat tobat" yang dinasihatkan kepada anak-anak di dalam
upacara ini
6. Nadran, Cirebon

Nadran merupakan upacara adat masyarakat Cirebon sebagai bentuk rasa syukur atas karunia
dari Tuhan. Selain itu, Nadran juga dipercaya sebagai ungkapan terima kasih pada leluhur karena
sudah menjauhkan dari malapetaka. Upacara adat Nadran ditandai dengan penyembelihan
kerbau. Kemudian, kepala kerbau dihanyutkan ke laut bersama tumpeng sebagai sesaji.

Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi budaya Islam dan Hindu yang
diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata nadran sendiri, menurut sebagian
masyarakat, berasal dari kata nazar yang mempunyai makna dalam agama Islam: pemenuhan
janji. Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual
dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi
limpahan hasil laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan).

Sesajen yang diberikan, disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu yang
berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya.
Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah
ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring,
barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer (drumband), di setiap acara nadran
selalu digelar wayang kulit selama 1 minggu.
7. Ma’nene, Tana Toraja

Upacara adat ini dilakukan 3 tahun sekali pada bulan Agustus. Ma’nene adalah upacara
penggantian pakaian jenazah. Jenazah yang sudah diawetkan akan dibersihkan dari ujung kepala
hingga ujung kaki dengan kain bersih lalu diganti pakaiannya.

Prosesi dari ritual Ma'Nene dimulai dengan para anggota keluarga yang datang ke Patane untuk
mengambil jasad dari anggota keluarga mereka yang telah meninggal. Patane merupakan sebuah
kuburan keluarga yang bentuknya menyerupai rumah. Lalu, setelah jasad dikeluarkan dari
kuburan, kemudian jasad itu dibersihkan. Pakaian yang dikenakan jasad para leluhur itu diganti
dengan kain atau pakaian yang baru. Biasanya ritual ini dilakukan serempak satu keluarga atau
bahkan satu desa, sehingga acaranya pun berlangsung cukup panjang. Setelah pakaian baru
terpasang, lalu jenazah tersebut dibungkus dan dimasukan kembali ke Patane.

Ritual Ma'Nene lebih dari sekedar membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru. Ritual ini
mempunyai makna yang lebih, yakni mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota
keluarga bagi masyarakat Toraja, terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu
meninggal dunia. Masyarakat Toraja menunjukkan hubungan antar keluarga yang tak terputus
walaupun telah dipisahkan oleh kematian. Ritual ini juga digunakan untuk memperkenalkan
anggota-anggota keluarga yang muda dengan para leluhurnya.
8. Sedekah Laut, Yogyakarta

Sedekah Laut merupakan upacara adat yang ditujukan untuk Nyi Roro Kidul yang dipercaya
sebagai ratu pantai selatan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil laut yang melimpah. Upacara ini
didahului dengan persiapan sesaji. Segala sesaji yang akan dilarung ke laut dikumpulkan lalu
disusun dalam sebuah tempat berbentuk rumah.

Tradisi pesta sedekah laut merupakan wujud syukur nelayan atas berkah yang melimpah berupa
hasil laut dan keselamatan dari Allah SWT selama melaut ini dapat terus lestari.
9. Tabuik, Pariaman

Tabuik diselenggarakan dalam rangka memperingati wafatnya Imam Husein, cucu Nabi
Muhammad. Masyarakat Minangkabau biasa menyelenggarapan upacara adat ini dengan
menampilkan Pertempuran Karbala, dan mementaskan kesenian musik.

Tabuik terdiri dari dua macam, yaitu Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang. Keduanya berasal dari
dua wilayah berbeda di Kota Pariaman. Tabuik Pasa (pasar) merupakan wilayah yang berada di
sisi selatan dari sungai yang membelah kota tersebut hingga ke tepian Pantai Gandoriah. Wilayah
Pasa dianggap sebagai daerah asal muasal tradisi tabuik. Adapun tabuik subarang berasal dari
daerah subarang (seberang), yaitu wilayah di sisi utara dari sungai atau daerah yang disebut
sebagai Kampung Jawa.

Prosesi mengambil tanah dilaksanakan pada 1 Muharram. Menebang batang pisang dilaksanakan
pada hari ke-5 Muharram. Mataam pada hari ke-7, dilanjutkan dengan mangarak jari-jari pada
malam harinya. Pada keesokan harinya dilangsungkan ritual mangarak saroban.

Pada hari puncak, dilakukan ritual tabuik naik pangkek, kemudian dilanjutkan dengan hoyak
tabuik. Hari puncak ini dahulu jatuh pada tanggal 10 Muharram, tetapi saat ini setiap tahunnya
berubah-ubah antara 10-15 Muharram, biasanya disesuaikan dengan akhir pekan. Sebagai ritual
penutup, menjelang maghrib tabuik diarak menuju pantai dan dilarung ke laut.
10. Tanam Sasi ,Papua Barat

Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang
dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah
kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya Asmat dengan ukiran
dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara.

Kayu atau biasa Sasi, tentu bukan sembarang kayu. Kayu yang ditanam dalam tradisi Tanam Sasi
tentu memiliki makna bagi masyarakat suku
Marind, Papua. Pertama[2], ukiran kayu khas Papua melambangkan kehadiran roh nenek
moyang. Kedua[2], sebagai tanda keadaan hati bagi masyarakat Papua, seperti menyatakan rasa
sedih dan bahagia. Ketiga[2], simbol kepercayaan dari masyarakat
kepada motif manusia, hewan, tumbuhan, dan motif lainnya. Keempat[2], sebagai lambang
keindahan yang merupakan perwujudan dari hasil sebuah karya seni. Selain makna
dari kayu tersebut, upacara adat ini menggambarkan rasa sedih bagi keluarga yang sedang
berduka. Bagi keluarga, upacara adat ini menjadi pemberitahuan bagi masyarakat bahwa ada
yang meninggal di desa tersebut. Jadi, inti dari upacara adat ini adalah upacara kematian.

Anda mungkin juga menyukai