Anda di halaman 1dari 16

PERCOBAAN DALAM

PERBUATAN MAKAR

MATA KULIAH: HUKUM PIDANA

DOSEN: H. PANHAR MAKAWI, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH: ALBERN DERIAN (20180401206)

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

FAKULTAS HUKUM

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur atas Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat

menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Percobaan Dalam Perbuatan Makar”

dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Semester 2 Tahun 2019.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kategori sempurna,

oleh karena itu penulis dengan hati dan tangan terbuka mengharapkan saran dan kritik yang

membangun demi kesempurnaan tugas yang akan datang.

Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan terima

kasih yang sedalam–dalamnya kepada Bapak Panhar Makawi selaku dosen mata kuliah

Hukum Pidana atas kontribusinya dan kesabarannya selama ini dalam mengajar mata kuliah

Hukum Pidana. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 22 Juni 2019

Albern Derian

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................................I

KATA PENGANTAR.............................................................................................................II

DAFTAR ISI..........................................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................................2

1.3 Manfaat...............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1 Pengertian & Pandangan KUHP......................................................................................3

2.2 Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar........................................................5

2.3 People Power......................................................................................................................8

2.4 Peran Kepolisian dan Tolak Ukurnya............................................................................10

BAB III PENUTUP................................................................................................................12

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................12

3.2 Saran.................................................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai negara hukum, Indonesia mengutamakan adanya perlindungan hak asasi manusia

sebagai sarana awal berkembangnya paham demokrasi. Pendeklarasian Indonesia sebagai

negara hukum secara tegas terdapat dalam UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum,

terdapat 3 (tiga) persyaratan mutlak yang harus dipenuhi diantaranya:1 (1) Pemerintahan yang

berdasarkan aturan hukum, (2) Adanya pemisahan pada masing-masing bidang kekuasaan

negara, serta (3) Menjamin perlindungan HAM bagi segenap warga negara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menjelaskan

bahwa keamanan merupakan hak setiap warga Negara Pasal 28 Ayat (2) “Setiap orang

berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda

dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman

ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Sedangkan

menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menjelaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.2

1
Antari, Putu Eva Ditayani. 2017. Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan Berpendapat

pada Media Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum Undiknas. Vol 04 No. 01 hlm. 16.
2
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan perbuatan makar dan pandangan KUHP atas tindakan

perbuatan makar?

2. Bagaimana politik hukum di Indonesia mengatur perbuatan tindak pidana makar?

3. Apakah “people power” yang dilaksanakan untuk menjatuhkan pemerintahan

Soeharto termasuk perbuatan makar atau termasuk perbuatan konstitusional?

4. Peran apakah yang sudah dilakukan oleh kepolisian dalam mencegah perbuatan

makar tersebut dan tolak ukur apa yang bisa dikatakan menjadi perbuatan makar?

1.3 Manfaat

Manfaat dari pembahasan yang dirumuskan dalam 1.2 Rumusan Masalah tersebut agar

Kita dapat menjaga keutuhan bangsa dan negara Kita sesuai dengan Pancasila, UUD 1945,

dan peraturan perundang-undangan lainnya yang diterapkan di Indonesia dari akibat dampak

buruk perbuatan makar serta agar pembaca tidak keliru dalam memahami arti dari perbuatan

makar.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian & Pandangan KUHP

Kata “Makar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai beberapa

arti:3 1. akal busuk; tipu muslihat; 2. perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang

(membunuh) orang, dan sebagainya; 3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), makar dibagi menjadi

beberapa arti berdasarkan pasal-pasal yang ada di bawah ini:4

Pasal 104 “Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau

dengan maksud merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak

mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Pasal 106 “Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian

jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah

Negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.

Pasal 107 Ayat (1) “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Pasal 107 Ayat (2) “Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1,

diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling

lama dua puluh tahun.”.

3
Kamus Besar Bahasa Indonesia
4
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3
Berdasarkan pengertian dari Pasal KUHP ini dijelaskan bahwa bentuk dari perbuatan

makar yang dimaksud tersebut jika pemimpin dan pengatur makar tersebut mencoba

menghilangkan nyawa Presiden dan Wakil Presiden, agar wilayah jatuh di tangan musuh baik

keseluruhan ataupun sebagian, maupun menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pada dasarnya makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan atau

“aanual” yang berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige aanranding).

Menurut Mardjono Reksodiputro, makar sebagai kata tersendiri, bukan merupakan konsep

hukum. Kata makar baru memiliki arti apabila dikaitkan dengan suatu perbuatan yang

dimaksud oleh pelakunya. Jadi yang merupakan konsep hukum adalah “makar” dalam

kalimat-kalimat seperti “makar dengan maksud untuk membunuh presiden atau wakil

presiden”; “makar dengan maksud memisahkan sebagian dari wilayah Negara”; “makar

dengan maksud menggulingkan pemerintahan”. Hal tersebut diperjelas pula dengan adanya

ketentuan Pasal 87 KUHP yang dalam pasal tersebut mengatakan bahwa perbuatan makar

yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 140 KUHP baru ada atau baru

dapat dikatakan sebagai makar apabila ada “permulaan pelaksanaan”. Sehingga dari pasal

tersebut menentukan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi apabila telah

dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari orang yang berbuat makar. Tindak pidana

makar itu sendiri merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara khusus (“makar” yang

berhasil maupun “makar” yang tidak berhasil diatur oleh pasal yang sama) karena tindak

pidana tersebut tergolong menjadi tindak pidana yang sangat berbahaya karena dapat

mengancam keamanan suatu Negara.5

5
Dikutip dari : http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-23-I-
P3DIDesember-2016-23.pdf diakses pada tanggal 8 September 2017
4
2.2 Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar

Politik Hukum Pengaturan tindak pidana makar di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa

fase-fase yang pernah dialami Indonesia. Fase-fase tesebut memuat instrumen-instrumen

hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak pidana makar. Fase-fase

tersebut, terdiri dari 4 (empat) fase yaitu fase pertama pada tahun 1866-1946, fase kedua pada

tahun 1946-1963, fase ketiga pada tahun 1963-1999, dan fase terakhir yaitu pada tahun 1999

sampai sekarang. Politik Hukum Pengaturan tindak pidana makar di Indonesia, mengalami

perkembangan di dalam perumusannya. Mulai dari fase pertama, sampai dengan fase

terakhir. Fase-fase tersebut memuat keadaan sosial, hukum, dan politik yang mempengaruhi

pengaturan tindak pidana makar.

Pada fase pertama, instrumen hukum yang digunakan adalah Pasal 107 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana diketahui, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana merupakan WvS Belanda yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itu,

perumusan mengenai tindak pidana makar dalam kejahatan keamanan negara yang telah

sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, digunakan pula oleh pemerintah Indonesia. Dapat

dilihat di dalam fase pertama, politik hukum pengaturan tindak pidana makar di Indonesia

terpengaruh oleh politik hukum pengaturan kejahatan keamanan negara yang telah

sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, sehingga secara tidak langsung pemerintah Indonesia

mengikuti rumusan pengaturan tindak pidana makar negara kolonial. Selanjutnya di dalam

fase kedua, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak

pidana makar adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, muncul seiring keadaan pasca kemerdekaan yang

dipenuhi gejolak-gejolak dalam negeri. Presiden Soekarno pada fase kedua, berusaha

5
mengamankan keadaan pasca kemerdekaan dari adanya gejolak-gejolak sosial dan politik

antar pihak-pihak dalam negeri. Politik Hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase

kedua ini, lebih cenderung difokuskan untuk meminimalisir gejolak-gejolak di dalam negeri

dengan sikap pemerintah yang reaktif.

Perkembangan pengaturan tindak pidana makar di Indonesia selanjutnya, terdapat di

dalam fase ketiga. Pada fase ketiga, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah

adalah Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 yang selanjutnya dijadikan Undang-

Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Instrumen hukum di dalam fase

ini, kemudian dikenal sebagai Undag-Undang Pemberantasan kegiatan Subversi (UUPKS).

Sebagaimana yang diketahui, Undang-Undang Pemberantasan Kegiatan Subversiv (UUPKS)

berasal dari Penetapan Presiden No 11 Tahun 1963 yang semula dikeluarkan Pemerintahan

Orde Lama (fase kedua) untuk mengamankan revolusi yang belum selesai. Secara tidak

langsung, pada fase ini pemerintah kembali menghidupkan dan menegaskan kembali

kedudukan instrumen hukum yang dulu pernah dikeluarkan orde lama sebagai alat untuk

mengamankan pemerintah pasca revolusi kemerdekaan. Namun keadaan pada masa fase

kedua, jauh berbeda pada fase ketiga ini. Di dalam fase ini, keadaan sosial maupun politik

sudah cenderung bebas dari pengaruh luar seperti pada masa Orde lama yang sedikit banyak

dipengaruhi oleh pihak kolonial. Oleh sebab itu, penegasan kembali instrumen hukum yang

dikeluarkan pada pada masa orde lama yang dilakukan pada fase ini tidak sesuai dengan

urgensi daripada awal Penetapan Presiden dikeluarkan.

Dilihat dari politik hukum pengaturan tindak pidana makar, fase ketiga ini yaitu pada

masa orde baru hukum khsusunya dalam bidang regulasi tindak pidana makar dimanfaatkan

penguasa sebagai legitimasi segala tindakan untuk mengamankan “Kebijakan” yang diambil

6
pada masa itu, selama 32 tahun orde baru mengamankan roda pemerintahan dengan adanya

pemusatan kekuasaan.6 Selain itu, politik hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase

ketiga lebih cenderung bersikap represif dengan menggunakan wajah pemerintahan yang

menjunjung tinggi asas-asas konstutusional dengan membuat isntrumen hukum yang sesuai

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia.

Perjalanan Indonesia di dalam merumuskan pengaturan tindak pidana makar, mulai

memasuki perubahan yang signifikan dari fase-fase sebelumnya. Pada fase keempat, muncul

pewacanaan untuk mencabut Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 1963. Menjelang akhir masa

Presiden Soeharto, ada seruan kuat dari kalangan masyarakat terutama civil society untuk

lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang diperlukan

untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.7

Kebebasan dijunjung tinggi dalam rangka meningkatkan dan menjunjung tinggi konsep

negara hukum dan demokrasi yang di dalamnya mencakup hak-hak asasi manusia yang pada

masa/rezim-rezim sebelumnya tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Oleh

karenanya pada fase keempat, dimunculkan Undang-Udnang Nomor 26 Tahun 1999 yang

dikenal sebagai Undang-Undang Anti Subversi tentang Pencabutan UUPKS.

Hal ini kemudian mempengaruhi pengaturan tindak pidana makar di Indonesia.

Keadaaan-keadaaan di masa lampau menjadi koreksi penting di dalam pemerintah membuat

6
Sulardi. 2009. Reformasi Hukum (Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat dalam membangun

demokrasi). Malang: Intrans Publishing. hlm. 12


7
Budihardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Poltik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

hlm. 252

7
suatu kebijakan yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia dan tertib hukum di suatu

negara. Pada fase keempat (era reformasi), dapat dikatakan bahwa kebebasan-kebebasan

warga negara dan proses demokrasi menjadi salah satu faktor utama yang difokuskan pada

era ini. Selain itu, pengaturan tindak pidana makar di indonesia fase keempat, memunculkan

wacana instrumen hukum baru sebagai pengganti UUPKS yang dianggap sebagai salah satu

bentuk pengaturan tindak pidana makar pada era kekinian. Instrumen hukum tersebut adalah

rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional.

Politik hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase keempat dan pada era kekinian,

mengarah pada upaya pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum yaitu dengan

merumuskan instrumen hukum UndangUndang Keamanan Nasional yang disesuaikan dengan

kebutuhan masyarakat yaitu hak-hak warga negara dan kebutuhan pemerintah dengan

memerlukan upaya keselamatan dan keamanan negara. Tetapi sampai saat ini pun, masih

dijumpai indikasi kembalinya kekuasaan status quo yang ingin memutarbalikan ke arah

demokrasi Indonesia kembali ke periode sebelum orde reformasi.8

2.3 People Power

People power adalah penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi

demonstrasi rakyat. Upaya ini dilakukan dengan cara seluruh rakyat turun ke jalan agar

Presiden melektakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan

penyimpangan.

8
Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:

Total Media. hlm. 166

8
Secara umum, people power sama artinya dengan kekuatan masyarakat. Mereka berusaha

melakukan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk kezaliman dan kesewenangan para

penguasa. Pascapemilu di Indonesia, istilah ini mulai ramai diperbincangkan. Banyak rakyat

Indonesia yang ingin memberontak terhadap berbagai kebijakan penguasa. Mereka meyakini

bahwa ada yang tak beres di balik sistem pemerintahan.

Gerakan people power di Indonesia terjadi ketika tergulingnya rezim Presiden Soeharto

yang dipicu oleh demo besar mahasiswa dan rakyat pada Mei 1998 yang menuntut reformasi

dan perubahan. Salah satu faktor yang memicu rakyat Indonesia meminta perubahan adalah

fenomena krisis moneter sejak Juli 1997.9

Awalnya, Presiden Soeharto dipilih kembali oleh MPR untuk kesekian kalinya dalam

Sidang Umum MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung normal, apabila Presiden

Soeharto ingin berhenti dari jabatannya, maka proses itu harus melalui MPR. Namun karena

desakan people power, Gedung MPR/DPR di Senayan kala itu dikuasai oleh para

demonstran, MPR hampir mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR

No. VII/1973 Presiden Suharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana Negara

tanggal 22 Mei 1998. Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie mengucapkan sumpah di

hadapan Pimpinan Mahkamah Agung menjadi Presiden RI.

Menurut Yusril Ihza Mahendra selaku pakar Hukum Tata Negara yang dilansir dari portal

detikcom, pernah menyatakan bahwa “Beberapa waktu setelahnya, memang terdapat polemik

9
Dikutip dari : https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-people-power.html ,

diakses pada tanggal 6 Juni 2019

9
akademik terkait masalah konstitusionalitas, yang ketika itu saya hadapi berdua dengan guru

saya almarhum Prof. Dr. Ismail Suny. Hingga pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat dalam putusannya pada tahun 1998 menyatakan bahwa proses berhentinya Presiden

Soeharto dan pergantiannya dengan BJ Habibie adalah sah dan konstitusional. Putusan itu

berkekuatan hukum tetap atau "inkracht van gewijsde", karena gugatan para penggugat yang

menamakan dirinya "100 Pengacara Reformasi" ditolak oleh PN Jakarta Pusat dan mereka

tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.”10

People power pada akhirnya selalu mencari legitimasi konstitusional pergantian rezim

berdasarkan aturan-aturan konstitusi yang ketika itu berlaku di suatu negara. People power

selalu mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi.

Sedangkan revolusi sesungguhnya tidak mencari legitimasi konstitusional berdasarkan

norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi justru mengambil alih kekuasaan

dengan cara di luar konstitusi. Revolusi yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan

penguasa baru yang legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa

dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi pemimpin revolusioner.11

2.4 Peran Kepolisian dan Tolak Ukurnya

Kepolisian menjalankan perannya sebagai penyidik terkait tindak pidana makar

menggunakan berbagai cara atau metode yang didasarkan atas keyakinan penyidik. Dalam

10
Dikutip dari : https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-

mencari-legitimasi-konstitusional , diakses pada tanggal 6 Juni 2019


11
Ibid

10
pelaksanaan penyidikan tersebut, kepolisian sebagai penyidik mengacu pada KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana) sebagai hukum pidana materiilnya dan KUHAP (Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dan Undang-Undang Kepolisian sebagai hukum

pidana formilnya. Dalam melaksanakan peranannya, kepolisian tidak semata-mata hanya

melakukan penyidikan saja. Namun, adapula langkah preventif yang dilakukan oleh pihak

kepolisian baik yang dilakukan sendiri oleh lembaga kepolisian maupun bekerja sama dengan

berbagai instansi pemerintahan terkait. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya makar

itu sendiri dan dapat mencegah perluasan paham-paham yang tidak sesuai dengan tujuan

bangsa Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Tolak-ukur kepolisian dalam menentukan bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai

makar adalah perbuatan yang terindikasi dapat membahayakan kepala Negara atau kepala

pemerintahan sehingga kepala Negara atau kepala pemerintahan tersebut tidak dapat

menjalankan tugasnya dengan semestinya. Berbagai macam bentuk perbuatan apabila

ditujukan kepada mereka maka dalam proses hukumnya dapat dikenakan pasal makar. Begitu

juga dengan permufakatan yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat kepala Negara

tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, permufakatan yang dilakukan dengan tujuan

merebut pemerintahan yang sah, permufakatan dengan tujuan memecah kedaulatan Negara

dengan bekerja sama dengan Negara atau pihak lain pun dapat dikenakan pasal makar dalam

proses hukumnya.12

12
Pratama, Raka Prayoga Putra. 2018. Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana

Makar. Universitas Lampung. hlm. 74-75

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan negara yang menjamin keamanan bagi warga negaranya sesuai

dengan Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945 dan ketundukan warga negaranya secara rata terhadap

pemerintah dan hukum tanpa kecualj sesuai Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Lalu peraturan

KUHP di Indonesia telah melarang perbuatan makar karena seperti yang dijelaskan oleh

Yusril Ihza Mahendra tentang people power yang menimpa pemerintahan Soeharto bahwa

pada akhirnya people power selalu mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi.

Sedangkan revolusi sesungguhnya tidak mencari pembenaran legitimasi konstitusi. Karena

resiko dari perbuatan makar inilah telah diusahakan dari pihak kepolisian dalam perannya

mencegah perbuatan makar yang berujung pada perpecahan bangsa dan negara,

ketidakjaminan keamanan warga negara, serta tidak tunduknya warga negara terhadap

hukum dan pemerintah.

3.2 Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dituliskan ini, penulis menyarankan agar pihak

kepolisian maupun seluruh elemen masyarakat melakukan edukasi dini pemahaman ideologi

Pancasila, kesadaran hukum rasional maupun nasionalisme untuk menekan jumlah terjadinya

potensi makar. Namun apabila terjadi perbuatan makar, maka harus dilakukan penindakan

tegas dari kepolisian baik dari penggerak makar maupun anggota elemen masyarakat

pelaksana makar tersebut karena dampak yang timbul jika gagal ditindak akan menciptakan

perbuatan-perbuatan pidana lainnya yang lebih besar serta ketidakdamaian antar warga

negara.

12
DAFTAR PUSTAKA

Literatur :

Antari, Putu Eva Ditayani. 2017. Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan Berpendapat

pada Media Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum Undiknas

Sulardi. 2009. Reformasi Hukum (Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat dalam membangun

demokrasi). Malang: Intrans Publishing

Budihardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Poltik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:

Total Media

Pratama, Raka Prayoga Putra. 2018. Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana

Makar. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Sumber Lain :

Kamus Besar Bahasa Indonesia

http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-23-I-P3DIDesember-

2016-23.pdf , diakses pada tanggal 8 September 2017

https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-people-power.html , diakses pada

tanggal 6 Juni 2019

https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-

konstitusional , diakses pada tanggal 6 Juni 2019

13

Anda mungkin juga menyukai