Anda di halaman 1dari 144

ISBN: 978-602-9000-11-5

STRUKTUR DAN
REKAYASA BAMBU

Oleh:
I Gusti Lanang Bagus Eratodi

PENERBIT
UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL
DENPASAR BALI

i
STRUKTUR DAN
REKAYASA BAMBU

Penulis
Dr. I Gusti Lanang Bagus Eratodi, S.T., M.T.

ISBN: 978-602-9000-11-5

Desain Sampul dan Tata Letak


I Gusti Bagus Yuda Swastika, S.H.

Penerbit
Universitas Pendidikan Nasional
Jl. Bedugul No. 39, Sidakarya
Denpasar Bali

Cetakan Pertama, 2017


Edisi Pertama
iv + 211 Halaman, 15 x 23 cm
Ketebalan: 1 cm

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa sehingga Buku
Struktur dan Rekayasa Bambu ini dapat terwujud. Dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting.
Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik
untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras,
mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan
sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah
dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di
sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi
masyarakat pedesaan. Bambu telah sejak lama dikenal sebagai bahan
multi-fungsi, yang salah satunya sebagai bahan bangunan. Pemrosesan
bambu sebagai bahan bangunan juga telah dipahami oleh masyarakat
pengguna bambu secara tradisional, terutama pemilihan jenis bambu,
masa penebangan bambu, proses pengawetan bambu, proses pengeringan
dan rekayasa bambu sebagai bahan bangunan unggulan.
Buku ini disusun sebagai bahan informasi global tentang bambu yang
terdiri dari 7 (tujuh), dimulai dari anatomi bambu, sifat fisika bambu, sifat
mekanika bambu, sifat pengawetan bambu, sifat kimia bambu,
kemunduran bambu dan modifikasi bambu.
Akhirnya, ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi penyusunan
buku ini sehingga dapat bermanfaat bagi umat manusia, terutama
menggugah para ilmuwan untuk menjadikan bambu bagian integral dari
gerakan untuk maju bersama bambu dan selaras dengan semangat
pelestarian hutan. Harapannya melalui buku ini, informasi tentang bambu
dan rekayasa bambu dapat diketahui masyarakat umum dan sebagai daya
dorong masyarakat memanfaatkan bambu lebih lanjut.

Denpasar, 06 Januari 2017


Penulis,

iii
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL i
HALAMAN JUDUL ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR TABEL viii
BAB I ANATOMI BAMBU 1
I. Parameter Penentu Sifat Anatomi Bambu 7
II. Beberapa penelitian terkait Anatomi Bambu 8
III. Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan
Wulung dalam Arah Longitudinal 11
BAB II SIFAT FISIKA BAMBU 13
I. Kadar Air (Moisture Content) 15
II. Berat Jenis (Specific Gravity= SG) dan
Kerapatan (Density) 17
III. Kembang susut (Shrinkage and Swelling) 18
IV. Hasil-hasil penelitian tentang sifat Fisika
Bambu 20
BAB III SIFAT MEKANIKA BAMBU 25
I. Kuat tekan 25
II. Kuat tarik 27
III. Kuat geser sejajar serat 29
IV. Modulus lentur (Modulus of Rupture (MOR)) 31
V. Modulus elastisitas (Modulus of Elasticity
(MOE)) 33
BAB IV SIFAT PENGAWETAN BAMBU 36
I. Pengawetan Bambu 36
II. Proses Pengawetan Bambu 39
III. Pengolahan Bambu 46
BAB V SIFAT KIMIA BAMBU 57
I. Sifat Kimia Umum 57
II. Pengujian Kandungan Kimia Bambu 59
III. Intisari Kimia Bambu 74
BAB VI KEMUNDURAN BAMBU 76
I. Penguraian Dinding Sel 76
II. Penurunan Kualitas Dinding Sel 76
III. Penelitian terkait dengan kemunduran Bambu 79
IV. Intisari Kemunduran Bambu 86
BAB VII REKAYASA BAMBU 88
I. Definisi Rekayasa Bambu 88
II. Rekayasa Stabilisasi Warna 89

iv
III. Bambu lapis 90
IV. Bambu lamina 93
V. Papan Semen 94
VI. Arang 95
VII. Pulp 97
BAB VIII BAMBU LAMINASI 100
I. Definisi Bambu Laminasi 100
II. Teknik Perekatan 102
III. Rekayasa Bambu Laminasi 104
DAFTAR PUSTAKA 127

v
DAFTAR TABEL

No. Keterangan halaman

1.1. Jenis Bambu di Indonesia 3


1.2. Komponen Anatomi Bambu Menurut Tempat Tumbuh 10
1.3. Hasil rata-rata prosentase Parenkim (%) pada 3 jenis
bambu dan 3 posisi contoh uji dalam batang 11
1.4. Hasil rata-rata prosentase Massa Serat (%) pada 3 jenis
bambu dan 3 posisi contoh uji dalam batang.. 11
1.5. Hasil rata-rata Panjang Serat (mikron) pada 3 jenis bambu
dan 3 posisi contoh uji dalam batang 12
1.6. Kandungan tepung (%) pada 6 jenis bambu 12
2.1. Nilai sifat fisika dan mekanika bambu ater, bitung dan
andong 21
2.2. Sifat Fisika Bambu pada Umur 3-5 tahun menurut tempat
tumbuhnya 21
2.3. Nilai Kadar Air (%) berdasarkan usia dan posisi 21
2.4. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh 22
2.5. Sifat fisika bambu laminasi 22
2.6. Kembang susut bambu menurut spesies dan posisi batang 22
2.7. Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah 23
2.8. Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu 23
3.1. Kuat Tekan rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi 26
3.2. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven 28
3.3. Kuat tarik bambu kering oven 28
3.4. Kuat Tarik Rata-rata Bambu pada berbagai posisi 29
3.5. Tegangan Batas Lentur Bambu 32
3.6. Modulus Elastisitas Lentur Bambu 33
3.7. Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa apus
Kurz, Gigantochloa Verticillata Munro, dan
Dendrocalamus asper Backer (Siopongco dan Munandar) 34
3.8. Sifat Mekanika bambu hitam dan bambu apus 34
3.9. Kuat batas dan tegangan ijin bambu 35
3.10. Sifat mekanik bambu berdasarkan kondisi ketinggian
tempat tumbuh bambu 35
4.1. Bubuk yang ditemukan pada bambu 45
4.2. Penyebaran jenis bubuk pada bambu 46
4.3. Penetrasi persenyawaan bor pada dua belas jenis bambu 47
4.4. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu 48
4.5. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7
pada tiga jenis bambu 49
4.6. Penembusan bahan pengawet pada bambu yang direndam
secara vertikal 50

vi
4.7. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali 52
4.8. Hasil pengamatan Penetrasi longitudinal 52
5.1. Analisis kimia bambu 59
5.2. Analisis kimia menurut standard ASTM 60
5.3. Komposisi kimia dari bambu 65
5.4. Analisis kimia 10 jenis bambu 75
6.1. Pengkodean Uji panel 81
6.2. Kondisi iklim di PUSPIPTEK Serpong-Tangerang dari
Juni 2001 sampai Mei 2002 83
6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83
6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 83
7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali
(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan 90
7.2. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis 91
7.3. Sifat fisik dan mekanik bambu lapis 92
7.4. Nilai sifat fisik dan mekanik bambu lamina 93
7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu 95
7.6. Sifat arang bambu 96
7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung 97
8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat 105
8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu
laminasi 105
8.3. Pengaruh lebar lamina pada MOE dan MOR 106
8.4. Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan bambu
laminasi 106
8.5. Kekuatan papan laminasi bambu Petung 107
8.6. Pengaruh umur bambu pada kekuatan lentur balok bambu
laminasi 108
8.7. Pengaruh umur bambu pada kekuatan geser balok bambu
laminasi 108
8.8. Kekuatan dan kekakuan balok uji 109
8.9. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu
Petung 110
8.10. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi bambu
Ampel 110

vii
DAFTAR GAMBAR

No. Keterangan halaman


1.1. Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan 2
1.2. Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan 2
1.3. Sel bambu 4
1.4. Ilustrasi morfologi nodia 5
1.5. Potongan internode batang bambu (Cross sectional view) 5
1.6. Cross section batang bambu (magnifikasi 10x) 5
1.7. Potongan Longitudinal Bambu yang menampilkan
Anatominya 6
1.8. Susunan parenkim bambu pada bagian dalam bambu,
skala 55µm.. 6
1.9. Susunan serat bambu 6
2.1. Distribusi serat beraneka ragam ukuran pada irisan bambu
(arah tangensial) 16
2.2. Penurunan kadar air bambu menyebabkan bambu
menyusut dan melengkung (swelling) 19
2.3. Keluar-masuknya air terikat pada dinding sel berakibat
terjadinya kembang-susut 19
2.4. Makroskopik batang bambu, tampak arah longitudinal
(A), bambu terbelah (B) dan tampilan arah tangensial
serta radial (C) 19
3.1. Uji Tekan Bambu 26
3.2. Hasil Uji Tekan Bambu 27
3.3. Pengujian kuat tarik sejajar serat 27
3.4. Hasil Uji Tarik Bambu 28
3.5. Hasil Uji Tarik Bambu Ori, Bambu Petung dan Baja 29
3.6. Uji Geser Bambu 30
3.7. Hasil Uji Geser Bambu 31
3.8. Uji Lentur (Bending) Batang Bambu 32
3.9. Hasil Uji Lentur Bambu 32
4.1. Proses pengawetan bambu tradisonal bambu dengan
perendaman 37
4.2. Sistem pengawetan Boucheri 38
4.3. Sistem pengawetan Boucheri-Morisco 38
4.4. Pengawetan bambu metode boucheri 51
4.5. Metode pengeringan bambu dengan cara pengasapan 54
5.1. Kandungan ekstraktif bambu pada usia dan lokasi berbeda 65
5.2. Kandungan ekstraktif alcohol-toluene dari bambu usia
tiga tahun dengan lapis horizontal yang berbeda 66
5.3. Kandungan ekstraktif air panas dari bambu pada usia dan
ketinggian lokasi berbeda 67

viii
5.4. Kandungan ekstraktif air panas dari lapis horizontal
bambu berbedakan 67
5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda 68
5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda 69
5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan
tinggi yang berbeda 70
5.8. Kandungan Alpha-cellulose pada bambu usia 3 tahun
darilapis horizontal yang berbeda 70
5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan
tinggi yang berbeda 71
5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda 72
5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang
berbeda 73
5.12. Kandungan Abu pada bambu usia 3 tahun dari lapis
horizontal yang berbeda 73
6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi
outdoor 86
6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor 86
8.1. Sistem perekatan dengan lima gaya perekatan 104
8.2. Penampang melintang balok uji 104
8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat 111
8.4. Penampang lamina bilah bambu dengan lubang-lubang
sistem pola incising 116
8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang 118
8.6. Uji balok komposit beton bertulang-bambu laminasi 118
8.7. Geometri model numerikal sambungan balok-kolom
struktur bambu laminasi 121
8.8. Konektor pelat baja 122
8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok 122
8.10. Proses uji siklik sambungan balok-kolom struktur bambu
laminasi dengan konektor pelat baja dikarter 125
8.11. Hubungan tahanan momen-rotasi join sambungan hasil
ekperimen 126

ix
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB I
ANATOMI BAMBU

Bambu di dunia tercatat tumbuh dilebih dari 75 negara dan


terdapat 1250 spesies bambu, selanjutnya kuantitas bambu yang
ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara kira-kira 80% dari
keseluruhan bambu yang ada di dunia. Genus Bambusa
mempunyai jumlah spesies paling banyak, terutama tersebar di
daerah tropis, termasuk Indonesia. Bambu yang bergerombol
dalam rumpun pada dasarnya termasuk tanaman hutan. Bambu
yang tumbuh menjalar pertumbuhannya cenderung merajarela ke
segala arah untuk menguasai lahan yang ada. (Sharma, 1987 dan
Uchimura, 1980). Bambu mempunyai keunggulan sebagai bahan
multi fungsi, tanaman cepat tumbuh (3 - 5 tahun), dan mempunyai
sifat kuat tarik yang hampir mendekati baja. Rittirong dan Elnieri
(2007), memaparkan penggunaan bambu yang dibagi dalam bambu
tradisional (konvensional) dan bambu rekayasa (mengalami proses
manufaktur). Bambu berdasarkan pertumbuhannya, dapat
dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu bambu simpodial dan
bambu monopodial (Morisco, 2005). Bambu simpodial tumbuh
dalam bentuk rumpun, setiap rhizome hanya akan menghasilkan
satu batang bambu, bambu muda tumbuh mengelilingi bambu yang
tua. Bambu simpodial tumbuh di daerah tropis dan subtropis,
sehingga hanya jenis ini saja yang dapat dijumpai di Indonesia.
Bambu monopodial berkembang dengan rhizome yang menerobos
ke berbagai arah di bawah tanah dan muncul ke permukaan tanah
sebagai tegakan bambu yang individual. Batang bambu terdiri atas
dua bagian yaitu:
a. Nodia (ruas/buku bambu)
Nodia adalah bagian terlemah terhadap gaya tarik sejajar sumbu
batang dari bambu, karena pada nodia sebagain serat bambu
berbelok. Serat yang berbelok ini sebagian menuju sumbu
batang, sedang sebagian lain menjauhi sumbu batang, sehingga
pada nodia arah gaya tidak lagi sejajar semua serat (Morisco
1999). Secara umun nodia mempunyai kapasitas memikul

1
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

bahan yang tidak efektif baik dari segi kekuatan ataupun


deformasi. Meskipun demikian adanya nodia pada batang
bambu mencegah adanya tekuk lokal yang sangat penting
dalam perancangan bambu sebagai elemen tekan (kolom).
b. Internodia (antar ruas)
Internodia adalah daerah antar nodia, semua sel yang terdapat
pada internodia mengarah pada sumbu aksial, sedang pada
nodia mengarah pada sumbu transversal. Tiap-tiap jenis bambu
mempunyai jarak internodia yang berbeda-beda. Bagian
internodia adalah bagian yang paling kuat dari bambu, sehingga
mempunyai kapasitas memikul bahan yang efektif.

a b
Gambar 1.1. Kelompok tunas bambu berdasarkan pertumbuhan:
a. Simpodial; b. Monopodial

a b
Gambar 1.2. Kelompok bambu berdasarkan pertumbuhan:
a. Bambu Simpodial; b. Bambu Monopodial

2
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Menurut Krisdianto, dkk. (2005) tanaman bambu di Indonesia


merupakan tanaman bambu simpodial, dengan batang-batang yang
cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan
rhizomnya di dalam tanah. Batang bambu yang lebih tua berada di
tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses
penebangannya. Di Indonesia terdapat lebih dari 13 spesies bambu
yang biasa digunakan masyarakat untuk struktur bangunan, seperti
yang tercantum pada Tabel 1.1. berikut:
Tabel 1.1. Jenis Bambu di Indonesia (Krisdianto dkk, 2005)
Nama Ilmiah Nama Lokal
Bambusa Spinosa Bluemeana Bambu duri, bambu gesing, bambu
greng, haur cucuk, pring greng
Bambusa Bambos Cruce Bambu duri, pring ori
Bambusa Multiplex Raeusech Awi krisik, bambu cina, pring gendani,
pring cendani, bambu pagar
Bambusa Vulgaris Schrad Bambu tutul, jajang gading, awi
koneng
Dendrocalamus Asper (Schult, F) Awi betung, bambu petung, deling
Black ex Heyne peting, jajang betung, pring petung
Gigantochloa Verticillite (Willa) Andong gombong, awi gombong,awi
Munro hideung, bambu hitam, pring wulung,
pereng sorat
Gigantochloa Nigrociliata (Bues) Bambu lengka tali, awi tela, bambu
Kurz lengka
Gigantochloa Apus Awi tali, bambu tali, deling apus, pring
tali, pring apus
Gigantochloa Hasskarlina (kurz) Back Awi lengka tali, awi tela
ex Heyne
Phyllostachuhys Aurea Pring unceu, bambu cina
Schizostashyum Blumei Nees Awi bunar, awi tamiyang, pring
wuluh, buluh sumpitan
Schizostashyum Zollingeri (Steud) Bambu perling, awi cakeutreauk
Kurz
Schizostachy Branchycladium Kurz Awi bulu

Strukur anatomi batang bambu ditentukan oleh bentuk, ukuran,


susunan dan jumlah berkas pengangkutan. Jumlah berkas
pengangkutan lebih banyak pada bagian luar dari pada bagian
dalam. Bagian luar berbentuk bulat telur dan kecil, sedangkan pada
bagian dalam berbentuk bulat dan besar. Semakin sedikit ke arah
ujung batang semakin rapat (Liese, 2000).

3
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Penelitian Feng (2014), susunan sel bambu seperti tampak


pada Gambar 1.1. Anatomi struktur batang bambu menentukan
karakteristiknya. Bambu-bambu bersifat seperti rumput-rumputan
yang tinggi dan tidak seperti pohon-pohon, pertumbuhannya hanya
tunggal tanpa pertumbuhan sekunder. Parenkim dan sel
penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari
kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar.
Susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki
kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara
parenkimnya berkurang.

Gambar 1.3. Sel bambu (Osorio dkk, 2010).

Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat


dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes), Dransfield
dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak
ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih
banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada
ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah
besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang.
Penelitian struktur anatomi dari ruas/nodia bambu telah dilakukan
oleh Ota dan Sugi (1953), Grosser dan Liese (1971), Zee (1974),
Hsiung dkk. (1980), dan Younus-Uzzaman (1990). Liese,(1997),

4
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

melakukan penelitian struktur nodia bambu monopodial dan


sympodial. Struktur nodal berpengaruh pada pergerakan cairan
selama pengeringan dan pengawetan, dan mempengaruhi beberapa
sifat fisik dan mekanika batang bambu. Simpul dari batang bambu
terdiri dari upper edge of diaphragm, ridge nodal, diafragma,
sheath scar, ektra-node (Gambar 1.2). Serat dan sel parenkim di
daerah nodal granulae sering mengandung pati (Gambar 1.3).

Gambar 1.4. Ilustrasi morfologi nodia (Ding dkk, 1997).

Gambar 1.5. Potongan internode batang bambu (Cross sectional view)

Gambar 1.6. Cross section batang bambu (magnifikasi 10x)

5
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 1.7. Potongan Longitudinal Bambu yang menampilkan


Anatominya

Gambar 1.8. Susunan parenkim bambu pada bagian dalam bambu,


skala 55µm.

Gambar 1.9. Susunan serat bambu

6
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Keterangan:
L1 – L4 = Lapisan papan (broad layers);
N1 – N3 = Lapisan sempit (narrow layers);
O = Lapisan terluar dari dinding kedua (outermost layer of the
second wall);
P = Dinding primer (primary wall) .
Sumber: Wai , Li dkk 1995

I. Parameter Penentu Sifat Anatomi Bambu


Dalam penelitian tentang parameter penentu sifat-sifat
anatomi bambu, meliputi kerapatan berkas pengangkutan proporsi
sel: pembuluh, parenkim, massa serat dan dimensi serat.
Pengambilan contoh benda uji dilakukan dengan memotong setiap
bagian bambu secara longitudinal.
Pembuatan preparat untuk mengukur kerapatan berkas
pengangkutan dan proporsi masing-masing sel penyusun batang
bambu dilakukan dengan mengiris bagian internodia beberapa
penampang melintang dengan ketebalan 20 mikron. Pengirisan
dengan mikrotom. Preparat yang dihasilkan dipotret dengan foto-
mikroskop pada pembesaran 32 kali. Pemotretan dilakukan di
dalam medan penglihatan dalam mikroskop dan diarahkan pada
posisi dalam, posisi tengah, dan posisi luar dari ketebalan bambu.
Foto yang dihasilkan diukur dimensi panjang dan lebarnya,
kemudian digunakan untuk memisahkan bagian foto yang berisi
jaringan bambu dari bagian foto yang tidak berisi jaringan bambu.
Bagian foto yang berisi jaringan batang bambu ditimbang dan
dihitung jumlah berkas pengangkutan. Bagian foto yang berisi
gambar jaringan batang bambu kemudian digunting-gunting lagi
mengikuti garis-garis batas kelompok masing-masing unsur
penyusun struktur anatomi bambu untuk memisahkan satu unsur
dengan terhadap unsur yang lainnya. Setiap bagian foto yang
bergambar kelompok unsur penyusun anatomi itu kemudian
ditimbang.
Kerapatan berkas pengangkutan ditentukan dengan persamaan:
Jbp 1
BP   (1)
A m2

7
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

dimana:
BP = kerapatan berkas pengangkutan dalam satuan/cm2;
Jbp = jumlah unit-unit berkas pengangkutan yang tergambar struktur
anatomi bambu (cm2);
m = perbesaran yang diberlakukan pada foto-mikroskop.

Proporsi masing-masing unsur penyusun struktur anatomi bambu


ditentukan dengan persamaan:
 Wpo 
Prop     100% (2)
 Wsa 
dimana:
Prop = proporsi atau prosentase unsur tertentu penyusun struktur
anatomi batang bambu (%);
Wpo = berat foto yang bergambar unsur tertentu penyusun strukutr
anatomi yang bersangkutan (gram);
Wsa = berat seluruh format foto yang bergambar struktur anatomi
bambu;

Panjang serat bambu ditentukan berdasarkan diri pada metode


maserasi dan pengukuran yang diterapkan oleh Forest Product
Laboratory. Maserasi dilakukan dengan memasukkan serpih
bambu berukuran 2 x 2 x 40 mm ke dalam tabung reaksi tertutup
berisi campuran antara CH3COOH dan H2O2 dengan perbandingan
1:20, kemudian tabung itu direbus dalam refluks kondensor selama
4 jam. Hasil maserasi dicuci hingga masing-masing serat bambu
saling terpisahkan. Serat bambu diwarnai dengan safranin. Setelah
dibiarkan selama 24 jam, serat bambu dipindahkan dengan bantuan
pipet ke atas gelas preparat, serat dipisah-pisahkan dengan bantuan
jarum dan ditutup dengan gelas penutup. Panjang serat diukur
dengan menggunakan kurvimeter dan pengukuran dilakukan
dibawah fibroskop yang telah diketahui besarannya. Setiap
preparat diukur 200 buah serat.

II. Beberapa Penelitian Terkait Anatomi Bambu


A. Komponen Kimia dan Anatomi Tiga Jenis Bambu
(Chemical Component and Anatomical Features of Three
Species of Bambu)
E. Manuhuwa dan M. Loiwatu meneliti pada 3 lokasi (Buria,
Morekao, Tala), terhadap 3 jenis bambu (Dendrocalamus asper,
Schizostachyium brachycladum, Schyzotachium lima), dan 3 posisi
dalam batang (pangkal, tengah dan ujung). Tujuan penelitian

8
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

adalah untuk mengukur komponen kimia dan anatomi 3 jenis


bambu (Dendrocalamus asper, Schizostachyium brachycladum,
Schyzotachium lima) asal 3 kecamatan Seram bagian barat
(Taniwel, Piru, Kairatu), dan 3 bagian batang (pangkal, tengah dan
ujung). Percobaan faktorial dalam rancangan petak terpisah
digunakan dalam penelitian dengan 3 ulangan.
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh signifikan lokasi
terhadap kadar lignin, diameter sel serat dan rongga sel serat dan
proporsi sel parensim; jenis bambu terhadap panjang dan diameter
sel serat; posisi dalam batang terhadap kadar ekstraktif larut air
dingin, ekstraktif larut alkohol benzen, panjang dan diameter sel
serat, dan diameter sel serat. Ekstraktif larut air dingin berkisar
3,10-3,79%; larut air panas 5,43-6,23%; larut alkohol benzen
3,37%-4,10%; alfa selulosa 44,22%-46,94%; holoselulosa 71,97%-
75,57%; lignin 26,00%-27,37%; panjang sel serat 3,40mm-
3,96mm; diameter sel serat 4,34mikron-4,91mikron; diameter
rongga sel serat 2,74mikron-3,23mikron; tebal dinding sel serat
0,76mikron-0,91mikron proporsi sel parensim 51,95%-56,85%;
proporsi sel serat 27,81%-62,66%; dan proporsi sel pori 12,39%-
14,60%.
Komponen anatomi mengacu pada Pedoman LPHH (Silitonga
dkk, 1972) dan metode Kaakinen dkk (2004) serta Nugroho dkk
(2005) untuk pengukuran dimensi serat dan proporsi sel. Rumus
untuk menghitung 100 serat pendahuluan menurut Kasmudjo, 1998
sebagai berikut :
( fixi ) 2
fiXi 2
4S 2 n fiXi
N dengan, S2 = dan L =  0,05
L2 n 1 n
dimana:
N = Jumlah serat yang diukur;
S = Standar deviasi;
L = Nilai rata-rata panajng serat kali 0,05 (error 5% diangap telah
memadai);
Xi = Panjang serat;
Fi = Frekwensi serat (yang sama ukurannya);
N = Jumlah serat yang diukur pada pengukuran pendahuluan (100 serat).

9
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Pengukuran diameter serat dan diameter lumen dapat


dilakukan secara langsung dengan menggunakan program Image
Pro Plus V 4.5. Cara pengukuran proporsi sel menggunakan
program Image Pro Plus V 4.5 dengan spacing horizontal dan
vertikal masing-masing 100 dan gambar foto anatomi bambu yang
diukur pada penampang melintang (x). Selanjutnya foto anatomi
bambu tersebut dihitung jumlah titik dot grid dengan menggunakan
manual Tag, kemudian hasil perhitungan tersebut di ekspor ke
Microsoft Excel (Nugroho dkk, 2005).
Tabel 1.2. Komponen Anatomi Bambu Menurut Tempat Tumbuh
KOMPONEN ANATOMI
DIMENSI SEL (mm dan Mikron)
Panjang tn-*- 3,79 3,56 3,70 3,90 3,55 3,57 3,96 3,67 3,40
Serat **
Diameter **-**- 4,91 4,44 4,59 4,91 4,60 4,44 4,97 4,72 4,34
Serat **
Diameter **-tn- 3,10 2,92 2,98 3,10 3,00 2,90 3,23 3,02 2,74
Lumen **
Tebal tn-tn- 0,91 0,76 0,80 0,90 0,80 0,77 0,91 0,80 0,77
Dinding tn
Sel
PROPORSI SEL (%)
Sel *-tn-* 55,44 53,10 56,71 54,79 54,79 56,85 56,83 55,67 51,95
Parensim
Sel Serat tn-tn-* 32,31 62,66 29,99 32,64 39,03 33,03 27,81 31,84 35,31
Sel Pori tn-tn- 12,39 14,33 14,05 12,58 14,96 13,23 14,60 13,43 13,13
tn
Keterangan: **=sangat nyata, *=nyata dan tn=tidak nyata; B=Buria;

B. Kesimpulan
1. Lokasi yang berbeda memberikan interaksi yang signifikan
terhadap kandungan lignin bambu, diameter serat, diameter
lumen, dan proporsi sel parensim.
2. Jenis bambu yang berbeda memberikan interaksi yang
signifikan terhadap panjang dan diameter sel serat.
3. Posisi batang bambu yang berbeda memberikan interaksi yang
signifikan terhadap ekstraktif larut panas, ekstraktif larut
alkohol benzen, panjang dan diameter serat, serta diameter
lumen.
4. Rata-rata ekstraktif larut air dingin bambu berkisar antara
3,10%-3,79%; ekstraktif larut air panas 5,43%-6,23%;
ekstraktif larut alkohol benzen 3,37%-4,10%; alfa selulosa

10
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

44,22%-46,94%; holoselulosa 71,97%-75,57%; lignin 26,00%-


27,37%.
5. Rata-rata panjang sel serat bambu berkisar antara 3,40mm-
3,96mm; diameter serat 4,34mikron-4,91mikron; diameter
lumen 2,74 mikron-3,23mikron; tebal dinding sel serat 0,76
mikron-0,91mikron; proporsi sel parensim 51,95%-56,85%;
proporsi sel serat 27,81%-62,66%, dan proporsi sel pori
12,39%-14,60%.

III. Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan Wulung


dalam Arah Longitudinal
Yustinus Suranto meneliti tiga jenis bambu yang ditebang
masing-masing sebanyak 3 batang dari desa Degolan, Kec.
Ngentak, Kab. Sleman. Setiap batang dibedakan lagi dalam arah
longitudinal sebagai bagian pangkal, tengah dan ujung batang.
Setiap bagian batang ini diteliti kerapatan berkas pengangkutan,
proporsi parenkim, proporsi pembuluh, proporsi masa serat, dan
panjang seratnya.
A. Proporsi parenkim
Tabel 1.3. Hasil rata-rata prosentase Parenkim (%) pada 3 jenis bambu
dan 3 posisi contoh uji dalam batang
Jenis bambu Posisi Contoh Uji
Pangkal Tengah Ujung
Ampel 50,834 43,437 42,101
Ori 55,450 47,633 42,791
Wulung 46,368 44,156 43,082

B. Proporsi Massa Serat


Tabel 1.4. Hasil rata-rata prosentase Massa Serat (%) pada 3 jenis bambu
dan 3 posisi contoh uji dalam batang
Jenis bambu Posisi Contoh Uji
Pangkal Tengah Ujung
Ampel 41,703 45,472 45,921
Ori 37,095 40,217 42,950
Wulung 45,827 47,415 45,173

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proporsi perenkim


dan pembuluh berbeda-beda pada jenis bambu dan arah

11
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

longitudinal. Proporsi masa serat hanya berbeda dalam jenis saja.


Sementara itu, panjang serat tidak berbeda dalam jenis bambu
maupun posisi longitudinal batang.
C. Proporsi Panjang Serat
Tabel 1.5. Hasil rata-rata Panjang Serat (mikron) pada 3 jenis bambu dan
3 posisi contoh uji dalam batang
Jenis bambu Posisi Contoh Uji
Pangkal Tengah Ujung
Ampel 3814,629 3240,139 3093,136
Ori 3359,306 3700,502 3040,088
Wulung 3103,612 3318,511 2830,858

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proporsi perenkim


dan pembuluh berbeda-beda pada jenis bambu dan arah
longitudinal. Proporsi masa serat hanya berbeda dalam jenis saja.
Sementara itu, panjang serat tidak berbeda dalam jenis bambu
maupun posisi longitudinal batang.
D. Kandungan tepung pada enam jenis bambu (%)
Tabel 1.6. Kandungan tepung (%) pada 6 jenis bambu
Pangkal Tengah Ujung Rata-rata
Spesies
(%) (%) (%) (%)
1. Bambusu vulgaris 5,71 6,91 7,61 6,75
(bambu Ampel)
2. Gigantochloa apus 1,01 0,91 1.04 1,01
(bambu Apus)
3. Bambusa 0,17 0,15 0,21 0,18
arundinacea (bambu
Ori) 1,15 0,91 1,62 1,23
4. Gigantochloa
atroviolacea (bambu
Wulung) 0,34 0,68 1,27 0,76
5. Gigantochloa
verticillata (bambu 1,59 2,22 2,03 1,95
Legi)
6. Dendrocalamus
asper(bambu Petung)
Rata-rata 1,67 1,96 2,30 1,98

12
Anatomi Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB II
SIFAT FISIKA BAMBU

Bambu mempunyai ruas dan buku, pada setiap ruas tumbuh


cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan
dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar
sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak
tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-
tunas rimpangnya.
Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis, kadar dan kembang
susut. Kualitas bambu sangat tergantung dari nilai sifat fisika
bambu. Semakin tinggi kualitas bambu akan ditunjukkan oleh nilai
berat jenis yang tinggi, kadar air yang rendah dan kembang susut
yang rendah. Sehingga dalam pemilihan bambu akan sangat perlu
melihat sifat fisika dari bambu yang akan kita pakai.
Bambu sangat sensitif terhadap perubahan kadar air udara atau
kelembapan udara. Sifat fisika bambu adalah perilaku fisik bambu
sebagai tanggapan terhadap perubahan kondisi udara di sekitar
tempat tumbuh bambu. Sifat fisika bambu terdiri dari berat jenis,
kadar dan kembang susut. Kualitas bambu sangat tergantung dari
nilai sifat fisika bambu. Semakin tinggi kualitas bambu akan
ditunjukkan oleh nilai berat jenis yang tinggi, kadar air yang
rendah dan kembang susut yang rendah. Kadar air dan berat jenis
merupakan sifat fisika bambu yang dapat mempengaruhi sifat
mekanika bambu. Pada batang bambu yang baru dipotong kadar air
berkisar antara 50-99% dan pada bambu kering sekitar 12-18%.
Berat jenis bambu berkisar antara 600-900 kg/cm3 (Taurista dkk,
2006). Pemilihan bambu sangat perlu melihat sifat fisika dari
bambu yang akan digunakan.
Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisika bambu adalah
umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi
beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke
bagian dalam dan kadar air bambu. Lu Xiu-xin, dkk (1985) (dalam
Janssen, 1991) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh
umur dan tempat tumbuh bambu terhadap kadar air dan berat jenis

13
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

bambu. Setiap macam pengujian dan setiap daerah asal bambu


menggunakan lebih dari 200 spesimen. Bambu diambil dari empat
daerah di Propinsi Shandong, dari umur 1 – 7 tahun.
Sifat fisika merupakan informasi penting guna memberi
petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang
dihasilkan. Hasil pengujian sifat fisis bambu telah diberikan oleh
Ginoga (1977) dalam Krisdianto 2005, dalam taraf pendahuluan.
Pengujian dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.)
dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal
yang mempengaruhi sifat fisis adalah umur, posisi ketinggian,
diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas),
posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air
bambu. Titik jenuh serat bambu 20-30%. Bagian dalam bambu
lebih banyak mengandung lengas (air bebas), daripada bagian luar.
Bagian buku-buku (nodes) mengandung +10% lebih sedikit kadar
airnya dari pada bagian ruasnya. Bambu kurang tahan jika
dipergunakan sebagai tulangan beton karena daya serap airnya
bisa mencapai 300%. Bambu perlu diawetkan agar dapat mencapai
mutu dan umur yang diharapkan. Penggunaan pada konstruksi
bangunan harus dihindarkan dari hujan dan panas matahari
langsung, agar tidak mudah rapuh dan membusuk.
Kebanyakan bambu tumbuh pada temperatur 8.8° C sampai
36° C. Moso dan bambu Ma yang tumbuh di Jepang dapat tumbuh
pada temperatur – 10° C. Ketinggian tanah dimana bambu tumbuh
dapat mencapai 3.600 m di atas permukaan laut seperti bambu
yang tumbuh di Ekuador. Bambu umumnya tumbuh pada tanah
yang berpasir (sandy loam) sampai di tanah liat (kuning, coklat
kekuning-kuningan atau merah kekuning-kunigan). Kualitas tanah
tidak penting bagi pertumbuhan bambu.
Moisture content bambu, Phisikal propertis, Mekanikal/
teknikal propertis sebagaimana juga dalam penggunaan bambu
sebagai bahan baku atau komponen bangunan tergantung dari
kadar airnya (moisture content). Kadar air bambu pada buku dan
batang sangat tergantung pada umur dan musim. Pada batang antar
buku dapat mencapai 25% dibandingkan dengan pada bagian buku

14
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

sedangkan pada bagian dasar sangat bervariasi. Pada daerah


subtropical musim sangat mempengaruhi moisture content
(kandungan air) bambu dan pada musim hujan dapat mencapai dua
kalinya. Kandungan air bambu ini sangat mempengaruhi kualitas
bambu terutama pada saat akan dimanfaatkan sebagai komponen
bangunan.
Pemuaian dan penyusutan bambu hampir sama dengan
kayu. Perubahan yang terjadi pada panjang, lebar serta tebal
kurang lebih proporsional dengan kadar air yang dikandung. Pada
penggunaan konstruksi yang seluruhnya menggunakan bambu
kondisi ini tidak begitu berpengaruh pada konstruksi, berbeda
dengan konstruksi yang menggunakan kombinasi antara bambu
dan kayu kemungkinan terlepasnya sambungan sangat besar.
Ketahanan api bambu, dibandingkan dengan kayu lunak
sejenis spruce (famili pinus) maka bambu mempunya daya rambat
yang lebih baikSpruce terbakar lebih cepat sedangkan bambu dua
kali lebih lama. Kulit bambu yang mengandung silisic acid sangat
membantu menahan rambatan api shingga proses terbakarnya lebih
lama dibandingkan spruce. Komponen yang dipasang secara
horizontal lebih tahan dibandingkan dengan yang posisinya
vertikal.
I. Kadar Air (Moisture Content)
Kadar air terdiri dari tiga jenis,
a. Kadar air segar, nilai kadar air bambu saat masih bambu sesaat
baru ditebang (fresh moisture content), nilai kada air bambu
sangat tinggi bahkan bisa melampaui
b. Kadar air TJS, kadar air setelah bambu diawetkan baik secara
tradisional maupun modern dimana dinding sel bambu dalam
keadaan penuh berisi air sedangkan lumenselnya kosong air.
c. Kadar air ovendry, kadar air setelah bahan bambu di
oven/dikeringkan sampai air dalam dinding sel dan lumen sel
menguap seluruhnya.

15
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Kandungan air dalam bambu teridi dari dua jenis yaitu air terikat
(bound water) dan air bebas (free water)
a. Air terikat adalah air yang berada pada dinding sel yang terikat
akibat gaya ikatan antara air dan molekul selulosa. Jika air
terikat habis sering disebut kering tanur, sedangkan jika air
terikat tidak habis sedangkan air bebas tidak ada disebut kering
angina.
b. Air bebas air yang berada pada lumen sel akibat gaya pipa
kapiler.
Kering angin tergantung tempat dimana bambu berada dan terjadi
kadar air seimbang sekitar 3-6 bulan.
Kadar air (Moisture content) dihitung dengan menggunakan
rumus:
berat air dalam bambu
Moisture content (%) = x 100% (1)
berat total bambu
Nilai kadar air akan meningkat setelah dilaksanakan perekatan
pada pembuatan bambu laminasi, hal ini diakibatkan oleh
kandungan air yang terdapat pada bahan perekat. Semakin kecil
nilai RS (resin solid) dalam spesifikasi yang tercantum pada bahan
perekat menunjukkan semakin besar jumlah air yang
dikandungnya. Jumlah air ini akan masuk ke sel bambu saat proses
perekatan dan pengempaan sehingga akan meningkatkan kadar air
bambu.

Gambar. 2.1. Distribusi serat beraneka ragam ukuran pada irisan bambu
(arah tangensial)

16
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

II. Berat Jenis (Specific Gravity= SG) dan Kerapatan (Density)


Berat Jenis
Berat jenis merupakan sifat fisika yang terbaik dalam
memprediksi sifat suatu bahan. Berat jenis bambu berkisar 0,4-0,8.
Berat jenis diukur dari jumlah zat padat yang terkandung didalam
dinding sel. Merupakan rasio dari berat kering oven (ovendry =
OD) pada kadar air 0% bahan bambu terhadap berat yang sama
volume dalam air. Berat jenis dapat dihitung dengan rumus:
berat OD bambu
SG = (2)
berat bambu dalam air
Dalam pengukuran berat jenis ada dua jenis, yaitu:
a. Variasi Radial
Berat jenis yang diukur berdasarkan spesimen bambu arah
radial (dari dalam ke sisi luar bambu.
b. Variasi Longitudinal
Berat jenis yang diukur berdasarkan spesimen bambu arah
logitudinal (sepanjang dan sejajar arah serat).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap berat jenis bambu:
a. Kadar air, semakin tinggi akan menyebabkan berat jenis
semakin rendah.Berat jenis tertinggi bambu terjadi pada kadar
air 0%,
b. Proporsi tipe sel penyusun volume bambu dan ketebalan
dinding sel. Semakin tebal dinding sel maka semakin tinggi
berat jenis bambu,
c. Ukuran sel dan lumen sel, ukur sel dan lumen sel yang lebar
akan membuat nilai berat jenis bambu semakin rendah
Metode pengujian SG untuk kayu dan non kayu dapat
menggunakan ASTM 1997, Spesimen dipotong kurang lebih 2,5
cm dengan variasi lebar, ketebalan, dan beragam kombinasi antara
lokasi batang (dengan nodia atau tanpa nodia).
Density
Density () didefinisikan sebagai massa per unit volume dengan
rumus:

17
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

 = massa/volume (3)

Density dari bahan bambu sekitar 0,5-0,8 g/cm3. Walaupun


kenyataan dilapangan density bambu melebihi dari 1 g/cm3.
Density dari bahan bambu juga dapat dihitung dengan rumus
density berat (weight density – Wt density)terhadap volume pada
kadar air tertentu, seperti rumus beikut:
berat bambu pada kadar air tertentu (4)
Wt density =
volumebambu pada kadar air tertentu
Semakin tinggi nilai density bambu maka sifat fisika bambu akan
lebih baik.

III. Kembang susut (Shrinkage and Swelling)


Kembang susut dipelajari rangka mengatasi bambu pecah
pada saat dipakai sebagai bahan konstruksi. Kembang susut terjadi
saat air terikat mulai keluar ataupun masuk pada dinding sel. Saat
air terikat masuk ke dinding sel sampai dengan kondisi TJS bambu
akan mengembang (shrinkage) dan sebaliknya, dari kondisi TJS air
terikat pada bambu keluar dinding sel bambu akan menyusut
(Swelling).

susut

MC= 0%
kembang

Kembang susut arah tangensial sedikit lebih besar bahkan


pada kondisi dan jenis bambu tertentu nilainya sama besar,
sedangkan arah longitudinal nilai kembang susut paling kecil.
Seperti tampak pada gambar 4. posisi arah serat longitudinal,
radial, tangensial, batang dengan nodia dan tanpa nodia
(internodia), posisi arah serat berbeda akan mengakibatkan nilai
kembang suust yang berbeda pula.

18
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar. 2.2. Penurunan kadar air bambu menyebabkan bambu menyusut


dan melengkung (swelling)

Gambar 2.3. Keluar-masuknya air terikat pada dinding sel berakibat


terjadinya kembang-susut

Gambar 2.4. Makroskopik batang bambu, tampak arah longitudinal (A),


bambu terbelah (B) dan tampilan arah tangensial serta radial (C)

Sifat fisika bambu berbagai jenis bambu dipengaruhi oleh beberapa


faktor seperti yang diuraikan sebagai berikut:
A. Usia bambu
Berat jenis berdasar umur bambu, semakin muda bambu maka
berat jenisnya semakin kecil, semakin besar kadar airnya dan

19
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

kembang susutnyapun semakin besar. Begitu pula sebaliknya


semakin tua usia bambu berat jenis akan meningkat sedangkan
kadar air dan kembang susut nilai semakin kecil.
B. Posisi bambu (pangkal, tengah, ujung)
Sifat fisika tergantung posisi bambu, kualitas bambu
mendekati tanah (pangkal) nilai/kualitas nya lebih rendah bila
dibandingkan dengan bambu yang jauh dari pangkalnya.
C. Jenis bambu,
Setiap bambu jenis berbeda akan memiliki sifat fisika yang
berbeda pula. Sifat fisika bambu jenis yang berbeda akan berakibat
pada sifat mekanika dan anatomi bambu yang berbeda pula.
Banyak peneliti sudah melakukan penelitian tentang sifat fisik
bambu yang ada didaerahnya, kuantitas yang terbanyak didaerah
ataupun sesuai kebutuhan eksperimen bambu selanjutnya,
D. Tempat tumbuh,
Tempat tumbuh yang dimaksud dalam hal ini adalah posisi
kemiringan/datarnya tanah dan kandungan air, kesuburan tanah
serta cuaca daerah sekitarnya tempat bambu itu tumbuh. Tempat
tumbuh erat kaitannya dengan sifat fisika bambu yang tumbuh di
tempagt tersebut. Sebagai contoh semakin tinggi kadar air tanah
yang dikandung akan otomatis kadar air bambu yang tumbuh
ditempat tersebut akan tinggi.

IV. Hasil-hasil penelitian tentang sifat Fisika Bambu


Berikut dibawah ini beberapa hasil penelitian berbagai jenis
bambu dan nilai sifat fisikanya:
A. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu ater, bitung dan andong
hasil penelitian Hadjib dan Karnasudirdja (1986)
Hadjib dan Karnasudirja (1986), melakukan penelitian
perbandingan berat jenis bambu yang sering dijumpai di
masyarakat. Berat jenis yang paling tinggi adalah bambu Ater
kemudian bambu bitung dan bambu andong. Besarnya berat jenis
seperti tertera dalam Tabel 2.3.

20
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 2.1. Nilai Sifat Fisika dan Mekanika Bambu Ater, Bitung dan
Andong (Hadjib dan Karnasudirdja, 1986)
No Jenis Bambu Berat Jenis
1 Bambu Ater (Gigantochloa Atter Kurz) 0,71
2 Bambu Bitung (Dendrocalamus Asper Backer) 0,68
3 Bambu Andong (Gigantochloa Apus Kurz) 0,55

Tabel 2.2. Sifat Fisika Bambu pada Umur 3-5 tahun menurut tempat
tumbuhnya (Lu, dkk. 1985)
Daerah Asal bambu
Sancha Luchanya Dahuaya Dajin-
kou
Lingkungan Daerah Di tengah Daerah Daerah
tempat pengunungan pegunungan pantai, datar,
tumbuh dingin, daerah dekat
bambu sepenjang datar, pada sungai
sungai cabang/anak
sungai
Kadar Air (%) 79,02 99,11 80,26 84,97
77,46 76,18 79,45 84,73
77,21 74,02 70,67 81,54
Berar Jenis 717 704 680 679
(kg/m3)

B. Kadar Air (%) Berdasarkan Zhou Fangchun (1980)


Tabel 2.3. Nilai Kadar Air (%) berdasarkan usia dan posisi
Posisi Umur B. vulgaris B. tulda
Pangkal Dewasa 52,8 77,2
Muda 85,7 90,2
Tengah Dewasa 48,7 75,9
Muda 86,3 75,2
Ujung Dewasa 51,9 75,4
Muda 94,5 66,4
Rata-rata Dewasa 50,9 76,8
Muda 88,8 77,3

21
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

C. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh ILL: Xiu-
xin dkk. (1985)
Tabel. 2.4. Kadar air bambu menurut umur dan tempat tumbuh
Umur Daerah asal bambu
(tahun) Sancha Dajinkou Uahuaya Luchanya
1 95,66 88,58 95,53 121,22
2 87,39 86,85 91,96 105,25
3 79,02 84,97 80,26 99,11
4 77,46 84,73 79,45 76,18
5 77,21 81,54 70,67 74,02
6 73,21 80,96 67,87 70,40
7 66,93 71,77 66,52

D. Nilai Sifat Fisika Papan Bambu Laminasi hasil penelitian dari


IM Sulastiningsih dan Nurwati (2009)
Tabel. 2.5. Sifat fisika bambu laminasi
Sifat Fisika Nilai
MC (%) 12.67 – 13.68
Density (g/cm3) 0.71 – 0.75
TS (%) 2.47 – 4.08
LE (%) 0.07 – 0.17

E. Hasil uji kembang-susut bambu (Triwiyono dan Morisco, 2000)


Tabel. 2.6. Kembang susut bambu menurut spesies dan posisi batang
Spesies Posisi Muai Susut Kisaran
rata-rata rata- (%)
( %) rata
( %)
Gigantochloa apus Pangkal 19,129 1,364 20,493
Bambu Apus Tengah 13,586 4,891 18,477
Ujung 11,923 4,479 16,402
Bambusa arundinacea Pangkal 13,073 4,262 17,336
Bambu Ori Tengah 10,873 6,965 17,837
Ujung 11,392 7,499 18,891
Dendrocalamus asper Pangkal 1,852 9,261 11,113
Bambu Petung Tengah 5,856 9,941 15,797
Ujiang 2,935 9,699 12,633
Gigantochloa Pangkal 15,461 2,677 18,138
atroviolacea Tengah 8,284 8,950 17,235
Bambu Wulung Ujung 3,866 7,562 11,428

22
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

F. Hasil Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah dan
kering (Triwiyono dan Morisco, 2000 dalam Morisco 2006)

Tabel. 2.7. Kadar air, berat jenis bambu dalam kondisi basah
Bambu Kering
Bambu Basah
Udara
Nomor Kadar Kadar
Berat Berat
Posisi air air
Jenis Jenis
(%) (%)
Pangkal 1 38,610 0,634 5,381 0,646
2 34,256 0,680 4,390 0,663
3 35,361 0,603 5,909 0,682
rata-rata 36,076 0,639 5,227 0,664

Tengah 1 41,129 0,695 6,250 0,711


2 36,402 0,701 6,926 0,702
3 35,965 0,712 6,859 0,769

rata-rata 37,832 0,703 6,678 0,727


Ujung 1 38,699 0,754 6,034 0,763
2 36,078 0,712 8,756 0,697
3 35,517 0,686 6,818 0,820
rata-rata 36,765 0,717 7,203 0,760

G. Kesimpulan Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu


Tabel. 2.8. Sifat fisika dari berbagai jenis dan kondisi bambu
Sifat Fisika Kisaran Nilai
1. Berat jenis 0,55 – 0,75 kg/cm2
2. Kadar Air 5,227 – 105,25 %
3. Kembang Susut 11,113-20,493 %

Beberapa cara teknis sederhana dalam pemilihan bambu untuk


mendapatkan kualitas bambu yang baik:
1. Usia yang tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, antara 3
sampai dengan 5 tahun,
2. Posisi bambu yang diambil minimal 1.5 meter dari pangkal
bambu yang ditebang, dipilih bambu yang lurus dan diameter
seragam sehingga akan menghindari bambu pada posisi paling
ujung,

23
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

3. Tempat tumbuh, diusahakan mengambil bambu pada posisi


tanah yang datar dan kadar air tanah yang relatif rendah. Serta
rumpun bambu tempat tumbuh telah mengikuti prosedur
budidaya bambu yang baik.

24
Sifat Fisika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB III
SIFAT MEKANIKA BAMBU

Sifat mekanika merupakan informasi penting guna memberi


petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang
dihasilkan. Hasil pengujian mekanis bambu telah diberikan oleh
Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada
bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam
(Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang
mempengaruhi mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian,
diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas),
posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air
bambu. Sifat mekanika, merupakan nilai paling utama dalam
desain perancangan bambu sebagai bahan konstruksi. Nilai ini
menetukan kuat tidaknya, dan layak tidaknya digunakan pada
posisi tertentu pada konstruksi. Lingkungan tempat tumbuh bambu
juga berpengaruh pada sifat mekanik bambu. Untuk membuktikan
hal tersebut, penelitian telah dilakukan oleh Lu Xiu-xin dkk 1985
(dalam Janssen, 1991). Setiap macam pengujian dan setiap daerah
asal bambu menggunakan lebih dari 200 spesimen. Bambu diambil
dari empat daerah di Propinsi Shandong. Hasil eksperimen yang
dilakukan pada penelitian itu dapat dilihat pada Tabel 2.5. Ginoga
(1977) meneliti sifat mekanika bambu Hitam (Gigantochloa
atroviolacea) dan bambu Apus (Gigantochloa apus). Hasil
pengujian sifat mekanika tertera pada Tabel 2.7.
Sifat mekanika dari bambu antara lain:
I. Kuat tekan
Kekuatan bambu untuk menahan gaya tekan tergantung pada
bagian ruas dan bagian antar ruas batang bambu. Kuat tekan dari
batang bambu dapat dihitung dengan Persamaan 1. Bagian batang
tanpa ruas memiliki kuat tekan (8 – 45)% lebih tinggi dari pada
batang bambu yang beruas.
P
 tk  (N/mm2) (1)
A

25
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

dengan :
Ptk = beban maksimum ( N );
A = luas bidang tekan ( mm2 ).

Kegagalan akibat uji tekan ada tiga jenis, yaitu:


a. Kegagalan tekuk (buckling failure), kegagalan bambu berupa
batang bambu menekuk akibat yang kemudian ditandai bambu
pecah (failure)
b. Kegagalan geser (split), kegagalan bambu langsung pecah dan
terbelah arah longitudinal akibat uji tekan.
c. Kegagalan tekuk dan geser, kegagalan bambu kombinasi tekuk
dan geser yang terjadi bersamaan saat bambu akan failure
Tabel 3.1. Kuat Tekan rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi
(Morisco, 1999)
Jenis Bambu Bagian Kuat Tekan
(MPa)
Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) Pangkal 277
Tengah 409
Ujung 548
Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal 532
Tengah 543
Ujung 464
Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata) Pangkal 327
Tengah 399
Ujung 405
Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal 215
Tengah 288
Ujung 335

Gambar 3.1. Uji Tekan Bambu

26
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 3.2. Hasil Uji Tekan Bambu


(Structural Bambu Project_Univ. Of Hawaii)

II. Kuat tarik


Kekuatan bambu untuk menahan gaya tarik tergantung pada
bagian batang yang digunakan dan besarnya dihitung dengan
Persamaan 2. Bagian ujung memiliki kekuatan terhadap gaya tarik
12% lebih rendah dibanding dengan bagian pangkal.
P
 tr  (N/mm2) (2)
A
dengan :
Ptk = beban maksimum ( N );
A = luas bidang tarik ( mm2 ).

Gambar 3.3. Pengujian kuat tarik sejajar serat

27
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 3.4. Hasil Uji Tarik Bambu


(Structural Bambu Project_Univ. Of Hawaii)
Tabel 3.2. Kuat tarik bambu tanpa buku kering oven (Morisco, 1999)
Jenis Bambu Kuat Tarik Kuat Tarik
Bagian Dalam Bagian Luar
(kg/cm2) (kg/cm2)
Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 1.640 4.170
Bambu Petung (Dendrocalamus 970 2.850
asper)
Bambu Hitam (Gigantochloa 960 2.370
atroviolacea)
Bambu Tutul (Bambusa maculata) 1.460 2.860

Tabel 3.3. Kuat tarik bambu kering oven (Morisco, 1999)


Jenis Bambu Kuat Tarik Kuat Tarik
tanpa Buku dengan Buku
(MPa) (MPa)
Bambu Ori (Bambusa arundinacea) 291 128
Bambu Petung (Dendrocalamus 190 116
asper)
Bambu Wulung (Gigantochloa 166 147
atroviolacea)
Bambu Legi (Gigantochloa 288 126
verticilata)
Bambu Tutul (Bambusa maculata) 216 74
Bambu Galah (Gigantochloa 253 124
verticilata)
Bambu Apus (Gigantochloa apus) 151 55

28
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 3.4. Kuat Tarik rata-rata bambu bulat pada berbagai posisi
Jenis Bambu Bagian Kuat Tekan
(MPa)
Bambu Petung (Dendrocalamus Asper) Pangkal 228
Tengah 177
Ujung 208
Bambu Tutul (Bambusa Vulgaris) Pangkal 239
Tengah 292
Ujung 449
Bambu Galah (Gigantochloa ven icilata) Pangkal 192
Tengah 335
Ujung 232
Bambu Apus (Gigantochloa apus) Pangkal 144
Tengah 137
Ujung 174

Gambar 3.5. Hasil Uji Tarik Bambu Ori, Bambu Petung dan Baja
(Morisco, 1999)
III. Kuat geser sejajar serat
Kemampuan bambu untuk menahan gaya - gaya yang membuat
suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya disebut
dengan kuat geser. Kuat geser bambu tergantung pada ketebalan
dinding batang bambu. Bagian batang tanpa ruas memiliki
kekuatan terhadap gaya geser 50% lebih tinggi dari pada batang
bambu yang beruas. Pengujian ini menggunakan standar ISO / DIS

29
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

3347, bertujuan menentukan kekuatan atau keteguhan geser


(ultimate Shearing stress) dengan cara memberikan beban secara
teratur pada bidang geser benda uji sampai menimbulkan retak
akibat geser. Perhitungan kuat geser menggunakan Persamaan 3.:
P
 //  (N/mm2) (3)
bl
dengan :
τ//serat = tegangan geser sejajar serat (MPa);
P = beban maksimum (N);
b = tebal benda uji (mm);
l = panjang bidang geser (mm).

Kegagalan geser tertinggi berada pada posisi internodia, karena


posisi internodia memiliki daya ikat antar serat yang paling lemah

Gambar 3.6. Hasil Uji Geser Bambu

30
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 3.7. Uji Geser Bambu

IV. Modulus lentur (Modulus of Rupture (MOR))


Modulus lentur merupakan keteguhan lentur suatu bahan,
dimana merupakan refleksi dari kapasitas beban maksimum pada
perlakuan.
Nilai modulus lentur bahan dapat dihitung dengan Persamaan 4.
3 Pmax l
MoR  (N/mm2) (4)
2b h2
dengan :
Pmax. = beban maksimum ( N );
b = lebar benda uji ( mm );
h = tinggi benda uji ( mm );
l = jarak antar tumpuan ( mm ).

½l ½l

31
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 3.8. Uji Lentur (Bending) Batang Bambu

Gambar 3.9. Hasil Uji Lentur Bambu


Tabel 3.5. Tegangan Batas Lentur Bambu (Morisco, 1999)
Jenis Minimum Maksimum Rata-rata
Bambu Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa
Buku Buku Buku Buku Buku Buku
Bambu 28 42 155 199 80 124
Apus
Bambu 35 79 226 389 103 184
Temen
Bambu 61 95 207 337 124 207
Petung

32
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

V. Modulus elastisitas (Modulus of Elasticity (MOE))


Modulus elastisitas merupakan keteguhan lentur pada batas
elastis bahan. Keteguhan lentur adalah rasio beban terhadap
regangan dibawah batas proporsional. Peningkatan nilai modulus
elastisitas dapat seiring dengan peningkatan keteguhan lentur suatu
bahan. Modulus elastisitas merupakan implikasi bahwa deformasi
yang terjadi oleh beban yang rendah dapat kembali ke posisi
semula secara sempurna setelah beban ditiadakan. Perhitungan
modulus elastisitas ini menggunakan standar ISO 3349 – 1975,
sesuai Persamaan 5.
P.l
MoR  (N/mm2) (5)
4 b h3 
dengan:
P = beban rata-rata dari batas atas dan bawah ( N );
l = jarak antar tumpuan ( mm );
b = lebar benda uji ( mm );
h = tinggi benda uji ( mm );
γ = defleksi pada titik lengkung dihitung dari rata-rata
defleksi batas atas dan bawah ( mm ).

Tabel 3.6. Modulus Elastisitas Lentur Bambu (Morisco, 1999)


Jenis Minimum Maksimum Rata-rata
Bambu Dengan Tanpa Dengan Tanpa Dengan Tanpa
Buku Buku Buku Buku Buku Buku
Bambu 1.075 1.340 17.033 19.359 5.751 12.133
Apus
Bambu 2.862 3.667 29.596 22.789 5.662 12.139
Temen
Bambu 3.267 12.247 26.672 31.547 10.329 21.658
Petung

Tegangan tekan pada serat paling luar mencapai batas


tegangan tekan maksimum, maka kondisi elastis akan terlewati dan
masuk pada kondisi plastis. Pada tahap ini bagian tekan akan
meleleh dan terus merambat keserat bagian dalam, sedangkan serat
tarik akan terus mengalami tarik sampai mencapai tegangan tarik
maksimum dan runtuh jika tegangan telah mencapai maksimum.

33
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Hasil uji kuat tarik dapat dilihat pada Gambar 3.8. Hasilnya
menunjukkan hubungan tegangan regangan hasil uji tarik bambu
petung dan ori yang dibandingkan dengan hasil uji kuat tarik baja.
Hasilnya menunjukkan bambu memiliki nilai kuat tarik yang
sangat tinggi dan bahkan melebihi bahan baja, hanya saja bambu
memiliki nilai regangan yang cukup besar. Sehingga untuk
mencapai kekuatan tarik yang tinggi bahan bambu akan
terdeformasi memanjang cukup besar.
Tabel 3.7. Hasil pengujian 3 spesies bambu, Gigantochloa apus Kurz,
Gigantochloa Verticillata Munro, dan Dendrocalamus asper Backer
(Siopongco dan Munandar)
Sifat Kisaran Jumlah
Spesimen
Kuat Tarik 118-275 MPa 234
Kuat Lentur 78,5-196 MPa 234
Kuat Tekan 49,9-58,8 MPa 234
E Tarik 8.728-31.381 MPa 54
E Tekan 5.590-21.182 MPa 234
Batas Regangan Tarik 0,0037-0,0244 54
Berat Jenis 0,67-0,72 132
Kadar Lengas 10,04-10,81% 117

Tabel 3.8. Sifat Mekanika bambu hitam dan bambu apus


No. Sifat Mekanika Bambu Bambu
Hitam Apus
1 Kuat Lentur Statik
a. Tegangan batas proporsi (kg/cm2) 447 327
b. Tegangan batas runtuh (kg/cm2) 663 546
c. Modulus Elastisitas (kg/cm2) 99.000 101.000
d. Energi batas proporsi (kg/dm3) 1,2 0,8
e. Energi batas runtuh (kg/dm2) 3,6 3,3
2 Kuat Tekan Sejajar Serat (kg/cm2) 489 504
3 Kuat Geser Sejajar Serat (kg/cm2) 61,4 39,5
4 Kuat Tarik Tegak Lurus Serat (kg/cm2) 28,7 28,3
5 Kuat Tekan Tegak Lurus Serat (kg/cm2)
6 Kuat Impact
a. Bagian dalam bambu (kg/dm3) 32,53 45,1
b. Arah Tangensial bambu (kg/dm3) 31,76 31,9
c. Bagian luar bambu (kg/dm3) 17,23 31,5
Sumber : Ginoga (1977)

34
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 3.9. Kuat batas dan tegangan ijin bambu (Morisco, 1999)
Tegangan Ijin
Sifat Mekanika Kuat Batas (kg/cm2) 2
(kg/cm )
Kuat Tarik 981-3.920 294,2
Kuat Lentur 686-2.940 98,07
Kuat Tekan 245-981 78,45
E Tarik 98.070-294.200 196,1×103

Tabel 3.10. Sifat mekanik bambu berdasarkan kondisi ketinggian tempat


tumbuh bambu (Lu, dkk., 1985)
Daerah Asal bambu
Sancha Luchanya Dahuaya Dajin-
kou
Kondisi Daerah Di tengah Daerah Daerah
Daerah pengunungan pegunungan pantai, datar,
dingin, daerah dekat
sepenjang datar, pada sungai
sungai cabang/ana
k sungai
Diameter 46,6 47,0 49,4 48,5
Bambu (mm)
Kuat Tekan 82,7 73,2 71,0 65,8
Kuat Tarik 296 329 277 289
Kuat Lentur 186 174 162 153
(dalam MPa)

35
Sifat Mekanika Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB IV
SIFAT PENGAWETAN BAMBU

I. Pengawetan Bambu
A. Anatomi bambu diperbandingkan dengan anatomi kayu
Pada kayu, susunan anatomi lebih kompleks, modern/ maju
dibandingkan dengan monokotil seperti bambu, perbedaan ini
menyebabkan pada kayu mampu melakukan pertumbuhan
sekunder (diameter membesar). Isi sel-sel yang menyusun kayu
atau bambu yang disebut ekstraktif. Ada dua jenis definisi
ekstraktif: pertama, ekstraktif adalah deposit atau endapan bahan-
bahan kimia yang ada di dalam permukaan dinding sel sewaktu sel
mati membentuk kayu teras. Dan kedua ekstraktif adalah bahan
kimia yang ada di luar dinding sel berbentuk cairan. Pada
monokotil tidak pernah ada sel mati, keseluruhan bagian bambu
dari luar ke dalam semua sel hidup.
Kalau dilihat dari definisi pertama berarti pada monokotil
tidak ekstraktif, tapi kalau mengacu definisi kedua bambu memiliki
ekstraktif. Kondisi bambu serupa dengan kayu gubal yang tidak
begitu awet seperti kayu teras. Keawetan bambu berbeda-beda
karena tergantung awet alami, timbul secara turunan dari genetika
tiap jenis bambu.
B. Pengawetan buatan oleh Manusia
1. Sewaktu bambu masih hidup
Bambu dimasukkan bahan pengawet sewaktu masih hidup,
misalnya air disekitar tempat bambu tumbuh diberi pengawet
sehingga bahan pengawet terserap oleh akar bambu. Prinsip sama
juga digunakan oleh Boucheri, bambu yang baru ditebang masih
mengalami photosintesis/ proses metabolisme. Pengisapan akan
berhenti kira-kira 3-6 jam setelah penebangan.
Pada satu serat bembu terdiri dari jaringan penguat
(schelercime) berwarna gelap, ploim dan xylem. Cairan naik lewat
xylem dan turun melalui ploim (ukurannya lebih lebih kecil dari
xylem). Bahan pengawet masuk lewat saluran xylem, karena xylem
berada merata di seluruh bagian bambu maka seluruh bagian

36
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

bambu akan terkena bahan pengawet. Pada bagian luar persentase


jaringan penguat (schelercime) sangat tinggi, jaringan ini sebagai
pengawet bambu sehingga bambu bagian luar cenderung lebih
awet dari bagian yang lebih dalam.
2. Sewaktu bambu sudah mati
a. Proses rendaman, proses ini berlangsung karena sifat
hygroskopic bambu. Makin rendah kadar air, makin besar sifat
hygroskopic maka sebelum bambu diawetkan dengan
perendaman maka bambu dikondisikan kadar airnya serendah
mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan
pengeringan/penjemuran dan cara di vakum. Seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Proses pengawetan bambu tradisonal bambu dengan


perendaman
b. Sistem Boucheri dan modifikasi Boucheri-Morisco
Saat bambu sudah mati dan proses photosintesis sudah
berhenti, cairan dalam bambu membeku maka bambu sulit di
masukkan bahan pengawet. Sehingga perlu gaya untuk
memasukkan bahan pengawet. Sistem ini sebagai dasar proses
Boucheri dan Boucheri-Morisco. Dengan bantuan gravitasi dan
tenaga dorong diharapkkan bahan pengawet dapat secara paksa

37
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

masuk kedalam bambu sehingga bambu terawetkan. Seperti terlihat


pada gambar 4.2 dan 4.3.

Gambar 4.2. Sistem pengawetan Boucheri

Gambar 4.3. Sistem pengawetan Boucheri-Morisco


c. Modifikasi sel bambu
Menggunakan proses kimiawi menjadikan komponen kimia
yang disenangi biotik (semua organisme perusak) dirubah menjadi
tidak disukai. Proses ini sering disebut ssterifikasi yaitu suatu
proses dengan bantuan bahan kimia lainnya yang digabungkan
dengan selulosa melalui ester, sehingga rayap tidak mau memakan
dinding sel. Penelitian ini telah dilaksanakan di Eropa.

38
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

C. Pengawetan ramah lingkungan


Pada umumnya pengawet berasal dari tumbuhan yang punya
potensi pengawet. Seperti tahun 1970 pemanfaatan racun/sianida
yang ada pada umbi-umbian gadung, yang pada awalnya tidak
dapat dimakan setelah racunnya dipisahkan maka dapat gadung
dapat dimakan
D. Bahan pengawet dari Piropilislignoselulosa
Pengawetan jenis ini sangat trend laksanakan saat ini terutama
dari kalangan penelitian ahli kimia. Prinsip yang digunakan pada
jenis pengawetan bambu ini adalah mengubah unsur kimiawi sel
bambu sehingga tidak disukai oleh organisme perusak bambu.

II. Proses Pengawetan Bambu


Pengawetan bambu bertujuan untuk menaikkan umur pakai
dan nilai ekonomis bambu. Apapun spesies bambunya, pengawetan
tetap perlu dilakukan. Tetapi, pengawetan bambu biasanya jarang
dilakukan orang. Alasannya antara lain: kurangnya pengetahuan
tentang teknik pengawetan, kurangnya fasilitas untuk metode
perlakuan tertentu dan ketersediaan bahan kimia (pengawet),
keraguan terhadap manfaat pengawetan bambu serta kurangnya
permintaan pasar terhadap bambu keawetan. Metode pengawetan
bambu yang baku (standar) pun belum ada.
A. Keawetan Bambu
Walau memiliki banyak sifat menguntungkan, bambu rentan
terhadap kerusakan. Proses kerusakan mempengaruhi keawetan
bambu. Penyebab kerusakan bambu ada 2 yaitu: perusak biologis
dan non-biologis. Perusak biologis yang sering menyerang bambu
adalah jamur, rayap, kumbang bubuk dan mikroorganisme laut.
Jamur menyebabkan kerusakan seperti: pengotoran, pelapukan dan
perubahan warna. Kerusakan bambu karena serangan kumbang
bubuk biasanya terjadi setelah batang bambu ditebang. Kumbang
ini hidup dalam jaringan serat bambu untuk mendapatkan patinya.
Penyebab kerusakan non-biologis yang terpenting adalah air.

39
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan


mudah lapuk.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam metode
pengawetan bambu apapun adalah pengeringan. Penggunaan
bambu yang benar-benar kering (kadar airnya tepat) dalam setiap
metode pengawetan akan menghasilkan tingkat keawetan yang
lebih baik dibanding penggunaan bambu yang masih basah (kadar
air tinggi). Keawetan bambu sangat dipengaruhi oleh keadaan
cuaca dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan pengawetan,
apabila dibiarkan bersentuhan secara langsung dengan tanah dan
tidak terlindung dari cuaca, hanya mempunyai umur pakai sekitar 1
– 3 tahun. Bambu yang terlindung dari gangguan cuaca, umur
pakainya dapat bertahan antara 4 – 7 tahun atau lebih. Dalam
lingkungan yang ideal rangka (konstruksi) bambu dapat tahan
selama 10 - 15 tahun. Jika berinteraksi dengan air laut, bambu
cepat hancur oleh serangan mikroorganisme laut dalam waktu
kurang dari satu tahun.
Keawetan bambu dipengaruhi juga oleh: kondisi fisik bambu,
bagian ruas, spesis dan kandungan pati. Bambu yang telah dibelah
lebih cepat rusak dibanding bambu yang masih utuh (belum
dibelah). Ruas bambu bagian bawah mempunyai ketahanan rata-
rata yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau bagian atasnya.
Bagian sebelah dalam ruas biasanya lebih dulu terserang (serangga
atau jamur) daripada bagian luar. Keawetan alamiah bambu
bervariasi antara satu spesies dengan spesies lain. Variasi ini
berkaitan dengan ketahanan spesis terhadap serangan rayap atau
kumbang. Bambu yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan
terhadap serangan kumbang bubuk. Keawetan alamiah bambu
relatif lebih rendah dibanding kayu. Artinya, umur pakai struktur
bambu relatif lebih pendek dibanding struktur kayu. Cara
memperpanjang umur pakai bambu yaitu melalui pengawetan dan
penerapan metode konstruksi tertentu. Metode ini bertujuan
meminimalisir laju serangan jamur dan serangga. Meletakan
tonggak bambu pada dinding batu atau semen merupakan cara
sederhana yang lebih baik ketimbang membenamkan bambu secara

40
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

langsung ke dalam tanah. Pada konstruksi rumah bambu, sangat


dianjurkan membuat pondasi dari beton atau batu. Pelapisan
bambu dengan bahan penahan air dapat mengurangi serangan
jamur.
B. Metode Pengawetan
Ada 2 jenis metode pengawetan bambu, yaitu: metode
nonkimia dan metode kimia. Metode nonkimia (tradisional) telah
digunakan sejak lama di daerah pedesaan. Kelebihan metode ini
yaitu: tidak membutuhkan biaya dan dapat dilakukan sendiri tanpa
penggunaan alat-alat khusus. Metode non-kimia, misalnya: curing,
pengasapan, pelaburan, perendaman dalam air dan perebusan.
Metode pengawetan secara kimia biasanya menggunakan bahan
pengawet.
Bahan pengawet yang terkenal adalah Copper-Chrrome-
Arsenic (CCA). Metode kimia relatif mahal tetapi menghasilkan
perlindungan yang lebih baik. Keberhasilan metode ini sangat
tergantung pada ketepatan konsentrasi larutan pengawet yang
diberikan. Metode kimia misalnya: metode Butt Treatment, metode
tangki terbuka, metode Boucherie, dan fumigasi (dengan senyawa
metilbromida). Metode ini tidak selalu ekonomis. Metode kimia -
dalam skala besar - digunakan secara meluas di India, Taiwan dan
Jepang. Metode kimia yang sederhana lebih tepat diterapkan di
desa-desa yang terletak jauh dari pusat industri.
Tingkat keberhasilan pengawetan bambu dengan metode
kimia tergantung dari beberapa faktor, yaitu: (1) kondisi fisik
bambu sebelum diawetkan, (2) berat jenis bambu, (3) umur bambu,
(4) musim, (5) jenis bahan pengawet, (6) posisi dan ukuran bambu.
Bambu segar lebih mudah diberi perlakuan di banding bambu yang
sudah kering. Makin tinggi berat jenis bambu, makin sulit
diawetkan karena ikatan pembuluhnya makin rapat dan kandungan
serabutnya makin banyak. Makin tua umur bambu, kadar airnya
makin turun sehingga bambu makin sulit diawetkan. Metode kimia
lebih baik diterapkan pada musim hujan. Penetrasi pengawet akan
lebih baik bila digunakan senyawa garam yang larut dalam air.

41
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Pengawetan bambu dalam jumlah yang kecil akan menaikkan


biaya pengawetan. Aspek ekonomis yang perlu dipertimbangkan
adalah biaya pengangkutan dari hutan (kebun) ke tempat
pengawetan. Suatu metode pengawetan dikatakan ekonomis
apabila umur pakai bambu dapat mencapai waktu 10 - 15 tahun;
untuk bambu dalam keadaan terbuka, dan 15 - 25 tahun untuk
bambu yang diberi perlindungan tertentu. Beberapa metode
pengawetan bambu yang dapat diterapkan adalah:
1. Curing
Mula-mula batang bambu dipotong pada bagian bawah tetapi
cabang dan daunnya tetap disisakan. Kemudian, selama waktu
tertentu rumpun bambu tersebut disimpan di dalam ruang khusus.
Karena proses asimilasi daun masih berlangsung, kandungan pati
ruas bambu akan berkurang. Akibatnya, ketahanan bambu terhadap
serangan kumbang bubuk meningkat. Tetapi, metode ini tidak
berpengaruh terhadap serangan jamur atau rayap.
2. Pengasapan
Bambu diletakkan di atas rumah perapian (tungku) selama
waktu tertentu sampai pengaruh asap menghitamkan batang
bambu. Proses pemanasan menyebabkan terurainya senyawa pati
dalam jaringan parenkim. Di Jepang, bambu mentah disimpan
dalam ruang pemanas pada suhu 120 - 150oC selama 20 menit.
Perlakuan ini cukup efektif untuk mencegah serangan serangga.
Efek negatif metode ini adalah kemungkinan terjadinya retak yang
dapat mengurangi kekuatan bambu.
3. Pelaburan
Metode ini lebih ditujukan untuk mendapatkan efek hiasan
ketimbang manfaat pengawetannya. Batang bambu untuk
konstruksi perumahan dilaburi dengan kapur tohor (Ca[OH]2).
Tujuannya untuk memperlambat penyerapan air, sehingga daya
tahan bambu terhadap jamur menjadi lebih tinggi. Efektivitas
metode ini masih perlu dibuktikan, terutama menyangkut pengaruh
senyawa alkali terhadap kekuatan bambu. Di daerah pedesaan,

42
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

metode ini mengalami modifikasi. Bambu dilaburi dahulu dengan


ter lalu diperciki dengan debu halus. Segera setelah debu melekat
dan kering, dilakukan pelaburan dengan kapur tohor sampai 4 kali.
Metode pelaburan lain yang biasa dilakukan rakyat adalah
penurapan (pemlesteran) bambu dengan menggunakan campuran
kotoran sapi dengan kapur atau adukan semen. Dewasa ini, bambu
yang digunakan sebagai tiang pancang untuk bangunan terlebih
dahulu dilumuri dengan ter lalu dililitkan dengan anyaman
sabut kelapa.
4. Perendaman dalam air
Perendaman bambu dalam air adalah salah satu metode
pengawetan tradisional yang sudah dikenal secara luas oleh
masyarakat pedesaan. Perendaman menyebabkan penurunan
kandungan pati bambu. Bambu mengandung pati relatif tinggi
misalnya bambu ampel, sedangkan bambu apus kadar patinya
relatif rendah. Tujuan akhir perendaman adalah menekan serangan
kumbang bubuk. Metode ini lebih cocok diterapkan pada bambu
yang digunakan untuk bahan bangunan. Waktu perendaman yang
dianjurkan sebaiknya tidak lebih dari 1 bulan.
5. Perebusan
Perebusan bambu pada suhu 55-60oC selama 10 menit akan
menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sempurna, yaitu menjadi
amilosa yang larut dalam air (Matangaran, 1987 dalam Krisdianto
2000). Perebusan pada 100oC selama 1 jam cukup efektif untuk
mengurangi serangan kumbang bubuk. Metode ini di samping
metode pengasapan pemanasan dan perebusan dengan air kapur
tidak populer karena kurang efektif.
6. Metode Butt Treatment
Bagian bawah batang bambu yang baru dipotong diletakkan di
dalam tangki yang berisi larutan pengawet. Cabang dan daun pada
batang tetap disisakan. Larutan pengawet tersebut akan mengalir
ke dalam pembuluh batang karena proses transpirasi daun masih
berlangsung. Karena

43
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

prosesnya memakan waktu yang lama, metode ini hanya tepat


diterapkan pada batang bambu yang pendek dan berkadar air
tinggi.
7. Metode Tangki Terbuka
Metode ini termasuk metode yang ekonomis, sederhana serta
memberi efek perlindungan yang baik. Metode ini tidak
memerlukan teknik instalasi yang rumit. Batang dengan ukuran
tertentu, direndam selama beberapa hari dalam campuran yang
terdiri dari air dan larutan bahan pengawet. Penggunaan bambu
yang telah dibelah dapat mengurangi lama perendaman sebanyak
satu setengah kali. Konsentrasi larutan pengawet yang digunakan
untuk bambu yang baru dipotong harus lebih tinggi dibanding
bambu yang telah dikeringkan dengan penganginan. Lama
perendaman tergantung pada jenis bahan pengawet, spesis bambu
dan kondisi batang. Penggarukan kulit bagian luar dapat
mempercepat penetrasi larutan pengawet.
8. Metode Boucherie
Mula-mula bambu dipotong menurut ukuran tertentu.
Kemudian, bambu dimasukkan ke dalam mesin Boucherie. Lewat
bagian khusus mesin itu, cairan pengawet dengan konsentrasi
tertentu dialirkan masuk ke dalam bambu dengan tekanan 0.8 - 1.5
kg/m2. Proses tersebut dianggap selesai bila konsentrasi cairan
yang keluar dari bambu sama dengan konsentrasi bahan pengawet
di tambang konsentrasi air.
9. Metode kimia sederhana
Bambu segar yang baru ditebang, didirikan terbalik. Pada
ujung bambu bagiaan atas, dimasukkan tabung yang berisi minyak
solar. Karena gaya gravitasi, minyak solar ini akan mendesak
keluar cairan yang terkandung dalam batang bambu. Proses ini
memakan waktu satu minggu.
Penelitian keawetan bahan bambu telah dilakukan oleh Jasni
dan Sumarni (1999) dalam Krisdianto 2000, sedangkan penelitian
tentang keterawetan bahan bambu belum dilakukan. Jasni dan

44
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Sumarni (1999) dalam Krisdianto 2005 mengemukakan bahwa dari


tujuh jenis bambu yang diteliti, bambu ampel (Bambusa vulgaris)
paling rentan terhadap serangan bubuk, kemudian bambu andong
(Gigantochloa pseudoarundinacea), bambu hitam (Gigantochloa
atroviolaceae) dan bambu terung (Gigantochloa nitrocilliata).
Sedangkan bambu atter (Gigantochloa atter) dan bambu apus/tali
(Gigantochloa apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. Jenis
bubuk bambu yang banyak ditemukan menyerang bambu adalah
Dinoderus sp., sedangkan jenis bubuk yang paling sedikit
ditemukan menyerang bambu adalah Lyctus sp. Kuantitas bubuk
yang ditemukan pada bambu terdapat pada Tabel 4.1, sedangkan
penyebaran jenis bubuk pada bambu terdapat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.1. Bubuk yang ditemukan pada bambu


No. Jenis bambu Jumlah serangga Total DS
serangga (%)
P T U S R Y
(e) (e) (e) (e) (%) (b)
1. Bambusa vulgaris 415 375 10 800 30,48 2312 100
2. Gigantochloa apus 125 25 6 156 5,94 252 40
3. Gigantochloa 257 295 2 554 21,10 997 90
atroviolaceae
4. Gigantochloa atter 175 30 8 213 8,11 484 40
5. Gigantochloa 180 48 - 228 8,69 1176 70
nigrocilliata
6. Gigantochloa robusta 177 60 - 237 9,03 655 70
7. Gigantochloa 227 202 8 457 16,65 1982 90
pseodoarundinacea
Sumber : Jasni dan Sumarni (1999)
Keterangan :
P = pangkal; Y = lubang gerek;
T = tengah; DS = derajat serangan;
U = ujung; e = ekor;
S = jumlah individu; b = buah;
R = jumlah dalam %.

45
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 4.2. Penyebaran jenis bubuk pada bambu


No. Jenis bubuk Jenis bambu Jumlah
A B C D E F G H I
1. H. aequalis Wat - - + + + - + 327 12,33
2. Lyctus sp. - - + - + + + 35 1,32
3. Dinodeus + + + + + + + 1.946 73,23
4. Minthea sp. - - + + + + + 369 13,93
Sumber : Jasni dan Sumarni (1999)
Keterangan :
A = bambu ampel; F = bambu mayan;
B = bambu apus (tali); G = bambu andong;
C = bambu hitam; + = ditemukan;
D = bambu atter; - = tidak ditemukan;
E = bambu terung.

III. Pengolahan Bambu


A. Penetrasi Bambu
Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal
oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara
merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di
air laut dan pengasapan. Selain itu juga sering ditemukan cara
pengawetan dengan pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek
dan bilik bambu.
Penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan bahan
kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan.
Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan
jamur (pewarna dan pelapuk) maupun serangga (bubuk kering,
rayap kayu kering dan rayap tanah). Beberapa pengrajin mebel
bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan
boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau
pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui
efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan dan metode
pengawetan yang dilaksanakan.
Penelitian pengawetan bahan bambu dengan menggunakan
pestisida pengawet kayu telah dimulai oleh Martawijaya (1964).
Hasilnya menunjukkan bahwa bambu dapat diawetkan dengan
mudah terutama jika menggunakan bahan pengawet yang dapat
berdifusi dengan baik. Penggunaan senyawaan boron dalam

46
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

pengawetan bambu apus dan bambu hitam dilakukan oleh Supriana


(1987). Hasilnya menunjukkan bahwa bambu apus dan bambu
hitam dapat diawetkan dengan proses rendaman dingin masing-
masing selama satu dan tiga hari pada konsentrasi tiga persen.
Penelitian cara pengawetan dengan cara rendaman dingin
menggunakan larutan asam borat dan boraks (boric acid
equivalent) 10% dan larutan Wolmanit CB 10% terhadap dua belas
jenis bambu telah dilakukan oleh Abdurrochim (1982). Hasil
penetrasi persenyawaan bor dan Wolmanit CB pada dua belas jenis
bambu dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4.
Tabel 4.3. Penetrasi persenyawaan bor pada dua belas jenis bambu
potongan dibelah bulat
Penetrasi bor pada lama rendaman
(%)
No. Jenis bambu
1 3 5 7 Rata-
hari hari hari hari rata
1. Ampel hijau (Bambusa 77,6 65,4 93,7 50,7 72,0
vulgaris Schard) 45,3 73,3 61,9 21,0 50,4
2. Ampel kuning (Bambusa 83,4 83,9 80,1 75,5 80,7
vulgaris Schard) 51,3 67,2 77,0 32,1 56,9
3. Andong (Gigantochloa 67,0 64,1 64,8 68,2 66,0
verticillata (Wild.) 41,2 33,0 49,2 22,3 36,4
Munro.)
4. Apus (Gigantochloa apus 75,1 66,8 68,9 68,7 69,9
(Bl.ex Schult.f.) Kurz.) 35,6 28,5 36,7 51,1 38,0
5. Bitung (Dendrocalamus 65,7 63,7 67,2 63,4 65,0
asper (Schult.f.) Kurz.) 24,3 26,2 44,6 25,8 30,2
6. Buluh (Schizostachyum 72,7 96,0 100,0 100,0 92,2
brachycladum Kurz.) 38,9 76,7 80,7 90,5 71,7
7. Cakeutreuk 72,8 72,0 89,1 77,8 77,9
(Schizostachyum zolingeri 21,1 36,8 62,7 45,2 41,5
Steud.)
8. Hitam (Gigantochloa atter 72,0 68,4 73,7 73,0 71,8
(Hassk) Kurz. ex Munro) 33,9 44,4 30,4 36,3 36,3
9. Lengka (Gigantochloa 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
nigrocillata (Buese) Kurz) 93,3 100,0 96,5 91,3 95,3
10. Tamiang (Schizostachyum 100,0 95,5 100,0 100,0 98,9
blumei Nees) 100,0 77,5 91,5 95,3 91,1
11. Temen (Gigantochloa 70,2 72,3 69,4 72,8 71,2
verticillata (wild.) 36,2 47,5 32,2 27,7 35,9
12. Uncul (Phyllostachys 76,0 90,4 92,7 78,0 84,3
aurea A&Ch. Riviera) 46,3 72,1 79,3 75,0 68,2

47
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 4.4. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu potongan
dibelah bulat
Penetrasi bor pada lama rendaman
(%)
No. Jenis bambu
1 3 5 7 Rata-
hari hari hari hari rata
1. Ampel hijau (Bambusa 80,2 88,8 78,4 97,9 86,3
vulgaris Schard) 73,3 78,5 87,8 69,2 77,2
2. Ampel kuning (Bambusa 78,6 97,2 86,1 97,5 89,9
vulgaris Schard) 76,9 73,7 91,7 36,0 69,6
3. Andong (Gigantochloa 71,5 89,2 86,3 90,0 84,3
verticillata (Wild.) 46,4 62,6 58,0 87,4 63,6
Munro.)
4. Apus (Gigantochloa apus 82,4 97,1 93,8 95,6 92,2
(Bl.ex Schult.f.) Kurz.) 63,6 94,8 69,1 94,2 80,4
5. Bitung (Dendrocalamus 64,3 94,2 100,0 91,5 87,5
asper (Schult.f.) Kurz.) 45,1 61,8 76,0 88,6 67,9
6. Buluh (Schizostachyum 76,8 96,0 100,0 100,0 93,2
brachycladum Kurz.) 100,0 77,5 98,8 95,7 93,0
7. Cakeutreuk 64,5 92,0 100,0 90,7 86,8
(Schizostachyum zolingeri 53,1 92,1 51,0 92,9 72,3
Steud.)
8. Hitam (Gigantochloa atter 72,6 87,8 100,0 99,3 89,9
(Hassk) Kurz. ex Munro) 73,8 66,2 78,2 37,9 64,1
9. Lengka (Gigantochloa 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
nigrocillata (Buese) Kurz) 78,3 100,0 100,0 90,6 92,2
10. Tamiang (Schizostachyum 100,0 95,5 100,0 100,0 98,9
blumei Nees) 93,3 100,0 100,0 94,0 96,8
11. Temen (Gigantochloa 69,9 83,0 78,8 92,6 81,1
verticillata (wild.) 80,4 63,3 81,6 90,4 78,9
12. Uncul (Phyllostachys 80,0 90,4 99,2 100,0 92,4
aurea A&Ch. Riviera) 55,7 100,0 88,0 64,0 76,9
Sumber : Abdurrochim (1982)

Proses pengawetan pada jenis bambu yang sama dan telah


dibelah berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi senyawaan
boron. Hal ini berarti proses pengawetan akan lebih efisien pada
bambu yang telah dibelah daripada bambu yang bulat utuh. Lama
rendaman dalam pembelahan dan pada jenis bambu yang sama,
juga berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi Wolmanit CB.
Pengawetan dengan senyawaan boron terhadap jenis bambu ampel
hijau, ampel kuning, andong, apus, bitung, hitam, lengka, tamiang
dan temen baik yang dibelah maupun bulat serta bambu cakeutreuk
dan uncul yang dibelah cukup direndam satu hari. Bambu buluh

48
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

baik yang dibelah maupun bulat dan bambu cakeutreuk dan uncul
yang bulat sebaiknya direndam tiga hari.
Pengawetan dengan Wolmanit CB terhadap bambu ampel
hijau, ampel kuning, apus, lengka dan tamiang baik yang dibelah
maupun bulat, bambu andong yang dibelah serta bambu buluh,
hitam, temen dan uncul yang dibelah sebaiknya direndam tiga hari.
Bambu andong yang bulat sebaiknya direndam tujuh hari.
Penelitian pengawetan bambu dengan bahan pengawet lainnya
dilakukan oleh Barly dan Permadi (1987) dalam Krisdianto 2005.
Pengawetan dilakukan terhadap bambu andong (Gigantochloa
verticillata Munro), apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.)
Kurz) dan bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex
Heyne) menggunakan bahan pengawet Koppers F 7 pada
konsentrasi 5%. Hasil nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet
Formula 7 pada 3 jenis bambu yang diawetkan secara rendaman
dingin dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7 pada tiga
jenis bambu
Jenis Waktu Perlakuan Penetrasi Retensi
No.
bambu rendaman awal (%) (kg/m3)
1. Betung 1 D 57,4 11,93
TD 61,1 21,35
3 D 43,7 13,56
TD 52,2 21,44
5 D 52,4 16,66
TD 57,0 18,56
2. Andong 1 D 82,2 24,59
TD 90,7 32,97
3 D 97,2 28,58
TD 95,9 31,56
5 D 94,2 27,94
TD 94,9 35,66
3. Tali 1 D 81,5 11,83
TD 70,9 22,33
3 D 91,4 21,64
TD 93,9 26,07
5 D 93,7 26,09
TD 95,9 30,96
Sumber : Barly dan Permadi (1987)
Keterangan :
D = ditutup TD = tidak ditutup

49
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Hasil penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa masuknya


bahan pengawet dari arah longitudinal dapat mencapai hasil
maksimum setelah direndam selama satu hari. Nilai retensi yang
dicapai pada percobaan ini cukup besar dan melebihi persyaratan
yang dianjurkan untuk bahan bangunan perumahan yang diawetkan
(Barly, 1995 dalam Krisdianto 2005). Untuk mencapai persyaratan
itu bambu betung dan bambu andong cukup direndam selama satu
hari sedangkan untuk bambu apus direndam selama tiga hari.
Perpanjangan waktu rendaman tidak meningkatkan nilai penetrasi
dan retensi bahan pengawet.
Penelitian mengenai penembusan bahan pengawet ke dalam
batang bambu andong dan bambu betung yang diawetkan secara
vertikal telah dilakukan oleh Permadi (1992). Hasil penelitian itu
menyebutkan bahwa keterawetan bambu andong dan betung relatif
sama. Rendaman selama empat minggu menghasilkan penetrasi
bahan pengawet tertinggi (33 cm dan 30 cm), sedangkan
perendaman selama satu sampai tiga minggu menghasilkan
penetrasi bahan pengawet yang relatif sama. Hasil penelitian ini
juga memberikan catatan bahwa karena bambu yang digunakan
sudah kering sehingga bahan pengawet tidak dapat berdifusi
dengan baik, sehingga perlu diadakan perbaikan dalam proses
pengawetannya. Metode pengawetan bambu secara vertikal
diperlihatkan pada gambar 1, sedangkan hasil penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Penembusan bahan pengawet pada bambu yang direndam
secara vertikal
No. Jenis Kadar air (%) Lama perendaman (minggu)
bambu Saat Saat 1 2 3 4
ditebang pengawetan
1. Andong 93,7 82,5 11,11 14,75 15,88 33,40
cm cm cm cm
2. Betung 98,3 83,6 12,58 16,28 19,26 30,33
cm cm cm cm
Sumber : Permadi (1992)

Bagian batang dari bambu juga mempunyai karakteristik


serangan hama. Hal ini diungkapkan oleh Sumarni dan Ismanto

50
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

(1992) dalam Krisdianto 2000. Jenis serangga yang menyerang


pada bagian tengah ialah jenis serangga Dinoderus sp., Lyctus sp.
dan kumbang, sedangkan pada bagian pangkal hanya ditemukan
dua jenis serangga yaitu Dinoderus sp. dan kumbang. Bagian
pangkal lebih awet daripada bagian tengah bambu. Pengembangan
metode pengawetan telah dilaksanakan, diantaranya dengan
metode boucheri untuk pengawetan bambu segar yang telah diteliti
oleh Permadi dan Sumarni (1995) dalam Krisdianto 2000. Bahan
bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong
(Gigantochloa verticillata Munro.) dan bambu tali (Gigantochloa
apus Kurz.), dengan bahan pengawet borax (Na2B4O7. 10H2O)
konsentrasi 5%. Pengawetan dengan metode boucheri memberikan
bahan pengawet pada bagian bawah batang bambu dan tidak
memotong daun dan rantingnya, agar proses asimilasi dan
penyerapan bahan makanan tetap berlangsung, seperti tampak
dalam gambar 4.4a pada bambu andong dan 4.4b pada bambu tali.

a b
Gambar 4.4. Pengawetan bambu metode boucheri:
a. Bambu andong; b. Bambu tali

Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa bambu


andong lebih mudah diawetkan dengan cara boucheri dibandingkan
bambu tali. Rata-rata penetrasi longitudinal pada bambu andong

51
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

dan tali dengan variasi waktu lama perendaman ditunjukkan pada


Tabel 4.7.
Tabel 4.7. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali
Lama Rata-rata Penetrasi
Perendaman (cm)
(hari) Andong Tali
2 131,40 68,30
4 304,92 116,83
6 308,42 151,37
8 469,88 141,88
10 315,28 128,17
Sumber : Permadi dan Sumarni (1995)

Penelitian tentang pengawetan bambu segar secara sederhana


telah dilaksanakan oleh Barly dan Sumarni (1997) dalam
Krisdianto 2005. Pengawetan dilakukan pada bambu yang sudah
terpilih ditebang dan diusahakan tetap tegak berdiri atau bersandar
pada pohon lain. Pada bagian pangkal batang dikuliti sepanjang 10
cm untuk memperluas permukaan. Batang yang sudah dikuliti
segera dimasukkan ke dalam larutan bahan pengawet untuk
mencegah masuknya udara ke dalam batang bambu yang mungkin
dapat mengganggu proses aliran bahan pengawet. Hasil
pengamatan rata-rata dari 5 ulangan tercantum dalam Tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hasil pengamatan Penetrasi longitudinal
Konsentrasi Waktu (hari)
No. Uraian
(%) 1 3 5
1. Absorpsi (l) 5 1,66 2,40 3,66
10 2,23 2,63 4,16
2. Penetrasi (m) 5 7,67 10,04 12,33
10 10,36 7,40 11,89
3. Penetrasi (%) 5 52,55 80,52 81,45
10 70,32 57,61 80,48
4. Retensi pada bagian 5 3,18 4,46 4,72
terawetkan (kg/m3) 10 5,90 9,36 7,84
5. Retensi pada seluruh volume 5 1,56 3,90 3,77
(kg/m3) 10 3,70 5,39 6,36
Sumber : Barly dan Sumarni (1997)

52
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh informasi tentang


adanya kecenderungan kenaikan absorpsi dengan bertambahnya
waktu pengawetan. Dan sebagai saran dalam mengawetkan bambu
sebaiknya digunakan bahan pengawet dengan konsentrasi 10% dan
lama pengawetan 5 hari agar memperoleh retensi yang memenuhi
syarat dengan catatan penembusan bahan pengawet mencapai 75%
dari panjang bambu.
Pengujian keragaan bahan pengawet Boron-Fluor-Chrom-
Arsen (BFCA) pada bahan bambu dilakukan oleh Sumarni dkk.
(1992) dalam Krisdianto 2000. Pengujian dilakukan pada bambu
betung (Dendrocalamus asper Back.) terhadap serangga bubuk
kering. Contoh uji dibuat 12 perlakuan selanjutnya direndam dalam
larutan bahan pengawet BFCA 5% selama tiga hari. Pengamatan
dilakukan selama satu tahun dengan kriteria penilaian jumlah
lubang serangan, serangga hidup, stadium serangga dan derajat
serangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tiga dari dua
belas jenis perlakuan yaitu ruas bambu antar dua buku yang
berkulit, berkulit disayat sebagian dan berkulit dilubangi (dibor)
hasilnya tidak efektif. Hal ini disebabkan karena retensi bahan
pengawet yang digunakan hanya berkisar antara 3,17 kg/m3 - 4,24
kg/m3 atau masih dibawah standar (6 kg/m3 ).
B. Pengeringan
Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga
stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga untuk
pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan
dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan
bertambah dengan bertambah keringnya bambu. Pengeringan
bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila
dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah)
atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan
mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan
kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang
terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering,
bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap.

53
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying),


pengasapan, pengeringan dengan energi tenaga surya (solar
collector drying) atau kombinasi dengan energi tungku, dan
pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode
pengeringan bambu telah dilakukan oleh Basri (1997). Basri
menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan energi
tenaga surya sebaiknya dilakukan setelah kadar air bambu di
bawah 50% agar kualitas bambu tetap terjaga. Bambu yang masih
sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang akan
dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi
saling menyilang atau ditumpuk secara horisontal selama kurang
lebih satu minggu. Untuk mempercepat pengeluaran air
ditempatkan kipas/fan didekatnya. Pengeringan bambu dengan cara
diasapkan tampak pada gambar 4.4a dan 4.4b.

Gambar 4.5. Metode pengeringan bambu dengan cara pengasapan

Pengeringan dengan energi tenaga surya dilakukan dengan


menjaga agar suhu dan kelembaban tidak berfluktuasi. Usaha yang
dilakukan dengan sesering mungkin membuka ventilasi atau
menyemprotkan air ke permukaan bambu. Untuk membantu
distribusi panas ke seluruh permukaan bambu perlu dipasang kipas
yang jumlah dan ukuran dayanya disesuaikan dengan luas ruangan.
Ruangan dengan kapasitas bambu basah 3 m3 diperlukan 2 buah
fan yang masing-masing dengan daya 1 PK (HP) dan putaran 1600
RPM.

54
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Dalam ruangan pengering perlu dijaga keseimbangan suhu


serta kelembabannya, agar kualitas pengeringan bambu dapat
terjaga. Pada malam haripun diperlukan suplai energi ke dalam
dapur pengeringan tenaga surya. Suplai energi tersebut dapat
berasal dari tungku limbah kayu atau kompor.Penyimpanan dan
penanganan bambu yang telah dikeringkan perlu dilakukan agar
kualitas bambu tidak mengalami penurunan. Hal ini perlu
dilakukan karena bambu mempunyai sifat hygroskopis, sehingga
bambu yang sudah kering akan tetap menyerap air kembali apabila
ditempatkan pada kondisi yang lembab. Penyerapan dan
pengeluaran air yang berulang-ulang biasanya diikuti dengan retak
dan pecah pada bambu. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka
beberapa cara yang perlu diperhatikan diantaranya adalah
menyimpan bambu pada ruang yang tidak lembab, lantai kering
dan sirkulasi udara lancar. Hal yang perlu diperhatikan adalah
penyimpanan bambu yang sudah kering dan bambu yang masih
basah dicampur dalam suatu ruang tertutup. Disamping itu
pengangkutan bambu kering harus terlindung dari hujan dan panas
yaitu dengan menggunakan bahan pembungkus kedap air, namun
juga dapat melewatkan udara yang lembab dari dalam tumpukan
bambu.
Pengembangan penelitian peningkatan kualitas bambu melalui
tehnik pengeringan dan pengawetan dilakukan oleh Basri dan Jasni
(1995). Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan
pengawet dari jenis pestisida chlorpirifos 400 cc pada 3 tingkat
konsentrasi dan borax 4 macam konsentrasi. Bambu-bambu yang
telah diawetkan kemudian dikeringkan pada 3 kondisi suhu yang
berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa daya tahan bambu terhadap
rayap bergantung pada konsentrasi bahan pengawet yang
digunakan. Pengawetan bambu menggunakan chlorpyrifos 400 gr/l
atau boraks dapat meningkatkan daya tahan bambu terhadap
serangan rayap tanah Captotermes curvignathus dan rayap kayu
kering Cryptotermes cynocephalus. Kualitas fisik dan warna bahan
bambu bergantung kepada pemakaian suhu pengeringan.
Pengeringan bambu menggunakan suhu sedang (+500C) dapat

55
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

meningkatkan kualitas bambu dari segi fisik (tidak pecah, kulit


tidak mengelupas ataupun mengerinyut). Bambu yang diawetkan
dengan boraks pada konsentrasi minimal 4% dan dikeringkan
dengan suhu sedang, selain dapat meningkatkan daya tahan bambu
tersebut terhadap rayap juga mempunyai kualitas warna lebih cerah
dibandingkan dengan bahan pengawet chlorpirifos.

56
Sifat Pengawetan Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB V
SIFAT KIMIA BAMBU

Komposisi kimia bambu hampir sama dengan kayu. Unsur


pokok utama dari batang bambu adalah cellulose, hemi-cellulose
dan lignin. Total unsur pokok utama bambu ini hampir 90% dari
total masa bambu. Unsur lain dari batang bambu adalah resin,
tannin, paraffin dan garam organik. Komposisi kimia bambu
dipengaruhi oleh umur, tinggi dan lapisan bambu. Komposisi kimia
bambu seperti alpha-cellulose, lignin, extractives, pentosan, ash
dan silica meningkat seiring dengan bertambahnya umur bambu.
Epidermis dari bambu memiliki warna hijau yang menarik karena
klorofil dalam pada epidermisnya. Setelah ekstraksi dengan
alkohol-toluena, warna larutan ekstraksi berubah menjadi warna
hijau gelap karena ekstraksi klorofil. Beberapa studi telah
mengungkapkan bahwa klorofil dalam epidermis sangat mudah
rusak dan perlakuan dengan garam anorganik seperti chromates,
garam nikel, dan tembaga telah digunakan untuk melestarikan
permukaan bambu warna hijau.

I. Sifat Kimia Umum


Sifat kimia dibagi atas dua kelompok:
A. Penyusun struktural,
B. Penyusun non struktural
A. Penyusun Struktural
Kandungan kimia bambu terdiri dari sellulosa, lumen sel, dan
lignin. Tiga bahan kimia ini membentuk dinding sel.
Pembentukan sel bambu:
1. Pertama di bentuk jaringan meristim bambu berupa pucuk
bambu (kalo masih pendek/muda disebut rebung), Terdiri dari
sel yang bertugas membelah diri (memperpanjang bambu/
longitudinal dan membentuk keliling bambu/ periperal).
Membelah diri ini sering disebut: Konsep “Tunikas Corpus”.
Pola pembelahan varyklinal (membentuk keliling) dan anti

57
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

klinal (// dan ┴ keliling). Satu sel menjadi 2 sel dan selanjutnya
terus membelah diri
2. Kedua, mengembangkan dimensi, diameter dan panjang sel
3. Ketiga, mulai membentuk diding sel, sampai ketebalan tertentu
dinding sel yang tergantung dari posisi dan jenis sel
Jenis sel antara lain:
a. Kolenkim (agak hitam dekat kulit), penebalan sel luar biasa,
seluruhnya da dinding sel
b. Parenkim (posisi agak didalam), dinding sel tipis, rongganya
besar
Kimia pembentuk struktur sel tergantung dinding sel, keluar
makin tebal dinding sel, ke dalam dinding sel makin tipis.
Distribusi kimia banyak di tepi, rendah di tengah
B. Penyusun non struktural
Berupa zat ekstraktif, bahan kimia yang mudah dikeluarkan
dari sel-sel bambu. Di keluarkan dengan pelarut netral (seperti air).
Zat ekstraktif berupa pati, amilum yang menjadi makanan
kumbung (bitel) keluar karendam terndam air. Cara perendaman
dengan air dingin membutuhkan waktu berhari-hari sekitar 12
harian, sedangkan perebusan membutuhkan waktu minimal 3 jam.
Metode pengasapan juga dapat dilakukan sehingga dapat
mengubah permukaan dinding sel. Pada pengasapan pada suhu
1600 keatas terjadi proses perubahan permukaan dinding sel yang
dinamai Hidropilin menjadi hidropopik, dan diatas suhu 170 0
terjadi proses piropilis yakni penguraian dinding sel seperti remuk,
rusak. Pada kondisi ini terjadi keuntungan degradasi, perubahan
komponen kimia. Proses ini saat ini dimanfaatkan menjadikan
teknologi merekat tanpa bahan perekat tambahan (binderku).
Banyaknya kandungan ekstraktif tergantung pada jenis
bambu, jenis rebung manis (ekstraktif karbohidrat seperti gula
kandungannya tinggi) dan jenis rebung pahit (koloid, kandungan
minyak C diatas 20)
Jenis-jenis ekstraktif:
1. Karbohidrat,

58
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

2. Koloid,
3. Tanin, flafonoid menyebabakan ekstraktis pada rebung terasa
sepat.
Jenis ekstraktif ini berfungsi pada pengawet. Bahan kimia
untuk pengawetan di masukkan ke dalam lumen sel bambu. Variasi
bahan kimia yang terkandung pada bambu berdasarkan spesies
bambu. Menurut Sultoni ada 17 jenis bambu sedang di jogja baru 6
spesies yang telah diteliti tentang kandungan kimianya.
Berdasarkan kandungan ekstraktif akan memudahkan memasukkan
kelas awet tiap bambu. Makin banyak ekstraktif karbohidrat makin
lemah keawetannya, sedang semakin banyak ekstraktif koloidnya
makin tinggi keawetannya. Dan semakin tinggi alcohol bensin,
bahan bambu akan juga semakin awet.

II. Pengujian Kandungan Kimia Bambu


A. Metode dan Bahan
Pohon bambu untuk studi ini dikumpulkan pada Juni 2003
dari Kisatchie National Forest, Pineville La. Dua perwakilan
batang bambu untuk setiap kelompok usia (satu, tiga, dan lima
tahun) yang dipanen. Internode setiap ketinggian lokasi dan
kelompok usia untuk analisis kimia dipotong menjadi potongan
kecil dengan silet. Strip cukup kecil untuk ditempatkan di sebuah
Wiley Mill. Bahan-bahan ini kemudian ditempatkan di sebuah
saringan shaker dengan melewati mesh saringan nomor 40 (425-
μm) namun tertahan pada mesh saringan nomor 60 (250-μm).
Bahan yang dihasilkan ditempatkan dalam toples kaca yang diberi
label dengan kode sesuai analisis kimia.
Tabel 5.1. Analisis kimia bambu (Higuchi 1955)
Ethanol
Ash Lignin Cellulosa Pentosan
Spesies Toluene
(%) (%) (%) (%)
Extractives
Phyllostachys
1,3 4,6 26,1 49,1 27,7
heterocycla
Phyllostachys
2,0 3,4 23,8 42,3 24,1
nigra
Phyllostachys
1,9 3,4 25,3 25,3 26,5
reticulata

59
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Untuk mempersiapkan sampel lapisan horisontal yang berbeda


dari bambu, bagian bawah dari tiga tahun bambu yang digunakan.
Epidermis dari strip pertama kali dikeluarkan dengan pisau halus.
Epidermis ini disimpan untuk analisis kimia dan sisanya dari strip
itu dibagi secara merata berdasarkan pada volume bagian dalam,
tengah dan lapisan luar sepanjang arah radial pisau. Dilanjutkan
dengan proses penggilingan yang sama seperti dijelaskan di atas.
Semua tes dilakukan di bawah standar American Society for
Ujiingdan Material (ASTM) kecuali untuk kelarutan alkohol-
toluena dari bambu.
Ada modifikasi kecil untuk menguji kandungan ekstraktif,
solusi benzena, larutan toluena yang digunakan. Standar yang tepat
diikuti untuk setiap sifat kimia yang dilakukan disajikan dalam
Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Analisis kimia menurut standard ASTM
Analisis Kimia Standar Uji
Alcohol-tolune solubility ASTM D 1107-56
Hot-water solubility ASTM D 1110-56
Klason lignin ASTM D 1106-56
Holocellulosa ASTM D 1104-56
Alpha-cellulose ASTM D 1103-60
Ash Content ASTM D 1102-84

Setiap uji dilakukan menggunakan 3 ulangan. Diperlukan


eksperimen tambahan ketika menganalisis untuk kandungan
ekstraktif alkohol-toluena dan holocellulose. Uji toluena alkohol
dimulai lebih awal karena membutuhakan bahan yang banyak
dibanding eksperimen lain. Uji kandungan lignin dan holocellulose
dilakukan untuk menguji bambu yang bebas ekstraktif yang berasal
dari uji ekstraktif toluena alkohol. Selain itu holocellulose dengan
tahap persiapan yang diperlukan dalam rangka untuk menentukan
kandungan alfa-selulosa. Kelarutan alkohol-toluena bambu,
ekstraksi terdiri dari sebuah tabung ekstraksi Soxhlet terhubung
pada ujung atas sebuah kondensor refluks dan bergabung di bawah
dengan termos mendidih.
Dua-gram kering oven sampel ditempatkan dalam wadah
ekstraksi selulosa. Wadah ini terhubung dengan sedikit kapas dan

60
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

ditempatkan dalam tabung ekstraksi soxhlet. Merebus botol-botol


berisi larutan 2:1 etil alkohol 95 persen dan suling toluena dan
ditempatkan di mantel pemanas. Ekstraksi dilakukan selama
delapan jam dengan kecepatan sekitar enam siphonings per jam.
Ketika ekstraksi selesai, semua solusi yang tersisa ditransfer ke
termos mendidih yang dipanaskan pada mantel pemanas sampai
larutan itu menguap. Termos dikering-oven di 103 ± 2oC,
didinginkan dalam desiccator dan ditimbang sampai diperoleh
berat konstan. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh
kandungan kelarutan alkohol-toluena bambu:

Alcohol-tolune solubles (Persen) = (1)

dimana:
W1 = berat kering-oven uji specimen (grams);
W2 = berat kering-oven ekstraksi sisa (grams).

Sebuah perubahan kecil dibuat diperlukan untuk melakukan


percobaan tambahan dalam rangka untuk menyediakan cukup
ekstraktif bebas bambu untuk percobaan sifat kimia lainnya. Oleh
karena itu, ukuran sampel telah meningkat menjadi 20 gram dan
waktu ekstraksi empat puluh delapan jam. Kelarutan air panas dari
bambu dengan sampel dua gram kering oven dan ditempatkan
dalam labu Erlenmeyer 250 mL dengan 100 mL air suling. Sebuah
kondensor refluks menempel pada botol dan ditempatkan di bak air
mendidih selama tiga jam. Perhatian khusus diberikan untuk
memastikan bahwa tingkat solusi dalam termos tetap di bawah
yang air mendidih. Sampel itu kemudian dibersihkan dengan air
dan disaring vakum isap ke dalam wadah gelas fritted yang
ditentukan beratnya. Residu dicuci dengan keran air panas sebelum
itu kering-oven pada suhu 103 ± 2oC. Crucibles kemudian
didinginkan dalam desiccator dan ditimbang sampai diperoleh
berat konstan. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh
kandungan larutan air panas pada bambu:

61
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Hot-water solubles (Persen) = (2)

dimana:
W1 = berat kering oven specimen (grams).
W2 = berat kering oven specimen setelah diekstraksidengan air panas
(grams).

Klason Lignin dalam Bambu, satu gram sampel bambu


kering-oven bebas ekstraktif ditempatkan di 150mL beaker. Lima
belas mL asam sulfat dingin (72 persen) ditambahkan perlahan-
lahan sambil mengaduk-aduk dan dicampur dengan baik. Reaksi
berlangsung selama dua jam dengan sering diaduk pada air
dipertahankan pada 20oC. Setelah dua jam spesimen dipindahkan
dengan mencuci menggunakan 560 mL air suling ke dalam 1.000
mL termos dan konsentrasi asam sulfat tiga persen. Sampel
ditempatkan didalam air mendidih selama empat jam. Residu
dicuci bebas dari asam dengan air keran panas 500 mL dan
kemudian dikering oven 103 ± 2oC. Rumus berikut ini digunakan
untuk memperoleh kandungan lignin bambu:

Klason lignin content (Persen) = (3)

dimana:
W1 = kandungan ekstaktif alcohol-toluene (percent).
W2 = berat kering oven bebas ekstraktif (grams).
W3 = berat kering oven wadah (grams).
W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).

Holocellulose dalam Bambu. Dua gram sampel kering oven


ekstraktif bebas bambu ditimbang dan ditempatkan dalam 250 mL
termos dengan penutup gelas kaca kecil. Spesimen kemudian
diperlakukan dengan 150 mL air suling, 0,2 mL asam asetat glasial
dingin dan satu gram NaClO2, ditempatkan dalam bak air
dipertahankan antara 70oC - 80oC. Setiap jam selama lima jam 0.22
mL dingin asam asetat glasial dan satu gram NaClO2 ini
ditambahkan dan termos itu diupayakan bergerak terus-menerus.
Setelah lima jam, termos yang sudah ditempatkan dalam bak air es
sampai suhu termos dikurangi sampai 10oC. Isi termos itu disaring
kedalam wadah kaca porositas kasar yang diketahui beratnya.

62
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Residu dicuci bebas dari ClO2 dengan 500 mL air suling dingin
dan residu berubah warna dari kuning menjadi putih. Wadah
kemudian kering-oven di 103 ± 2oC, kemudian didinginkan dalam
desiccator, dan beratnya konstan. Rumus berikut ini digunakan
untuk menentukan kandungan dalam holocellulose pada bambu:

Holocellulosw content (Persen) = (4)

dimana:
W1 = kandungan ekstraktif alcohol-toluene (percent).
W2 = berat kering oven sampel bebas ekstraktif (grams).
W3 = berat kering oven wadah (grams).
W4 = berat kering oven wadah dan residu (grams).

Alpha-selulosa dalam Bambu. Tiga gram sampel kering oven


holocellulose ditempatkan di 250 mL termos Erlenmeyer dengan
penutup gelas kaca kecil. Termos itu ditempatkan dalam bak air
yang ditetapkan pada 20oC. Sampel ini kemudian diperlakukan
dengan 50 mL 17,5 persen NaOH dan menyeluruh dicampur
selama satu menit. Setelah spesimen diizinkan untuk bereaksi
dengan solusi selama 29 menit, 50 mL air suling ditambahkan dan
dicampur dengan baik untuk beberapa menit lagi. Reaksi
berlangsung selama lima menit lagi. Isi termos itu disaring dengan
bantuan vakum hisap dengan wadah gelas kaca yang telah
diketahui beratnya. Residu pertama dicuci dengan 50 mL 8,3
persen NaOH, kemudian dengan 40 mL asam asetat 10 persen.
Residu dicuci bebas dari asam dengan air keran panas 1.000 mL.
Wadah kering-oven ini dioven pada 103 ± 2oC, kemudian
didinginkan di sebuah desiccator, dan ditimbang sampai berat
konstan tercapai. Rumus berikut ini digunakan untuk memperoleh
selulosa alfa-kandungan dalam bambu:

Alpha-cellulosa (Persen) = (5)

dimana:
W1= Kandungan Holocellulose (percent).
W2= Berat sampel holocellulose kering oven (grams).
W3= Berat kering oven wadah (grams).
W4= Berat kering oven wadah dan residu (grams).

63
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Kandungan abu dalam Bambu. Nyalakan wadah kosong dan


penutupnya pada 600oC, dinginkan dalam dessicator, dan beratnya
mendekati 0,1 mg. Letakkan sekitar 2 gram sampel bambu kering
udara pada wadah, tentukan berat wadah ditambah spesimen, dan
ditempatkan di oven pengeringan 103 ± 2oC dengan penutup
wadah dibuka. Dalam desiccator dan menimbang sampai beratnya
konstan. Tempatkan wadah dan isinya kedalam tungku dan dibakar
sampai semua karbon hilang. Suhu akhir 580oC sampai 600oC.
Keluarkan wadah dengan isinya ke sebuah dessiccator tanpa
penutup, didinginkan dan ditimbang secara akurat. Ulangi
pemanasan selama 30 menit sampai berat setelah pendinginan
konstan 0,2 mg. Rumus berikut ini digunakan untuk mendapatkan
kandungan abu bambu:

Ash content (Persen) = (6)

dimana:
W1 = berat abu (grams).
W2 = berat kering oven sampel (grams).

Kandungan kimia bambu dipengaruhi oleh usia, tinggi,


lapisan bambu yang dievaluasi dengan analisis varian pada level
signifikan 0.05.

B. Kandungan Kimia
Hasil pengujian kimia bambu tercantum dalam Tabel 5.3.
Khusus hasil komponen kimia dibahas secara rinci di bawah ini.
Tabel 5.4 menunjukkan hasil analisis varians dan Tabel 5.5
menunjukkan hasil perbandingan Tukey.
1. Ekstraktif Alkohol-toluena dan Air panas
Ekstraktif alkohol-toluena bambu terdiri dari bahan yang tidak
larut, umumnya dianggap sebagai bagian dari substansi bambu,
terutama lilin, lemak, resin, dan beberapa kerak, beberapa substansi
yang larut dalam air. Kandungan ekstraktif alkohol-toluena dari
berbagai usia dan ketinggian lokasi disajikan pada Gambar 5.1.
Umur mempunyai pengaruh yang signifikan pada kandungan
ekstraktif toluena alkohol. Dengan meningkatnya umur, kandungan

64
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

ekstraktif toluena alkohol terus meningkat. Usia lima tahun bambu


memiliki kandungan ekstraktif tertinggi. Ada beberapa variasi di
antara lokasi sampling vertikal. Bagian atas memiliki kandungan
ekstraktif tertinggi. Pangkal dan menengah tidak secara signifikan
berbeda dalam kandungan ekstraktif toluena alkohol.
Tabel 5.3. Komposisi kimia dari bambu
Hot Alcohol-
Holo α-
Usia Ash Water toluene Lignin
Lokasi Cellulose cellulose
(thn) (%) Solubles Solubles (%)
(%) (%)
(%) (%)
Bawah 1,82 5,83 3,32 21,98 68,92 46,52
1 Tengah 1,94 5,07 2,86 22,11 70,84 47,30
Atas 1,95 5,14 3,48 21,26 71,95 47,51
Bawah 1,30 6,33 4,17 23,21 68,58 46,21
2 Tengah 1,36 6,91 4,38 23,95 72,69 46,82
Atas 1,41 7,43 5,21 23,71 73,82 46,99
Bawah 1,26 4,89 6,61 22,93 69,94 46,08
3 Tengah 1,30 5,19 6,81 22,97 72,50 47,65
Atas 1,35 5,84 7,34 23,02 73,65 47,91
Epidermis 4,09 9,19 5,99 22,41 63,14 41,71
1 Luar 0,54 5,26 3,15 24,30 69,94 49,02
3 Tengah 0,65 7,25 4,25 21,79 65,84 45,08
Dalam 0,88 9,33 5,78 22,57 64,54 42,84

Gambar 5.1. Kandungan ekstraktif bambu pada usia dan lokasi berbeda

Kandungan ekstraktif Alkohol-toluena dari berbagai lapisan


horizontal bagian bawah bambu pada usia tiga tahun bambu ini
disajikan dalam Gambar 5.2. Epidermis dan lapisan signifikan
lebih tinggi kandungan ekstraktif toluena alkohol. Lapisan luar

65
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

kandungan ekstraktif alkohol toluena terendah. Epidermis dari


bambu memiliki warna hijau yang menarik karena klorofil dalam
pada epidermisnya. Setelah ekstraksi dengan alkohol-toluena,
warna larutan ekstraksi berubah menjadi warna hijau gelap karena
ekstraksi klorofil. Beberapa studi telah mengungkapkan bahwa
klorofil dalam epidermis sangat mudah rusak dan perlakuan
dengan garam anorganik seperti chromates, garam nikel, dan
tembaga telah digunakan untuk melestarikan permukaan bambu
warna hijau (Chang dkk. 1998, 2001; Wu 2002). Bahan lilin yang
melekat pada lapisan juga berkontribusi terhadap kandungan
ekstraktif alcohol yang lebih tinggi-toluena relatif ke tengah dan
lapisan luar.

Gambar 5.2. Kandungan ekstraktif alcohol-toluene dari bambu usia tiga


tahun dengan lapis horizontal yang berbeda

Ekstraktif air panas dalam bambu termasuk tannin, gums,


gula, bahan pewarna, dan pati. Umur mempunyai beberapa efek
pada kandungan ekstraktif air panas bambu. Bambu usia tiga tahun
memiliki kandungan ekstraktif air panas tertinggi. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara usia satu dan lima tahun bambu.
Hal ini menunjukkan bahwa kandungan ekstraktif air panas
meningkat dari tahun kesatu ke tahun tiga dan kemudian menurun
secara bertahap. Bambu memiliki bagian atas lebih tinggi secara
nyata kandungan ekstraktif air panas dari tengah dan bagian

66
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

bawah/pangkal. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara bagian


tengah dan bawah. Kandungan ekstraktif air panas dalam setiap
lapisan menunjukkan kecenderungan yang sama seperti yang
dilakukan oleh kandungan ekstraktif toluena alkohol. Lapisan luar
memiliki kandungan ekstraktif air panas terendah. Epidermis dan
lapisan dalam yang lebih tinggi secara signifikan kandungan
ekstraktifnya, yang dapat dijelaskan sama seperti rincian
kandungan ekstraktif untuk alkohol-toluena ekstraktif.

Gambar 5.3. Kandungan ekstraktif air panas dari bambu pada usia
dan ketinggian lokasi berbeda

Gambar 5.4. Kandungan ekstraktif air panas dari lapis horizontal


bambu berbeda
2. Kandungan Holocellulose dan Alpha-selulosa
Kandungan holocellulose mencakup alfa-selulosa dan
Hemiselulosa. Alpha-selulosa adalah konstituen utama dari bambu.
Sekitar 40-55% dari bahan kering dalam bambu adalah alfa-

67
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

selulosa. Selulosa adalah homopolysaccharide terdiri dari unit β-D-


glukopiranosa yang dihubungkan bersama-sama dengan (1 → 4)
pengikat glikosidik. Molekul selulosa sepenuhnya linear dan
memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk intra dan antar
molekul hidrogenobligasi. Kumpulan molekul selulosa dengan
demikian dikumpulkan bersama-sama dalam bentuk mikrofibril, di
mana daerah kristalin bergantian dengan daerah amorf.
Hemicelluloses yang polisakarida heterogen, seperti selulosa,
kebanyakan hemicelluloses berfungsi sebagai bahan pendukung
dalam dinding sel. Alpha-selulosa adalah sumber utama dari sifat
mekanik bambu dan kayu (Janssen, 1981). Gambar 5.5 menyajikan
kandungan holocellulose bambu pada usia dan lokasi yang
berbeda. Ada perbedaan yang signifikan kandungan
diholocellulose antara bambu usia tiga dan lima tahun. Bambu
berumur satu tahun kandungan holocellulose relatif lebih rendah.
Bagian atas memiliki kandungan holocellulose tertinggi; bagian
bawah memiliki kandungan holocellulose terendah.

Gambar 5.5. Kandungan holocellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda

Kandungan Holocellulose dari berbagai lapisan bagian bawah


bambu usia tiga tahun disajikan dalam Gambar 5.6. Lapisan luar
memiliki kandungan holocellulose tertinggi dan epidermis yang
terendah. Meskipun kandungan holocellulose tampaknya menurun
dari lapisan luar ke lapisan dalam, hal itu tidak secara signifikan

68
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

berbeda antara tengah dan lapisan dalam. Kandungan holocellulose


rendah di epidermis sebagian disebabkan oleh tingginya
kandungan ekstraktif dan abu. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa dinding epidermis terdiri dari lapisan luar dan
dalam; lapisan tampaknya sangat lignified. Lapisan cutinized terdiri
dari selulosa dan petin (Liese dan Hamburg, 1987). Karena lapisan
luar yang lebih tinggi secara nyata kandungan ekstraktif dan
abunya, berdampak mengurangi kandungan holocellulose
epidermis dalam bambu. Kandungan Alpha-selulosa bambu pada
usia dan tinggi yang berbeda disajikan dalam Gambar 5.7. Analisis
varians menunjukkan bahwa umur tidak memiliki dampak
signifikan pada kandungan alphacellulose. Ada perbedaan yang
signifikan dalam kandungan alfa-selulosa sepanjang ketinggian
batang bambu, neningkat secara bertahap dari bawah ke bagian
atas.

Gambar 5.6. Kandungan holocellulose pada bambu usia 3 tahun dari lapis
horizontal yang berbeda

Kandungan Alpha-selulosa terdapat perbedaan yang


signifikan pada batang bambu batang bagian bawah pada usia
bambu tiga tahun (Gambar ). Secara konsisten menurun dari
lapisan luar ke lapisan dalam. Epidermis bambu memiliki
kandungan alphacellulose terendah. Secara umum, kandungan
alfa-selulosa dalam bambu adalah 40-50% yang merupakan sesuai

69
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

dengan kandungan selulosa pada softwood (40-52%) dan kayu


keras (38 - 56%). Kandungan selulosa dalam kisaran ini membuat
bambu baik untuk bahan baku industri kertas.

Gambar 5.7. Kandungan Alpha-cellulose dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda

Gambar 5.8. Kandungan Alpha-cellulose pada bambu usia 3 tahun dari


lapis horizontal yang berbeda

3. Kandungan Lignin Klason


Lignin merupakan polimer dari unit phenylpropane. Banyak
aspek lignin dalam kimia masih tetap tidak jelas. Lignin dapat
diisolasi dari kayu bebas ekstraktif sebagai residu larut setelah
proses pemindahan hidrolitik polisakarida. Klason lignin diperoleh

70
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

setelah menghilangkan polisakarida dengan proses kayu diekstraksi


(resin bebas) oleh hidrolisis dengan asam sulfat 72%. Lignin
bambu dibangun dari unit tiga fenil-propana, p-coumaryl, coniferyl
dan saling berhubungan melalui sinapyl alcohol biosintetik (Liese,
1987). Lignin hadir dalam bambu adalah unik, proses yang
mengalami perubahan lignifications sepanjang dari batang bambu,
lignification penuh jelaga bambu diselesaikan dalam satu musim
tanam, tidak menunjukkan efek penuaan lebih lanjut (Itoh dan
Shimaji 1981). Kandungan lignin dari bambu berumur satu tahun
secara signifikan lebih rendah daripada usia bambu tiga dan lima
tahun (Gambar 5.9). Usia bambu tiga tahun tampak kandungan
ligninnya yang lebih tinggi dari usia lima tahun, tapi perbedaan
besarnya secara statistik tidak terlalu signifikan.

Gambar 5.9. Kandungan Klason Lignin dari bambu pada usia dan tinggi
yang berbeda

Kandungan Lignin Klason dari berbagai lapisan bagian bawah


pada usia bambu tiga tahun disajikan pada Gambar 5.10. Lapisan
luar memiliki kandungan lignin tertinggi. Tidak ada perbedaan
yang signifikan antara epidermis, lapisan dan lapisan bambu
dibagian tengah. Kandungan lignin yang lebih tinggi memberikan
kontribusi besar terhadap kekuatan sifat lapisan luar yang lebih
tinggi. Nilai-nilai kandungan lignin dibagian ujung bambu normal

71
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

20-26% atau mirip untuk non-kayu biomas 11-27% (Bagby 1971)


dan sangat sesuai dengan rentang yang dilaporkan untuk softwoods
(24-37%) dan kayu keras (17-30%). Kandungan lignin yang tinggi
pada bambu memberikan kontribusi nilai yang tinggi akibat proses
pemanasan bambu, dan kekakuan yang sangat baik sebagai bahan
bangunan structural.

Gambar 5.10. Kandungan Klason lignin pada bambu usia 3 tahun dari
lapis horizontal yang berbeda

4. Kandungan Abu
Kandungan abu adalah istilah yang umumnya digunakan
untuk merujuk kepada bahan-bahan anorganik seperti silikat,
sulfat, karbonat, atau ion logam (Rydholm 1965). Kandungan abu
bambu pada usia yang berbeda dan tinggi disajikan pada Gambar
5.11. Kandungan abu dari bambu berumur satu tahun secara
signifikan lebih tinggi dari pada tiga dan lima tahun. Usia tiga dan
lima tahun bambu tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
kandungan abunya. Analisis varians juga menunjukkan tidak ada
perbedaan antara bagian atas dan tengah untuk kandungan abu;
kandungan abu di bagian bawah batang memiliki nilai terendah.
Gambar 5.12 menunjukkan kandungan abu pada lapisan yang
berbeda. Kita dapat melihat bahwa epidermis secara signifikan
menunjukkan kandungan abu yang lebih tinggi, yang merupakan
tiga kalinya pada tiga lapisan lainnya. Telah dikatakan bahwa
kandungan abu yang lebih tinggi dalam epidermis terutama

72
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

disebabkan karena hampir semua seluruh silika terletak di lapisan


epidermis, nyaris tanpa silika dalam sisa dinding sel (Satish dkk.
1994). Tabel 5.4 juga menunjukkan data kandungan abu beberapa
jenis kayu umum. Jelas bahwa bambu memiliki kandungan abu
lebih tinggi secara signifikan dari kandungan pada kayu hutan,
tetapi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar
pada spesies kulit kayu.

Gambar 5.11. Kandungan Abu dari bambu pada usia dan tinggi yang
berbeda

Gambar 5.12. Kandungan Abu pada bambu usia 3 tahun dari


lapis horizontal yang berbeda

73
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

III. Intisari Kimia Bambu


Komposisi kimia dari usia bambu satu, tiga, dan lima tahun
bambu pada berbagai lokasi ketinggian lyang ditentukan. Studi ini
juga meneliti komposisi kimia berbagai lapisan horisontal
(epidermis, luar, tengah, dan lapisan dalam) dari bagian bawah
pada usia bambu tiga tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kecuali untuk satu tahun bambu, kandungan ekstraktif alkohol-
toluena dan panas air meningkat dari bawah ke bagian atas.
Kandungan ekstraktif Toluena alkohol yang terus-menerus
menunjukkan peningkatan dari bambu berumur satu tahun sampai
lima tahun (bambu tua). Kandungan ekstraktif air panas
menunjukkan peningkatan dari bambu berumur satu tahun dan
kemudian menurun dari tiga tahun sampai lima tahun. Kandungan
Holocellulose dan alpha-selulosa meningkat dari bagian bawah ke
bagian atas. Ada variasi yang signifikan dalam kandungan abu dan
lignin dari bawah ke bagian atas bambu. Lapisan luar bambu
memiliki kandungan holocellulose, alfa-selulosa tertinggi, dan
kandungan lignin Klason serta kandungan ekstraktif abu memiliki
nilai terendah. Epidermis memiliki kandungan ekstraktif abu
tertinggi serta memiliki kandungan holocellulose dan alfa-selulosa
terendah.
Penelitian sifat kimia bambu yang juga telah dilakukan oleh
Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) meliputi penetapan kadar
selulosa, lignin, pentosan, abu, silika, serta kelarutan dalam air
dingin, air panas dan alkohol benzen. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa kadar selulosa berkisar antara 42,4% - 53,6%,
kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan
kadar pentosan 1,24% - 3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar
silika 0,10% - 1,78%, kadar ektraktif (kelarutan dalam air dingin)
4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% -
11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% -
6,9%. Hasil analisis kimia 10 jenis bambu terdapat pada Tabel 5.5.

74
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 5.4. Analisis Kimia 10 Jenis Bambu


No. Jenis bambu Selulosa Lignin Pentosan Abu Silika Kelarutan dalam, (%)
(%) (%) (%) (%) (%) Air Air Alkohol- NaOH
dingin panas benzene 1%
1. Phyllostachys reticulata (bambu madake) 48,3 22,2 21,2 1,24 0,54 5,3 9,4 4,3 24,5
2. Dendrocalamus asper (bambu petung) 52,9 24,8 18,8 2,63 0,20 4,5 6,1 0,9 22,2
3. Gigantochloa apus (bambu batu) 52,1 24,9 19,3 2,75 0,37 5,2 6,4 1,4 25,1
4. Gigantochloa nigrociliata (bambu batu) 52,2 26,6 19,2 3,77 1,09 4,6 5,3 2,5 23,1
5. Gigantochloa verticillata (bambu peting) 49,5 23,9 17,8 1,87 0,52 9,9 10,7 6,9 28,0
6. Bambusa vulgaris (bambu ampel) 45,3 25,6 20,4 3,09 1,78 8,3 9,4 5,2 29,8
7. Bambusa bambos (bambu bambos) 50,8 23,5 20,5 1,99 0,10 4,6 6,3 2,0 24,8
8. Bambusa polymorpha (bambu kyathaung) 53,8 20,8 17,7 1,83 0,32 4,9 6,9 1,9 22,4
9. Chephalostachyum pergraciles (bambu 48,7 19,8 17,5 2,51 0,51 9,8 11,8 6,7 29,3
tinwa)
10. Melocanna bambusoides 42,4 24,7 21,5 2,19 0,33 7,3 9,7 4,0 28,4
Sumber : Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988)

75
Sifat Kimia Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB VI
KEMUNDURAN BAMBU

Kemunduran atau sering di sebut dengan istilah deteorisasi,


pada bahan alami seperti kayu dan bambu berhubungan dengan
penguraian struktur atau komposisi penyusun dinding mengalami
penurunan kualitas. Struktur penyusun bambu berupa dinding
terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan lignin yang merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan pada batang bambu.
Faktor yang menyebabkan penurunan dan penguraian dinding
sel pada bambu adalah antara lain:
I. Penguraian Dinding Sel
Bambu merupakan kumpulan serabut-serabut yang hal serupa
dapat dilihat pada kayu kelapa, sewaktu diteteskan air, terjadi
penguraian melalui proses hidrolisa (penguraian karena air). Lignin
dan hemiselulosa sebagai pengikat antar serabut yang terdiri dari
kumpulan selulosa mengalami penguraian dan penurunan daya
ikat.
Ikatan serat mulai rusak dapat disebabkan oleh bermacam-
macam cara: air, jamur dan enzim yang dikeluarkan oleh jamur.
Ada dua kelompok besar yang menyebabkan proses penguraian ini
terjadi:
A. Abiotik, berupa bahan-bahan kimia seperti H2SO4, air dan sinar,
B. Biotik, berupa jamur, organisme pengurai jasad renik (bakteri)
II. Penurunan Kualitas Dinding Sel
Penurunan kuliatas dan atau pelunakan dinding sel juga di
pengaruhi oleh dua kelompok besar diatas yaitu abiotik dan biotik.
Proses deteriosasi pada bambu yang diakibatkan oleh penurunan
kualitas dinding sel dimulai bambu sewaktu mengalami
pelembaban (kadar air meningkat) sehingga organisme perusak
mampu hidup pada bambu. Apabila kadar air bambu bias
dipertahankan pada kondisi kering maka proses deteorisasi akan
berjalan sangat lambat, tapi bila kadar air meningkat makan bambu
segera mengalami deteorisasi.

76
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Beberapa faktor pemicu terjadinya penurunan kualitas dinding


sel, antara lain:
A. Kelembaban
Jumlah air pada bambu menyebakan terjadinya kembang
susut, saat kembang jarak antar serabut bambu menjauh sehingga
kemungkinan dapat masuknya pengurai lebih besar. Air yang
berada pada selulosa mempunyai kemampuan hidrolisa, yang
berakibat penurunan kualitas dinding sel. Jamur mampu hidup baik
pada kelambaban dengan kadar air 25-30%.
Terkait dengan kadar air yang meningkat akan berakibat
menurunnya kekerasan dari bambu sehingga menurunkan
kemampuan bambu dalam menahan beban luar. Kondisi ini akan
memperparah kondisi bambu sebagai fungsi struktur.
B. Suhu ruangan
Suhu ruangan dimana bambu diletakkan, suhu membantu
penyerapan organism perusak. Pada suhu ruang yang agak
meningkat penyerangan organisme berjalan mudah, pada suhu
tinggi organisme akan mati. Begitu sebaliknya suhu ruangan turun
penyerangan melambat dan pada suhu sangat rendah organisme
akan mati. Sebagai contoh: kayu sengon di daerah dingin lebih
kuat terhadap deteorisasi dari kayu sengan pada daerah panas.
C. Penyinaran (photo oksidasi)
Penyinaran merupakan faktor dari unsur abiotik, bahan
memanas karena penyinaran (oksidasi karena panas) sehingga bila
bambu dijemur maka lama kelamaan akan berakibat warnanya
kusam dan rusak. Faktor rusaknya bambu pada kondisi ini tidak
terkait dengan faktor biotic seperti organisme perusak.
D. Fatique (kelelahan)
Faktor ini terkait dengan usia bahan dan proses siklus
kehidupan bahan, mulai dari tumbu, berkembang, sel-sel dinding
sel membesar, dan sampai akhirnya sel-sel terkandung dalam
bambu akan mati.
Air pada bambu mempunyai fungsi ganda, waktu air
melimpah justru mampu mempertahankan durabilitas bambu. Pada

77
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

kadar air maksimum dan tidak ada oksiden lagi pada rongga
bambu. Kondisi ini disebut water loged (bahan yang penuh dengan
air). Deterisoasi lainnya adalah akibat peningkatan suhu (oven)
yang berakibat weight loss (pengurangan berat). Saat bambu
dioven maka berat bambu akan turun, pada bambu muda weight
loss yang terjadi kecil tidak berakibat deteorisasi sehingga
penerapan pengoven murni bertujuan untuk mengurangi kembang
susutnya sedangkan pada bahan lama pengovenan akan berakibat
weight loss yang terjadi besar dan mendorong terjadinya
deteorisasi.
Pengawetan seperti yang dilaksanakan oleh EDS, panas akan
berakibat weight loss sedangkan asap atau gas yang disemburkan
kedalam bambu berakibat meningkatkan berat sehingga
pengawetan sistem tersebut efektif tanpa mempengaruhi kekuatan
dari bambu.
Stuktur anatomi bambu yang terdiri dari kumpulan selulosa-
selulosa yang diikat oleh hemiselulosa, kumpulan ikatan ini disebut
microfibil. Kumpulan-kumpulan microfibil diikat oleh lignin
sehingga membentuk satu kesatuan bambu. Faktor-faktor lain yang
dapat merusak lignin adalah asam kuat dan basa kuat seperti hujan
asam, lignin mudah teroksidasi dengan abiotik atau sinar. Sebagai
contoh kita dapat lihat kertas Koran apabila dijemur akan berwarna
kuning, ini mengindikasikan lignin yang terkandung pada kertas
Koran mengalami deteorisasi akibat dijemur sinar matahari.
Sifat keterekatan kimia penyusun bambu (adhesive
characteristic) pada kacamata ahli kimia, bambu merupakan bahan
komposit yang merupakan satu kesatuan gabungan dari serabut-
serabut yang terikat secara kimiawi. Deteorisasi akan terjadi bila
adhesive characteristic melemah, ikatan ion+ dan ion- dan
permukaan bahan secara mekanik melemah.
Faktor-faktor yang menghambat proses deteorisasi:
1. Menghambat hidupnya organisme perusak bambu, harus
dikondisikan sehingga membuat mereka tidak dapat hidup.
Misalnya dengan mengatur kadar air, memasukkan bahan

78
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

ekstraktif yang bersifat racun pada perusak bambu seperti


borak, phenol yang bersifat toxid dan resin.
2. Adanya perlakuan atau treatment pada bambu yang membuat
organism perusak bambu tidak mau makan. Dengan tambahan
dan atau ubahan kimia membuat organisme tidak merusak lagi.
3. Penghambatan dengan cara tidak memberikan akses kepada
organisme perusak kayu, tidak bias di endus oleh organisme
perusak kayu. Misalnya dengan cara pengecatan.

III. Penelitian terkait dengan kemunduran Bambu


“Perubahan Sifat Fisik dan Mekanik Panel Zephyr
Bambu setelah Uji Pelapukan Cuaca”.
A. Pendahuluan
Bahan konstruksi kayu bangunan gedung dan bahan
konstruksi kayu- kayu yang sering dipakai di luar ruangan /
eksterior, baik dinegara sub tropis maupun di daerah tropis seperti
halnya di Indonesia, mudah terdegradasi, retak, rusak dan pudar
warna karena pengaruh cuaca (sinar UV dan air hujan) dan karena
hama perusak kayu. Oleh karena itu daya tahan kayu kontruksi
bahan bangunan tipe eksterior perlu ditingkatkan dengan perlakuan
fisik maupun kimia (Sudiyani et al. 1999 dalam Morisco 2006).
Salah satu produk panel yang dikembangkan sebagai bahan
bangunan adalah panel zephyr (palupuh) bambu. Panel zephyr
bambu adalah suatu papan atau lembaran tiga lapis dari zephyr
bambu atau serat bambu dengan arah serat bersilangan yang
direkat dengan menggunakan phenol fomaldehyde (PF) atau urea
formaldehyde (UF) dengan kadar perekat 17% berdasarkan kering
tanur dan dengan kerapatan 0.75 g/cm3 pada mesin kempa panas.
Kemungkinan permintaan papan zephyr di Belanda akan
meningkat untuk menggantikan papan kayu. Di Belanda, papan
tersebut dipergunakan untuk dinding rumah bagian luar, tiang
pagar dan pagar (eksterior) sehingga papan tersebut harus tahan
terhadap faktor eksterior. Untuk mengantisipasi permintaan
tersebut, maka perlu dilakukan pengujian daya tahan zephyr bambu

79
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

terhadap pengaruh cuaca. Faktor eksterior yang sangat


mempengaruhi bahan kayu atau bambu adalah cuaca, seperti sinar
ultra violet (UV), air, serta jamur, serangga dan debu. Pada
penelitian terdahulu (Gopar dkk., 2001) telah dilakukan
pengembangan panel bambu komposit yang terbuat dari zephyr
bambu dengan menggunakan perekat PF dan UF pada skala pilot.
Sedangkan penelitian untuk skala industri masih belum banyak
dilakukan. Pada penelitian ini panel dibuat dalam skala penuh
dengan ukuran 1200 mm x 2400 mm dengan ketebalan 18 mm.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan sifat
fisik dan mekanik papan zephyr bambu setelah uji pelapukan cuaca
selama 12 bulan. Hasil penelitian, diharapkan dapat memberikan
informasi yang berguna bagi bidang pengolahan bambu ataupun
sector yang terkait sehingga dapat dijadikan dasar acuan bagi
penelitian sejenis dimasa yang akan datang.
B. Bahan dan Metode Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz) yang ditebang dari kompleks
PUSPIPTEK Serpong. Umur bambu yang digunakan dalam
penelitian ini lebih dari dua tahun. Bambu dipotong menggunakan
cutting saw menjadi ukuran panjang 250 cm untuk lapisan luar
(face/back) dan 130 cm untuk lapisan dalam (core). Bambu dibelah
dua kemudian dimasukkan dalam mesin crusher sehingga
dihasilkan zephyr bambu. Zephyr bambu untuk lapisan luar
(face/back) dibuat lebih hancur dibanding dengan zephyr lapisan
dalam (core). Selanjutnya zephyr bambu dikeringkan hingga
mencapai kadar air 7%. Dua jenis perekat yang digunakan adalah
perekat phenol formaldehyde (PF), dan urea formaldeyide (UF).
Sebagai pelapis permukaan panel digunakan perekat isocyanate.
C. Metode Pembuatan panel zephyr bambu
Bahan baku zephyr bambu (kadar air 7%) dicampur masing-
masing dengan perekat PF atau UF menggunakan mesin glue
sprayder sampai mencapai kadar perekat 17% berdasarkan berat
kering tanur. Setelah proses pencampuran perekat, dilakukan

80
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

penyusunan lembaran secara manual. Lapisan luar (face) arah


panjang dan lapisan dalam (core) arah lebar papan. Perbandingan
antara lapisan luar dan lapisan dalam adalah 40% dan 60%. Untuk
mencegah papan zephyr bambu melekat pada plat hot press, kedua
permukaan dilapisi teflon. Kempa panas dilakukan pada suhu
160°C untuk perekat PF sedangkan untuk perekat UF pada suhu
140°C. Untuk menghindari terjadinya blister atau gelembung pada
permukaan panel akibat uap air yang tidak bisa keluar saat proses
pengempaan (Subiyanto dkk. 1994 dalam Morisco 2006), maka
digunakan metode pengempaan three steps pressing schedule.
Kempa panas dilakukan selama 20 menit dengan tekanan 30
kgf/cm2,15 kgf/cm2 dan 7.5 kgf/cm2 (stepped down 10 menit, 5
menit dan 5 menit secara berturut-turut), dengan target ketebalan
18 mm dan kerapatan adalah 0.75 g/cm3.
Untuk memperbaiki kerataan dan kehalusan permukaan dan agar
tahan terhadap cuaca, kedua permukaan diserut tipis/sampai kulit
luar bambu hilang kemudian dilapisi dengan perekat isocyanate
menggunakan mesin glue sprayder sampai kadar perekatnya
mencapai 5% terhadap berat kering tanur. Kemudian dikempa
panas lagi pada temperatur 160°C dengan tekanan 15 kgf/cm2.
Setelah proses kempa panas, sampel dipotong pinggir menjadi
ukuran panel 1200 mm x 2400 mm, kemudian disimpan untuk
kondisioning minimal selama 3 minggu pada ruangan dengan suhu
24°C dan kelembaban relatif (relative humidity = RH) 65%.
Untuk uji pelapukan cuaca, panel zephyr bambu dipotong
dengan ukuran panjang 50 cm x lebar 5 cm, diambil dari empat
belas lembar panel. Perlakuan panel zephyr bambu yang diamati
disajikan pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Pengkodean Uji panel
Perlakuan Benda Uji Kode
Panel dengan Urea Formaldehyde Adhesive UF
Panel dengan Phenol Formaldehyde Adhesive PF
Panel dengan Urea Formaldehyde dan layering menggunakan
ULI
isocyanate
Panel dengan Phenol Formaldehyde dan layering
PLI
menggunakan isocyanate

81
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

1. Kondisi tempat pemaparan cuaca


Potongan panel zephyr bambu dipaparkan pada udara terbuka
di halaman belakang gedung Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong
selama 12 bulan mulai tanggal 1 Juni 2001 sampai dengan tanggal
1 Juni 2002. Papan dipasang pada rak dengan kemiringan 5°
terhadap horizontal dengan jarak 50 cm dari permukaan tanah.
Altitude 30 m, latitude 6° 15‘SL, longitude 106° 42’EL. Data
Meteorologi cuaca selama pengujian, direkam dengan alat
pendeteksi cuaca disajikan pada Tabel 6.2.
2. Pengujian sifat fisis dan mekanis panel
Sebelum dan sesudah pemaparan cuaca, dilakukan pengujian
sifat fisis dan mekanis panel menurut JIS A 5908, meliputi
keteguhan patah (modulus of rupture = MOR), kerapatan dan
pengembangan tebal panel. Pengamatan fisik dan sifat mekanik
diamati setiap 3 bulan. Pengembangan panel diukur berdasarkan
selisih tebal panel sesudah dan sebelum pemaparan cuaca. Setiap
pengujian dilakukan lima kali ulangan. Nilai yang dibandingkan
adalah nilai rata-rata dari masing-masing sifat yang diuji.
D. Hasil dan Pembahasan
1. Sifat fisis panel zephyr bambu
Nilai rata-rata hasil pengujian sifat fisis panel zephyr bambu
disajikan pada Tabel 6.3 dan Tabel 6.4. Kerapatan panel zephyr
bambu dengan perekat UF, panel zephyr bambu dengan perekat PF
dan yang dilapisi perekat isocyanate sebelum uji pelapukan cuaca
berkisar antara 0.72 g/cm3 hingga 0.77g/cm3. Setelah uji pelapukan
cuaca, kerapatan papan menurun bertahap dengan bertambahnya
waktu pengujian. Setelah dijemur selama 12 bulan, sifat fisis panel
menurun. Dengan adanya penambahan perlakuan pelapisan, bahan
pelapis membentuk ikatan sehingga dapat meningkatkan stabilitas
dimensi, memperkecil penurunan kerapatan dan mengurangi
pengembangan tebal panel. Turunnya nilai kerapatan suatu panel
merupakan salah satu faktor untuk menunjukkan kualitas panel itu
sendiri. Panel yang menggunakan perekat phenol formaldehyde
dan panel dengan perekat phenol formaldehyde yang dilapis

82
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

isocyanate menunjukkan penurunan kerapatan yang cukup rendah


yaitu 22.97% dan 10.39% sedangkan panel lain tingkat
penurunannya sangat tinggi.
Tabel 6.2. Kondisi iklim di PUSPIPTEK Serpong-Tangerang dari Juni
2001 sampai Mei 2002
Curah
Suhu Radiasi
RH rata- Intensitas Hujan
Bulan rata-rata UV
rata (%) UV Rata-rata
(0C) (kj/m2)
(mm)

Juni 2001 26,24 91,19 4.171,83 182,75 15.018,59


Juli 2001 26,04 89,28 4.128,67 211,25 14.863,20
Agustus 2001 26,89 85,91 4.496,51 58,25 16.187,45
3 bulan 26,39 88,79 12.797,01 452,25 46.069,24

September 2001 26,34 90,33 4.125,93 173,25 14.853,34


Oktober 2001 26,07 93,09 4.141,40 127,50 14.909,02
Nopember 2001 26,06 93,40 4.429,31 261,45 15.945,53
6 bulan 26,22 91,40 25.493,65 1.014,45 91.777,13

Desember 2001 26,32 88,28 5.335,73 113,50 19.208,62


Januari 2002 26,09 94,40 4.266,73 559,75 15.360,22
Pebruari 2002 25,74 94,86 3.301,55 473,75 11.885,59
9 bulan 26,09 92,24 38.397,66 2.161,45 138.231,56

Maret 2002 26,75 91,95 4.115,52 240,50 14.815,88


April 2002 26,77 92,48 3.057,63 337,50 11.007,46
Mei 2002 27,17 91,01 2.962,10 268,00 10.663,57
12 bulan 26,70 91,92 48.532,91 3.007,45 174.718,48

Tabel 6.3. Kerapatan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor
Kerapatan akibat cuaca luar (g/cm3)
Adhesive 12 Penurunan
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan
bulan (%)
UF 0,72 0,56 0,53 0,54 0,50 30,56
PF 0,74 0,60 0,60 0,63 0,57 22,97
ULI 0,77 0,64 0,59 0,58 0,54 29,87
PLI 0,77 0,74 0,71 0,54 0,69 10,39
Catatan : rata-rata 3 benda uji
Tabel 6.4. Ketebalan dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor
Ketebalan panel akibat cuaca luar (mm)
Adhesive 12 Penurunan
0 bulan 3 bulan 6 bulan 9 bulan
bulan (%)
UF 18,80 20,79 21,95 21,57 21,84
13,92
(0,02) (0,47) (0,37) (0,22) (0,47)
PF 19,10 20,29 20,71 19,54 20,00
4,50
(0,39) (0,47) (0,24) (0,42) (0,45)

83
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

ULI 18,20 18,48 18,85 20,73 19,32


5,80
(0,02) (0,20) (0,39) (0,42) (0,39)
PLI 18,40 18,79 18,73 20,91 18,63
1,23
(0,07) (0,15) (0,16) (0,48) (0,16)
Catatan : rata-rata 3 benda uji

Hal ini disebabkan karena perekat phenol formaldehide dan


perekat isocyanate memiliki sifat kedap air yang baik dan
merupakan perekat untuk penggunaan eksterior. Sedangkan
perekat urea formaldehide tidak tahan terhadap air dan merupakan
perekat tipe interior. Dengan mengetahui sifat pengembangan tebal
suatu panel antara lain adalah untuk menentukan apakah panel
tersebut tahan atau dapat digunakan sebagai panel tipe eksterior.
Makin tinggi pengembangan tebal makin rendah kestabilan
dimensinya sehingga makin tidak tahan atau tidak cocok untuk
keperluan eksterior atau untuk jangka waktu panjang karena sifat
mekaniknya akan menurun.
Sifat pengembangan tebal panel diketahui dengan menghitung
selisih tebal sebelum dan sesudah pemaparan cuaca pada kondisi
kering udara. Sifat pengembangan tebal panel zephyr bambu
sebelum dan sesudah uji pelapukan cuaca selama 12 bulan
disajikan pada Tabel 6.4. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
pengembangan tebal panel yang dilapisi isocyanate lebih rendah
dibanding dengan panel yang tidak dilapisi, sedangkan panel
dengan perlakuan UF menunjukan pengembangan tebal tertinggi
(13.92%). Jika dibandingkan dengan standar JIS A 5908 yang
menetapkan bahwa nilai pengembangan tebal maksimal kurang
dari 12%, maka dari keempat perlakuan yang dicoba menunjukkan
bahwa panel dengan perlakuan UF tidak memenuhi standar.
Penurunan berat panel pada uji pelapukan cuaca merupakan salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap kekuatan (keteguhan patah)
panel tersebut. Penurunan berat panel menunjukkan bahwa bahan
pada panel tersebut lepas, larut, menguap atau tertiup angin ke
udara akibat proses pelapukan cuaca. Dengan adanya bahan atau
material pada panel yang menguap, larut dan lepas, maka daya
ikatan antar material berkurang sehingga kekuatan panel menurun.

84
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Dari Gambar 6.1 dapat dilihat bahwa waktu pemaparan


memberikan pengaruh terhadap penurunan berat panel, makin lama
waktu pemaparan makin besar penurunan berat; berarti makin kecil
kekuatan panel.
Waktu pemaparan cuaca sampai dengan 9 bulan panel PF
menunjukan penurunan berat paling rendah yaitu 4.46% dan
penurunan berat paling tinggi ditunjukkan oleh panel ULI. Panel
yang dipaparkan selama 12 bulan terus dengan radiasi UV dan
jumlah curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya penurunan
berat sangat besar pada semua panel yang diuji dan penurunan
berat tertinggi ditunjukan oleh panel ULI yaitu 25.31%.
2. Pengujian MOR
Hasil pengujian MOR disajikan pada Gambar 6.2. Nilai-nilai
MOR panel zephyr bambu untuk setiap perlakuan menurun
sesudah uji pelapukan cuaca. Panel
dengan perlakuan UF mengalami penurunan yang sangat tinggi
setelah uji pelapukan cuaca 3 bulan, penurunan nilai MOR semakin
bertambah mencapai 83.78% dengan bertambahnya waktu
pemaparan cuaca selama 12 bulan. Setelah 12 bulan pemaparan
cuaca, panel zephyr bambu dengan perlakuan PF menunjukan
panel yang tahan terhadap cahaya maupun air dibandingkan
dengan perlakuan UF saja maupun dengan perlakuan tambahan
dengan isocyanate. Panel dengan perlakuan PF menunjukkan
penurunan nilai MOR paling rendah yaitu 48.44% atau MOR =
145.5 kgf/cm2, sedang papan ULI dan PLI tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata.
Nilai MOR panel PF tersebut memenuhi persyaratan JIS A
5908 tipe 13 karena nilainya lebih dari 133 kgf/cm2. Perlakuan
tambahan menggunakan perekat isocyanate untuk melapisi
permukaan atas papan, tidak menunjukkan peningkatan kekuatan
papan. Hal ini kemungkinan karena panel UF dan panel PF yang
bagian permukaannya dilapisi perekat isocyanate kemudian
dikempa panas lagi mengalami proses pematangan dua kali (over
curing).

85
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 6.1. Kehilangan berat dari panel zephyr bambu pada kondisi
outdoor

Gambar 6.2. MOR dari panel zephyr bambu pada kondisi outdoor

E. Intisari Kemunduran Bambu


1. Panel zephyr bambu yang diberi perlakuan pelapisan perekat
isocyanate memiliki sifat fisis lebih baik namun tidak
menunjukkan peningkatan kekuatan papan yang nyata.
2. Panel dengan perlakuan PF menunjukkan penurunan nilai MOR
yang paling kecil yaitu 48.44% atau MOR = 145.5 kg/cm2, nilai

86
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

tersebut masih memenuhi standard Industri Jepang (JIS A 5908


untuk papan partikel Tipe 13).
3. Setelah 12 bulan pemaparan cuaca, panel zephyr bambu dengan
perlakuan PF menunjukkan penurunan sifat fisik sangat kecil,
tahan terhadap cahaya maupun air, dapat digunakan sebagai
panel tipe exterior.

87
Sifat Kemunduran Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB VII
REKAYASA BAMBU

I. Definisi Rekayasa Bambu


Rekayasa bambu merupakan proses mengubah sifat alami
bahan tersebut, misalnya kayu yang mempunyai berat jenis alami
dengan perlakuan tertentu meningkatkan berat jenis sehingga
mengalami perubahan sifat fisika dan mekanika bahan yang lebih
baik.
Rekayasa ada 2 macam:
A. Perlakuan tanpa memberikan bahan tambahan, perlakuan
umumnya berbentuk rekayasa fisika dan mekanika
1. Perlakuan Fisika.
Rekayasa meningkatkan suhu bahan bambu sehingga
menghilang sifat hygroskopis. Mengubah hidropilik (peka air)
menjadi hidropopik (tidak peka air). Misalnya dipanasi suhu ±
2000C, teknologi EDS (perlakuan dengan cara fisika dengan
pemanasan/ asap yang disemprotkan pada suhu tinggi.
2. Perlakuan Mekanika
Perlakuan pemberian beban, umumnya dengan beban tekan
dapat meningkatkan berat jenis. Dengan beban tekan bahan bambu
termampatkan sehingga berat jenis akan meningkat. Kita mencari
kondisi plastis, nilai plastisitas bahan akan bervariasi tergantung
dari jenis bahan bambu sehingga perlakuan mekanikanyapun (nilai
perlakuan beban tekan) akan berbeda.
Bahan bambu bagian yang memiliki sifat plastis adalah
lignin, proses pelunakan bagian lignin melalui pengaturan suhu
hingga mencapai ± 1700C. Proses ini sering disebut dengan
lignifikasi, biasanya dilakukan rekayasa pembebanan dengan
kombinasi suhu dan kadar air. Kadar air yang rendah akan sulit
memberikan pembebanan, dibutuhkan nominal beban yang relatif
tinggi.

88
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

B. Perlakuan dengan memberikan bahan tambahan, perlakuan ini


berbentuk rekayasa kimia.
Memasukkan bahan kimia, berupa bahan kimia alami sampai
dengan bahan sintetis. Konsep perlakuan ini terdiri dari 2 yaitu:
1. Mengisi lumen/rongga sel secara fisika sampai penuh, sehingga
semua sel yang terisi tidak lagi mampu mengalami kembang
susut seperti kondisi awal. Memasukkan saat nilai kembang
maksimum mencapai bulkiness (pengisian rongga hingga
padat).
Contoh: proses polyethileneglicol (PEG), melamine dalam
bentuk seperti perekat.
Proses dengan cara ini sering disebut bulkiness.
2. Mengubah sifat kimia, dengan berbagai reaksi kimia. Ada 2
jenis proses yang dikenal yaitu: estherifikasi dan esterifikasi

II. Rekayasa Stabilisasi Warna


Usaha peningkatan kualitas bambu sebagai bahan kerajinan
anyaman adalah dengan meningkatkan kecerahan warna bambu
melalui pemutihan. Bambu tali (Gigantochloa apus) yang
mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang dan sering
digunakan sebagai bahan anyaman, telah dipilih oleh Zulnely dan
Dahlian (1999) dalam Yasin 2015 sebagai bahan penelitian
pemutihan bambu. Sebagai bahan pemutih digunakan larutan
hidrogen peroksida (H2O2) dan digunakan bahan bambu yang
berbeda umurnya, pada ruas yang terpisah. Untuk mengetahui
kemungkinan perubahan kekuatannya dilakukan uji keteguhan
tarik. Hasil derajat pemutihan dan keteguhan tarik bambu tali
terdapat pada Tabel 7.1.

89
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 7.1. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali
(Gigantochloa apus) yang telah diputihkan
Umur dan Derajat putih (%) Keteguhan tarik
bagian bambu (kg/cm2)
Diputihkan Tak Diputihkan Tak
diputihkan diputihkan
6 bulan
- ujung 67,29 43,54 90,87 102
- tengah 68,42 44,71 98,33 133
- pangkal 60,51 39,42 164 248
1 tahun
- ujung 62,94 38,77 160,27 192
- tengah 56,66 36,86 186,40 239
- pangkal 62,69 37,36 178,53 210
Sumber : Zulnely dan Dahlian (1999)

Selain pencerahan warna bambu, pada beberapa tujuan


produksi kadang ditemukan keinginan untuk menampilkan bambu
dalam warna kulit alaminya. Hal ini disebabkan karena
kecenderungan kulit bambu untuk berubah warna menjadi kuning
setelah melalui proses pengeringan alami. Pengawetan mengenai
warna hijau kulit bambu telah dilaksanakan pada bambu andong
(Gigantochloa verticillata Munro.) oleh Barly dan Ismanto (1998)
dalam Krisdianto 2005. Hasil dari penelitian ini adalah kulit bambu
cenderung untuk tetap berwarna hijau sesuai dengan warna
alaminya. Pengawetan warna hijau kulit bambu andong dengan
menggunakan campuran larutan terusi dan nikel sulfat dengan
pengeringan selama 14 - 28 hari.

III. Bambu lapis


Penelitian bambu sebagai bahan kayu lapis telah dilakukan
oleh Sulastiningsih dan Sutigno, (1992) dalam skala laboratorium,
dengan menggunakan sayatan bambu. Jenis bambu yang digunakan
dalam penelitian adalah bambu tali. Hasil pengujian beberapa sifat
mekanik bambu lapis terdapat pada Tabel 7.2.

90
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 7.2. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis


No. Macam bambu lapis Kerapatan Keteguhan lentur (kg/cm2)
(g/cm3)
1. Dari sayatan bambu
a 3 lapis 0,81 1022,48 98,62
b 5 lapis 0,80 1324,72 351,09
2. Dari pelupuh bambu
a Luar berkulit tanpa buku 0,64 323,49 119,14
Dalam tanpa buku
b Luar berkulit dengan 0,66 247,35 95,41
buku
Dalam dengan buku
c Luar tanpa kulit tanpa 0,65 326,43 89,91
buku
Dalam tanpa buku
d Luar tanpa kulit dengan 0,64 341,20 89,31
buku
Dalam dengan buku
Sumber : Sulastiningsih dan Sutigno (1992)

Penelitian pembuatan produk majemuk dari bahan bambu


telah dilakukan oleh Kliwon (1997). Pembuatan bambu lapis itu
menggunakan bahan bambu tali (Gigontochloa apus). Hasil dari
penelitian itu menunjukkan bahwa rendemen pelupuh bambu
dengan tebal 4,7 mm adalah 67,72% dan rendemen bambu lapisnya
adalah sebesar 54,45%. Dimensi bambu lapis yang dibuat telah
memenuhi standar Indonesia, sedangkan keteguhan rekat dan kadar
air bambu lapis semuanya juga telah memenuhi standar Jepang.
Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu lapis tercantum pada
Tabel 7.3.

91
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 7.3. Sifat fisik dan mekanik bambu lapis


No. Sifat Jenis Jenis bambu lapis
bahan a1 a2
pengawet
1. Kadar air (%) b0 12,26 10,33
b1 11,41 10,21
b2 9,60 10,03
2. Kerapatan (g/cm3) b0 0,70 0,63
b1 0,74 0,64
b2 0,72 0,62
3. Keteguhan rekat b0 0 0
(delaminasi, cm) b1 0 0
b2 0 0
4. Keteguhan lentur sejajar arah serat
a. Modulus patah b0 550,33 729,92
(kg/cm2) b1 445,59 349,91
b2 415,21 660,52
b. Modulus elastisitas b0 55802,00 86839,30
(kg/cm2) b1 46987,80 81992,20
b2 35659,60 84994,80
Sumber : Kliwon (1997)
keterangan :
a1 = 3 lapisan bambu;
a2 = lapisan muka dan belakang bambu dan lap. inti venir meranti merah;
b0 = kontrol;
b1 = CCB;
b2 = Boraks.

Pengujian pada bambu lapis menunjukkan hasil yang


memuaskan. Modulus patah sejajar serta permukaan bambu lapis
semuanya memenuhi standar Jepang, sedangkan modulus
elastisitas sejajar serat permukaan bambu lapis mampu memenuhi
standar Jepang kecuali pada bambu lapis yang semua lapisannya
dari pelupuh bambu dan menggunakan jenis bahan pengawet
boraks.
Pengaruh perlakuan tunggal dan interaksi jenis bambu lapis
dan jenis bahan pengawet yang dipergunakan berpengaruh sangat
nyata terhadap sifat modulus patah bambu lapis. Sebaliknya baik
pengaruh perlakuan tunggal maupun interaksinya tidak
berpengaruh terhadap modulus elastisitas bambu lapis. Dalam
pembuatan bambu lapis disarankan memakai lapisan inti dari venir

92
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

tebal 4 mm untuk memperoleh bambu lapis yang modulus


patahnya tinggi.
IV. Bambu lamina
Penelitian mengenai bambu lamina telah dilakukan oleh
Sulastiningsih dkk., 1996. Penelitian ditekankan pada pengaruh
jumlah lapisan dalam pembuatan bambu lamina. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis bambu lamina
dari bambu betung tidak dipengaruhi oleh jumlah lapisan (2 - 5
lapis) kecuali keteguhan rekat berdasarkan uji geser tarik dalam
keadaan kering (makin banyak jumlah lapisan keteguhan geser
tariknya makin tinggi). Selain itu berdasarkan kerapatan,
keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu lamina dapat
disetarakan dengan kayu kelas kuat I. Adapun besarnya nilai sifat
fisis dan mekanis bambu lamina adalah seperti terdapat pada Tabel
7.4.
Tabel 7.4. Nilai sifat fisik dan mekanik bambu lamina
No. Sifat Jumlah lapisan
2 3 4 5
1. Kadar air (%) 10,90 11,45 12,17 11,86
2. Kerapatan (g/cm3) 0,66 0,73 0,67 0,69
3. Keteguhan lentur sejajar serat (kg/cm2)
- Modulus patah (MOR) 1089,35 1031,25 999,84 961,74
- Modulus elastisitas (MOE) 146763 175592 177863 146907
4. Keteguhan tekan sejajar serat 463,46 506,16 441,84 521,55
(kg/cm2)
5. Keteguhan rekat (kg/cm2)
a. Uji geser tekan
- Uji kering 85,46 107,68 95,98 105,52
- Uji basah 63,63 57,26 69,45 71,40
b. Uji geser tarik
- Uji kering 67,20 71,10 84,59 99,83
- Uji basah 26,88 22,77 23,81 28,27
6. Delaminasi (cm) 0 0 0 0
Sumber : Sulastiningsih dkk. (1996)

Bambu lamina memiliki sifat perekatan yang cukup baik.


Apabila dalam pemakaian bambu lamina tidak memperhatikan
faktor ketebalan, maka disarankan untuk menggunakan bambu
lamina 2 lapis. Informasi mengenai pengaruh posisi sepanjang

93
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

kolom dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan, terhadap sifat


fisis dan mekanis bambu lamina telah dilaporkan oleh
Sulastiningsih dkk. (1998). Penelitian tersebut dilakukan pada
bambu lamina 3 lapis dari jenis bambu andong (Gigantochloa
pseudoarundinacea (Steud.) Widjaya.) yang direkat dengan
perekat urea formaldehyde dan dilaburi dengan cuprinol. Hasilnya
menunjukkan bahwa berat jenis bambu tidak dipengaruhi oleh
posisi kolom dan kuantitas pelaburan dengan variasi berat jenis
berkisar 0,68 - 0,78 g/cm3. Kuantitas pelaburan berpengaruh pada
nilai modulus patah (MOR), yaitu semakin banyak pelaburan,
makan nilai MOR-nya semakin menurun. Nilai MOR bervariasi
antara 630,20 - 1.111,43 kg/cm2. Posisi kolom bambu
mempengaruhi modulus elastisitas (MOE), yaitu semakin ke
bawah, nilai MOE bambu lamina semakin besar.
Pada umumnya kekuatan perekatan dari bambu lamina adalah
baik, tetapi kekuatan perekatan akan menurun bila kuantitas
pelaburan bertambah. Berdasarkan berat jenis dan nilai kekuatan
perekatan, maka bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan
kayu kelas I, sementara bila dilaburi dengan Cuprinol sebanyak 3
kali, kualitasnya dapat disejajarkan dengan kayu kelas kuat II.
V. Papan semen bambu
Berdasarkan penelitian hydratasi, bahan bambu adalah
termasuk golongan bahan yang kurang baik sebagai bahan papan
wol kayu, tetapi percobaan dengan direndam dahulu selama 2 hari,
memperlihatkan hasil yang baik, yaitu dengan suhu maksimum
56°C dalam tempo 9 jam. Percobaan pembuatan papan dengan
serutannya direndam dahulu dalam air selama 48 jam
menghasilkan keteguhan rekat papan semen 21,3% dan keteguhan
lengkung 6,4 kg/cm2 (Kamil, 1970). Bahan yang dipergunakan
adalah 500 bambu, 500 kg semen dan 200 gr air kapur. Berat jenis
papn menjadi 0,42 kekuatan tidak dapat disamakan dengan kayu
sebab kekuatan lenturnya sendiri adalah berlainan.

94
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

VI. Arang
Pembuatan arang dari bahan bambu telah diteliti oleh
Nurhayati pada tahun 1986 dan 1990 masing-masing dengan cara
destilasi kering dan cara timbun skala semi pilot. Penelitian
tersebut menggunakan bahan empat jenis bambu, yaitu bambu tali
(Gigantochloa apus Kurz), bambu ater (Gigantochloa ater Kurz),
bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) dan bambu
betung (Dendrocalamus asper Back). Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa pada tiap bagian batang bambu dari jenis
yang sama terdapat perbedaan berat jenis dan sifat hasil destilasi
kering. Arang dari bagian bawah batang pada semua jenis bambu
menunjukkan berat jenis dan rendemen arang yang tinggi.
Perbedaan letak pada bagian batang bambu ater menunjukkan
kecenderungan makin ke atas makin rendah rendemen arangnya.
Bagian tengah atau atas batang semua jenis bambu yang
dicoba rendemen piroligneous liquor menunjukkan hasil paling
tinggi. Bambu andong dan bambu betung rendemen piroligneous
liquor yang paling tinggi dihasilkan oleh bagian batang atas,
sedangkan pada bambu ater dan tali rendemen tertinggi dihasilkan
pada bagian tengah batang. Hasil pengamatan sifat arang dari
empat jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 7.5, sedangkan Tabel
7.6 menunjukkan sifat arang bambu dengan cara timbun.
Tabel 7.5. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu
No. Bambu Bagian Berat Rendemen (%)
batang jenis Arang Ter Piroligneous
1. Andong Bawah 0,51 40,57 7,72 36,19
Tengah 0,47 30,73 5,93 31,25
Atas 0,42 36,17 7,64 36,85
2. Ater Bawah 0,74 43,46 9,06 44,39
Tengah 0,72 37,48 5,48 70,22
Atas 0,61 24,77 5,18 18,87
3. Bitung Bawah 0,72 40,09 7,17 35,67
Tengah 0,72 34,81 5,29 30,24
Atas 0,67 37,04 7,09 40,99
4. Tali Bawah 0,45 39,27 6,01 44,10
Tengah 0,38 33,52 4,72 59,27
Atas 0,37 39,18 6,90 39,04
Sumber : Nurhayati (1986)

95
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 7.6. Sifat arang bambu


No. Bambu Berat Kadar Abu Zat mudah Karbon
jenis air (%) (%) terbang (%) terlambat
(%)
1. Andong 0,48 4,60 7,38 23,32 69,30
2. Ater 0,65 6,66 5,55 12,39 82,06
3. Bitung 0,53 4,28 7,46 33,68 54,86
4. Tali 0,40 7,08 5,64 14,01 80,35
5. Bakau - 5,41 4,48 17,81 77,30
Sumber : Nurhayati (1986)
Keterangan : Berdasarkan berat kering oven

Sifat hasil destilasi kering dari empat jenis bambu yang dicoba
tidak menunjukkan perbedaan nyata. Nilai rata-rata rendemen
arang adalah 36,05%, piroligneous 40,58% dan tar 6,55%. Sifat
arang dari empat jenis bambu yang dicoba menunjukkan perbedaan
nyata. Berat jenis arang paling tinggi dihasilkan oleh bambu ater
(0,62 g/cm3) dan yang paling rendah bambu tali (0,25 g/cm3).
Kadar abu paling tinggi terdapat pada bambu betung (7,46%) dan
paling rendah pada bambu lati (5,65%). Kadar zat mudah terbang
paling tinggi pada bambu tali (24,43%) dan paling rendah pada
bambu betung (17,06%). Kadar karbon tertambat paling tinggi
terdapat pada bambu betung (75,54%) dan paling rendah pada
bambu tali (69,78%).
Nilai kalor arang yang dihasilkan tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata tetapi berbeda nyata menurut bagian batang.
Nilai kalor arang rata-rata 6602 cal/g. Nilai kalor yang dihasilkan
oleh bagian bawah bambu andong, ater dan tali menunjukkan
paling tinggi. Nilai kalor arang bambu tali menunjukkan perbedaan
sangat nyata pada tiap bagian batang dengan kecenderungan makin
keatas batang makin rendah nilai kalornya.
Berdasarkan perbandingan antara keempat jenis bambunya,
dapat ditentukan bahwa bambu ater paling baik untuk digunakan
sebagai bahan baku pembuatan arang. Proporsi yang tinggi
diperoleh dari rendemen arang yang berkualitas baik. Sedangkan
rendemen arang mentah dan bubuk, proporsinya paling rendah.
Sifat arang bambu yang dihasilkan umumnya relatif sama dengan

96
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

sifat arang dari kayu bakau. Sifat arang bambu ater dan bambu tali
lebih baik dari sifat arang bambu andong dan bambu betung.
Pembuatan arang aktif dari bahan bambu telah diteliti oleh
Nurhayati (1994). Serpihan contoh bambu diaktivasi dan
dikarbonisasi dalam ukuran 0,2 - 0,5 cm dalam kondisi kering.
Aktivasi dilakukan dengan perendaman serpih dalam larutan asam
fosfat 20% selama 24 jam, setelah itu contoh ditiriskan tinggal
setengah kering, lalu dimasukkan ke dalam retort dan di panaskan
sampai suhu 900°C selama 3 - 4 jam. Selanjutnya diaktivasi lagi
dengan uap panas selama 1 jam. Arang aktif yang dihasilkan
dengan cara ini dianalisa sifat absorpsinya terhadap iodine dan
hasilnya tercantum dalam Tabel 7.
Tabel 7.7. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung
No. Bambu Aktivasi uap°C/ jam Rendemen Daya serap
kimia jenis/ (%) iodin mg/g
jam
1. Andong H3PO4 / 24 900 / 1 15,7 1150
2. Betung H3PO4 / 24 900 / 1 16,6 1004
Sumber : Nurhayati (1994)

Arang aktif bambu andong dan betung menghasilkan absorpsi


tinggi dengan angka melebihi standar AWWS dan SII, serta masuk
dalam kisaran kelompok arang aktif komersial. Jika dibandingkan
dengan arang aktif yang dibuat dari arang bakau dan arang
tempurung kelapa, angka absorpsi jauh lebih tinggi arang aktif dari
bahan bambu andong dan betung.
VII. Pulp
Bahan bambu memiliki kandungan selulosa yang sangat
cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China
sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri
kertasnya. Pemanfaatan bambu sebagai bahan kertas di Indonesia
telah diterapkan pada industri di Gowa dan banyuwangi, tetapi
karena menemui beberapa kendala dalam pengadaan bahan baku,
maka perusahaan kertas itu lebih banyak menggunakan bahan baku
lain. Adapun penelitian dengan menggunakan campuran antara

97
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

bahan bambu dengan kayu daun lebar telah dilakukan oleh


Pasaribu dan Silitonga (1974).
Kayu daun lebar yang digunakan sebagai campuran adalah
kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan kemiri (Aleurites
moluccana Wild.), sedangkan bahan bambu yang digunakan adalah
bambu duri (Bambusa bamboss Backer.), bambu paring
(Gigantochloa atter Kurtz.), bambu popo (Dendrocalamus asper
Backer.) dan bambu banoa (Bambusa vulgaris Schrad.). Pulp yang
dihasilkan dari 100 % bahan bambu mempunyai bilangan
permanganat dan faktor retak yang terendah tetapi mempunyai
kekuatan sobek yang tertinggi. Untuk pulp dengan campuran 70%
kayu jabon dan 30% bambu mempunyai daya regang tertinggi.
Sedangkan faktor retak tertinggi dicapai pada campuran 35% kayu
jabon, 35% kayu kemiri dan 30% bambu.
Pada umumnya rendemen yang diperoleh termasuk dalam
kriteria tinggi yaitu antara 41,24% - 47,14%. Rendemen tertinggi
untuk campuran 70% kayu kemiri dan 30% bambu didapat dengan
menggunakan aktif alkali 16% dan sulfiditi 22%. Tetapi pada
campuran 50% kayu jabon dan 50% bambu yang dimasak pada
aktif alkali 16%, sulfiditi 22% dan 25% memberikan rendemen
yang rendah.
Secara keseluruhan pulp hasil campuran kayu dan bambu ini
mudah diputihkan. Hal ini tampak pada nilai bilangan permanganat
yang rendah yaitu antara 7,38 sampai 12,85. Kecuali untuk pulp
yang dihasilkan dari campuran 50% kayu jabon dan 50% kayu
kemiri yang diolah pada aktif alkali 16% dan sulfiditi 22% dan
25% memberikan nilai bilangan permanganat yang tinggi, antara
14,23% sampai 16,01%.
Penilaian rendemen dan sifat fisiko-kimia pulp yang diperoleh
dari berbagai komposisi kayu dan bambu adalah bahwa pulp yang
yang didapat dari campuran bambu 100% menunjukkan nilai
terbaik dalam bilangan permanganat dan kekuatan sobek.
Campuran 70% kemiri dan 30% bambu menghasilkan rendemen
tertinggi, sedangkan campuran 70% jabon dan 30% bambu
menunjukkan nilai tertinggi pada daya regang. Faktor retak

98
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

tertinggi didapat dari campuran 35% kayu jabon, 35% kayu kemiri
dan 30% bambu.
Pemasakan campuran kayu jabon, kayu kemiri dan bambu
dapat dilakukan tanpa mengurangi sifat kekuatan pulp secara
keseluruhan. Untuk mendapatkan rendemen dan sifat kekuatan
pulp yang baik, kondisi pemaskan yang dianjurkan adalah pada
aktif alkali 16%, sulfiditi 22%, waktu pemasakan 2,5 jam pada
suhu maksimum 165°C dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 :
4,5. Sedangkan kondisi yang dianjurkan untuk memasak campuran
kayu jabon dan kemiri adalah dengan menggunakan aktif alkali
16%, sulfiditi 25%, waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 165°C
dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 : 4,5.

99
Rekayasa Bambu
Struktur dan Rekayasa Bambu

BAB VIII
BAMBU LAMINASI

I. Definisi Bambu Laminasi


Struktur laminasi dikenal menggunakan dua jenis alat
penghubung, yaitu mekanik (tanpa perekat) dan glulam (glue-
laminated beam). Sistem alat penghubung jenis pertama,
komponen struktur tersusun oleh lamina-lamina (atau disebut
layer) secara horisontal atau vertikal, yang digabung secara
mekanik menggunakan paku (nail), pasak (dowel), atau baut (bolt)
(Kramer dan Blas, 2001). Laminasi mekanik dengan paku sebagai
shear connector antar lamina balok laminasi horisontal dengan
memperhitungkan aksi komposit kibat slip antar lamina telah
diteliti oleh Goodman dan Popov (1969) dalam Pranata (2011).
Kramer (2001), mengembangkan penelitian untuk mendapatkan
persamaan kekakuan lentur efektif balok nail-laminated yang
disusun secara vertikal. Penelitian terkait balok laminasi mekanik
dengan paku juga dilakukan oleh Gliniorz, dkk (2002), dengan
tinjauan tegangan dan deformasi meneliti pemodelan struktur
multilamina dengan model sambungan semi kaku antar lamina-
lamina. Nattered dan Weinand (2008) dalam Pranata 2011,
melakukan penelitian dengan tujuan membandingkan pemodelan
balok multilamina dengan slip antar lamina akibat pembebanan
yang berbeda-beda.
Penelitian balok laminasi mekanik dengan baut yang
dilakukan oleh Shmulsky, dkk (2008), digunakan sebagai struktur
pelat landasan pada landasan alat-alat berat. Penelitian perilaku
lentur balok laminasi-baut kayu Indonesia telah dilakukan oleh
Pranata (2011). Hasil penelitian Tjondro (2007) dalam Pranata
(2011), mengenai parameter sifat mekanis kuat leleh lentur,
memperlihatkan bahwa semakin besar ukuran alat sambung
mekanik maka semakin kecil nilai kuat leleh lenturnya. Shear
connector baut diameternya lebih besar dibandingkan paku
sehingga bersifat kaku sedangkan pada paku fleksibilitas dalam
connector diijinkan. Connector baut digunakan lebih sedikit

100
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

daripada connector paku sehingga yang terrjadi adalah beban


tinggi per unit luas penampang baut, sedangkan connector paku
memerlukan lebih banyak paku sehingga yang terjadi adalah beban
yang kecil per unit luas penampang paku. Pada connector baut
konsentrasi tegangan yang terjadi besar karena cover baut luas
penampangnya kecil dibandingkan dengan luas penampang batang
baut sedangkan pada connector paku konsentrasi tegangan yang
terjadi relatif kecil karena beban terdistribusi dalam area yang
besar (Pranata, 2011). Pranata 2011 meneliti sambungan dowel
pada laminasi bambu dan kayu. Dihasilkan bahwa regangan geser
pada bambu laminasi lebih dominan dibandingkan pada laminasi
kayu.
Balok laminasi jenis kedua yaitu glulam (glue-laminated
beam), menggunakan resin perekat (adhesive) yang merekatkan
antar permukaan lamina. Pada balok laminasi dengan perekat
(adhesive) dipengaruhi adanya faktor kehilangan tahanan geser
pada perekat akibat temperatur tinggi (Frangi, 2004). Pengolahan
bambu utuh menjadi produk bambu laminasi (laminated bamboo)
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas bambu dalam mendukung
struktur bangunan. Sehingga karakteristik bambu laminasi lebih
mendekati sifat kayu dibandingkan bambu utuh yang berbentuk
silindris tidak beraturan. Keunggulan bambu laminasi antara lain
dapat dibentuk dalam berbagai ukuran, sifat mekanika yang lebih
baik dibandingkan dengan bahan dasar jenis bambu yang
digunakan (Morisco, 2006). Bambu laminasi merupakan rekayasa
bahan bangunan yang memiliki karakter seperti kayu. Rekayasa
bahan bangunan ini sangat popular dikembangkan dan diteliti
belakangan ini, karena memiliki banyak keunggulan (Eratodi,
2014). Tiga aspek utama yang mempengaruhi kualitas hasil akhir
dalam proses pembuatan bambu laminasi adalah bahan bambu,
bahan perekat dan teknologi perekatan (Prayitno, 1994). Bambu
laminasi sebagai aternatif bahan bangunan pengganti kayu,
mempunyai prospek yang bagus dalam pemenuhan kebutuhan
konstruksi. Tanaman bambu cepat tumbuh, tidak memerlukan
perlakuan khusus ketika ditanam dan mampu tumbuh diberbagai

101
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

kondisi lahan (Yasin, dkk, 2015). Balok bambu laminasi dapat


dibuat dengan ukuran yang lebih besar sesuai kebutuhan sehingga
menaikkan daya dukung. Pada Bab VIII ini akan banyak mengulas
penelitian-penelitian laminasi jenis kedua dengan menggunakan
bahan bambu yang selanjutnya disebut bambu laminasi.

II. Teknik Perekatan


Perekat terlabur yang biasa digunakan adalah 30#MSGL
sampai 40#MSGL dengan perekat yang berisi bahan pengikat
(%RS) sebesar 53 sampai 65 persen, sedikit lebih besar daripada
perekat terlabur dari phenol formaldehyde. Tetapi jumlah perekat
terlabur ini bisa bervariasi naik turun tergantung kepada sifat
ataupun keadaan dari permukaan bahan yang direkat. Dengan kata
lain, perekat terlabur bisa membesar apabila bahan direkat
mempunyai permukaan yang kasar dan porus dan sebaliknya
perekat terlabur bisa menjadi kecil dari yang disebut untuk
permukaan bahan yang direkat yang halus dan kompak (Prayitno,
1994).
Teknik perekatan dengan bahan resin porus memerlukan alat
pengempaan, baik pengempaan dingin (cold pressing) maupun
pengempaan panas (hot pressing). Tekanan yang diberikan dalam
proses pengempaan menurut Tsoumis (1991) adalah sebesar 0,7
MPa untuk bambu-bambu lunak dan 1 MPa untuk bambu keras.
Pada umumnya besar tekanan kempa yang diberikan adalah antara
0,4 N/mm2 sampai 1,2 N/mm2 (Blass dkk., 1995).
Proses pengerasan selama perekatan berlangsung dengan
bantuan bahan katalis. Bahan katalis atau hardener dapat berupa
jenis asam, paraformaldehyde, garam-garam amonium atau bahan
kimia lainnya. Disamping itu diperlukan pula bahan tambah untuk
menekan biaya (ekonomis) dan meningkatkan sifat perekatnnya
(kekentalan), berupa bahan pengembang (extender) atau bahan
pengisi (filler). Prayitno (1996), menyatakan bahwa kekuatan rekat
bambu-bambu di Indonesia dengan berat jenis kurang dari 0,8
menghasilkan kekuatan rekat yang sama. Bambu dengan berat
jenis lebih besar dari 0,8 kekuatan rekatnya masih dipengaruhi oleh

102
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

beberapa faktor, antara lain: faktor perekat, faktor bahan yang


direkat, teknik perekatan, cara pengujian, dan aplikasi produk
perekatan. Faktor perekat dipengaruhi oleh bahan pengisi (filler),
bahan pengembang (extender), bahan pengeras (hardener), bahan
pengawet, bahan tahan api dan lain sebagainya.
Pada kenyataanya bambu sebagai bahan direkat adalah bahan
yang tidak homogen sehingga akan selalu diperoleh heterogenitas
kondisi permukaan bambu yang mungkin berpengaruh secara nyata
pada terjadinya kegagalan perekatan bambu. Untuk perekatan
bambu dengan perekat urea formaldehida sudah diketahui kisaran
kadar air bahan direkat bambunya tetapi bila yang diperoleh adalah
distribusi kadar air bambu yang terlalu lebar bagi perekat tersebut
maka tetap akan terjadi atau diperoleh kagagalan perekatan di
lokasi tertentu. Kollman, dkk (1975) memberikan analisis kekuatan
perekatan kayu dengan hanya mempertimbangkan kekuatan
perekatan spesifik saja. Cara-cara pengujian kekuatan rekat kayu
serta menghitung nilai persentasi kerusakan kayu berbeda.
Pengujian keteguhan rekat kayu lebih objektif karena berdasarkan
kerja mesin uji, sedangkan pengamatan persen kerusakan kayu
lebih bersifat subyektif.
Gambar 8.1 tampak bahwa lingkaran pertama dan lingkaran
kelima adalah rantai kekuatan yang ditimbulkan oleh gaya kohesi
(tarik menarik antara molekul yang sejenis). Dalam hal ini
lingkaran 1 adalah kohesi molekul-molekul bahan yang direkat
satu (BD 1). Lingkaran kedua dan lingkaran keempat merupakan
gaya adhesi yaitu gaya tarik menarik molekul yang berbeda. Gaya
adhesi antara molekul kayu di permukaan dengan molekul perekat
sangat menonjol dan berperan penting dalam menjaga keutuhan
ikatan antara keduanya. Pada lingkaran ketiga, gaya kohesi antar
molekul-molekul perekat memegang peranan yang kuat dan
menjaga agar garis perekat tetap utuh dan dapat dipertahankan
sehingga keseluruhan sistem bersatu. Teori perekatan lima rantai
dapat mendeteksi kekuatan rekat yang bersumber dari kekuatan
perekat atau kekuatan yang bersumber dari kekuatan kohesif kayu.

103
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 8.1. Sistem perekatan dengan lima gaya perekatan

II. Rekayasa Bambu Laminasi


A. Pengaruh Dimensi dan Susunan Lamina
1. Pengaruh dimensi lamina
Balok laminasi kayu Douglas-Fir yang dibuat menggunakan
lamina tebal 6,4 mm memiliki kekuatan tekan dan modulus
elastisitas tekan sejajar serat paling besar disusul kemudian
berturut-turut menggunakan lamina tebal 25,00 mm, 12,70 mm,
dan paling kecil menggunakan lamina tebal 3,60 mm (Shmulsky,
2004). Bentuk benda uji dan hasil penelitian dapat dilihat pada
Gambar 8.1 dan Tabel 8.1.

(a) (b) (c) (d)


(a) satu lamina, (b) dua lamina, (c) empat lamina, (d) tujuh lamina.
Gambar 8.2. Penampang melintang balok uji

104
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 8.1. Kekuatan tekan dan modolus elastisitas tekan sejajar serat
(Shmulsky, 2004)
Jmlh Tbl Jmlh Kuat Koefisien MOE Koefisien
lamina lamina benda uji Tekan variasi tekan variasi
(mm) (bh) (MPa) (%) (MPa) (%)
1 25,40 12 60,30 17,80 6,57 31,60
2 12,70 12 58,60 7,50 6,39 8,60
4 6,40 12 61,80 6,60 7,02 6,60
7 3,60 12 58,50 8,20 6,95 9,80

Balok laminasi bambu Petung yang dibuat dengan


menggunakan lamina lebar 25 mm (L25) lebih kuat dibandingkan
dengan menggunakan lamina lebar 15 mm (L15) pada tekanan
kempa 2,5 MPa (Budi, dkk., 2012). Demikian juga balok laminasi
bambu Petung yang dibuat menggunakan lamina lebar 30 mm
(L30) menghasilkan nilai MOE dan MOR lebih besar dibanding
dengan menggunakan lamina lebar 25 mm (L25) pada tekanan
kempa 2,5 MPa (Salim, dkk., 2007). Hasil penelitian dapat dilihat
pada Tabel 8.2. dan 8.3.

Tabel 8.2. Pengaruh lebar lamina pada kekuatan balok bambu laminasi
(Budi, dkk., 2012)
Kode Beban σltr Rasio (L25)/(L15) Tekanan
benda uji (N) (MPa) Beban σ kempa
ltr

(25-U-2,50) 14210,00 69,20 113,70% 129,20% 2,50 MPa


(15-U-2,50) 12495,00 53,60
(25-U-1,50) 15190,00 70,60 103,30% 108,50% 1,50 MPa
(15-U-1,50) 14700,00 65,00

105
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 8.3. Pengaruh lebar lamina pada MOE dan MOR


(Salim, dkk., 2007)
Kode MOE MOR Rasio Tekanan
benda uji (MPa) (MPa) (L30)/(L25) kempa
MOE MOR
(30U2,50) 16229,00 82,92 113,18 135,23 2,50 MPa
% %
(25U2,50) 14339,17 61,32
(30U1,50) 12703,20 47,41 90,12% 54,58% 1,50 MPa
(25U1,50) 14095,71 86,87

2. Pengaruh susunan lamina


Rasio lamina vertikal semakin besar semakin besar pula
kekuatan geser dan lentur balok laminasi bambu Petung. Nilai
peningkatan kekuatan geser dan lentur balok uji masing-masing
35,95% dan 35,93% terhadap nilai kekuatan geser dan lentur balok
kontrol (Nasriadi, dkk., 2004).
Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan laminasi
bambu Petung telah diteliti oleh Tho, dkk., (2008). Variabel yang
digunakan meliputi: 1) Tipe I: Satu lapis lamina disusun vertikal,
2) Tipe II: Tiga lapis lamina disusun horisontal, 3) Tipe III:
Lamina atas dan bawah disusun vertikal dan lamina tengah disusun
horisontal, dan 4) Tipe IV: Lamina atas dan bawah disusun
horisontal dan tengah disusun vertikal. Hasil penelilitian dapat
dilihat pada Tabel 8.4.
Tabel 8.4. Pengaruh susunan lamina pada kekuatan papan bambu laminasi
(Tho, dkk., 2008)
Kapasitas papan laminasi Tipe I Tipe II Tipe Tipe IV
III
1-V H-H-H V-H-V H-V-H
Modulus repture (MPa) 117,38 126,63 84,79 72,00
Modulus elastisitas (MPa) 21,490 22,772 19,150 16,083
Kuat tarik tegak lurus 0,44 1,44 1,41 1,30
permukaan (MPa)
Kuat geser (MPa) 3,40 4,55 2,33 2,63

106
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

B. Pengaruh bagian kulit dan umur bambu


1. Pengaruh bambu bagian kulit
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Darwis, dkk.,
(2012) menunjukkan bahwa balok laminasi bambu Petung yang
dibuat menggunakan galar dari bambu bagian kulit (BGDK) lebih
kuat dan kaku dibanding dengan menggunakan galar dari bambu
bagian tanpa kulit (BGTK). Beban maksimum yang mampu
dipikul oleh balok uji BGDK dan BGTK berturut-turut 35,5 kN
dan 30,55 kN. Lendutan maksimum balok uji BGDK lebih kecil
dibanding dengan balok uji BGTK.
Pengaruh lamina dan galar bambu bagian kulit BK dan GK
pada kekuatan papan laminasi lamina dan galar bambu Petung
telah diteliti oleh Haniza, dkk., (2005). Variabel penelitian
meliputi: 1) Tipe I: Lamina dari bambu bagian kulit dan galar
tanpa kulit, 2) Tipe II: Lamina dan galar dari bambu tanpa kulit, 3)
Tipe III: Galar dari bambu bagian kulit dan galar dari bambu tanpa
kulit, 4) Tipe IV: Lamina dari bambu bagian kulit dan lamina dari
bambu tanpa kulit. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.5.
Tabel 8.5. Kekuatan papan laminasi bambu Petung (Haniza, dkk., 2005)

Kekuatan papan laminasi Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV


BK-GT BT-GT GK-GT BK-BT
Modulus repture (MPa) 138,80 131,12 80,98 151,22
Modulus elastisitas (MPa) 25,07 23,07 16,09 24,32
Kuat tarik tegak lurus permukaan 0,96 1,02 0,81 0,97
(MPa)
Kuat geser lapisan atas (MPa) 2,31 3,17 2,25 3,32
Kuat geser lapisan bawah (MPa) 2,76 3,94 1,96 3,83

2. Pengaruh umur bambu


Kekuatan lentur balok laminasi bambu Petung semakin besar
seiring dengan umur bambu yang digunakan semakin tua
(Maduretno, dkk., 2010). Dimensi balok uji 60/80-2000 mm,
dibuat menggunakan lamina bentuk persegi disusun vertikal dan
direkat menggunakan perekat jenis Urea Formaldehyde (UF-104),

107
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

dengan tekanan kempa 2,00 MPa sistem kempa dingin. Hasil


penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.6.
Tabel 8.6. Pengaruh umur bambu pada kekuatan lentur balok
bambu laminasi (Maduretno, dkk., 2010)
Item kekuatan balok uji Umur bambu
(1-2 ) tahun (2-3) tahun (3-5) tahun
Kekuatan balok uji (N) 1988,00 3203,00 3719,00
Kekakuan balok uji (N/mm) 239,00 369,00 385,00
Kekuatan lentur balok uji (MPa) 77,19 113,11 129,88
Kekuatan geser balok uji (MPa) 0,57 0,85 0,95
Modulus repture balok uji (MPa) 74,13 114,21 131,45
Modulus elastisitas balok uji (MPa) 15029,00 20017,00 20639,00

Kekakuan dan kekuatan geser balok laminasi bambu Petung


semakin besar seiring dengan umur bambu yang digunakan
semakin tua (Paling, dkk., 2010). Dimensi balok uji 60/80-900
mm, digunakan lamina bentuk persegi disusun vertikal dan direkat
menggunakan perekat jenis Urea Formaldehyde (UF-104) dengan
tekanan kempa 2,00 MPa sistem kempa dingin. Hasil penelitian
dapat dilihat pada Tabel 8.7.
Tabel 8.7. Pengaruh umur bambu pada kekuatan geser balok
bambu laminasi (Paling, dkk., 2010)
Item kekuatan balok uji Umur bambu
(1-2 ) tahun (2-3) tahun (3-5) tahun
Kekakuan balok uji (N/mm) 1319,58 2428,86 2594,25
Kekuatan geser balok uji (MPa) 2,36 3,54 4,27

C. Pengaruh rasio lamina


Pengaruh rasio lamina bambu Petung terhadap lamina kayu
Keruing pada kekuatan lentur balok laminasi bambu-kayu telah
diteliti oleh Wijaya, dkk., (2003). Variabel yang digunakan: a)
balok uji RBB-0, porsi lamina bambu 0%, b) balok uji RBB-25,
porsi lamina bambu 25%, c) balok uji RBB-50, porsi lamina
bambu 50%, d) balok uji RBB-75, porsi lamina bambu 75%, e)

108
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

balok uji RBB-100, porsi lamina bambu 100%. Hasil penelitian


dapat dilihat pada Tabel 8.8.
Tabel 8.8. Kekuatan dan kekakuan balok uji (Wijaya, dkk., 2003)
No Kode Kekuatan rerata Kekakuan rerata Ket.
balok uji (kg) Rasio (kg/mm) Rasio
1 RBB-0 2818 100,00% 47,11 100,00% 100%
lamina
Keruing
2 RBB-25 2967 105,29% 49,43 104,92% 25%
lamina
bambu
3 RBB-50 2589 91,87% 47,43 100,67% 50%
lamina
bambu
4 RBB-75 2843 100,89% 42,88 91,03% 75%
lamina
bambu
5 RBB-100 2917 103,51% 52,95 112,38% 100%
lamina
bambu

D. Pengaruh tekanan kempa


Pengaruh tekanan kempa pada kekuatan geser balok laminasi
horisontal bambu Petung telah diteliti oleh Oka, dkk., (2012).
Demikian juga pengaruh tekanan kempa pada kekuatan geser balok
laminasi horisontal bambu Ampel telah diteliti oleh Amirullah,
dkk., (2012). Jenis perekat yang digunakan Urea Formaldehyde
(UF-104) dengan nilai perekat terlabur yang diaplikasikan kedua
peneliti 50 # MDGL. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.9.
dan 8.10.

109
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Tabel 8.9. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi


bambu Petung (Oka, dkk., 2012)
No Tekanan kempa Kapasitas Geser Balok Keterangan
(MPa) (MPa)
1 0,50 4,14 Jenis perekat UF-104
2 1,00 5,40 Perekat terlabur 50 #
MDGL
3 1,50 6,55
Hasil pengujian geser
4 2,00 7,36 perekat
5 2,50 6,86 11,30 MPa

Tabel 8.10. Tekanan kempa dan kekuatan geser balok laminasi


bambu Ampel (Amirullah, dkk., 2012)
No Tekanan kempa Kapasitas Geser Balok Keterangan
(MPa) (MPa)
1 1,0 5,596 Jenis perekat UF-104
2 1,5 5,714 Perekat terlabur 50 #
MDGL
3 2,0 5,931
4 2,5 5,877

E. Pengaruh bentuk dan tebal lamina pada kekuatan lentur dan


geser balok laminasi-vertikal bambu petung yang dibebani
tangensial.
Mujiman (2015) telah melaksanakan penelitian balok bambu
laminasi menggunakan bambu petung dengan bahan perekat jenis
PVAC (Polyvinyl Acetate). Penelitian yang mendalami pengaruh
bentuk dan tebal lamina pada kekuatan lentur dan geser balok
laminasi-vertikal bambu petung yang dibebani tangensial. Bambu
laminasi menggunakan bahan perekat jenis ini mempunyai
kelemahan gagal geser balok, untuk itu Mujiman memberikan
perlakuan pada bahan bambu yang digunakan sebagai bambu
laminasi dalam tiga kelompok, meliputi: pengaruh beda bentuk,
beda tebal dan beda susunan lamina. Tampak Gambar 8.3.
menampilkan penampang melintang balok bambu laminasi dengan
variasi bentuk (lurus dan lengkung), tebal (7 mm dan 9 mm) dan
susunan lamina (lurus, persegi, dan zig-zag). Balok uji berupa

110
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

balok laminasi bambu Petung menggunakan lamina bentuk persegi,


zig-zag dan lengkung tebal 7 dan 9 mm disusun vertikal pola
susunan brick type arah lebar lamina. Pembanding benda uji dibuat
balok bambu laminasi menggunakan lamina bentuk persegi
disusun vertikal pola susunan lurus. Dimensi balok uji lentur
63/100-2250 mm dan balok uji geser 63/100-900 mm dengan
panjang bentang pengujian berturut-turut 2100 mm dan 750 mm.

(a) dan (b) lamina persegi disusun lurus, (c) dan (d) lamina persegi, (e)
dan (f) lamina zig-zag, (g) dan (h) lamina lengkung masing-masing
disusun brick type arah lebar lamina. (a), (c), (e), (g) lamina tebal 7 mm,
dan (b), (d), (f), (h) lamina tebal 9 mm
Gambar 8.3. Penampang Benda uji tekan sejajar serat
(Mujiman, 2015)

Hasil penelitian perlakuan struktur bahan bambu


menunjukkan sebagai berikut:
1. Kekuatan balok bambu laminasi yang dibuat dengan
menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih besar
dari pada bentuk persegi pada lamina tebal 7 mm. Kekuatan
lentur balok uji menggunakan lamina bentuk zig-zag dan

111
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

lengkung terhadap persegi berturut-turut 116,15% dan


118,52%. Kekakuan balok bambu laminasi yang dibuat
menggunakan lamina bentuk lengkung lebih besar dari pada
bentuk persegi pada lamina tebal (7 dan 9) mm. Kekakuan
balok uji menggunakan lamina bentuk lengkung terhadap
persegi tebal (7 dan 9) mm beturut-turut 100,51% dan 110,33%.
Daktilitas balok bambu laminasi yang dibuat menggunakan
lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih besar dari pada
bentuk persegi pada lamina tebal 9 mm. Daktilitas balok uji
menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung terhadap
persegi beturut-turut 113,17% dan 102,23%.
2. Kekuatan balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk
persegi disusun lurus, bentuk zig-zag dan lengkung disusun
brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm. Kekuatan lentur
balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk persegi
disusun lurus, zig-zag dan lengkung disusun brick type terhadap
9 mm berturut-turut 109,92%; 132,12% dan 107,85%.
Kekakuan balok uji dengan menggunakan lamina tebal 7 mm
bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi dan zig-zag
disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm. Kekakuan
balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm bentuk persegi
disusun lurus, bentuk persegi dan zig-zag disusun brick type
terhadap 9 mm berturut-turut 111,11%; 108,78% dan 120,14%.
Daktilitas balok uji dengan menggunakan lamina tebal 7 mm
bentuk persegi disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9
mm dengan niali 110,94%.
3. Kekuatan, kekakuan dan daktilitas balok uji menggunakan
lamina disusun brick type lebih besar dari pada disusun lurus
pada tebal 9 mm. Kekuatan lentur, kekakuan dan daktilitas
balok uji menggunakan pola susunan brick type berturut-turut
112,51%; 107,05% dan 151,11% terhadap lurus. Kekakuan dan
daktilitas balok uji menggunakan lamina disusun brick type
lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 7 mm, namun
kekuatannya lebih kecil. Kekuatan lentur, kekakuan dan

112
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

daktilitas balok uji menggunakan pola susunan brick type


berturut-turut 91,73%; 104,80% dan 120,90% terhadap lurus.
4. Balok bambu laminasi yang dibuat dengan menggunakan
lamina bentuk zig-zag dan lengkung lebih kuat dan kaku dari
pada bentuk persegi pada lamina tebal 9 mm. Kekuatan geser
balok uji menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung
terhadap persegi beturut-turut 112,54% dan 104,28% sedangkan
rasio kekakuannya berturut-turut 110,83% dan 115,01%. Balok
bambu laminasi yang dibuat menggunakan lamina bentuk zig-
zag dan lengkung lebih kuat dari pada bentuk persegi pada
lamina tebal 7 mm, namun bentuk zig-zag lebih kaku
sedangkan bentuk lengkung tidak. Kekuatan geser balok uji
menggunakan lamina bentuk zig-zag dan lengkung terhadap
persegi beturut-turut 112,97% dan 104,61% sedangkan
kekakuannya berturut-turut 117,04% dan 98,79%.
5. Kekuatan geser balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm
bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi, zig-zag dan
lengkung disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm.
Kekuatan geser balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm
terhadap tebal 9 mm berturut-turut 115,81%; 106,12%;
106,52% dan 106,45%. Kekakuan balok uji menggunakan
lamina tebal 7 mm bentuk persegi disusun lurus, bentuk persegi
dan zig-zag disusun brick type lebih besar dari pada tebal 9 mm,
namun bentuk lengkung tebal 7 mm lebih kecil dari pada tebal 9
mm. Kekakuan balok uji menggunakan lamina tebal 7 mm
terhadap tebal 9 mm berturut-turut 113,88%; 115,95%;
122,45% dan 99,60%.
6. Kekuatan dan kekakuan balok uji menggunakan lamina disusun
brick type lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 9 mm.
Kekuatan geser dan kekakuan balok uji menggunakan pola
susunan brick type berturut-turut 129,25% dan 104,34%.
Kekuatan balok uji menggunakan lamina disusun brick type
lebih besar dari pada disusun lurus pada tebal 7 mm, namun
kekakuannya lebih kecil. Kekuatan geser dan kekakuan balok

113
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

uji dengan menggunakan pola susunan brick type berturut-turut


118,43% dan 90,37% terhadap pola susunan lurus.
7. Balok bambu yang dibuat menggunakan bentuk lengkung lebih
kuat 11,53% dan lebih kaku 12,39% terhadap lamina bentuk
zig-zag, namun menggunakan lamina bentuk zig-zag lebih
daktil 8,42% terhadap lamina bentuk lengkung.
8. Seluruh balok uji lentur mengalami kegagalan lentur yang
ditunjukkan oleh terjadinya serat yang patah pada bagian tarik,
dan seluruh balok uji geser mengalami kegagalan geser yang
ditunjukkan oleh terjadinya sesaran yng dimulai dari ujung
balok uji.

F. Pengaruh Variasi Incising dan Pengempaan Pada Sifat


Mekanika Balok Bambu Laminasi
Permasalahan terjadinya gelincir horisontal antar lamina pada
balok bambu laminasi sehingga bambu laminasi mengalami rusak
geser sebelum mencapai batas maksimum kekuatan balok.
Penelitian balok bambu laminasi Budi (2006), Basry (2005),
Nasriadi (2004), Masrizal (2004) dan Oka (2004), hasil pengujian
eksperimental balok bambu laminasi menunjukkan bahwa
kapasitas geser balok bambu laminasi belum melampaui kapasitas
geser bahan dasar bambu yang digunakan. Kerusakan balok bambu
laminasi yang diuji secara keseluruhan mengalami rusak geser
pada bidang rekatan. Penelitian terkait balok laminasi mekanik
tanpa perekat dengan shear connector sebagai alat sambung yang
dilakukan oleh Reynolds, dkk (2016), Tjondro (2007), Pranata
(2011), Scmulsky, dkk (2008), Gliniorz, dkk (2002), Kramer
(2001), Bohnhoff, dkk (1997), dan penelitian Goodman, dkk
(1975), hasil pengujian numerik dan ekperimental menunjukkan
bahwa shear connector mampu secara efektif menahan terjadinya
gelincir horisontal antar lamina pada balok laminasi mekanik.
Berdasar latar belakang penelitian terdahulu maka sistem incising
yang menjadikan adhesive selain sebagai sebagai perekat juga
sebagai shear connector akan mampu menaikkan kapasitas geser
balok bambu laminasi melampaui kapasitas geser bahan dasar

114
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

bambu yang digunakan. Pola jarak incising shear connector


perekat yang akan digunakan adalah dengan pola diagonal seperti
yang direkomendasikan oleh Bohnhoff, dkk (1997). Pengempaan
dan variasi pola jarak incising yang menjadikan adhesive selain
sebagai perekat juga sebagai shear connector pada sifat mekanika
balok bambu laminasi.
Shear connector pada bidang rekatan adalah sebagai upaya
untuk meningkatkan kuat geser antar lamina balok bambu
laminasi. Upaya untuk memberikan sambungan mekanik antar
lamina pada setiap jarak interval tertentu sehingga gelincir
horisontal antar lamina dapat dicegah adalah dengan metode
incising. Metode incising sebagai upaya melukai/melubangi bidang
rekat sehingga perekat akan mengisi lubang-lubang incising dan
kemudian perekat mengeras. Perekat yang mengeras pada lubang-
lubang incising ini akan menjadi shear connector sehingga akan
menambah kekuatan dan kekakuan balok bambu laminasi. Metode
incising ini sangat praktis diterapkan pada balok laminasi karena
tidak memerlukan alat sambung lain seperti paku atau baut cukup
perekat itu sendiri sebagai shear connector. Pada saat perekatan
dan pengempaan balok bambu laminasi maka otomatis terbentuk
shear connector-shear connector dari perekat yang mengeras pada
bidang rekatan. Semakin besar luas bidang incising maka semakin
tinggi pula kekuatan mekanika bambu laminasi (Yasin, dkk, 2016).
Bohnhoff, dkk, (1997), melakukan penelitian dengan hasil bahwa
pola diagonal connector susunan paku pada balok laminasi
mekanik mempunyai modulus of rupture yang lebih tinggi.
Lamina-lamina bilah bambu dengan sistem incising adalah
pada bidang sisi permukaan horisontal bagian atas dan permukaan
horisontal bagian bawah lamina bilah bambu. Penampang lamina
bilah bambu dengan lubang-lubang sistem incising seperti pada
Gambar 8.4.

115
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 8.4. Penampang lamina bilah bambu dengan lubang-lubang


sistem pola incising (Yasin, 2016).

Menurut Yasin (2016), pengempaan dengan besaran 1,5 MPa


sampai dengan 2,5 MPa tidak mempengaruhi sifat fisika bahan
dasar bambu. Hal ini disebabkan bahwa benda uji ditempatkan
diruang pengeringan sampai pada saat pengukuran kadar air dan
kerapatan. Pengempaan sampai dengan 2,5 MPa tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap sifat mekanika bahan dasar bambu. Hal
ini disebabkan sampai pada tekanan 2,5 MPa bahan dasar bambu
belum mengalami kerusakan pada properties material-nya.
Pengaruh adanya shear connector adhesive pada sistem
incising menaikkan daya lekat antar lamina pada pengujian blok
geser laminasi. Kuat geser rata-rata blok bambu laminasi dengan
incising mencapai optimum pada jarak incising 4 x 4 mm dan pada
tekanan kempa 2 MPa dengan nilai kuat geser rata-rata 8,158 MPa.
Kuat tarik rata-rata blok tarik-pisah bambu laminasi dengan
incising mencapai optimum pada jarak incising 4 x 4 mm pada
tekanan kempa 1,5 MPa dengan nilai kuat geser rata-rata 2,002
MPa.
Sistem incising yang diteliti Yasin (2016), kapasitas geser
balok laminasi dengan sistem incising telah melampaui kapasitas
geser bahan dasar bambu yaitu 7,55 MPa. Balok bambu laminasi
pada tekanan kempa 1,5 MPa tanpa pola incising (balok referensi)
tegangan geser adalah 6,88 MPa, dengan pola incising 4x4
tegangan geser adalah 9,86 MPa, pola incising 6x6 tegangan geser
adalah 9,31 MPa dan pola incising 8x8 tegangan geser adalah 7,94
MPa. Balok laminasi bambu dengan tekanan kempa 2 MPa untuk
balok referensi tegangan geser adalah 7,47 MPa, dengan pola
incising 4x4 tegangan geser adalah 11,76 MPa, pola incising 6x6

116
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

tegangan geser adalah 9,24 MPa dan dengan pola incising 8x8
tegangan geser adalah 8,97 MPa. Balok laminasi bambu pada
tekanan kempa 2,5 MPa untuk balok referensi tegangan geser
adalah 7,89 MPa, dengan pola incising 4x4 tegangan geser adalah
10,55 Mpa, pola incising 6x6 tegangan geser adalah 9,80 MPa dan
pada pola incising 8x8 tegangan geser adalah 8,73 MPa. Pengujian
eksperimental tegangan geser balok laminasi yang optimum adalah
pada pola jarak incising 4x4 dengan tekanan kempa 2 MPa yaitu
sebesar 11,76 MPa.

G. Perilaku mekanik balok komposit Bambu laminasi dan pelat


lantai Beton dengan alat sambung geser Baja tulangan
Bambu laminasi sebagai alternatif pengganti bahan bangunan
beton dan bata, serta sebagai kompetitor konstruksi kayu
mempunyai potensi cukup baik dari segi pemenuhan jumlah
kebutuhan. Bambu sebagai bahan bangunan yang dapat
diperbaharui (renewable) sama halnya kayu, namun lebih cepat
tumbuh (fastgrowing), sehingga dalam satu tahunnya bambu lebih
menguntungkan dibandingkan kayu. Sebagai ilustrasi, bahwa satu
rumah konstruksi bambu laminasi di Amerika dengan luas
bangunan 175 m2 memerlukan 1 ha lahan bambu per tahunnya
(Flander dan Rovers, 2009 dalam Setyo 2015). Bambu Guadua
disuplai dari Colombia.
Penelitian tentang bambu laminasi di Indonesia sudah
dikembangkan untuk dapat dibuat elemen dengan ukuran yang
lebih besar sesuai kebutuhan, sehingga mampu meningkatkan daya
dukung (Setyo, 2015). Namun demikian kuat tekan bambu
laminasi cukup kecil dibandingkan kuat tariknya. Kuat tekan
bambu laminasi dapat digantikan oleh beton yang jauh lebih murah
biaya produksinya dibandingkan bambu laminasi. Meskipun beton
lebih murah dibandingkan bambu laminasi, namun kuat tariknya
sangat kecil, sekitar 15% terhadap kuat tekannya. Untuk itu dibuat
struktur komposit bambu laminasi dan beton, dimana bambu yang
mempunyai kekuatan tarik tinggi akan menahan tegangan tarik
ditempatkan pada bagian bawah struktur balok komposit,

117
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

sedangkan beton yang mempunyai kuat tekan tinggi ditempatkan


pada bagian sisi atas yang menahan tekan. Hubungan komposit
antara bambu laminasi dan pelat beton didukung oleh konektor
geser (shear connector) berupa pasak (dowel) dari baja tulangan,
seperti tampak pada Gambar 8.5. dan uji balok komposit beton
bertulang-bambu laminasi dapat dilihat pada Gambar 8.6.

(b)
Gambar 8.5. Distribusi tegangan kondisi seimbang (garis netral pada
perbatasan) balok komposit lantai beton-bambu laminasi

Gambar 8.6. Uji balok komposit beton bertulang-bambu laminasi

Setyo tahun 2015 meneliti pengaruh bentuk dan tebal lamina


pada kekuatan lentur dan geser balok laminasi-vertikal bambu
petung yang dibebani tangensial. Bambu laminasi menggunakan
bambu petung dengan bahan perekat Urea Formaldehidy (UA-
181), hasilnya adalah sebagai berikut :
1. Nilai kuat tumpu bambu petung laminasi dengan metode
setengah lubang (half hole) nilainya lebih besar dibandingkan
meode lubang penuh (full hole). Aplikasi nilai kuat tumpu

118
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

setengah lubang (half hole) pada penentuan nilai tahan lateral


teoritis hasilnya lebih mendekati hasil eksperimental
dibandingkan metode lubang penuh (full hole).
2. Nilai tahanan lateral (Z) dipengaruhi oleh panjang tertanam
dowel pada bahan yang disambung (bambu laminasi dan beton).
Teori EYM dapat digunakan untuk memprediksi (analisis)
kekuatan tahanan lateral komposit bambu laminasi-beton
dengan hasil cukup baik. Hasil hitungan tahanan lateral
denganteori EYM lebih kecil dibandingkan eksperimental
dengan perbedaan rasio 0,63 – 1,04 atau rata-rata 0,82.
3. Balok komposit bambu laminasi dengan mengambil regangan
tarik maksimum bambu laminasi dan regangan hancur beton
0,003, maka diperoleh kondisi balance bamboo (rusak bersama
beton dan bambu) pada balok komposit adalah tinggi balok
bambu (hb) = 2,5 tebal pelat beton (tc). Nilai hb = 2,5 tc
terpenuhi jika lebar pelat beton (bc) = 8,5 tc dan lebar bambu
(bb) = 0,4 hb.
4. Perilaku lentur balok komposit hasil pengujian dapat
diidealisasikan dengan bentuk linier (untuk fully composite) dan
mendekati kondisi bilinier (untuk partial composite).
5. Kerusakan balok komposit sesuai dengan prediksi bahwa untuk
balok asumsi komposit penuh (fully composite) kerusakan awal
terjadi pada sisi serat terluar (tarik dan tekan), sedangkan untuk
balok komposit sebagian (partial composite) kerusakan awal
terjadi adalah rusak geser (slips) pada alat sambung (shear
connector).
6. Untuk keperluan desain balok komposit kondisi elastis (cara n)
dapat diterapkan dengan mengambil tegangan tekan ijin beton
0,45 dan tegangan tarik bambu laminasi 0,6 dengan rasio hasil
analisis dibandingkan hasil eksperimental (batas proporsional)
yaitu secara rata-rata 0,89 (0,78 - 0,97).
7. Nilai beban balok komposit kondisi elastis terhadap nilai beban
ultimit hasil eksperimen mempunyai rasio sekitar 0,38 (0,29 -
0,46).

119
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

H. Sambungan Balok-Kolom Bambu Laminasi Menggunakan


Pelat Baja Dikarter Dan Baut
Sambungan dalam struktur gedung merupakan bagian
terlemah sehingga perlu perhatian secara khusus. Model
sambungan untuk aplikasi struktur memiliki beraneka ragam
bentuk, jenis bahan dan cara analisis. Penelitian tentang
sambungan pada struktur kayu dan sejenisnya merupakan topik
yang paling menarik untuk diteliti dari sejak lama hingga saat
masa-masa yang akan datang. Permasalahan sambungan pada
struktur kayu dan sejenisnya terjadi karena keterbatasan sifat
mekanika dan ukuran, sedangkan tuntutan geometric, bentuk dan
dimensi struktur berkembang pesat. (Eratodi, 2014).
Alat sambung dapat menggunakan pelat konektor baja dan
baut. Model sambungan struktur bambu laminasi-pelat baja
konektor-bambu laminasi menggunakan alat sambung baut telah
diteliti, diamati dan dianalisis perilaku mekanikanya oleh Eratodi
2014 (Gambar 8.9.). Pelat konektor baja direkayasa dan
diperlakukan tertentu untuk meningkatkan kekakuan, kekuatan dan
penyerapan energi disipasi pada sambungan. Permukaan pelat
konektor baja dikasarkan menggunakan mesin fraise dengan mata
pisau 600 sehingga berbentuk mikro piramida runcing. Pelat baja
dikarter dirancang dalam penelitian ini berfungsi pelat konektor
sebagai alat sambung yang mampu mendistribusikan gaya-momen
pada join sambung dengan baik. Pelat konektor ini memberikan
fungsi sebagai damper (penyerap energi). Pelat konektor baja
berperan sebagai frictional damping akan dapat meningkatkan
kombinasi energi disipasi dan nilai kekakuan sambungan melalui
kontribusi nilai koefisien gesek kinetik (µk) yang lebih tinggi
dibanding bahan pelat baja tanpa dikarter. Pelat dikarter mampu
memperbaiki perilaku mekanika sambungan struktur bambu
laminasi menggunakan alat sambung.
Penelitian perilaku sambungan bambu laminasi diteliti oleh
Eratodi (2014) menggunakan bambu petung yang diambil di
Kabupaten Sleman Yogyakarta. Perekat bilah bambu digunakan
jenis UF dengan kode UA–181. Bahan pengeras (hardener)

120
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

digunakan jenis garam NH4CL dengan kode HU-12. Hardener


yang digunakan berupa bubuk putih yang diperoleh satu paket
dengan perekat UA-181. Bahan pengembang menggunakan tepung
terigu. Penelitian perilaku sambungan bambu laminasi diawali
dengan uji sifat fisika dan mekanika bahan bambu, bambu
laminasi, alat sambung, yang kemudian dilanjutkan pemodelan
numerikal bahan bambu laminasi, analisis numerikal elemen
hingga nonlinier sebagai bahan plastik orthotropik tampak pada
Gambar 8.7.

Gambar 8.7. Geometri model numerikal sambungan balok-kolom


struktur bambu laminasi

Perilaku kuat tumpu, tanahan lateral dan sifat fisika alat


sambung pelat dikaertar juga diuji dalam penelitian ini. Pelat
dikarter, pengasaran permukaan pelat (dikarter) dengan mesin
fraise mata pisau V. Mata pisau V terdapat dua pilihan yaitu mata
pisau V 600 dan 450, dipilih mata pisau V 600 karena dengan
pengkateran dengan mata pisau sudut V 600 akan mengurangi tebal
pelat asli lebih sedikit (kurang dari 5% tebal) sehingga tidak
banyak mempengaruhi kekuatan pelat dan menghindari
kemungkinan terjadinya tekuk lokal (buckling) pada pelat, seperti
tampak pada gambar 8.8. Pelat dikarter dibanding pelat polos
(non-dikarter) mampu menaikkan koefisien gesek antara pelat
dengan bambu laminasi sebesar 71,31%.

121
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Bambu laminasi memiliki semua keunggulan dari rekayasa


laminasi, antara lain: sifat mekanika lebih tinggi 25-65% dari
bahan dasar bambu Petung yang digunakan, fungsi perekat yang
sangat optimal bekerja pada perekatan antar bilah bambu melalui
uji delaminasi perekat, uji geser pada garis perekat lebih besar dari
serat bambu (9,94%), dan pada uji lentur terjadi gagal lentur (gagal
tarik pada bagian bawah penampang benda uji balok), ketahanan
terhadap bubuk kumbang karena proses pengawetan yang efektif,
dan emisi formaldehyde yang ramah lingkungan dan lolos standar
Euro dan Japan dengan nilai emisi 0,5 mg/L (syarat maksimum: 1
mg/L).

(a) (b)
Gambar 8.8. Konektor pelat baja: (a) pelat dikarter, (b) pelat polos (non-
dikarter)

(a) (b)
Gambar 8.9. Sambungan dengan pelat konektor disisipkan pada balok: (a)
sambungan balok-balok, (b) sambungan balok-kolom pojok interior

122
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Hasil eksperimen dan analisis numerikal Eratodi 2014 tentang


sambungan balok-kolom bambu laminasi menggunakan pelat baja
dikarter dan baut didapatkan perilaku mekanika rekayasa
sambungan bambu laminasi, antara lain:
1. Kuat tumpu bambu laminasi dipengaruhi secara nyata oleh
sudut beban terhadap arah serat (loading-to-grain-angle). Kuat
tumpu menurun seiring dengan perubahan sudut beban dari
sejajar menuju tegak lurus serat. Perubahan ini dapat didekati
dengan formula Hankinson orde ke-2.
2. Jarak ujung sambungan pada daerah tekan boleh lebih pendek
33% dibandingkan dengan ketentuan SNI-5 2002. Pengujian
dan analisis numerikal ini menguatkan persyaratan spasi baut
untuk sambungan dengan alat sambung baut berdasarkan
ketentuan SNI-5 2002 dapat diaplikasikan pada sambungan
struktur bambu laminasi. Perencanaan sambungan dengan
ketentuan SNI ini akan memberikan angka keamanan yang
lebih tinggi. Analisis elemen hingga nonlinier geometri
sambungan melalui pemodelan kuat tumpu dapat bersesuaian
dengan hasil pengujian metode full-hole dan half-hole.
3. Pelat dikarter mengurangi ketebalan pelat baja asli sampai
dengan 5%, namun tidak mengurangi kekuatan sebagai pelat
konektor sambungan. Tampak nyata model kegagalan uji
tahanan lateral dengan pelat dikarter bersesuaian dengan
formula EYM mode kelelehan III. Rekayasa pada pelat ini
meningkatkan nilai koefisien gesek sebesar 71,31%. Perlakuan
dikarter pada pelat sebagai konektor sambungan secara
signifikan meningkatkan kekakuan sambungan baut sejajar arah
serat dan tegak lurus serat berturut-turut sebesar 93,6% dan
63,38%.
4. Tahanan lateral join sambungan balok bambu laminasi-pelat
baja-bambu laminasi dengan alat sambung baut gaya sejajar
serat lebih tinggi 8,38% - 11,81% daripada gaya arah tegak
lurus serat, baik dengan pelat polos maupun pelat dikarter. Nilai
tahanan lateral menggunakan alat sambung pelat konektor
dikarter lebih tinggi 8,05% - 20,22% daripada pelat konektor

123
Bambu Laminasi
213
Struktur dan Rekayasa Bambu

polos. Tahanan lateral model ini dapat didekati dengan


persamaan EYM dengan model yang sama seperti pada bahan
kayu.
5. Konektor pelat dikarter pada sambungan balok-kolom struktur
bambu laminasi meningkatkan tahanan momen yield, kekakuan
elastis struktur (Ke), hysteretic energi (HE), energi potensial,
energi disipasi masing-masing sebesar 31,28%; 33,12%,
28,82%, 20,48%; 5,89% dibandingkan konektor pelat polos
melalui pendekatan metode EEEP. Pelat konektor dikarter
mampu sebagai frictional damping yang dapat meningkatkan
kombinasi kekakuan dan energi disipasi sambungan.
Sambungan sistem ini meningkatkan syarat struktur dengan
energi disipatif kapasitas menengah–DCM (Dissipate Class
Medium) menjadi struktur dengan energi disipatif kapasitas
tinggi – DCH (Dissipate Class High).
6. Parameter hysteresis loop dengan pendekatan kurva pinching
model Kivell mendapatkan nilai kekakuan elastis sambungan
balok-kolom menggunakan pelat konektor dikarter lebih besar
85,06% dari konektor pelat polos. Tahanan momen leleh dan
maksimum sambungan menggunakan konektor pelat dikarter
pada siklus positif masing-masing lebih besar 35,71% dan
17,17% dan pada siklus negatif masing-masing sebesar 45,29%
dan 46,21% dari konektor pelat polos. Uji siklik sambungan
balok-kolom dapat dilihat pada Gambar 8.10.
7. Persamaan tahanan lateral model sambungan ini dapat
memprediksi bentuk kegagalan pada benda uji. Mode kelelehan
III menurut EYM yang terjadi pada sambungan momen dan
balok-kolom sebagai bentuk alat sambung konektor pelat
dikarter dan baut bekerja sangat efektif.
8. Analisis numerikal kuat tumpu bambu laminasi menggunakan
alat sambung baut dapat memberikan gambaran tegangan dan
regangan yang terjadi pada tiap elemen model dan memprediksi
geometri sambungan struktur bambu laminasi. Informasi sifat
mekanika bambu laminasi yang lengkap dan gambaran
tegangan dan regangan hasil analisis numerikal dapat digunakan

124
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

sebagai pedoman dalam memprediksi kemampuan bahan dan


lokasi kegagalan yang terjadi pada tiap simulasi geometrik
sambungan struktur bambu laminasi (Gambar 8.11.).
9. Metode numerik menggunakan elemen hingga nonlinier pada
penelitian ini dapat memprediksi sambungan momen,
sambungan balok-kolom pada model bambu laminasi-pelat
baja-bambu laminasi dengan alat sambung baut. Model simulasi
kontak problem, constraint elemen baut terhadap bambu
laminasi, jarak gap diameter lubang dan diameter baut,
geometri dan pemilihan model material bambu laminasi yang
tepat berpengaruh besar pada hasil analisis numerikal. Model
kegagalan bambu laminasi akibat tahanan momen didominasi
oleh splitting tarik tegak lurus serat bambu laminasi, ini
menguatkan lemahnya sifat mekanika bambu laminasi pada
tarik tegak lurus serat sebagai ciri khas bahan alami berserat.

Gambar 8.10. Proses uji siklik sambungan balok-kolom struktur bambu


laminasi dengan konektor pelat baja dikarter

125
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

Gambar 8.11. Hubungan tahanan momen-rotasi join sambungan hasil


ekperimen (benda uji BC-PD-C; BC-PD-C dan BC-PP-C) dan hasil
numerikal

126
Bambu Laminasi
Struktur dan Rekayasa Bambu

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrochim, 1982, Studi Pendahuluan Pengawetan Bambu pada


Rumah-Rumah Rakyat di Jawa Barat. Laporan Nomor 161,
Bogor: Lembaga Penelitian Hasil Hutan.
Amirullah K., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Perilaku
Keruntuhan Balok Laminasi Horisontal Bambu Ampel, Bunga
Rampai Penelitian Bambu 2012.
ASTM, 1997, ASTM D143: Standard Methods of Testing Small
Clear Specimens of Timber. Annual book of ASTM Standards,
Vol. 04.10., West Conshohocken, PA, USA.
Basri, E. 1997. Pedoman Teknis Pengeringan Bambu . Laporan
Proyek Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat. Pusat
Penelitian Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan.
Bogor.
Bagby, M. O., Newon, G. H., Helman, E. G. and Clark, T. F. 1971.
Determination of lignin in non-wood plant fibre sources.
Tappi Journal 54: 1876-1878.
Bhat, K.V., Varma, R.V., Raju Paduvil, Distribution of starch in
the culms of Bambusa bambos (L.) Voss and its influence on
borer damage. The Journal of the American Bamboo Society
19(1): 1-4 Kerala Forest Research Institute, Peechi – 680 653,
Kerala, India
Blass, H.J., P. Aune, B.S. Choo, R. Gorlacher, D.R. Griffiths. B.O.
Hilso. P. Racher, and G. Steck, (Eds), 1995, Timber
Engineering Step I, First Edition, Centrum Hount, The
Nedherlands.
Blass H. J., Schmid M., Litze H., and Wagner B., 1995, Nail plate
reinforced joints with dowel-type fasteners. In: 6th World
Conference on Timber Engineering, 31 July – 3 August,
2000, paper 8.6.4.,
Bohnhoff, D.R., Chiou, W.S., Hernandez, R., 1997, Load-Sharing
in Nail-Laminated Assemblies Subjected to Bending Loads,
ASAE International Meeting, Minneapolis, MN, USA,
August 10-14 1997.
Breyer, D.E., 1988, Design of Wood Structures, Second Edition.
McGraw-Hill, Inc. New York.

127
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Budi A.S., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Dimensi


Bilah, Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap
Keruntuhan Lentur Balok Laminasi Bambu Petung, Bunga
Rampai Penelitian Bambu 2012.
Chang R., 1998, Chemistry, 6th edn. McGraw–Hill Companies,
Inc, New York, pp 962–963
Darwis, Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Bambu
Bagian Kulit Terhadap Kapasitas Lentur Balok Laminasi
Bilah Persegi Panjang dan Galar, Bunga Rampai Penelitian
Bambu 2012.
Ding, X.L., Zhang, Y. 1997. Existence of specific amino acid in
bamboo leaves and its biological significance. Journal of
Wuxi University of Light Industry, 16(1), 29-32.
Eratodi, I.G.L.B., 2013, Sambungan Balok-Kolom Struktur Bambu
Laminasi Dengan Pelat Baja Dikarter Dan Baut, Disertasi,
Program Pascasarjana, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, Tidak Diterbitkan.
Eratodi, IGLB., Dhewanto, S.A., dan Intang, N., SH., (2012),
―Bunga Rampai Abstrak Penelitian Bambu, Mahasiswa S1
& S2 Bimbingan Prof. Morisco, Jurusan Teknik Sipil dan
Lingkungan, UGM Yogyakarta.
Feng, Z., Huang., K, and Shu, J., G., 2014, Research progress on
the modification of bamboo, Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research, 6(1):237-239, ISSN : 0975-7384,
CODEN(USA) : JCPRC5, Central South University of
Forestry and Technology, Changsha, China
Fengel D, Wegener G. 1984. Bambu : Kimia, Ultrastruktur,
Reaksi-reaksi. Gadjah Mada University Press (terjemahan).
Frangi J.L, Barrera M.D, Richter L.L, Lugo A.E., 2004, Nutrient
cycling in Nothofagus pumilio forests along an altitudinal
gradient in Tierra del Fuego Argentina. Forest Ecol. Manage.
217:80–94.
Gurfinkel, G, 1981, Wood Engineering, Second Edition,
Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, Iowa.
Gusmailina & Sumadiwangsa. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis
Bambu dari Jawa Timur.Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5
(5):290-293

128
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Hadjib dan Karnasudirdja (1986), 1986. Prospek Kayu Indonesia


dan Bahan Baku Industri Kayu Lamina. Makalah pada
Seminar Glue Laminated Timber (Glulam), 15 Juni 1986
Haniza, S., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2005, Perilaku Mekanika
Papan Laminasi Bambu Petung Terhadap Beban Lateral,
Tesis, FTSL UGM Yogyakarta (Tidak dipublikasikan).
Higuchi, H. 1955. Biochemical studies of lignin formation, 111.
Physiologia Plantarum 10: 635-648
Itoh, T and Shimajii, K. 1981. Lignification of bamboo culm
(Phyllostachys pubexens) during growth and maturation. Pp.
104-310 in Higuchi, T. (Ed.) Bamboo Production and
Utilization. XVII IUFRO Congress, Kyoto.
Janssen, J.J.A., 1981, Bambu in Building Structures, Ph.D. Thesis,
University of Technology of Eindhoven, Netherland
Janssen, J.J.A., 1991, Mechanical Properties of Bambu, Kluwer
Academic Publishers, Netherlands.
Kliwon, S. 1997. Pembuatan Bambu Lapis Dari Bambu Tali
(Gigantlocoa apus). Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (3) :
190-199.
Kollman, F.J.P. and W.A. Cote, 1975, Principle of Wood science
Technology, Volume II. Wood Based Material. Springer-
Verlag. New York.
Kramer, V., Blass, H.J., 2001, Load Carrying Capacity of Nail-
Laminated Timber Under Concrentrated Loads, International
Council for Research and Innovation in Building and
Construction, Working Commission W18 – Timber
Structures, Venice, Italy, August 2001.
Krisdianto, Sumarni G., dan Ismanto A., 2005. Sari Hasil
Penelitian Bambu. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
Liesse, W., 1980, Preservation of Bamboo, in Lessard, G.
&Chouinard, A : Bamboo Research in Asia, IDRC, Canada.
Liese, W., 1987, The Strukture of Bamboo in Relation to Its
Properties andUtilization, Bamboo and Its Use, International
Symposium on Industrial Use of Bamboo Beijing, China 7-11
Dec., 1987, Intern. Trop. Timber Organization, Chinese
Academy of Forestry.

129
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Liese, W., 2000. The Anatomy of Bamboo Culms, Technical


Report, International Network for Bamboo and Rattan,
http://www.inbar.int/publication/htm.
Lu, B.; Wu, X.; Tie, X.; Zhang, Y.; Zhang, Y. 1985. Toxicology
and safety of anti-oxidant of bamboo leaves. Part 1: Acute and
subchronic toxicity studies on anti-oxidant of bamboo leaves.
Food and Chemical Toxicology, 43(5), 783-792.
Maduretno, T., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2010, Pengaruh
Umur Bambu Terhadap Perilaku Kekuatan Lentur Balok
Laminasi Bilah Bambu Petung, Tesis, FTSL UGM Yogyakarta
(Tidak dipublikasikan).
Manuhuwa, Komponen Kimia Dan Anatomi Tiga Jenis Bambu
Dari Seram, Maluku , Agritech Vol. 28 No. 2 Mei 2008
Martawijaya, 1974, Masalah Pengawetan Bambu di Indonesia.
Kehutanan Indonesia, Nopember 1974: p. 460-469
Morisco, 1999, Rekayasa Bambu, Nafiri Offset, Komplek Yadara
Blok V/12 Yogyakarta.
Morisco, 2006, Teknologi Bambu. Bahan Kuliah Magister
Teknologi Bahan Bangunan. Program Studi Teknik Sipil
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Mujiman, Hrc. Priyosulistyo, Djoko Sulistyo, dan T.A. Prayitno,
2015, Pengaruh Bentuk Dan Tebal Lamina Pada Kekuatan
Lentur dan Geser Balok Laminasi-Vertikal Bambu Petung
yang Dibebani Tangensial , Disertasi, FTSL UGM Yogyakarta
(Tidak dipublikasikan).
Nasriadi, Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Susunan
Lamina Bambu Petung Terhadap Kuat Geser dan Lentur
Balok Lamiansi Galar Bambu Petung, Bunga Rampai Abstrak
Penelitian Bambu, pages B16-B17.
Nugroho, N. and A. Naoto. 2005. Development of structural
composite products made from bamboo II: Fundamental
properties of laminated bamboo lumber. J Wood Sci. 47:237-
242.
Nurhayati, T. 1994. Pembuatan Arang Empat Jenis Bambu Dengan
Cara Timbun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 3 (3) : 7-12.
Oka G.M., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2012, Pengaruh Gaya
Pengempaan Terhadap Keruntuhan Geser Balok Laminasi

130
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Horisontal Bambu Petung, Bunga Rampai Penelitian Bambu


2012.
Osorio, L., Trujilo, E., Van Vuure, A.W., 2010, The Relation
between Bamboo Fibre Microstructure and Mechanial
Properties, 14 th European Conference on Composite
Materials, 7-10 June 2010, Budapest Hungary.
Paling, T., Morisco, dan Prayitno, T. A., 2010, Pengaruh Umur
Bambu Terhadap Perilaku Kekuatan Geser Balok Laminasi
Bilah Bambu Petung, Tesis, FTSL UGM Yogyakarta. (tidak
dipublikasikan).
Porteous, J., and Kermani., A., (2007). ―Structural Timber Design
to Eurocode 5‖. Blackwell Publishing, United Kingdom.
Pasaribu, R. A dan T. Silitongan. 1974. Pulp Dari Campuran Kayu
Daun Lebar dan Bambu. Laporan No. 35 LPHH. Bogor.
Pranata, Y. A., 2011, Perilaku Lentur Balok Laminasi-Baut Kayu
Indonesia, Disertasi, Program Doktor Ilmu Teknik Sipil
Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung. (tidak diterbitkan)
Prayitno, T.A., 1994, Perekat Kayu. Fakultas Kehutanan
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Prayitno, T.A., 1995, Pengujian Sifat Fisika dan Mekanika Kayu
menurut ISO. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Prayitno, T.A., 1996, Perekatan Kayu, Fakultas Kehutanan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Rittironk, S.and M. Elnieiri. 2008. Investigating laminated bamboo
lumber as an alternate to wood lumber in residential
construction in the United States. Modern Bamboo
Structures.CRC Press.
Salim, A.M.A., 2007, Pengaruh Variasi Dimensi Bilah Bambu,
Jenis Perekat dan Tekanan Kempa Terhadap Keruntuhan
Lentur Balok Laminasi Bambu Petung.
Satish, K., Shukla, K. S., Tndra, D. and Dodrnal, P. B. 1994.
Bamboo Awmation Techniques: AR&. Published jointly by
International Network for Bamboo and Rattan (INBAR) and
Indian Council of Forestry Research Education (ICFRE).

131
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Setyo, N.I.H, 2015, Perilaku mekanik balok komposit Bambu


laminasi dan pelat lantai Beton dengan alat sambung geser
Baja tulangan. Disertasi, FTSL UGM Yogyakarta (Tidak
dipublikasikan).
Sharma, Y.M.L., 1987. Inventory and resources of bamboo : 4 –
17, In Rao, A.N.,: Dhanarajan, G. & Shastry, C.B., Recent
Research on Bamboo, C.A.F., China and IDRC. Canada.
Shmulsky, Bowyer JL, Haygreen JG. 2008. Forest Products
and Wood Science - An Introduction, Fourth edition. Iowa:
Iowa State University Press.
Silitonga T., Siagian, R dan Nurahman, A., 1972. Cara
Pengukuran Serat Kayu di LPHH. Publikasi Khusus No.
12, Bogor.
Siopongco, J.O.; Munandar, M. 1987. Technology manual on
bamboo as building material. Forest Products Research and
Development Institute, Los Baños, Philippines. 93 pp.
Sulastiningsih, I. M, N., Sutigno, P. 1992. Diktat Pengujian Kayu
Lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan &
Sosial Ekonomi Kehutanan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor.
Sulastiningsih, I. M, N. Hajidjib dan P. Sutigno.1996. Pengaruh
Jumlah Lapisan Terhadap Sifat Bambu Lamina. Buletin
Penelitian Hasil Hutan 14 (9) : 366-373
Sulastiningsih IM & Nurwati, Physical and mechanical properties
of laminated Bamboo board, Journal of Tropical Forest
Science (2009) 246. Forest Products Research and
Development Center.
Tjondro, J.A., dan Rosiman, E. K., 2011,, Group Action Factor of
Nail Fastener on the Wood Connection With Plywood Sides
Plate, Jurnal Teoretis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil¸
ISSN 0853-2982, April 2011, 18 (1):1-10
Tsoumis G. 1991. Science and Technology of Wood; Structure,
Properties Utilization. New York: Van Nostrand Reinhold.
Wai , Li dkk 1995 anatomi
Widjaya, P., 1995, Perilaku Mekanika Batang Struktur Komposit
Lamina bambu dan Phenol Formaldehida, Thesis S-2,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak diterbitkan).

132
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

Xiao, Y., B. Shan, G. Chen, Q. Zhou & L.Y. She, 2007,


Development of a new type Glulam—GluBam. Modern
Bamboo Structures, CRC Press/Balkema.
Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,
Suprapto., Saputra, Ashar., 2015, The Effect of Variable
Lateral Stress of Laminated Bambu with Artificially Dent
Surface on Mechanical Properties, International Journal of
Civil and Structural Engineering (IJCSE), ISSN : 2372-
3971, Issue 02, Volume 2, pp. 80-83.
Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,
Suprapto., Saputra, Ashar., 2016, Experimental Study of
Tensile Strenght of Bambu Block Lamination : Optimum
Values of Block Lamination be Made With Incising Method,
International Journal of Innovative Research in Advanced
Engineering (IJIRAE), ISSN : 2349-2763, Issue 03, Volume
3, pp. 19-23.
Yasin, Iskandar., Priyosulistyo, Henricus., Siswosukarto,
Suprapto., Saputra, Ashar., 2016, The Influence of Lateral
Stress Variation to Shear Strenght Bambu Lamination
Block, International Journal of Innovative Research in
Yustinus Suranto, Variasi Sifat Anatomi Bambu Ampel, Ori dan
Wulung dalam Arah Longitudinal, Jurusan Teknologi Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan UGM. Penerbit: Yogyakarta /
Fakultas Kehutanan UGM / 1999.
Zhou Fangchun. 1980. Bamboo forest cultivation. China Forestry
Publishing House, Beijing, China

133
Daftar Pustaka
Struktur dan Rekayasa Bambu

BIODATA PENULIS

Penulis lahir di Denpasar, Bali, pada tanggal 19 Mei


1975, anak pertama dari tiga bersaudara dari orang
tua Ir. I Gusti Lanang Bagus Utawa dan I Gusti Aju
Oka Darmiati (alm.). Riwayat pendidikan yaitu TK
Kertha Kumara (tahun 1979-1981), SD Negeri 18
Dangin Puri (tahun 1981-1987), SMP Negeri 1
Denpasar (tahun 1987-1990), SMA Negeri 1
Denpasar (tahun 1990-1993). Pendidikan Sarjana
(S1) ditempuh di Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik,
Universitas Brawijaya Malang (Konsentrasi Struktur, tahun 1993-1998).
Pendidikan Magister (S2) ditempuh di Program Magister Teknologi
Bahan Bangunan (tahun 2006-2007), dan pendidikan Doktor (S3)
Konsentrasi Struktur di Program Ilmu Teknik DTSL FT, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta. Pendidikan Doktor (S3) mulai ditempuh pada
tahun September (2009-2014). Bekerja sebagai dosen Dpk. Kopertis
Wilayah VIII pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik dan
Informatika, Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar,
sejak tahun 2002 sampai sekarang. Penulis konsentrasi pada bidang
struktur dan rekayasa bahan bangunan sipil. Beberapa tulisan ilmiah
terkait baik antara lain: Rasio Dimensi Kolom Bangunan Tradisional Bali
Terhadap Kuat Tekan Menggunakan Bambu Laminasi, Teknologi Bambu
Laminasi Sebagai Material Ramah Lingkungan Tahan Gempa,
Pemanfaatan Bambu Sebagai Material Pilihan Pada Struktur Bambu
Modern, Bamboo Technology Laminate As Earthquake Resistant
Materials And Environmentally, Kuat Tumpu Bambu Laminasi Terhadap
Variasi Kadar Air Dan Diameter Baut, Kuat tumpu bambu (embedding
strength of bamboo), The effect of specific gravity on embedding strength
of glued, Analisis Numerik dan Eksperimen Kuat Tumpu Bambu
Laminasi, Fenomena Produksi Bambu Laminasi di Masyarakat, Buku
Bunga Rampai Abstrak Penelitian Bambu Mahasiswa S1 dan S2
Bimbingan Prof. Morisco, Penerbit: Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan
UGM Yogyakarta, A Review on Test Results of Mechanical Properties of
Bamboo, dan Perilaku Mekanik Sambungan Struktur Bambu Laminasi
Menggunakan Pelat Dan Baut.

134
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai