Buku Struktur Dan Rekayasa Bambu PDF
Buku Struktur Dan Rekayasa Bambu PDF
STRUKTUR DAN
REKAYASA BAMBU
Oleh:
I Gusti Lanang Bagus Eratodi
PENERBIT
UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL
DENPASAR BALI
i
STRUKTUR DAN
REKAYASA BAMBU
Penulis
Dr. I Gusti Lanang Bagus Eratodi, S.T., M.T.
ISBN: 978-602-9000-11-5
Penerbit
Universitas Pendidikan Nasional
Jl. Bedugul No. 39, Sidakarya
Denpasar Bali
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa sehingga Buku
Struktur dan Rekayasa Bambu ini dapat terwujud. Dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting.
Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik
untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras,
mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan
sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah
dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di
sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi
masyarakat pedesaan. Bambu telah sejak lama dikenal sebagai bahan
multi-fungsi, yang salah satunya sebagai bahan bangunan. Pemrosesan
bambu sebagai bahan bangunan juga telah dipahami oleh masyarakat
pengguna bambu secara tradisional, terutama pemilihan jenis bambu,
masa penebangan bambu, proses pengawetan bambu, proses pengeringan
dan rekayasa bambu sebagai bahan bangunan unggulan.
Buku ini disusun sebagai bahan informasi global tentang bambu yang
terdiri dari 7 (tujuh), dimulai dari anatomi bambu, sifat fisika bambu, sifat
mekanika bambu, sifat pengawetan bambu, sifat kimia bambu,
kemunduran bambu dan modifikasi bambu.
Akhirnya, ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi penyusunan
buku ini sehingga dapat bermanfaat bagi umat manusia, terutama
menggugah para ilmuwan untuk menjadikan bambu bagian integral dari
gerakan untuk maju bersama bambu dan selaras dengan semangat
pelestarian hutan. Harapannya melalui buku ini, informasi tentang bambu
dan rekayasa bambu dapat diketahui masyarakat umum dan sebagai daya
dorong masyarakat memanfaatkan bambu lebih lanjut.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL viii
BAB I ANATOMI BAMBU 1
I. Parameter Penentu Sifat Anatomi Bambu 7
II. Beberapa penelitian terkait Anatomi Bambu 8
III. Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan
Wulung dalam Arah Longitudinal 11
BAB II SIFAT FISIKA BAMBU 13
I. Kadar Air (Moisture Content) 15
II. Berat Jenis (Specific Gravity= SG) dan
Kerapatan (Density) 17
III. Kembang susut (Shrinkage and Swelling) 18
IV. Hasil-hasil penelitian tentang sifat Fisika
Bambu 20
BAB III SIFAT MEKANIKA BAMBU 25
I. Kuat tekan 25
II. Kuat tarik 27
III. Kuat geser sejajar serat 29
IV. Modulus lentur (Modulus of Rupture (MOR)) 31
V. Modulus elastisitas (Modulus of Elasticity
(MOE)) 33
BAB IV SIFAT PENGAWETAN BAMBU 36
I. Pengawetan Bambu 36
II. Proses Pengawetan Bambu 39
III. Pengolahan Bambu 46
BAB V SIFAT KIMIA BAMBU 57
I. Sifat Kimia Umum 57
II. Pengujian Kandungan Kimia Bambu 59
III. Intisari Kimia Bambu 74
BAB VI KEMUNDURAN BAMBU 76
I. Penguraian Dinding Sel 76
II. Penurunan Kualitas Dinding Sel 76
III. Penelitian terkait dengan kemunduran Bambu 79
IV. Intisari Kemunduran Bambu 86
BAB VII REKAYASA BAMBU 88
I. Definisi Rekayasa Bambu 88
II. Rekayasa Stabilisasi Warna 89
iv
III. Bambu lapis 90
IV. Bambu lamina 93
V. Papan Semen 94
VI. Arang 95
VII. Pulp 97
BAB VIII BAMBU LAMINASI 100
I. Definisi Bambu Laminasi 100
II. Teknik Perekatan 102
III. Rekayasa Bambu Laminasi 104
DAFTAR PUSTAKA 127
v
DAFTAR TABEL
vi
4.7. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali 52
4.8. Hasil pengamatan Penetrasi longitudinal 52
5.1. Analisis kimia bambu 59
5.2. Analisis kimia menurut standard ASTM 60
5.3. Komposisi kimia dari bambu 65
5.4. Analisis kimia 10 jenis bambu 75
6.1. Pengkodean Uji panel 81
6.2. Kondisi iklim di PUSPIPTEK Serpong-Tangerang dari
Juni 2001 sampai Mei 2002 83
6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83
6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83
7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali
(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan 90
7.2. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis 91
7.3. Sifat fisik dan mekanik bambu lapis 92
7.4. Nilai sifat fisik dan mekanik bambu lamina 93
7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu 95
7.6. Sifat arang bambu 96
7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung 97
8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat 105
8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu
laminasi 105
8.3. Pengaruh lebar lamina pada MOE dan MOR 106
8.4. Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan bambu
laminasi 106
8.5. Kekuatan papan laminasi bambu Petung 107
8.6. Pengaruh umur bambu pada kekuatan lentur balok bambu
laminasi 108
8.7. Pengaruh umur bambu pada kekuatan geser balok bambu
laminasi 108
8.8. Kekuatan dan kekakuan balok uji 109
8.9. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu
Petung 110
8.10. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu
Ampel 110
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
5.4. Kandungan ekstraktif air panas dari lapis horizontal
bambu berbedakan 67
5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda 68
5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda 69
5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan
tinggi yang berbeda 70
5.8. Kandungan Alpha-cellulose pada bambu usia 3 tahun
darilapis horizontal yang berbeda 70
5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan
tinggi yang berbeda 71
5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda 72
5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang
berbeda 73
5.12. Kandungan Abu pada bambu usia 3 tahun dari lapis
horizontal yang berbeda 73
6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi
outdoor 86
6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 86
8.1. Sistem perekatan dengan lima gaya perekatan 104
8.2. Penampang melintang balok uji 104
8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat 111
8.4. Penampang lamina bilah bambu dengan lubang-lubang
sistem pola incising 116
8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang 118
8.6. Uji balok komposit beton bertulang-bambu laminasi 118
8.7. Geometri model numerikal sambungan balok-kolom
struktur bambu laminasi 121
8.8. Konektor pelat baja 122
8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok 122
8.10. Proses uji siklik sambungan balok-kolom struktur bambu
laminasi dengan konektor pelat baja dikarter 125
8.11. Hubungan tahanan momen-rotasi join sambungan hasil
ekperimen 126
ix
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB I
ANATOMI BAMBU
1
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
a b
Gambar 1.1. Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan:
a. Simpodial; b. Monopodial
a b
Gambar 1.2. Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan:
a. Bambu Simpodial; b. Bambu Monopodial
2
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
3
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
4
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
5
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
6
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Keterangan:
L1 – L4 = Lapisan papan (broad layers);
N1 – N3 = Lapisan sempit (narrow layers);
O = Lapisan terluar dari dinding kedua (outermost layer of the
second wall);
P = Dinding primer (primary wall) .
Sumber: Wai , Li dkk 1995
7
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
dimana:
BP = kerapatan berkas pengangkutan dalam satuan/cm2;
Jbp = jumlah unit-unit berkas pengangkutan yang tergambar struktur
anatomi bambu (cm2);
m = perbesaran yang diberlakukan pada foto-mikroskop.
8
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
9
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
B. Kesimpulan
1. Lokasi yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan
terhadap kandungan lignin bambu, diameter serat, diameter
lumen, dan proporsi sel parensim.
2. Jenis bambu yang berbeda memberikan interaksi yang
signifikan terhadap panjang dan diameter sel serat.
3. Posisi batang bambu yang berbeda memberikan interaksi yang
signifikan terhadap ekstraktif larut panas, ekstraktif larut
alkohol benzen, panjang dan diameter serat, serta diameter
lumen.
4. Rata-rata ekstraktif larut air dingin bambu berkisar antara
3,10%-3,79%; ekstraktif larut air panas 5,43%-6,23%;
ekstraktif larut alkohol benzen 3,37%-4,10%; alfa selulosa
10
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
11
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
12
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB II
SIFAT FISIKA BAMBU
13
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
14
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
15
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Kandungan air dalam bambu teridi dari dua jenis yaitu air terikat
(bound water) dan air bebas (free water)
a. Air terikat adalah air yang berada pada dinding sel yang terikat
akibat gaya ikatan antara air dan molekul selulosa. Jika air
terikat habis sering disebut kering tanur, sedangkan jika air
terikat tidak habis sedangkan air bebas tidak ada disebut kering
angina.
b. Air bebas air yang berada pada lumen sel akibat gaya pipa
kapiler.
Kering angin tergantung tempat dimana bambu berada dan terjadi
kadar air seimbang sekitar 3-6 bulan.
Kadar air (Moisture content) dihitung dengan menggunakan
rumus:
berat air dalam bambu
Moisture content (%) = x 100% (1)
berat total bambu
Nilai kadar air akan meningkat setelah dilaksanakan perekatan
pada pembuatan bambu laminasi, hal ini diakibatkan oleh
kandungan air yang terdapat pada bahan perekat. Semakin kecil
nilai RS (resin solid) dalam spesifikasi yang tercantum pada bahan
perekat menunjukkan semakin besar jumlah air yang
dikandungnya. Jumlah air ini akan masuk ke sel bambu saat proses
perekatan dan pengempaan sehingga akan meningkatkan kadar air
bambu.
Gambar. 2.1. Distribusi serat beraneka ragam ukuran pada irisan bambu
(arah tangensial)
16
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
17
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
= massa/volume (3)
susut
MC= 0%
kembang
18
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
19
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
20
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 2.1. Nilai Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Ater, Bitung dan
Andong (Hadjib dan Karnasudirdja, 1986)
No Jenis Bambu Berat Jenis
1 Bambu Ater (Gigantochloa Atter Kurz) 0,71
2 Bambu Bitung (Dendrocalamus Asper Backer) 0,68
3 Bambu Andong (Gigantochloa Apus Kurz) 0,55
Tabel 2.2. Sifat Fisika Bambu pada Umur 3-5 tahun menurut tempat
tumbuhnya (Lu, dkk. 1985)
Daerah Asal bambu
Sancha Luchanya Dahuaya Dajin-
kou
Lingkungan Daerah Di tengah Daerah Daerah
tempat pengunungan pegunungan pantai, datar,
tumbuh dingin, daerah dekat
bambu sepenjang datar, pada sungai
sungai cabang/anak
sungai
Kadar Air (%) 79,02 99,11 80,26 84,97
77,46 76,18 79,45 84,73
77,21 74,02 70,67 81,54
Berar Jenis 717 704 680 679
(kg/m3)
21
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
C. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh ILL: Xiu-
xin dkk. (1985)
Tabel. 2.4. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh
Umur Daerah asal bambu
(tahun) Sancha Dajinkou Uahuaya Luchanya
1 95,66 88,58 95,53 121,22
2 87,39 86,85 91,96 105,25
3 79,02 84,97 80,26 99,11
4 77,46 84,73 79,45 76,18
5 77,21 81,54 70,67 74,02
6 73,21 80,96 67,87 70,40
7 66,93 71,77 66,52
22
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
F. Hasil Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah dan
kering (Triwiyono dan Morisco, 2000 dalam Morisco 2006)
Tabel. 2.7. Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah
Bambu Kering
Bambu Basah
Udara
Nomor Kadar Kadar
Berat Berat
Posisi air air
Jenis Jenis
(%) (%)
Pangkal 1 38,610 0,634 5,381 0,646
2 34,256 0,680 4,390 0,663
3 35,361 0,603 5,909 0,682
rata-rata 36,076 0,639 5,227 0,664
23
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
24
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB III
SIFAT MEKANIKA BAMBU
25
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
dengan :
Ptk = beban maksimum ( N );
A = luas bidang tekan ( mm2 ).
26
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
27
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
28
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 3.4. Kuat Tarik rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi
Jenis Bambu Bagian Kuat Tekan
(MPa)
Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) Pangkal 228
Tengah 177
Ujung 208
Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal 239
Tengah 292
Ujung 449
Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata) Pangkal 192
Tengah 335
Ujung 232
Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal 144
Tengah 137
Ujung 174
Gambar 3.5. Hasil Uji Tarik Bambu Ori, Bambu Petung dan Baja
(Morisco, 1999)
III. Kuat geser sejajar serat
Kemampuan bambu untuk menahan gaya - gaya yang membuat
suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya disebut
dengan kuat geser. Kuat geser bambu tergantung pada ketebalan
dinding batang bambu. Bagian batang tanpa ruas memiliki
kekuatan terhadap gaya geser 50% lebih tinggi dari pada batang
bambu yang beruas. Pengujian ini menggunakan standar ISO / DIS
29
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
30
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
½l ½l
31
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
32
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
33
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Hasil uji kuat tarik dapat dilihat pada Gambar 3.8. Hasilnya
menunjukkan hubungan tegangan regangan hasil uji tarik bambu
petung dan ori yang dibandingkan dengan hasil uji kuat tarik baja.
Hasilnya menunjukkan bambu memiliki nilai kuat tarik yang
sangat tinggi dan bahkan melebihi bahan baja, hanya saja bambu
memiliki nilai regangan yang cukup besar. Sehingga untuk
mencapai kekuatan tarik yang tinggi bahan bambu akan
terdeformasi memanjang cukup besar.
Tabel 3.7. Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa apus Kurz,
Gigantochloa Verticillata Munro, dan Dendrocalamus asper Backer
(Siopongco dan Munandar)
Sifat Kisaran Jumlah
Spesimen
Kuat Tarik 118-275 MPa 234
Kuat Lentur 78,5-196 MPa 234
Kuat Tekan 49,9-58,8 MPa 234
E Tarik 8.728-31.381 MPa 54
E Tekan 5.590-21.182 MPa 234
Batas Regangan Tarik 0,0037-0,0244 54
Berat Jenis 0,67-0,72 132
Kadar Lengas 10,04-10,81% 117
34
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 3.9. Kuat batas dan tegangan ijin bambu (Morisco, 1999)
Tegangan Ijin
Sifat Mekanika Kuat Batas (kg/cm2) 2
(kg/cm )
Kuat Tarik 981-3.920 294,2
Kuat Lentur 686-2.940 98,07
Kuat Tekan 245-981 78,45
E Tarik 98.070-294.200 196,1×103
35
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB IV
SIFAT PENGAWETAN BAMBU
I. Pengawetan Bambu
A. Anatomi bambu diperbandingkan dengan anatomi kayu
Pada kayu, susunan anatomi lebih kompleks, modern/ maju
dibandingkan dengan monokotil seperti bambu, perbedaan ini
menyebabkan pada kayu mampu melakukan pertumbuhan
sekunder (diameter membesar). Isi sel-sel yang menyusun kayu
atau bambu yang disebut ekstraktif. Ada dua jenis definisi
ekstraktif: pertama, ekstraktif adalah deposit atau endapan bahan-
bahan kimia yang ada di dalam permukaan dinding sel sewaktu sel
mati membentuk kayu teras. Dan kedua ekstraktif adalah bahan
kimia yang ada di luar dinding sel berbentuk cairan. Pada
monokotil tidak pernah ada sel mati, keseluruhan bagian bambu
dari luar ke dalam semua sel hidup.
Kalau dilihat dari definisi pertama berarti pada monokotil
tidak ekstraktif, tapi kalau mengacu definisi kedua bambu memiliki
ekstraktif. Kondisi bambu serupa dengan kayu gubal yang tidak
begitu awet seperti kayu teras. Keawetan bambu berbeda-beda
karena tergantung awet alami, timbul secara turunan dari genetika
tiap jenis bambu.
B. Pengawetan buatan oleh Manusia
1. Sewaktu bambu masih hidup
Bambu dimasukkan bahan pengawet sewaktu masih hidup,
misalnya air disekitar tempat bambu tumbuh diberi pengawet
sehingga bahan pengawet terserap oleh akar bambu. Prinsip sama
juga digunakan oleh Boucheri, bambu yang baru ditebang masih
mengalami photosintesis/ proses metabolisme. Pengisapan akan
berhenti kira-kira 3-6 jam setelah penebangan.
Pada satu serat bembu terdiri dari jaringan penguat
(schelercime) berwarna gelap, ploim dan xylem. Cairan naik lewat
xylem dan turun melalui ploim (ukurannya lebih lebih kecil dari
xylem). Bahan pengawet masuk lewat saluran xylem, karena xylem
berada merata di seluruh bagian bambu maka seluruh bagian
36
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
37
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
38
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
39
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
40
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
41
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
42
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
43
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
44
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
45
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
46
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
47
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 4.4. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu potongan
dibelah bulat
Penetrasi bor pada lama rendaman
(%)
No. Jenis bambu
1 3 5 7 Rata-
hari hari hari hari rata
1. Ampel hijau (Bambusa 80,2 88,8 78,4 97,9 86,3
vulgaris Schard) 73,3 78,5 87,8 69,2 77,2
2. Ampel kuning (Bambusa 78,6 97,2 86,1 97,5 89,9
vulgaris Schard) 76,9 73,7 91,7 36,0 69,6
3. Andong (Gigantochloa 71,5 89,2 86,3 90,0 84,3
verticillata (Wild.) 46,4 62,6 58,0 87,4 63,6
Munro.)
4. Apus (Gigantochloa apus 82,4 97,1 93,8 95,6 92,2
(Bl.ex Schult.f.) Kurz.) 63,6 94,8 69,1 94,2 80,4
5. Bitung (Dendrocalamus 64,3 94,2 100,0 91,5 87,5
asper (Schult.f.) Kurz.) 45,1 61,8 76,0 88,6 67,9
6. Buluh (Schizostachyum 76,8 96,0 100,0 100,0 93,2
brachycladum Kurz.) 100,0 77,5 98,8 95,7 93,0
7. Cakeutreuk 64,5 92,0 100,0 90,7 86,8
(Schizostachyum zolingeri 53,1 92,1 51,0 92,9 72,3
Steud.)
8. Hitam (Gigantochloa atter 72,6 87,8 100,0 99,3 89,9
(Hassk) Kurz. ex Munro) 73,8 66,2 78,2 37,9 64,1
9. Lengka (Gigantochloa 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
nigrocillata (Buese) Kurz) 78,3 100,0 100,0 90,6 92,2
10. Tamiang (Schizostachyum 100,0 95,5 100,0 100,0 98,9
blumei Nees) 93,3 100,0 100,0 94,0 96,8
11. Temen (Gigantochloa 69,9 83,0 78,8 92,6 81,1
verticillata (wild.) 80,4 63,3 81,6 90,4 78,9
12. Uncul (Phyllostachys 80,0 90,4 99,2 100,0 92,4
aurea A&Ch. Riviera) 55,7 100,0 88,0 64,0 76,9
Sumber : Abdurrochim (1982)
48
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
baik yang dibelah maupun bulat dan bambu cakeutreuk dan uncul
yang bulat sebaiknya direndam tiga hari.
Pengawetan dengan Wolmanit CB terhadap bambu ampel
hijau, ampel kuning, apus, lengka dan tamiang baik yang dibelah
maupun bulat, bambu andong yang dibelah serta bambu buluh,
hitam, temen dan uncul yang dibelah sebaiknya direndam tiga hari.
Bambu andong yang bulat sebaiknya direndam tujuh hari.
Penelitian pengawetan bambu dengan bahan pengawet lainnya
dilakukan oleh Barly dan Permadi (1987) dalam Krisdianto 2005.
Pengawetan dilakukan terhadap bambu andong (Gigantochloa
verticillata Munro), apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.)
Kurz) dan bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex
Heyne) menggunakan bahan pengawet Koppers F 7 pada
konsentrasi 5%. Hasil nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet
Formula 7 pada 3 jenis bambu yang diawetkan secara rendaman
dingin dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7 pada tiga
jenis bambu
Jenis Waktu Perlakuan Penetrasi Retensi
No.
bambu rendaman awal (%) (kg/m3)
1. Betung 1 D 57,4 11,93
TD 61,1 21,35
3 D 43,7 13,56
TD 52,2 21,44
5 D 52,4 16,66
TD 57,0 18,56
2. Andong 1 D 82,2 24,59
TD 90,7 32,97
3 D 97,2 28,58
TD 95,9 31,56
5 D 94,2 27,94
TD 94,9 35,66
3. Tali 1 D 81,5 11,83
TD 70,9 22,33
3 D 91,4 21,64
TD 93,9 26,07
5 D 93,7 26,09
TD 95,9 30,96
Sumber : Barly dan Permadi (1987)
Keterangan :
D = ditutup TD = tidak ditutup
49
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
50
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
a b
Gambar 4.4. Pengawetan bambu metode boucheri:
a. Bambu andong; b. Bambu tali
51
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
52
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
53
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
54
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
55
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
56
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB V
SIFAT KIMIA BAMBU
57
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
klinal (// dan ┴ keliling). Satu sel menjadi 2 sel dan selanjutnya
terus membelah diri
2. Kedua, mengembangkan dimensi, diameter dan panjang sel
3. Ketiga, mulai membentuk diding sel, sampai ketebalan tertentu
dinding sel yang tergantung dari posisi dan jenis sel
Jenis sel antara lain:
a. Kolenkim (agak hitam dekat kulit), penebalan sel luar biasa,
seluruhnya da dinding sel
b. Parenkim (posisi agak didalam), dinding sel tipis, rongganya
besar
Kimia pembentuk struktur sel tergantung dinding sel, keluar
makin tebal dinding sel, ke dalam dinding sel makin tipis.
Distribusi kimia banyak di tepi, rendah di tengah
B. Penyusun non struktural
Berupa zat ekstraktif, bahan kimia yang mudah dikeluarkan
dari sel-sel bambu. Di keluarkan dengan pelarut netral (seperti air).
Zat ekstraktif berupa pati, amilum yang menjadi makanan
kumbung (bitel) keluar karendam terndam air. Cara perendaman
dengan air dingin membutuhkan waktu berhari-hari sekitar 12
harian, sedangkan perebusan membutuhkan waktu minimal 3 jam.
Metode pengasapan juga dapat dilakukan sehingga dapat
mengubah permukaan dinding sel. Pada pengasapan pada suhu
1600 keatas terjadi proses perubahan permukaan dinding sel yang
dinamai Hidropilin menjadi hidropopik, dan diatas suhu 170 0
terjadi proses piropilis yakni penguraian dinding sel seperti remuk,
rusak. Pada kondisi ini terjadi keuntungan degradasi, perubahan
komponen kimia. Proses ini saat ini dimanfaatkan menjadikan
teknologi merekat tanpa bahan perekat tambahan (binderku).
Banyaknya kandungan ekstraktif tergantung pada jenis
bambu, jenis rebung manis (ekstraktif karbohidrat seperti gula
kandungannya tinggi) dan jenis rebung pahit (koloid, kandungan
minyak C diatas 20)
Jenis-jenis ekstraktif:
1. Karbohidrat,
58
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
2. Koloid,
3. Tanin, flafonoid menyebabakan ekstraktis pada rebung terasa
sepat.
Jenis ekstraktif ini berfungsi pada pengawet. Bahan kimia
untuk pengawetan di masukkan ke dalam lumen sel bambu. Variasi
bahan kimia yang terkandung pada bambu berdasarkan spesies
bambu. Menurut Sultoni ada 17 jenis bambu sedang di jogja baru 6
spesies yang telah diteliti tentang kandungan kimianya.
Berdasarkan kandungan ekstraktif akan memudahkan memasukkan
kelas awet tiap bambu. Makin banyak ekstraktif karbohidrat makin
lemah keawetannya, sedang semakin banyak ekstraktif koloidnya
makin tinggi keawetannya. Dan semakin tinggi alcohol bensin,
bahan bambu akan juga semakin awet.
59
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
60
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
dimana:
W1 = berat kering-oven uji specimen (grams);
W2 = berat kering-oven ekstraksi sisa (grams).
61
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
dimana:
W1 = berat kering oven specimen (grams).
W2 = berat kering oven specimen setelah diekstraksidengan air panas
(grams).
dimana:
W1 = kandungan ekstaktif alcohol-toluene (percent).
W2 = berat kering oven bebas ekstraktif (grams).
W3 = berat kering oven wadah (grams).
W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).
62
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Residu dicuci bebas dari ClO2 dengan 500 mL air suling dingin
dan residu berubah warna dari kuning menjadi putih. Wadah
kemudian kering-oven di 103 ± 2oC, kemudian didinginkan dalam
desiccator, dan beratnya konstan. Rumus berikut ini digunakan
untuk menentukan kandungan dalam holocellulose pada bambu:
dimana:
W1 = kandungan ekstraktif alcohol-toluene (percent).
W2 = berat kering oven sampel bebas ekstraktif (grams).
W3 = berat kering oven wadah (grams).
W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).
dimana:
W1= Kandungan Holocellulose (percent).
W2= Berat sampel holocellulose kering oven (grams).
W3= Berat kering oven wadah (grams).
W4= Berat kering oven wadah dan residu (grams).
63
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
dimana:
W1 = berat abu (grams).
W2 = berat kering oven sampel (grams).
B. Kandungan Kimia
Hasil pengujian kimia bambu tercantum dalam Tabel 5.3.
Khusus hasil komponen kimia dibahas secara rinci di bawah ini.
Tabel 5.4 menunjukkan hasil analisis varians dan Tabel 5.5
menunjukkan hasil perbandingan Tukey.
1. Ekstraktif Alkohol-toluena dan Air panas
Ekstraktif alkohol-toluena bambu terdiri dari bahan yang tidak
larut, umumnya dianggap sebagai bagian dari substansi bambu,
terutama lilin, lemak, resin, dan beberapa kerak, beberapa substansi
yang larut dalam air. Kandungan ekstraktif alkohol-toluena dari
berbagai usia dan ketinggian lokasi disajikan pada Gambar 5.1.
Umur mempunyai pengaruh yang signifikan pada kandungan
ekstraktif toluena alkohol. Dengan meningkatnya umur, kandungan
64
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.1. Kandungan ekstraktif bambu pada usia dan lokasi berbeda
65
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
66
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.3. Kandungan ekstraktif air panas dari bambu pada usia
dan ketinggian lokasi berbeda
67
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda
68
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari lapis
horizontal yang berbeda
69
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda
70
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda
71
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda
4. Kandungan Abu
Kandungan abu adalah istilah yang umumnya digunakan
untuk merujuk kepada bahan-bahan anorganik seperti silikat,
sulfat, karbonat, atau ion logam (Rydholm 1965). Kandungan abu
bambu pada usia yang berbeda dan tinggi disajikan pada Gambar
5.11. Kandungan abu dari bambu berumur satu tahun secara
signifikan lebih tinggi dari pada tiga dan lima tahun. Usia tiga dan
lima tahun bambu tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
kandungan abunya. Analisis varians juga menunjukkan tidak ada
perbedaan antara bagian atas dan tengah untuk kandungan abu;
kandungan abu di bagian bawah batang memiliki nilai terendah.
Gambar 5.12 menunjukkan kandungan abu pada lapisan yang
berbeda. Kita dapat melihat bahwa epidermis secara signifikan
menunjukkan kandungan abu yang lebih tinggi, yang merupakan
tiga kalinya pada tiga lapisan lainnya. Telah dikatakan bahwa
kandungan abu yang lebih tinggi dalam epidermis terutama
72
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang
berbeda
73
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
74
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
75
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB VI
KEMUNDURAN BAMBU
76
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
77
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
kadar air maksimum dan tidak ada oksiden lagi pada rongga
bambu. Kondisi ini disebut water loged (bahan yang penuh dengan
air). Deterisoasi lainnya adalah akibat peningkatan suhu (oven)
yang berakibat weight loss (pengurangan berat). Saat bambu
dioven maka berat bambu akan turun, pada bambu muda weight
loss yang terjadi kecil tidak berakibat deteorisasi sehingga
penerapan pengoven murni bertujuan untuk mengurangi kembang
susutnya sedangkan pada bahan lama pengovenan akan berakibat
weight loss yang terjadi besar dan mendorong terjadinya
deteorisasi.
Pengawetan seperti yang dilaksanakan oleh EDS, panas akan
berakibat weight loss sedangkan asap atau gas yang disemburkan
kedalam bambu berakibat meningkatkan berat sehingga
pengawetan sistem tersebut efektif tanpa mempengaruhi kekuatan
dari bambu.
Stuktur anatomi bambu yang terdiri dari kumpulan selulosa-
selulosa yang diikat oleh hemiselulosa, kumpulan ikatan ini disebut
microfibil. Kumpulan-kumpulan microfibil diikat oleh lignin
sehingga membentuk satu kesatuan bambu. Faktor-faktor lain yang
dapat merusak lignin adalah asam kuat dan basa kuat seperti hujan
asam, lignin mudah teroksidasi dengan abiotik atau sinar. Sebagai
contoh kita dapat lihat kertas Koran apabila dijemur akan berwarna
kuning, ini mengindikasikan lignin yang terkandung pada kertas
Koran mengalami deteorisasi akibat dijemur sinar matahari.
Sifat keterekatan kimia penyusun bambu (adhesive
characteristic) pada kacamata ahli kimia, bambu merupakan bahan
komposit yang merupakan satu kesatuan gabungan dari serabut-
serabut yang terikat secara kimiawi. Deteorisasi akan terjadi bila
adhesive characteristic melemah, ikatan ion+ dan ion- dan
permukaan bahan secara mekanik melemah.
Faktor-faktor yang menghambat proses deteorisasi:
1. Menghambat hidupnya organisme perusak bambu, harus
dikondisikan sehingga membuat mereka tidak dapat hidup.
Misalnya dengan mengatur kadar air, memasukkan bahan
78
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
79
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
80
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
81
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
82
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor
Kerapatan akibat cuaca luar (g/cm3)
Adhesive 12 Penurunan
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan
bulan (%)
UF 0,72 0,56 0,53 0,54 0,50 30,56
PF 0,74 0,60 0,60 0,63 0,57 22,97
ULI 0,77 0,64 0,59 0,58 0,54 29,87
PLI 0,77 0,74 0,71 0,54 0,69 10,39
Catatan : rata-rata 3 benda uji
Tabel 6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor
Ketebalan panel akibat cuaca luar (mm)
Adhesive 12 Penurunan
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan
bulan (%)
UF 18,80 20,79 21,95 21,57 21,84
13,92
(0,02) (0,47) (0,37) (0,22) (0,47)
PF 19,10 20,29 20,71 19,54 20,00
4,50
(0,39) (0,47) (0,24) (0,42) (0,45)
83
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
84
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
85
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Gambar 6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi
outdoor
Gambar 6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor
86
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
87
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB VII
REKAYASA BAMBU
88
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
89
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali
(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan
Umur dan Derajat putih (%) Keteguhan tarik
bagian bambu (kg/cm2)
Diputihkan Tak Diputihkan Tak
diputihkan diputihkan
6 bulan
- ujung 67,29 43,54 90,87 102
- tengah 68,42 44,71 98,33 133
- pangkal 60,51 39,42 164 248
1 tahun
- ujung 62,94 38,77 160,27 192
- tengah 56,66 36,86 186,40 239
- pangkal 62,69 37,36 178,53 210
Sumber : Zulnely dan Dahlian (1999)
90
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
91
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
92
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
93
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
94
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
VI. Arang
Pembuatan arang dari bahan bambu telah diteliti oleh
Nurhayati pada tahun 1986 dan 1990 masing-masing dengan cara
destilasi kering dan cara timbun skala semi pilot. Penelitian
tersebut menggunakan bahan empat jenis bambu, yaitu bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz), bambu ater (Gigantochloa ater Kurz),
bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) dan bambu
betung (Dendrocalamus asper Back). Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa pada tiap bagian batang bambu dari jenis
yang sama terdapat perbedaan berat jenis dan sifat hasil destilasi
kering. Arang dari bagian bawah batang pada semua jenis bambu
menunjukkan berat jenis dan rendemen arang yang tinggi.
Perbedaan letak pada bagian batang bambu ater menunjukkan
kecenderungan makin ke atas makin rendah rendemen arangnya.
Bagian tengah atau atas batang semua jenis bambu yang
dicoba rendemen piroligneous liquor menunjukkan hasil paling
tinggi. Bambu andong dan bambu betung rendemen piroligneous
liquor yang paling tinggi dihasilkan oleh bagian batang atas,
sedangkan pada bambu ater dan tali rendemen tertinggi dihasilkan
pada bagian tengah batang. Hasil pengamatan sifat arang dari
empat jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 7.5, sedangkan Tabel
7.6 menunjukkan sifat arang bambu dengan cara timbun.
Tabel 7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu
No. Bambu Bagian Berat Rendemen (%)
batang jenis Arang Ter Piroligneous
1. Andong Bawah 0,51 40,57 7,72 36,19
Tengah 0,47 30,73 5,93 31,25
Atas 0,42 36,17 7,64 36,85
2. Ater Bawah 0,74 43,46 9,06 44,39
Tengah 0,72 37,48 5,48 70,22
Atas 0,61 24,77 5,18 18,87
3. Bitung Bawah 0,72 40,09 7,17 35,67
Tengah 0,72 34,81 5,29 30,24
Atas 0,67 37,04 7,09 40,99
4. Tali Bawah 0,45 39,27 6,01 44,10
Tengah 0,38 33,52 4,72 59,27
Atas 0,37 39,18 6,90 39,04
Sumber : Nurhayati (1986)
95
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
Sifat hasil destilasi kering dari empat jenis bambu yang dicoba
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Nilai rata-rata rendemen
arang adalah 36,05%, piroligneous 40,58% dan tar 6,55%. Sifat
arang dari empat jenis bambu yang dicoba menunjukkan perbedaan
nyata. Berat jenis arang paling tinggi dihasilkan oleh bambu ater
(0,62 g/cm3) dan yang paling rendah bambu tali (0,25 g/cm3).
Kadar abu paling tinggi terdapat pada bambu betung (7,46%) dan
paling rendah pada bambu lati (5,65%). Kadar zat mudah terbang
paling tinggi pada bambu tali (24,43%) dan paling rendah pada
bambu betung (17,06%). Kadar karbon tertambat paling tinggi
terdapat pada bambu betung (75,54%) dan paling rendah pada
bambu tali (69,78%).
Nilai kalor arang yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata tetapi berbeda nyata menurut bagian batang.
Nilai kalor arang rata-rata 6602 cal/g. Nilai kalor yang dihasilkan
oleh bagian bawah bambu andong, ater dan tali menunjukkan
paling tinggi. Nilai kalor arang bambu tali menunjukkan perbedaan
sangat nyata pada tiap bagian batang dengan kecenderungan makin
keatas batang makin rendah nilai kalornya.
Berdasarkan perbandingan antara keempat jenis bambunya,
dapat ditentukan bahwa bambu ater paling baik untuk digunakan
sebagai bahan baku pembuatan arang. Proporsi yang tinggi
diperoleh dari rendemen arang yang berkualitas baik. Sedangkan
rendemen arang mentah dan bubuk, proporsinya paling rendah.
Sifat arang bambu yang dihasilkan umumnya relatif sama dengan
96
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
sifat arang dari kayu bakau. Sifat arang bambu ater dan bambu tali
lebih baik dari sifat arang bambu andong dan bambu betung.
Pembuatan arang aktif dari bahan bambu telah diteliti oleh
Nurhayati (1994). Serpihan contoh bambu diaktivasi dan
dikarbonisasi dalam ukuran 0,2 - 0,5 cm dalam kondisi kering.
Aktivasi dilakukan dengan perendaman serpih dalam larutan asam
fosfat 20% selama 24 jam, setelah itu contoh ditiriskan tinggal
setengah kering, lalu dimasukkan ke dalam retort dan di panaskan
sampai suhu 900°C selama 3 - 4 jam. Selanjutnya diaktivasi lagi
dengan uap panas selama 1 jam. Arang aktif yang dihasilkan
dengan cara ini dianalisa sifat absorpsinya terhadap iodine dan
hasilnya tercantum dalam Tabel 7.
Tabel 7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung
No. Bambu Aktivasi uap°C/ jam Rendemen Daya serap
kimia jenis/ (%) iodin mg/g
jam
1. Andong H3PO4 / 24 900 / 1 15,7 1150
2. Betung H3PO4 / 24 900 / 1 16,6 1004
Sumber : Nurhayati (1994)
97
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
98
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
tertinggi didapat dari campuran 35% kayu jabon, 35% kayu kemiri
dan 30% bambu.
Pemasakan campuran kayu jabon, kayu kemiri dan bambu
dapat dilakukan tanpa mengurangi sifat kekuatan pulp secara
keseluruhan. Untuk mendapatkan rendemen dan sifat kekuatan
pulp yang baik, kondisi pemaskan yang dianjurkan adalah pada
aktif alkali 16%, sulfiditi 22%, waktu pemasakan 2,5 jam pada
suhu maksimum 165°C dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 :
4,5. Sedangkan kondisi yang dianjurkan untuk memasak campuran
kayu jabon dan kemiri adalah dengan menggunakan aktif alkali
16%, sulfiditi 25%, waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 165°C
dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 : 4,5.
99
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu
BAB VIII
BAMBU LAMINASI
100
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
101
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
102
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
103
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
104
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
Tabel 8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat
(Shmulsky, 2004)
Jmlh Tbl Jmlh Kuat Koefisien MOE Koefisien
lamina lamina benda uji Tekan variasi tekan variasi
(mm) (bh) (MPa) (%) (MPa) (%)
1 25,40 12 60,30 17,80 6,57 31,60
2 12,70 12 58,60 7,50 6,39 8,60
4 6,40 12 61,80 6,60 7,02 6,60
7 3,60 12 58,50 8,20 6,95 9,80
Tabel 8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu laminasi
(Budi, dkk., 2012)
Kode Beban σltr Rasio (L25)/(L15) Tekanan
benda uji (N) (MPa) Beban σ kempa
ltr
105
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
106
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
107
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
108
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
109
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
110
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
(a) dan (b) lamina persegi disusun lurus, (c) dan (d) lamina persegi, (e)
dan (f) lamina zig-zag, (g) dan (h) lamina lengkung masing-masing
disusun brick type arah lebar lamina. (a), (c), (e), (g) lamina tebal 7 mm,
dan (b), (d), (f), (h) lamina tebal 9 mm
Gambar 8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat
(Mujiman, 2015)
111
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
112
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
113
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
114
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
115
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
116
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
tegangan geser adalah 9,24 MPa dan dengan pola incising 8x8
tegangan geser adalah 8,97 MPa. Balok laminasi bambu pada
tekanan kempa 2,5 MPa untuk balok referensi tegangan geser
adalah 7,89 MPa, dengan pola incising 4x4 tegangan geser adalah
10,55 Mpa, pola incising 6x6 tegangan geser adalah 9,80 MPa dan
pada pola incising 8x8 tegangan geser adalah 8,73 MPa. Pengujian
eksperimental tegangan geser balok laminasi yang optimum adalah
pada pola jarak incising 4x4 dengan tekanan kempa 2 MPa yaitu
sebesar 11,76 MPa.
117
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
(b)
Gambar 8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang (garis netral pada
perbatasan) balok komposit lantai beton-bambu laminasi
118
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
119
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
120
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
121
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
(a) (b)
Gambar 8.8. Konektor pelat baja: (a) pelat dikarter, (b) pelat polos (non-
dikarter)
(a) (b)
Gambar 8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok: (a)
sambungan balok-balok, (b) sambungan balok-kolom pojok interior
122
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
123
Bambu Laminasi
213
Struktur dan Rekayasa Bambu
124
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
125
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
126
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu
DAFTAR PUSTAKA
127
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
128
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
129
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
130
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
131
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
132
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
133
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu
BIODATA PENULIS
134
Daftar Pustaka