PERBUATAN MAKAR
FAKULTAS HUKUM
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Puji Syukur atas Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul “Percobaan Dalam Perbuatan Makar”
dengan tujuan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pidana Semester 2 Tahun 2019.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari kategori sempurna,
oleh karena itu penulis dengan hati dan tangan terbuka mengharapkan saran dan kritik yang
Selanjutnya dalam kesempatan ini penulis tidak lupa untuk menyampaikan ucapan terima
kasih yang sedalam–dalamnya kepada Bapak Panhar Makawi selaku dosen mata kuliah
Hukum Pidana atas kontribusinya dan kesabarannya selama ini dalam mengajar mata kuliah
Hukum Pidana. Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Albern Derian
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................................I
KATA PENGANTAR.............................................................................................................II
DAFTAR ISI..........................................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.3 Manfaat...............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................12
3.2 Saran.................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai negara hukum, Indonesia mengutamakan adanya perlindungan hak asasi manusia
negara hukum secara tegas terdapat dalam UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum,
terdapat 3 (tiga) persyaratan mutlak yang harus dipenuhi diantaranya:1 (1) Pemerintahan yang
berdasarkan aturan hukum, (2) Adanya pemisahan pada masing-masing bidang kekuasaan
negara, serta (3) Menjamin perlindungan HAM bagi segenap warga negara.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menjelaskan
bahwa keamanan merupakan hak setiap warga Negara Pasal 28 Ayat (2) “Setiap orang
berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Sedangkan
menurut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menjelaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
1
Antari, Putu Eva Ditayani. 2017. Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan Berpendapat
pada Media Sosial di Indonesia. Jurnal Hukum Undiknas. Vol 04 No. 01 hlm. 16.
2
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perbuatan makar dan pandangan KUHP atas tindakan
perbuatan makar?
4. Peran apakah yang sudah dilakukan oleh kepolisian dalam mencegah perbuatan
makar tersebut dan tolak ukur apa yang bisa dikatakan menjadi perbuatan makar?
1.3 Manfaat
Manfaat dari pembahasan yang dirumuskan dalam 1.2 Rumusan Masalah tersebut agar
Kita dapat menjaga keutuhan bangsa dan negara Kita sesuai dengan Pancasila, UUD 1945,
dan peraturan perundang-undangan lainnya yang diterapkan di Indonesia dari akibat dampak
buruk perbuatan makar serta agar pembaca tidak keliru dalam memahami arti dari perbuatan
makar.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “Makar” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai beberapa
arti:3 1. akal busuk; tipu muslihat; 2. perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang
(membunuh) orang, dan sebagainya; 3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), makar dibagi menjadi
Pasal 104 “Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau
mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Pasal 106 “Makar dengan maksud supaya wilayah negara seluruhnya atau sebagian
jatuh ke tangan musuh, atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah
Negara dari yang lain, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
Pasal 107 Ayat (1) “Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintahan,
Pasal 107 Ayat (2) “Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia
4
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3
Berdasarkan pengertian dari Pasal KUHP ini dijelaskan bahwa bentuk dari perbuatan
makar yang dimaksud tersebut jika pemimpin dan pengatur makar tersebut mencoba
menghilangkan nyawa Presiden dan Wakil Presiden, agar wilayah jatuh di tangan musuh baik
Pada dasarnya makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan atau
“aanual” yang berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige aanranding).
Menurut Mardjono Reksodiputro, makar sebagai kata tersendiri, bukan merupakan konsep
hukum. Kata makar baru memiliki arti apabila dikaitkan dengan suatu perbuatan yang
dimaksud oleh pelakunya. Jadi yang merupakan konsep hukum adalah “makar” dalam
kalimat-kalimat seperti “makar dengan maksud untuk membunuh presiden atau wakil
presiden”; “makar dengan maksud memisahkan sebagian dari wilayah Negara”; “makar
dengan maksud menggulingkan pemerintahan”. Hal tersebut diperjelas pula dengan adanya
ketentuan Pasal 87 KUHP yang dalam pasal tersebut mengatakan bahwa perbuatan makar
yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 140 KUHP baru ada atau baru
dapat dikatakan sebagai makar apabila ada “permulaan pelaksanaan”. Sehingga dari pasal
tersebut menentukan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi apabila telah
dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari orang yang berbuat makar. Tindak pidana
makar itu sendiri merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara khusus (“makar” yang
berhasil maupun “makar” yang tidak berhasil diatur oleh pasal yang sama) karena tindak
pidana tersebut tergolong menjadi tindak pidana yang sangat berbahaya karena dapat
5
Dikutip dari : http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-23-I-
P3DIDesember-2016-23.pdf diakses pada tanggal 8 September 2017
4
2.2 Politik Hukum Pengaturan Tindak Pidana Makar
Politik Hukum Pengaturan tindak pidana makar di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak pidana makar. Fase-fase
tersebut, terdiri dari 4 (empat) fase yaitu fase pertama pada tahun 1866-1946, fase kedua pada
tahun 1946-1963, fase ketiga pada tahun 1963-1999, dan fase terakhir yaitu pada tahun 1999
sampai sekarang. Politik Hukum Pengaturan tindak pidana makar di Indonesia, mengalami
perkembangan di dalam perumusannya. Mulai dari fase pertama, sampai dengan fase
terakhir. Fase-fase tersebut memuat keadaan sosial, hukum, dan politik yang mempengaruhi
Pada fase pertama, instrumen hukum yang digunakan adalah Pasal 107 Kitab Undang-
Pidana merupakan WvS Belanda yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Oleh karena itu,
perumusan mengenai tindak pidana makar dalam kejahatan keamanan negara yang telah
sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, digunakan pula oleh pemerintah Indonesia. Dapat
dilihat di dalam fase pertama, politik hukum pengaturan tindak pidana makar di Indonesia
terpengaruh oleh politik hukum pengaturan kejahatan keamanan negara yang telah
sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, sehingga secara tidak langsung pemerintah Indonesia
mengikuti rumusan pengaturan tindak pidana makar negara kolonial. Selanjutnya di dalam
fase kedua, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak
pidana makar adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, muncul seiring keadaan pasca kemerdekaan yang
dipenuhi gejolak-gejolak dalam negeri. Presiden Soekarno pada fase kedua, berusaha
5
mengamankan keadaan pasca kemerdekaan dari adanya gejolak-gejolak sosial dan politik
antar pihak-pihak dalam negeri. Politik Hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase
kedua ini, lebih cenderung difokuskan untuk meminimalisir gejolak-gejolak di dalam negeri
dalam fase ketiga. Pada fase ketiga, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah
adalah Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 yang selanjutnya dijadikan Undang-
Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Instrumen hukum di dalam fase
berasal dari Penetapan Presiden No 11 Tahun 1963 yang semula dikeluarkan Pemerintahan
Orde Lama (fase kedua) untuk mengamankan revolusi yang belum selesai. Secara tidak
langsung, pada fase ini pemerintah kembali menghidupkan dan menegaskan kembali
kedudukan instrumen hukum yang dulu pernah dikeluarkan orde lama sebagai alat untuk
mengamankan pemerintah pasca revolusi kemerdekaan. Namun keadaan pada masa fase
kedua, jauh berbeda pada fase ketiga ini. Di dalam fase ini, keadaan sosial maupun politik
sudah cenderung bebas dari pengaruh luar seperti pada masa Orde lama yang sedikit banyak
dipengaruhi oleh pihak kolonial. Oleh sebab itu, penegasan kembali instrumen hukum yang
dikeluarkan pada pada masa orde lama yang dilakukan pada fase ini tidak sesuai dengan
Dilihat dari politik hukum pengaturan tindak pidana makar, fase ketiga ini yaitu pada
masa orde baru hukum khsusunya dalam bidang regulasi tindak pidana makar dimanfaatkan
penguasa sebagai legitimasi segala tindakan untuk mengamankan “Kebijakan” yang diambil
6
pada masa itu, selama 32 tahun orde baru mengamankan roda pemerintahan dengan adanya
pemusatan kekuasaan.6 Selain itu, politik hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase
ketiga lebih cenderung bersikap represif dengan menggunakan wajah pemerintahan yang
menjunjung tinggi asas-asas konstutusional dengan membuat isntrumen hukum yang sesuai
memasuki perubahan yang signifikan dari fase-fase sebelumnya. Pada fase keempat, muncul
pewacanaan untuk mencabut Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 1963. Menjelang akhir masa
Presiden Soeharto, ada seruan kuat dari kalangan masyarakat terutama civil society untuk
lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang diperlukan
Kebebasan dijunjung tinggi dalam rangka meningkatkan dan menjunjung tinggi konsep
negara hukum dan demokrasi yang di dalamnya mencakup hak-hak asasi manusia yang pada
karenanya pada fase keempat, dimunculkan Undang-Udnang Nomor 26 Tahun 1999 yang
6
Sulardi. 2009. Reformasi Hukum (Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat dalam membangun
hlm. 252
7
suatu kebijakan yang berkaitan langsung dengan hak asasi manusia dan tertib hukum di suatu
negara. Pada fase keempat (era reformasi), dapat dikatakan bahwa kebebasan-kebebasan
warga negara dan proses demokrasi menjadi salah satu faktor utama yang difokuskan pada
era ini. Selain itu, pengaturan tindak pidana makar di indonesia fase keempat, memunculkan
wacana instrumen hukum baru sebagai pengganti UUPKS yang dianggap sebagai salah satu
bentuk pengaturan tindak pidana makar pada era kekinian. Instrumen hukum tersebut adalah
Politik hukum pengaturan tindak pidana makar pada fase keempat dan pada era kekinian,
mengarah pada upaya pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum yaitu dengan
kebutuhan masyarakat yaitu hak-hak warga negara dan kebutuhan pemerintah dengan
memerlukan upaya keselamatan dan keamanan negara. Tetapi sampai saat ini pun, masih
dijumpai indikasi kembalinya kekuasaan status quo yang ingin memutarbalikan ke arah
People power adalah penggulingan kekuasaan presiden secara paksa melalui aksi
demonstrasi rakyat. Upaya ini dilakukan dengan cara seluruh rakyat turun ke jalan agar
Presiden melektakkan jabatannya karena dinilai telah melanggar konstitusi atau melakukan
penyimpangan.
8
Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:
8
Secara umum, people power sama artinya dengan kekuatan masyarakat. Mereka berusaha
melakukan perlawanan dan bentuk protes terhadap bentuk kezaliman dan kesewenangan para
penguasa. Pascapemilu di Indonesia, istilah ini mulai ramai diperbincangkan. Banyak rakyat
Indonesia yang ingin memberontak terhadap berbagai kebijakan penguasa. Mereka meyakini
Gerakan people power di Indonesia terjadi ketika tergulingnya rezim Presiden Soeharto
yang dipicu oleh demo besar mahasiswa dan rakyat pada Mei 1998 yang menuntut reformasi
dan perubahan. Salah satu faktor yang memicu rakyat Indonesia meminta perubahan adalah
Awalnya, Presiden Soeharto dipilih kembali oleh MPR untuk kesekian kalinya dalam
Sidang Umum MPR tahun 1997. Jika keadaan berlangsung normal, apabila Presiden
Soeharto ingin berhenti dari jabatannya, maka proses itu harus melalui MPR. Namun karena
desakan people power, Gedung MPR/DPR di Senayan kala itu dikuasai oleh para
demonstran, MPR hampir mustahil untuk dapat bersidang, maka sesuai dengan TAP MPR
No. VII/1973 Presiden Suharto menyampaikan Pidato Pernyataan Berhenti di Istana Negara
tanggal 22 Mei 1998. Seketika itu juga Wakil Presiden BJ Habibie mengucapkan sumpah di
Menurut Yusril Ihza Mahendra selaku pakar Hukum Tata Negara yang dilansir dari portal
detikcom, pernah menyatakan bahwa “Beberapa waktu setelahnya, memang terdapat polemik
9
Dikutip dari : https://www.wartaekonomi.co.id/read225169/apa-itu-people-power.html ,
9
akademik terkait masalah konstitusionalitas, yang ketika itu saya hadapi berdua dengan guru
saya almarhum Prof. Dr. Ismail Suny. Hingga pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dalam putusannya pada tahun 1998 menyatakan bahwa proses berhentinya Presiden
Soeharto dan pergantiannya dengan BJ Habibie adalah sah dan konstitusional. Putusan itu
berkekuatan hukum tetap atau "inkracht van gewijsde", karena gugatan para penggugat yang
menamakan dirinya "100 Pengacara Reformasi" ditolak oleh PN Jakarta Pusat dan mereka
People power pada akhirnya selalu mencari legitimasi konstitusional pergantian rezim
berdasarkan aturan-aturan konstitusi yang ketika itu berlaku di suatu negara. People power
norma-norma konstitusi yang ketika itu berlaku. Revolusi justru mengambil alih kekuasaan
dengan cara di luar konstitusi. Revolusi yang berhasil menciptakan hukum yang sah dan
penguasa baru yang legitimate. Tapi jika gagal, pemimpin revolusi akan didakwa bahkan bisa
dihukum mati karena dianggap sebagai pengkhianat. Itu risiko bagi pemimpin revolusioner.11
menggunakan berbagai cara atau metode yang didasarkan atas keyakinan penyidik. Dalam
10
Dikutip dari : https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-
10
pelaksanaan penyidikan tersebut, kepolisian sebagai penyidik mengacu pada KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) sebagai hukum pidana materiilnya dan KUHAP (Kitab
melakukan penyidikan saja. Namun, adapula langkah preventif yang dilakukan oleh pihak
kepolisian baik yang dilakukan sendiri oleh lembaga kepolisian maupun bekerja sama dengan
berbagai instansi pemerintahan terkait. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya makar
itu sendiri dan dapat mencegah perluasan paham-paham yang tidak sesuai dengan tujuan
bangsa Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
makar adalah perbuatan yang terindikasi dapat membahayakan kepala Negara atau kepala
pemerintahan sehingga kepala Negara atau kepala pemerintahan tersebut tidak dapat
ditujukan kepada mereka maka dalam proses hukumnya dapat dikenakan pasal makar. Begitu
juga dengan permufakatan yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat kepala Negara
tidak mampu lagi menjalankan tugasnya, permufakatan yang dilakukan dengan tujuan
merebut pemerintahan yang sah, permufakatan dengan tujuan memecah kedaulatan Negara
dengan bekerja sama dengan Negara atau pihak lain pun dapat dikenakan pasal makar dalam
proses hukumnya.12
12
Pratama, Raka Prayoga Putra. 2018. Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan negara yang menjamin keamanan bagi warga negaranya sesuai
dengan Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945 dan ketundukan warga negaranya secara rata terhadap
pemerintah dan hukum tanpa kecualj sesuai Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945. Lalu peraturan
KUHP di Indonesia telah melarang perbuatan makar karena seperti yang dijelaskan oleh
Yusril Ihza Mahendra tentang people power yang menimpa pemerintahan Soeharto bahwa
pada akhirnya people power selalu mencari pembenaran atau legitimasi konstitusi.
resiko dari perbuatan makar inilah telah diusahakan dari pihak kepolisian dalam perannya
mencegah perbuatan makar yang berujung pada perpecahan bangsa dan negara,
ketidakjaminan keamanan warga negara, serta tidak tunduknya warga negara terhadap
3.2 Saran
Berdasarkan pembahasan yang telah dituliskan ini, penulis menyarankan agar pihak
kepolisian maupun seluruh elemen masyarakat melakukan edukasi dini pemahaman ideologi
Pancasila, kesadaran hukum rasional maupun nasionalisme untuk menekan jumlah terjadinya
potensi makar. Namun apabila terjadi perbuatan makar, maka harus dilakukan penindakan
tegas dari kepolisian baik dari penggerak makar maupun anggota elemen masyarakat
pelaksana makar tersebut karena dampak yang timbul jika gagal ditindak akan menciptakan
perbuatan-perbuatan pidana lainnya yang lebih besar serta ketidakdamaian antar warga
negara.
12
DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Antari, Putu Eva Ditayani. 2017. Tinjauan Yuridis Pembatasan Kebebasan Berpendapat
Budihardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Poltik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:
Total Media
Pratama, Raka Prayoga Putra. 2018. Peran Kepolisian Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Peraturan Perundang-Undangan :
Sumber Lain :
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VIII-23-I-P3DIDesember-
https://news.detik.com/kolom/d-4555740/people-power-akhirnya-akan-mencari-legitimasi-
13