Anda di halaman 1dari 46

Konsep Dasar Keperawatan Anak Dengan Penyakit Kronis/Terminal

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Keperawatan Anak

Dosen Pengampu: Ns. Rokhaidah, M.Kep.Sp.Kep.An

Disusun Oleh:
Mahasiswa/i Keperawatan Anak II
Kelas Tutor F

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian
Penyakit Kronis adalah permasalahan kesehatan serius dan penyebab
kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2008,, penyakit kronis menyebabkan
kematian pada 36 juta orang di seluruh dunia atau setara dengan 36% jumlah
kematian di dunia (WHO, 2013).
Menurut Mattson (dalam Bradford, 2002) menjelaskan bahwa penyakit kronis
adalah suatu penyakit menahun yang dapat berlangsung lama dan fatal, penyakit
ini diasosiasikan dengan kerusakan atau penurunan fungsi fisik dan mental.
Menurut Taylor (2012) penyakit kronis juga merupakan penyakit yang
berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun, namun biasanya tidak dapat
disembuhkan melainkan hanya diberikan penanganan kesehatan.
Sedangkan penyakit terminal adalah suatu proses yang progresif menuju
kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu.

B. Etiologi
1. Genetik : Diabetes Melitus tipe 1, thalassemia, sindroma down,
fenilketonurea, sinroma fragil.
2. Penyakit Infeksi sekunder : ensefalitis, polio, jantung, HIV/ADIS, CMV,
toxoplasma
3. Lingkungan : keracunan logam berat
4. Nutrisi : defiensi nutria, vitamin A, lodium
5. Cedera : kecelakaan, kekerasan
6. Yang tidak diketahui sebabnya : kanker, autism, ADHD, cacat bawaan
genetic, dan ada juga penyakit alergi seperti asma.
C. Penyakit Terminal Pada Anak
1. PENGERTIAN
Keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat
tidak ada harapan lagi bagi klien untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat
disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.
Kondisi terminal adalah suatu proses progresif menuju kematian berjalan
melaui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi
individu (Kubler-Ross. 1969)
Kondisi terminal adalah suatu proses progresif menuju kematian berjalan
melaui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi
individu (Carpeni-to, 2007)
2. JENIS PENYAKIT TERMINAL
a. HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang
terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari
suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya
mereka telah dapat menulari orang lain (Permenkes, 2013). AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya
tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau
kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS
adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif
merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan
serangan infeksi jamur, bakteri atau virus (Permenkes, 2013).
Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak Ada tiga faktor
utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1) Faktor Ibu
 Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya
sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko
penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang
dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000
kopi/ml.
 Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar. - Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta
kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
 Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
 Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses,
dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV
melalui ASI.
2) Faktor Bayi
 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan
tubuhnya belum berkembang dengan baik.
 Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.
 Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI.
3) Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah :
 Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria).
 Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya
kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam.
 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
(Permenkes, 2013).
Perawatan paliatif dan fase terminal Pada anak dengan infeksi HIV sering
merasa tidak nyaman sehingga perawatan menjadi sangat penting. Buatlah
semua keputusan bersama ibunya dan komunikasikan secara jelas kepada
petugas yang lain. Pertimbangkan perawatn paliatif di rumah, beberapa
pengobatan untuk mengatasi rasa nyeri dan menghilangkan kondisi sulit
b. Leukimia
Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah banyak atau
multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan
biasanya berakhir fatal. (Nursalam, susilaningrum dan Utami, 2005).
Leukemia merupakan keganasan pada anak. Leukemia merupakan kanker
yang berasal dari sumsum tulang dengan karakteristik meningkatnya jumlah
sel darah putih.
Jenis Leukemia
Berdasarkan perjalanan penyakitnya , leukemia dapat dibgi menjadi :
1) Leukemia Lymphoblastik Akut (LLA)
2) Leukemia Myeloblastik Akut (LMA)
3) Leukemia Lymphoblastik Kronik (LLK)
4) Leukemia Myeloblastik Kronik (LMK).
Di antara jenis-jenis leukemia tersebut maka jenis LLA adalah yang paling
banyak terjadi pada anak-anak.
Penyebab Penyebab leukemia sampai sekarang belum diketahui secara jelas,
diduga bahwa factor infeksi, virus, zat kimia, radiasi dan obat-obatan dapat
mempengaruhi leukemia. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sebagai
pemicu terjadinya leukemia. Faktor keturunan diduga mempengaruhi
timbulnya kanker. Terpapar sinar X pada ibu dengan kehamilan muda dapat
beresiko terjadinya kanker pada janin yang dikandungnya. (Nursalam,
Susilaningrum dan utami, 2005).
c. Penyakit / Cacat jantung
Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) disebut juga defek jantung bawaan,
merupakan istilah umum untuk kelainan pada struktur jantung dan pembuluh
darah besar yang muncul sejak lahir yang sering ditemukan dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kelainan bawaan. Secara
umum, insiden PJB adalah 8 sampai 10 dari 1000 kelahiran hidup. Namun,
frekuensi ini hanya estimasi dan kurang akurat. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa terdapat variasi secara geografik pada insiden PJB.1,2
Sebagian besar PJB ini terjadi akibat kesalahan embriogenesis antara minggu
ke-3 sampai minggu ke8 gestasi, ketika struktur utama jantung sudah
terbentuk dan mulai untuk berfungsi. Pada sebagian besar kasus, penyebab
PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap
sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen penyakit jantung
bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat
menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai jenis penyakit
genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti
sindrom Down, Turner, dan lain-lain.
d. Tumor
1) Tumor Wilm (Nefroblastoma)
Nefroblastoma merupakan tumor ginjal embrionik yang biasanya timbul
sebagai massa abdominal unilateral selama masa anak-anak awal. Massa
ini seringkali solid dan kistik dalam ginjal. Hematuria mikroskopik
ditemukan pada sepertiga kasus, namun hematuria makroskopik jarang
ditemukan. Eksisi bedah dan kemoterapi sering menghasilkan
penyembuhan sempurna.
2) Tumor tulang
Sarcoma Ewnig dan osteosarcoma biasanya terjadi pada tulang panjang
dan memberikan gejala nyeri, pembekakan, atau fraktur patologis. Terapi
ditujukan pada pengangkatan tumor, kemudian diikuti dengan penggantian
sendi dengan endoprostetik sehingga menghindarkan amputasi.
Kemoterapi juga diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Radioterapi
mungkin diperlukan. Setengah anak bisa hidup dalam jangka panjang.
e. Fibrosis kistik
Gangguan herediter dimana sejumlah besar material kental disekresikan.
Fibrosis kistik mempengaruhi kelenjar keringat, bronki, pancreas, dan
kelenjar pensekresi-mukus dari usus halus. Gambaran patologis mencakup
konsentrasi natrium dan klorida yang tinggi dalam keringat dan sekresi
mucus serta eliminasi abnormal. Sekresi mucus kental melalui jalan napas
yang menimbulkan obstruksi jalan napas yang mengakibatkan berbagai
kombinasi atelektasis, pneumonia, bronchitis, emfisema, dan kondisi
pernapasan lain.

D. Penyakit Kronis Pada Anak


a. CEREBRAL PALSY
Cerebral palsy adalah keadaan kerusakan jaringan otak yang permanen dan
tidak progresif yang terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) dan
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis yang
menunjukan kelainan dalam sikap dan pergerakan disertai kelainan
neurologis berupa kelumpuhan spastik dan kelainan mental. Istilah cerebral
palsy merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan sekelompok
gangguan gerakan, postur tubuh, dan tonus yang bersifat non progresif,
berbeda-beda kronis dan akibat cedera pada sistem saraf pusat selama awal
masa perkembangan (Arief M, 2003; Johnston MV, 2007).
b. DIABETES JUVENIL
Diabetes mellitus (DM) adalah kelainan yang bersifat kronis ditandai dengan
gangguan metabolism karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan
defisiensi insulin baik absolut dan atau relative. Defisiensi insulin absolut
biasanya didapatkan pada pasien diabetes mellitus tipe-1. Hal ini disebabkan
adanya kerusakan sel pankreas yang progresif sehingga insulin tidak dapat
disintesis oleh kelenjar pankreas. Sebagian besar penderita DM pada anak
termasuk dalam DM tipe-1, yang terjadi akibat suatu proses auotimun yang
merusak sel beta pancreas sehingga produksi insulin berkurang bahkan
berhenti. Oleh karena itu penderita sangat tergantung pada insulin untuk
kelangsungan hidupnya
c. GAGAL GINJAL KRONIK
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan pada anak yang
cukup serius dengan prevalens yang semakin meningkat dari tahun ke tahun
dan mortalitas yang meningkat. Definisi PGK adalah penyakit ginjal dengan
kerusakan ginjal minimal tiga bulan dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG). Berbagai kelainan ginjal baik kelainan kongenital maupun
didapat dapat menyebabkan PGK. Pasien PGK seringkali datang dengan
berbagai keluhan yang menunjukkan bahwa pasien datang pada stadium
lanjut, karena keterlambatan diagnosis. Manifestasi klinis dapat berupa
gangguan pertumbuhan, anemia, nutrisi, hipertensi, gangguan elektrolit, dan
osteodistrofi renal. Proteinuria merupakan petanda penting pada PGK dan
berperan dalam progresivitas penyakit
d. EPILEPSI
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai
etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan
kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari
cerebral cortex, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area yang
luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai kedua hemisfer cerebri.
Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi umum
e. DOWN SYNDROM
down syndrome merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan
mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat di dalam
setiap sel yang berada di dalam tubuh manusia, di mana terdapat bahan-bahan
genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang di sana. Down syndrome
terjadi karena adanya kelainan susunan kromosom ke 21, dari 23 kromosom
manusia.
f. ARTHITIS JUVENIL
Juvenile idiopathic arthritis (JIA) merupakan penyakit peradangan sendi
kronik yang paling banyak ditemukan pada anak-anak. Juvenille idiopathic
arthritis oleh International League of Association for Rheumatology (ILAR)
didefinisikan sebagai arthritis yang tidak diketahui penyebabnya, pada anak
usia kurang dari 16 tahun yang berlangsung menetap selama minimal 6
minggu.
Arthritis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaaan fisik dengan ditemukan
tanda peradangan yaitu tumor (bengkak) pada persendian atau menemukan
dua dari gejala kelainan sendi yaitu dolor (nyeri pada gerakan sendi), kalor
(peningkatan suhu di daerah sendi) dan functio lesa (gerakan sendi terbatas)
g. ASMA
Asma adalah penyakit gangguan pernapasan yang dapat menyerang anak-
anak hingga orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-
anak. Faktor pencetus asma banyak dijumpai di lingkungan baik di dalam
maupun di luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma pada keluarga
memiliki risiko lebih besar terkena asma. Tiap penderita asma akan memiliki
faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma lainnya sehingga
orangtua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat mencetus kejadian asma
pada anak. Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja
penyakit ini dapat dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pengendalian asma dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, yaitu
segala hal yang menyebabkan timbulnya gejala asma. Apabila anak
menderita serangan asma terus-menerus, maka mereka akan mengalami
gangguan proses tumbuh kembang serta penurunan kualitas hidup.
h. DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis atopik merupakan penyakit peradangan kulit kronik spesifik yang
terjadi pada kulit atopik, ditandai rasa gatal, disebabkan oleh hiperaktivitas
kulit yang secara klinis bermanifestasi sebagai lesi eksematosa dengan
distribusi lesi yang khas. Kelainan ini terutama terjadi pada bayi dan anak,
dan menghilang pada 50% kasus pada saat remaja, tetapi ada juga yang
menetap dan terus terjadi hingga dewasa. Dermatitis atopik disebut juga
sebagai multifactorial disease dan setiap individu memiliki faktor-faktor
pencetus yang berbeda.
i. THALASSEMIA
Thalassemia merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi di dalam atau
di dekat gen globin yang ditandai dengan tidak ada atau berkurangnya
sintesis rantai globin. Thalassemia klasik terdiri dari dua kelompok: mayor
dan minor. Thalassemia mayor dapat menyebabkan anemia hemolitik yang
berat, sehingga transfusi sangat diperlukan. Sedangkan pada thalassemia
minor (bentuk heterozigot) didapati asimtomatik atau bergejala ringan

E. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki
faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan
kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara
sempurna (Smeltzer & Bare, 2010). Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah
batuk dan demam yang berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda,
diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air kecil, dan warna kulit abnormal.

F. Respon Klien dan Keluarga Terhadap Penyakit Kronik dan Terminal


Penyakit kronik dan keadaan terminal dapat menimbulkan respon Bio-Psiko-
Sosial-Spritual ini akan meliputi respon kehilangan. (Purwaningsih dan kartina,
2009)
1. Kehilangan kesehatan
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa klien merasa
takut, cemas dan pandangan tidak realistic, aktivitas terbatas.
2. Kehilangan kemandirian
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat ditunjukan melalui
berbagai perilaku, bersifat kekanak-kanakan, ketergantungan
3. Kehilangan situasi
Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari bersama keluarga
kelompoknya
4. Kehilangan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi tubuh seperti
panas, nyeri, dll.
5. Kehilangan fungsi fisik
Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien dengan gagal ginjal
harus dibantu melalui hemodialisa.
6. Kehilangan fungsi mental
Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi mental seperti klien
mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir
efisien sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional
7. Kehilangan konsep diri
Klien dengan penyakit kronik merasa dirinya berubah mencakup bentuk dan
fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir secara rasional (bodi image) peran
serta identitasnya. Hal ini dapat akan mempengaruhi idealism diri dan harga diri
rendah
8. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga

G. Kebutuhan Anak Mengalami Penyakit Kronis atau Terminal


1. Komunikasi, dalam hal ini anak sangat perlu di ajak untuk berkomunikasi
atau berbicara dengan yang lain terutama oleh kedua orang tua karena
dengan orang tua mengajak anak berkomunikasi atau berbicara anak merasa
bahhwa ia tidak sendiri dan ia merasa ditemani.
2. Berdiskusi dengan siblings (saudara kandung) agar saudara kandung mau
ikut berpartisipasi dalam perawatan untuk mengurangi rasa cemas pada anak
3. Soccial support meningkatkan koping, seperti keluarga, saudara, teman-
temannya
Pada keluarga anak yang mengalami penyakit parah, biasanya orang tua dan
anggota keluarga adalah perawat utama di rumah. Mereka berperan penting
untuk masalah psikis, emosional dan finansial . Terkadang , orang tua dan
anggota lainnya membutuhkan hal untuk melakukan perawatan :
1. Kebutuhan edukasi
Bagi keluarga bagaimana menghadapi kondisi anak yang kritis, mengatasi dari
ansietas dan ketegangan psikis. Keluarga juga perlu di ajarkan bagaimana
menghadapi anak yang dalam kondisi kritis , dan mengajarkan keluarga
menangani keadaan anak seperti perdarahan di hidung
2. Emotional support
Dapat dikuasai oleh emosi yang kuat yang dapat mengancam kemampuan
mereka untuk mengatasinya. kemarahan, rasa bersalah, dan tidak berdaya adalah
perasaan normal yang dialami banyak orang tua dan sering kali diproyeksikan
menjadi anggota lain dari tim perawatan kesehatan keluarga. perawat membantu
keluarga ini menangani perasaan tersebut. Orang tua juga mendapatkan
kenyamanan dalam dukungan dari orang asing melalui media sosial. anjurkan
untuk mencari bantuan di luar lingkaran keluarga dan untuk mengatur periode
perawatan saat tersedia.
3. Siblings support
Penting untuk mempertimbangkan kebutuhan saudara kandung yang mengalami
kematian saudara lelaki atau perempuan. saudara kandung mungkin merasa
terisolasi dan tergeser pada saat saudara atau saudari sekarat. perawat dapat
membantu keluarga dengan membantu orang tua mengidentifikasi cara untuk
melibatkan saudara kandung dalam proses perawatan dan memberikan yang
jujur.
4. Caregiver support
Karena perawatan anak yang sekarat menjadi fokus utama orang tua, kebutuhan
pribadi dan rumah tangga sering kali mendapat arti penting sekunder. tugas-
tugas ini, bagaimanapun dapat menjadi beban dan meningkatkan tekanan
keluarga jika tidak ditangani. perawat dapat membantu keluarga
mengidentifikasi cara-cara untuk teman, komunitas, organisasi layanan, dan
anggota keluarga besar untuk membantu dengan tugas-tugas seperti pekerjaan
rumah tangga, belanja, persiapan makan, dan mencuci. selain itu perawat juga
bisa sebagai support sistem pada anak yang mengalami kondisi kritis.
H. PENGALAMAN KELUARGA DENGAN ANAK PENYAKIT
KRONIS/TERMINAL
1. Keluarga Dengan Anak Penyakit Kronis
Menurut UU No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Tujuan utama dalam bekerja dengan keluarga anak dengan kebutuhan
khusus adalah untuk mendukung koping keluarga dan membantu mereka
berfungsi sebagai terbaik yang mereka bisa sepanjang hidup anak (Wong,
2015).
Anak-anak yang menderita penyakit kronis adalah anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus dalam mempertahankan kesehatan tubuhnya,
memerlukan perawatan rutin dan cenderung mengalami hospitalisasi atau
membutuhkan perhatian tenaga medis (Miller, 2004).
Timbulnya suatu penyakit yang kronis dalam suatu keluarga
memberikan tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya
penyesuaian antara si penderita sakit dan anggota keluarga yang lain
(Widyawati, 2002). Menurut Walsh (2008), keluarga akan menghadapi
tantangan dalam menerima dan menyesuaikan diri dengan anak-anak mereka
seperti stress, perubahan pola hidup keluarga dan tekanan finansial. Selain
berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi anak, keluarga juga berjuang
untuk mampu menghadapi tekanan dalam menjalani pengobatan dan
kebingungan dalam menghadapi masa depan untuk anaknya.
a. Menilai Kekuatan Dan Penyesuaian Keluarga
Tujuan dari penilaian keluarga adalah untuk menentukan bantuan apa
keluarga mungkin perlu atau inginkan dalam mengelola perawatan anak
mereka.
Idealnya perawat harus memulai penilaian secepat keluarga belajar
diagnosis. Integral dengan filosofi perawatan berpusat pada keluarga adalah
konsepsi bahwa keluarga harus menjadi peserta aktif dalam proses. contoh
pertanyaan dirancang untuk memperoleh informasi untuk menilai
penyesuaian keluarga yang tercantum dalam tabel.
FAKTOR YANG PENYESUAIAN PENILAIAN
MEMPENGARUHI
PERTANYAAN
sistem dukungan yang tersedia Siapa Anda berbicara dengan ketika
• Status hubungan suami istri Anda memiliki sesuatu di pikiran
• Ketersediaan sistem pendukung Anda? (Jika jawabannya tidak
alternatif pasangan, meminta alasan.)
• Kemampuan untuk berkomunikasi Ketika sesuatu mengkhawatirkan
Anda, apa yang Anda lakukan?
Apa yang membantu Anda paling
ketika Anda marah?
Apakah berbicara tampaknya untuk
membantu ketika Anda merasa
kesal?
Persepsi dari penyakit atau kecacatan Pernahkah Anda mendengar kata
• Sebelumnya pengetahuan tentang (nama diagnosis) sebelumnya?
gangguan Ceritakan tentang hal itu (jika
• Pengaruh agama dan budaya jawabannya adalah ya).
• Keyakinan tentang penyebab Telah agamamu, iman, atau praktek
gangguan budaya telah membantu untuk Anda?
• Efek dari penyakit atau kecacatan Katakan padaku bagaimana (jika
pada keluarga jawabannya adalah ya).
Apa pendapat Anda tentang
penyebab gangguan tersebut?
Bagaimana penyakit atau kecacatan
anak Anda mempengaruhi Anda dan
keluarga Anda?
Bagaimana gaya hidup Anda
berubah?
mekanisme koping Ceritakan tentang waktu yang Anda
• Reaksi terhadap krisis sebelumnya punya krisis lain (masalah, waktu
• Reaksi terhadap anak yang buruk) dalam keluarga Anda.
• praktik membesarkan anak Bagaimana Anda mengatasi masalah
• sikap tersebut?
Apakah Anda menemukan diri Anda
menjadi sedikit lebih berhati-hati
dengan anak ini dibandingkan
dengan anak-anak Anda yang lain?
Apakah Anda merasa nyaman
mendisiplinkan anak ini sebagai
mendisiplinkan anak-anak Anda
yang lain?
Bagaimana anak ini berbeda dengan
saudara atau anak-anak lain dari usia
yang sama?
Menggambarkan kepribadian anak
Anda. Apakah mudah, sulit, atau di
antara?
Ketika Anda memikirkan masa
depan anak Anda, pikiran apa yang
datang ke pikiran?
Sumber daya yang tersedia bagian apa perawatan anak Anda
yang menyebabkan paling kesulitan
untuk Anda dan / atau keluarga
Anda?
layanan apa yang tersedia untuk
membantu?
layanan apa yang Anda butuhkan
yang saat tidak tersedia?
tekanan bersamaan Apa masalah lain yang Anda hadapi
sekarang? (Jadilah spesifik; bertanya
tentang keuangan, perkawinan,
saudara, dan diperpanjang keluarga
atau teman kekhawatiran.)

b. Menerima Kondisi Anak Dan Menerima Dukungan Pada Saat


Diagnosis
Dampak dari kondisi perkembangan atau medis anak sering dialami sebagai
krisis pada saat diagnosis, yang mungkin selama kelahiran, setelah periode
panjang psikologis dan / atau pengujian fisik, atau segera setelah cedera
yang tragis. Hal ini juga dapat dimulai sebelum diagnosis, ketika orang tua
tahu bahwa ada sesuatu yang salah dengan anak mereka, tetapi belum ada
konfirmasi medis.
Intervensi memfasilitasi penyesuaian orang tua untuk diagnosis penyakit
kronis anak mereka atau cacat dan kemampuan mereka untuk merawat anak
mereka termasuk perencanaan pengaturan untuk menginformasikan orang
tua, menilai pengetahuan sebelumnya keluarga dari dan pengalaman dengan
kondisi kronis, memilih strategi yang terbaik memenuhi kebutuhan keluarga
dan situasi, mengevaluasi pemahaman keluarga dari informasi yang
disajikan, dan menyediakan berkelanjutan tindak lanjut.
Salah satu intervensi yang paling mendukung adalah untuk menerima reaksi
emosional keluarga untuk diagnosis dengan cara yang tidak menghakimi.
Meskipun semua keluarga bereaksi secara berbeda dan dengan berbagai
tingkat intensitas, tiga reaksi yang umum dan sering kurang berhasil: rasa
bersalah, penolakan, dan kemarahan.
Dukungan emosional disediakan dengan memiliki jaringan tersedia jika
anggota keluarga menangis dan dengan menunjukkan melalui tubuh dan
bahasa wajah yang memang ini adalah waktu yang sulit dan menyakitkan.
Meskipun menyentuh adalah ekspresi yang kuat dari empati, itu harus
digunakan dengan hati-hati. Sebagai contoh, prematur dapat menghentikan
ekspresi bebas dari perasaan, terutama bila dikombinasikan dengan
pernyataan seperti “Semuanya akan baik-baik.” Perawat juga harus
menyadari kepekaan budaya mengenai menyentuh.
c. Koping Dengan Stres Yang Sedang Berlangsung Dan Krisis Berkala
Keluarga anak-anak dengan kondisi kronis menghadapi stres yang sedang
berlangsung terkait dengan faktor-faktor seperti kondisi anak dan
kekhawatiran keuangan. Mereka juga dapat mengalami krisis periodik,
termasuk ketidakpastian mengenai diagnosis dan kebutuhan untuk
mengatasi rawat inap berulang. Mampu menangani tekanan ini memperkuat
beberapa keluarga. Orang lain menjadi kewalahan ketika tekanan melebihi
sumber daya. Stres meningkat dapat membanjiri sumber daya keluarga dan
mengakibatkan krisis keuangan (Goble, 2004). tekanan bersamaan seperti
out-of-saku pengeluaran terkait dengan kondisi kronis menimbulkan
tantangan tambahan (Newacheck dan Kim, 2005).
Profesional perawatan kesehatan dapat membantu keluarga dalam
mengatasi stres dengan memberikan bimbingan antisipatif, menawarkan
dukungan emosional, membantu keluarga untuk menilai dan mengenali
stres tertentu, membantu keluarga dalam mengembangkan strategi
pemecahan masalah dan mekanisme koping, melanjutkan upaya untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan, mendorong keyakinan spiritual untuk
menemukan harapan dan makna, dan bekerja secara kolaboratif dengan
orang tua sehingga mereka menjadi berdaya dalam proses.
BOX 19-4
TEGANGAN DARI KELUARGA DENGAN ANAK DENGAN
KEBUTUHAN KHUSUS
Menekankan Menekankan Diantisipasi Diduga Stres
sehari-hari Pemeliharaan Parental Stres Sibling
 Perhatian terus- hidup  Diagnosis  Kelahiran
menerus  Stres keuangan, kondisi- anak lain-
dibutuhkan oleh asuransi Membutuhkan bereaksi
anak  Perumahan pendidikan terhadap
 Reaksi dari  Angkutan yang cukup, kelahiran
anak-anak lain  Pakaian dan serta berurusan saudara yang
dan masyarakat peralatan dengan respons terkena
yang lebih besar  Kekhawatiran emosional dampak atau
 Hubungan tentang masa  tonggak kelahiran
sosial depan perkembangan- berikutnya
 Efek pada  anak-anak masa perkembangan anak tidak
saudara depan ditunda atau terpengaruh
hubungan  Pendidikan dan tidak tercapai  Diagnosis
perkawinan pelatihan  Masuk ke kondisi-

kejuruan pembelajaran waktu remisi

 perawatan sekolah-tepat atau

perumahan mungkin tidak eksaserbasi


terjadi dalam  Masuk ke
kelas reguler sekolah-
 Masa remaja- mengalami
Harus stres tertentu
mengatasi jika teman-
masalah seperti teman
seksualitas dan menolak
kemandirian anak dengan
 penempatan kebutuhan
masa depan- khusus
Harus masa  Masa
memutuskan remaja-
tentang Mungkin
penempatan malu untuk
ketika anak membawa
menjadi dewasa rekan-rekan
atau ketika rumah
orang tua tidak  penempatan
bisa lagi masa depan-
merawat anak khawatir
 Kematian anak tentang
tanggung
jawab
saudara yang
terkena,
terutama jika
orang tua
sakit atau
mati
 Kematian
anak

1. Menekankan bersamaan dalam Keluarga


Stres keluarga atau anak perkembangan dalam perkembangan
memperburuk tekanan situasional. Sebagai contoh, sebuah stressor
perkembangan umum dalam siklus kehidupan keluarga adalah kelahiran
anak, suatu peristiwa yang memerlukan penyesuaian oleh orang tua.
Kelahiran seorang anak dengan masalah kesehatan bawaan menambah
stres situasional untuk persamaan.
Mayoritas keluarga, terlepas dari asuransi atau pendapatan, memiliki
masalah keuangan. Biaya merawat anak dengan kebutuhan khusus dapat
banyak. Anak-anak dengan keterbatasan fungsional account untuk satu
sepertiga dari hari rumah sakit anak, dan mereka tinggal di rumah sakit
adalah dua kali lebih lama; mereka juga mengunjungi dokter dua kali lebih
sering sebagai anak-anak tanpa keterbatasan. biaya langsung medis, biaya
transportasi, obat-obatan nonprescription, wig atau kosmetik untuk
menyembunyikan efek dari penyakit atau pengobatan, parkir, makanan,
perumahan, dan perawatan anak dapat mengkonsumsi persentase yang
tinggi dari pendapatan keluarga.
Perawat dapat membuat rujukan yang tepat untuk kasus manajer dan
pekerja sosial untuk membantu keluarga dalam meninjau berbagai pilihan
untuk bantuan keuangan, termasuk asuransi; organisasi pemeliharaan
kesehatan atau kebijakan managed care; Medicaid; Penghasilan Tambahan
Keamanan (SSI) Program; Perempuan, Bayi, dan Program Anak (WIC);
program negara untuk anak-anak dengan kebutuhan kesehatan khusus;
asosiasi terkait penyakit; dan organisasi filantropi lokal.
2. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah mereka perilaku diarahkan untuk mengurangi
ketegangan yang ditimbulkan oleh krisis. Perilaku pendekatan yang
mekanisme koping yang mengakibatkan gerakan menuju penyesuaian dan
resolusi krisis. Perilaku menghindar mengakibatkan gerakan menjauh
dari penyesuaian atau maladaptation krisis. Beberapa pendekatan dan
penghindaran perilaku digunakan dalam mengatasi penyakit kronis atau
cacat yang tercantum dalam tabel berikut.
Perilaku pendekatan Perilaku penghindaran
Meminta informasi mengenai Gagal untuk mengenali keseriusan
diagnosis dan kondisi sekarang kondisi anak meskipun bukti fisik
Mencari bantuan dan dukungan dari Menolak untuk menyetujui
orang lain pengobatan
Mengantisipasi masalah masa depan; Intellectualizes tentang penyakit,
aktif mencari bimbingan dan jawaban tetapi di daerah yang tidak terkait
Saham beban gangguan dengan orang dengan kondisi anak
lain Marah dan bermusuhan dengan
Rencana realistis untuk masa depan anggota staf, terlepas dari sikap atau
Mengakui dan menerima kesadaran perilaku mereka
anak diagnosis dan prognosis Menghindari staf, anggota keluarga,
Diungkapkannya perasaan, seperti atau anak
kesedihan, depresi, dan kemarahan, Menghibur rencana masa depan
dan menyadari alasan untuk reaksi realistis untuk anak, dengan sedikit
emosional penekanan pada saat ini
Realistis memandang kondisi anak; Tidak dapat menyesuaikan diri atau
menyesuaikan dengan perubahan menerima perubahan dalam
Mengakui pertumbuhan sendiri perkembangan penyakit
melalui perjalanan waktu, seperti Terus mencari obat baru tanpa
penolakan sebelumnya dan perspektif terhadap manfaat yang
nonacceptance diagnosis mungkin
Verbalizes kemungkinan kehilangan Menolak untuk mengakui
anak pemahaman anak penyakit dan
prognosis
Menggunakan pemikiran magis dan
fantasi; dapat mencari “gaib” bantuan
Tempat iman lengkap dalam agama
untuk menunjukkan dari melepaskan
tanggung jawab sendiri
Menarik diri dari dunia luar; menolak
bantuan
Menghukum diri karena rasa bersalah
dan menyalahkan
Membuat tidak ada perubahan dalam
gaya hidup untuk memenuhi
kebutuhan anggota keluarga lainnya
Resorts penggunaan alkohol yang
berlebihan atau obat-obatan untuk
menghindari masalah
Verbalizes niat bunuh diri
Tidak mampu untuk membahas
kemungkinan kehilangan anak atau
pengalaman sebelumnya dengan
kematian

Membina normalisasi, mengajarkan keterampilan koping, dan membantu


keluarga dalam menggunakan atau lanjut mendefinisikan jaringan
dukungan sosial mereka intervensi keperawatan lain yang dapat mendorong
dan memberdayakan orang tua dan mempromosikan adaptasi positif dalam
keluarga dan kesehatan mental yang optimal bagi anak.
d. Membantu Anggota Keluarga Dalam Pengelolaan Perasaan Mereka
Variasi individu yang cukup terlihat dalam reaksi terhadap diagnosis,
penggunaan mekanisme pertahanan, dan kerangka waktu untuk datang
untuk berdamai dengan diagnosis. Sangat penting bahwa profesional
mengakui dan menghormati berbagai macam reaksi dan mekanisme koping.
Bahkan, anggota keluarga dari anak dengan penyakit kronis atau cacat
mungkin mengalami banyak emosi yang sulit, seperti rasa bersalah, takut,
marah, dendam, dan kecemasan.
Dukungan dari para profesional kesehatan, anggota keluarga, dan teman-
teman dapat membantu anggota keluarga menghadapi perasaan mereka.
Ketika orang tua mampu mengatasi berhasil dengan stres merawat anak
cacat mereka, semua anggota keluarga mengalami hasil positif seperti rasa
meningkat cinta dan kehangatan dalam keluarga, penemuan makna bagi
kehidupan seseorang, rasa yang kuat telah melakukan orangtua yang baik
pekerjaan, rasa bangga prestasi anak cacat ini tidak peduli seberapa kecil,
dan penemuan makna di hadapan seorang anak cacat dalam keluarga.
1. Shock dan Denial
Diagnosis awal dari penyakit kronis atau cacat sering bertemu dengan
emosi yang kuat ditandai dengan shock, tidak percaya, dan kadang-
kadang penolakan, terutama jika gangguan tersebut tidak jelas, seperti
pada penyakit kronis. Denial sebagai mekanisme pertahanan diperlukan
untuk mencegah disintegrasi dan merupakan respon normal untuk
berduka untuk semua jenis kerugian. Mungkin semua anggota keluarga
mengalami berbagai tingkat penolakan adaptif karena mereka belajar
dari dampak yang diagnosis yang memiliki kehidupan mereka.
Shock dan penyangkalan dapat berlangsung dari hari ke bulan, kadang-
kadang bahkan lebih lama. Manifestasi dari penolakan yang mungkin
terjadi pada saat diagnosis termasuk (1) mencari dokter lain;
perbelanjaan; (2) menghubungkan gejala penyakit yang sebenarnya
untuk kondisi minor; (3) menolak untuk percaya hasil tes diagnostik; (4)
menunda kesepakatan untuk pengobatan; (5) bertindak bahagia dan
optimis meskipun diagnosis mengungkapkan; (6) menolak untuk
memberitahu atau berbicara dengan siapa pun tentang kondisi; (7)
bersikeras bahwa tidak ada yang mengatakan yang sebenarnya, terlepas
dari upaya orang lain untuk melakukannya; (8) menyangkal alasan
masuk rumah sakit; dan (9) meminta tidak ada pertanyaan tentang
diagnosis, pengobatan, atau prognosis.
Umumnya, dalam beberapa kasus, berbagai indikator penolakan benar-
benar dapat menjadi perilaku adaptif. Mencari pendapat profesional lain
mungkin berarti bahwa orang tua tidak dapat memperoleh jawaban atas
pertanyaan mereka atau bahwa mereka sedang mencari pendekatan yang
berbeda untuk pengobatan yang lebih baik memenuhi kebutuhan anak
dan keluarga mereka.
Denial menjadi maladaptif hanya ketika ia menghalangi pengakuan
tujuan pengobatan atau rehabilitasi penting bagi anak pengembangan
optimal atau kelangsungan hidup. Misalnya, berlarut-larut penolakan
mungkin jelas dalam respon dari sebuah keluarga untuk gangguan
kognitif. Selama keluarga dapat mempertahankan fungsi normal dan
mengelola perbedaan dalam nilai-nilai kekeluargaan yang ada dan
peran, mereka mungkin tidak mengenali diagnosis.
2. Penyesuaian
Bagi kebanyakan keluarga, penyesuaian secara bertahap berikut shock
dan biasanya ditandai dengan pengakuan terbuka bahwa kondisi yang
ada. Penyesuaian dapat disertai oleh sejumlah tanggapan yang
merupakan komponen normal dari proses adaptasi. Mungkin yang
paling universal perasaan ini bersalah dan self-tuduhan. Rasa bersalah
sering terbesar ketika penyebab kondisi ini terkait langsung dengan
orang tua, seperti pada gangguan genetik atau cedera disengaja. Namun,
dapat timbul bahkan tanpa dasar yang realistis atau ilmiah untuk
tanggung jawab orang tua.
Seringkali rasa bersalah berkembang dari asumsi yang salah bahwa
kecacatan adalah hasil dari kesalahan atau kegagalan pribadi, seperti
tidak melakukan sesuatu dengan benar selama kehamilan atau kelahiran.
Rasa bersalah mungkin terkait dengan keyakinan agama atau budaya
juga.
Reaksi umum lain untuk diagnosis penyakit kronis atau cacat yang
kemarahan dan kepahitan. Kemarahan adalah reaksi normal dan
diharapkan untuk penyakit kronis yang timbul ketika seorang individu
menyadari bahwa kebutuhan tertentu, keinginan, dan rencana untuk
masa depan tidak bisa lagi puas karena keterbatasan yang dikenakan
oleh suatu penyakit. Perasaan intens ketidakadilan akibatnya
menyebabkan perasaan frustrasi dan kemarahan.
Kemarahan ditujukan ke dalam dapat dimanifestasikan sebagai perilaku
hukuman atau diri yang amat menyesali, seperti lisan merendahkan diri
sendiri dan mengabaikan kesehatan seseorang. Sebaliknya, kemarahan
diarahkan ke luar dapat terungkap dalam baik argumen atau penarikan
dari komunikasi dengan beberapa orang, seperti anak, saudara, dan
pasangan terbuka. kemarahan pasif terhadap anak dapat diwujudkan
dalam penolakan untuk percaya betapa sakit anak, ketidakmampuan
untuk memberikan kenyamanan.
Di antara target yang paling umum untuk kemarahan orangtua adalah
anggota tim perawatan kesehatan. Orang tua mungkin mengeluh tentang
kurangnya waktu dokter menghabiskan waktu dengan mereka,
perawatan, atau kurangnya individu yang memenuhi syarat untuk
mengambil darah atau mulai infus intravena (lihatBerpikir Kritis Studi
Kasus).
Selama periode penyesuaian, empat jenis reaksi orangtua kepada anak
mempengaruhi respon akhirnya anak dengan kondisi: (1)
overprotection, di mana orang tua takut membiarkan anak untuk
mencapai keterampilan baru, menghindari semua disiplin, dan
memenuhi setiap keinginan untuk menghambat frustrasi; (2) penolakan,
di mana orang tua melepaskan diri secara emosional dari anak tetapi
biasanya terus-menerus mengomel dan memarahi anak dan memberikan
perawatan fisik yang memadai; (3) penolakan, di mana orang tua
bertindak sebagai jika kondisi tidak ada atau berusaha untuk memiliki
anak overcompensate untuk itu; dan (4) penerimaan bertahap, di mana
orang tua menempatkan keterbatasan realistis dan diperlukan pada anak,
kegiatan sosial dan fisik asuh yang wajar, dan mempromosikan
perawatan diri. overprotection (kotak 19-5) Adalah suatu reaksi
orangtua umum yang perlu bagi perawat untuk menilai kehadirannya
dan untuk memulai bimbingan antisipatif dengan keluarga saat yang
tepat.
Banyak dari karakteristik ini juga terlihat dalam sindrom anak rentan
dan bisa terjadi atau bertahan harus anak pulih dari cedera atau sakit.
3. Reintegrasi dan Pengakuan
Bagi banyak keluarga proses penyesuaian menyimpulkan dalam
pengembangan harapan yang realistis untuk anak dan reintegrasi
kehidupan keluarga dengan kecacatan atau penyakit dalam perspektif
dikelola. Karena sebagian besar dari fase ini adalah salah satu dari
kesedihan untuk kerugian, total resolusi tidak mungkin sampai anak
meninggal dunia atau meninggalkan rumah sebagai orang dewasa yang
independen. Dengan demikian kita dapat menganggap penyesuaian
sebagai “meningkatkan kenyamanan” dengan hari-hari hidup bukan
sebagai resolusi lengkap.
Tahap Penyesuaian ini juga melibatkan reintegrasi sosial di mana
keluarga memperluas kegiatannya untuk memasukkan hubungan di luar
rumah, dengan anak sebagai anggota berpartisipasi dan diterima
kelompok. Kriteria terakhir ini sering membedakan reaksi penerimaan
bertahap selama periode penyesuaian dari total penerimaan atau
mungkin lebih deskriptif dari proses pengakuan.
Selama fase pengakuan penyesuaian, individu mengambil stok yang
tersisa daripada berfokus pada apa yang hilang dan mulai menetapkan
tujuan baru untuk hidup mereka. Ini adalah saat ketika keluarga sangat
termotivasi untuk belajar tentang pembatasan yang diberlakukan oleh
penyakit anak dan untuk memutuskan bagaimana mereka ingin
berfungsi dalam mereka batas. intervensi keperawatan yang
menekankan pengendalian diri sangat menguntungkan karena mereka
mempromosikan tingkat tertinggi fungsi mungkin dan meningkatkan
rasa harga diri.
Banyak orang tua dari anak berkebutuhan khusus mengalami kesedihan
kronis, reaksi emosional dipamerkan di seluruh rentang interaksi
orangtua-anak. kesedihan kronis terjadi ketika orang tua mendefinisikan
kembali harapan orangtua dan parameter untuk menilai prestasi anak.
peristiwa eksternal, seperti berlalunya tanggal anak diharapkan
kelulusan, memicu resurgences kesedihan kronis ketika orangtua adalah
kembali mengingatkan dari apa yang bisa saja.
e. MEMBANGUN SISTEM PENDUKUNG
Diagnosis masalah kesehatan yang serius atau cacat pada anak adalah krisis
situasional utama yang mempengaruhi seluruh keluarga. Namun, keluarga
dapat mengalami hasil positif saat mereka berhasil mengatasi banyak
tantangan yang menyertai anak dengan penyakit kronis atau cacat. Salah
satu tujuan keperawatan adalah untuk menilai mana keluarga berada pada
risiko yang lebih rendah atau lebih besar untuk mengalah terhadap efek dari
krisis. Sejumlah variabel, termasuk sistem yang tersedia dukungan, reaksi
terhadap anak, persepsi sakit atau cacat, mekanisme koping, sumber daya
keuangan yang tersedia, dan tekanan bersamaan dalam keluarga, dapat
mempengaruhi resolusi krisis. Meskipun sebagian besar keluarga yang
mengatasi, kebutuhan keluarga yang berisiko cukup besar. Jika mereka
menerima bimbingan dan dukungan emosional di awal krisis.
Meskipun mudah untuk mengasumsikan bahwa keluarga anak-anak dengan
penyakit yang paling parah atau cacat akan memiliki penyesuaian termiskin,
tingkat keparahan kondisi ini hanya salah satu bagian dari gambaran
keseluruhan. Tingkat penyesuaian sangat dipengaruhi oleh beban fungsional
pada keluarga. Isu yang terkait dengan merawat dan hidup dengan anak
harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan sumber daya keluarga dan
kemampuan coping. Keluarga anak dengan cacat ganda penjamin perawatan
kompleks yang memiliki banyak strategi mengatasi dan sumber daya dapat
menyesuaikan lebih berhasil dengan situasi anak dari keluarga anak dengan
kondisi yang kurang serius dan sedikit sumber daya untuk mengimbangi itu.
Sumber Intrafamilial, dukungan sosial dari teman, dukungan orang tua
parentto-, kemitraan orangtua-profesional, dan sumber daya masyarakat
jalin untuk memberikan web fleksibel dukungan untuk keluarga anak
dengan kondisi kronis.

2. Penelitian Pengalaman Keluarga I


Penelitian ini menyajikan tinjauan terstruktur cepat dari penelitian yang
telah mengeksplorasi pengalaman orang tua dan persepsi hidup dengan
anak dengan kondisi jangka panjang. Tujuan khusus adalah untuk
mendeskripsikan dan merangkum akun orang tua yang hidup dengan
seorang anak dengan kondisi jangka panjang.
Temuan
Terlepas dari variabilitas dalam kualitas penelitian, ada kesamaan di
seluruh temuan. Tiga tema muncul dari sintesis temuan penelitian:
'dampak orang tua', 'manajemen penyakit' dan 'konteks sosial'. Setiap tema
memiliki subkategori terkait; beberapa kategori dikaitkan dengan respons
awal orang tua terhadap diagnosis anak dan yang lain berkembang seiring
waktu (Tabel 6).
Dampak orang tua
Orang tua mengalami berbagai emosi seperti kebingungan, ketidakpercayaan,
kecemasan, kekacauan dan hilangnya identitas setelah diagnosis anak mereka.
Emosi ini sering hilang ketika orang tua menerima kenyataan situasi dan
fokus pada pemenuhan kebutuhan anak mereka. Bagi beberapa orang tua,
kesedihan yang lebih abadi yang biasa disebut sebagai 'kesedihan kronis'
berevolusi.
Kesedihan kronis mengakibatkan ketidakmampuan untuk menyimpan dan
mengasimilasi informasi, terus mencari alasan untuk kondisi jangka panjang
anak mereka dan perasaan menyalahkan diri sendiri. Adaptasi dan koping
diidentifikasi sebagai ciri menonjol dari hidup bersama seorang anak dengan
kondisi jangka panjang. Penyesuaian orangtua tampaknya merupakan proses
yang dinamis karena perubahan yang sedang berlangsung dalam kondisi dan
tahap perkembangan anak mereka, diimbangi dengan berbagai kebutuhan
keluarga.
Seiring waktu sebagian besar orang tua beradaptasi dan diatasi dengan hidup
dengan anak dengan kondisi jangka panjang. Orang tua mendapatkan kendali
atas situasi dengan memusatkan perhatian pada prestasi anak mereka,
melakukan rutinitas perawatan yang memperkuat keterikatan orang tua-anak
dan menjadi lebih fleksibel dalam kaitannya dengan rezim perawatan dan
perawatan.
Namun, beberapa orang tua menggambarkan beban fisik dan emosi yang
bermanifestasi sebagai kelelahan kronis, frustrasi, dan perasaan tertantang
secara emosional. Orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan yang kompleks
menemukan beban perawatan yang sangat menantang karena tuntutan fisik
dan kurangnya dukungan ketika penyediaan perawatan berkelanjutan
diperlukan untuk memenuhi kegiatan hidup sehari-hari anak mereka.

Manajemen penyakit
Ciri hidup yang signifikan dengan seorang anak dengan kondisi jangka
panjang terkait dengan memberikan intervensi medis dan keperawatan. Untuk
mengendalikan kondisi anak mereka, orang tua perlu: pengetahuan tentang
kondisi dan perawatan untuk belajar dari episode penyakit dan menggunakan
pengalaman ini untuk mengidentifikasi dan merespons gejala penyakit
berikutnya pada anak mereka dan untuk mengembangkan hubungan yang
efektif dengan para profesional kesehatan.
Orang tua menginginkan informasi tentang: penyakit dan perawatan yang
mengakses layanan dan mendukung jaringan dan strategi yang akan
membantu mereka mengatasinya. Orang tua menggambarkan kesulitan dalam
mendapatkan informasi dan banyak yang tidak puas dengan informasi yang
diberikan oleh para profesional kesehatan terutama pada saat diagnosis awal.
Kepuasan orang tua dengan hubungan mereka dengan profesional kesehatan
bervariasi dan mereka mengidentifikasi berkomunikasi dengan profesional
sebagai stres. Hubungan dibangun atas dasar saling menghormati dan
kepercayaan yang bertahan dari waktu ke waktu dan menyediakan mekanisme
dukungan yang konsisten setelah dikembangkan. Hubungannya buruk ketika
orang tua merasa diremehkan misalnya dicap sebagai 'tidak patuh' jika
keputusan tentang perawatan anak mereka tidak sesuai dengan perspektif
profesional.

Konteks sosial
Kehidupan keluarga terganggu karena ketidakpastian kondisi anak seperti
frekuensi masuk rumah sakit yang akut dan harus menemani anak untuk terapi
dan janji temu klinik. Untuk mengelola gangguan ini, satu orangtua
merespons kebutuhan anak dengan kondisi jangka panjang, sementara yang
lain memenuhi kebutuhan saudara kandung.
Meskipun berfungsi sebagai dua 'subunit' yang menghalangi upaya
mempertahankan normalitas, ada aspek-aspek positif dari gangguan ini.
Misalnya, kohesi keluarga menguat karena harus berkomunikasi secara efektif
tentang berbagi tugas memberi perawatan dan keluarga setiap hari. Terlepas
dari diagnosis anak, orang tua berusaha untuk menciptakan lingkungan
keluarga yang normal, yang lebih mungkin dicapai jika orang tua memiliki
pandangan positif hidup dengan anak mereka dengan kondisi jangka panjang,
berbagi tanggung jawab untuk rutinitas merawat dan proaktif dalam
mengelola mereka. kondisi anak.
Hubungan keluarga tegang, terlepas dari kondisi anak, dan persepsi orang tua
yang hidup dengan anak dengan kondisi jangka panjang menempatkan mereka
pada risiko gangguan perkawinan. Hambatan utama untuk mempertahankan
kohesi keluarga adalah waktu yang diperlukan untuk memenuhi komitmen
pengasuhan sehingga orang tua memiliki kesempatan terbatas untuk
menghabiskan waktu sendirian. Berbagai pendekatan untuk mengelola kondisi
anak juga menciptakan ketegangan keluarga.
Sebaliknya, beberapa penelitian melaporkan hubungan orang tua diperkuat, ini
dikaitkan dengan komitmen bersama untuk memenuhi kebutuhan anak mereka
dan pengakuan beban perawatan yang ditempatkan pada pengasuh utama
anak. Membangun jejaring dukungan sosial merupakan aspek penting dalam
mengatasi kondisi anak. Informasi tentang ketersediaan kelompok pendukung
dan jaringan spesialis terjadi secara kebetulan alih-alih diberikan sebagai
bagian integral dari pemberian perawatan.

3. Pengalaman Keluarga II
Hasil Penelitian
Dari hasil wawancara dengan responden secara langsung mengenai
pengalaman keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis, maka
peneliti mengidentifikasikan uraian hasil wawancara tersebut dalam empat
katagori, yaitu pengalaman awal mengasuh anak dengan penyakit kronis ,
pengalaman tanpa akhir, dampak penyakit kronis terhadap keluarga dan
kekhawatiran masa depan anak dengan penyakit kronis.
1. Pengalaman Awal Mengasuh Anak dengan Penyakit Kronis
a. Respon Emosional
Masing-masing responden merasakan respon emosional yang berbeda-beda
pada awal pengasuhan anak mereka. Perasaan sedih, bingung dan cemas
merupakan hal pertama yang dirasakan oleh keluarga. Hal itu dapat dilihat
dari beberapa pernyataan responden yang mengungkapkan hal tersebut secara
langsung maupun melalui ekspresi responden. Dua orang responden mengaku
sedih begitu mengetahui anak mereka menderita penyakit kronis.
b. Membawa Anaknya ke Pengobatan di luar Medis
Dua orang responden membawa anaknya ke pengobatan non medis berupa
pengobatan alternatif ataupun tradisional dan sekaligus memanfaatkan
pelayanan medis untuk merawat anaknya. Namun, akhirnya mereka memilih
untuk konsisten membawa anak mereka ke pelayanan medis.
c. Mencari Informasi
Semua responden menyatakan bahwa mereka bertanya dan mencari informasi
tentang penyakit kepada petugas kesehatan maupun orang di sekitar tentang
penyakit dan bagaimana perawatannnya. Namun, tidak semua responden
melakukan hal tersebut secara aktif, beberapa di anataranya cukup menerima
informasi yang diberikan oleh Dokter ataupun Perawat ketika anak mereka
dirawat di rumah sakit.
d. Aspek Budaya
Dua responden mengakui adanya suatu doa atau upacara bersama yang biasa
dilakukan untuk anak yang sakit menurut budaya mereka.
2. Pengalaman Tanpa Akhir
a. Stres
Semua responden menyatakan adanya stress selama mengasuh anak mereka
ketika merawat di rumah dan di rumah sakit.
b. Tekanan Ekonomi
Rata-rata responden merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat dalam
mengasuh anak yang sakit kronis disebabkan oleh berbagai macam alasan.
Orang tua harus mengeluarkan dana untuk biaya perawatan rutin dan harus
memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus memenuhi biaya pendidikan
anaknya.
c. Gangguan Fisiologis dan fisik
Gangguan fisiologis dan fisik seperti ganggguan tidur dan kelelahan adalah
hal yang biasa dialami oleh responden selama merawat anak yang sakit
terutama ketika harus menjaga di rumah sakit.
d. Pasrah dan Menunjukkan Penerimaan
Setelah menjalani dan mengikuti beberapa kali pengobatan terhadap anaknya,
stress responden mengalami penurunan. Keluarga menjadi pasrah dan sudah
menerima keaadaan anak mereka termasuk masa depannya maupun semua
prosedur perawatan yang akan mereka jalani untuk anaknya.
e. Mencari Bantuan dari Keluarga, Lingkungan maupun Lembaga Terkait
Responden mengatakan membutuhkan bantuan dari keluarga mereka,
lingkungan maupun lembaga-lembaga yang behubungan dengan penyakit
anak mereka dalam bentuk dukungan, materi maupun informasi.
3. Dampak Penyakit Kronis Terhadap Keluarga
a. Keterbatasan
Keluarga yang bertanggungjawab dalam perawatan anak atau anggota
keluarga mereka yang sakit kronis memiliki keterbatasan dalam ruang gerak
karena pengaruh dari penyakit kronis yang diderita anak mereka.
b. Persaingan Saudara Sekandung
Dua responden mengeluhkan adanya persaingan antar saudara sekandung
dalam bentuk perasaan cemburu dan iri karena perbedaan perhatian dari orang
tua.
c. Lebih Perhatian dengan Pola Hidup dan Nutrisi Anak
Lima orang Responden menyadari bahwa pola hidup dan nutrisi yang dijalani
oleh anak-anak mereka akan mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak
mereka. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi bagian dari tugas keluarga
untuk lebih menjaga dan memperhatikannya.
4. Kekhawatiran terhadap Masa Depan Anak
Tiga orang responden menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap masa
depan anaknya jika ditanyakan tentang bagaimana harapan mereka terhadap
anaknya di masa yang akan datang.
I. Dampak atau Permasalahan yang di Alami Oleh Orangtua yang Memiliki
Anak Sakit Kronis
(Friedman dalam Setia Asyanti, 2013) menyebutkan bahwa keluarga
sebenarnya memiliki 5 fungsi dasar yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan.
Berkaitan dengan fungsi yang terakhir, keluarga memiliki kewajiban
melaksanakan praktik asuhan kesehatan yaitu mencegah terjadinya gangguan
kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sedang sakit. Pada penyakit
kronis yang lebih berfokus pada perawatan, orangtua seringkali merasa sendirian
dalam berjuang menghadapi stressor yang terus berlangsung dan beragam.
Meskipun stressor ini bervariasi sepanjang waktu, namun bisa dikategorisasikan
dalam 4 macam situasi yaitu saat diagnosa, selama waktu transisi perkembangan
penyakit, hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan perawatan kesehatan anak,
dan ketika anak mengalami kekambuhan penyakit dan rawat inap. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Saat diagnosa
Ketidakpastian tentang kondisi anak atau potensi yang akan terjadi pada
anak merupakan stressor terbesar bagi orangtua selain itu potensi berpisah
dengan anak, perubahan peran pengasuhan dan keterbatasan peran juga
diidentifikasi sebagai sumber stressor bagi orang tua (Mu dan Tomlinson
dalam Setia Asyanti, 2013). Berbagai masalah tersebut, tentunya
menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada orang tua, dalam berbagai
penelitian terbukti bahwa perasaan orangtua beragam saat menerima
diagnosis penyakit anaknya, mulai dari shock, tidak percaya, menolak, dan
marah (Austin dalam Setia Asyanti, 2013). Perasaan lain yang muncul
adalah putus asa, depresi, frustasi dan bingung. Perasaan bersalah, merasa iri
kurang berarti, kurang percaya diri juga merupakan respon yang umum
terjadi (Mintzer dkk, dalam Setia Asyanti, 2013), (Stevens, dalam Setia
Asyanti, 2013).
2. Selama transisi perkembangan penyakit
Anak yang menderita sakit kronis tetap perlu mencapai perkembangan
seperti anak yang sehat pada umumnya. Hanya saja kondisi sakit kronis ini
sering kali menghambat mereka dalam memenuhi tuntutan perkembangan
kognitif, fisik dan emosi. Hal inilah yang sering kali membuat orang tua
berulang kali merasakan kesedihan amat mendalam dan merasa bahwa diri
mereka tidak bisa mengurus anak mereka dengan baik. Orang tua yang
mengalami cemas dikarenakan anaknya menderita thalaemia akan
melakukan tindakan overprotektif, perasaan tanggung jawab dan rasa
bersalah pada anaknya, mengalami gangguan tidur serta merasa tidak
berharga dalam menghadapi masalah (Jenerette & Valrie, 2010). Penelitian
Yumazaki (2006) pada orang tua dengan anak thalasemia kecenderungan
mengalami gangguan pada mental dan fungsi sosial. Gangguan psikologis
yang ditemukan seperti perasaan bersalah, marah, sedih, dan tidak percaya,
takut tertekan dan cemas dapat dirasakan menetap sampai 5 tahun dan dapat
kembali normal setelah beberapa tahun (Norberg & Boman, 2008).
3. Berkaitan dengan kebutuhan perawatan anak
Banyak saran perawatan kesehatan untuk anak mereka dalam kesehariannya
yang cukup menyita waktu, tidak menyenangkan bahkan dirasakan
memberatkan. Melihat anak mereka yang merasakan kesakitan akibat
perawatan ini sering kali membuat orang tua merasa bersalah dan merasa
kurang berharga
4. Ketika anak mengalami kekambuhan dan rawat inap
Kekambuhan merupakan sebuah situasi yang terkadang mengharuskan anak
untuk menjalani rawat inap rumah sakit. Rawat inap ini akan mengganggu
rutinitas keluarga dan menempatkan orangtua pada posisi membagi waktu
antara tanggung jawab normal dan anak yang di rumah sakit. Selain itu,
kehilangan kontrol dan perasaan tidak berdaya membuat orangtua
melakukan perilaku mengontrol yang berlebihan dan terlalu melindungi anak
(Faulner, dalam Setia Asyanti, 2013).
Tidak semua keluarga dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan cepat
ketika menghadapi stressor tersebut. Dampak yang dirasakan sangat beragam,
baik secara sosial, ekonomi maupun psikologis. Berkaitan dengan dampak sosial,
(Lawrence dalam Setia Asyanti, 2013) menyebutkan hasil beberapa studi tentang
kondisi keluarga dengan anak berpenyakit kronis yang membawa dampak negatif
terhadap hubungan antar pasangan, termasuk kurangnya waktu untuk pasangan,
problem komunikasi, angka perceraian lebih tinggi, meningkatnya konflik dalam
hubungan, meningkatnya tuntutan peran yang berlebihan dan menurunnya
kepuasan hubungan.
Selain yang berkaitan dengan hubungan antar orangtua, penyakit kronis anak
juga berdampak pada kondisi ekonomi keluarga. Perawatan pada anak dengan
penyakit kronis membutuhkan biaya yang sangat mahal, dan biaya ini menjadi
lebih mahal lagi karena penyakit ini tetap ada dalam periode yang cukup panjang.
Selain itu juga dapat berdampak pada masalah psikologis keluarga yang
memiliki anak dengan penyakit kronik. Karakteristik yang umum terjadi pada
keluarga biasanya dapat berupa kesedihan mendalam orangtua, meskipun
orangtua biasanya tidak menampakkan depresi secara nyata dan suasana hati
orang tua membaik seiring berlalunya waktu dan beberapa masalah teratasi.
Namun depresi ini bisa menyerang sewaktu-waktu. Depresi cenderung menjadi
akut ketika orang tua menyadari bahwa anak tidak mencapai perkembangan yang
berarti atau ketika orangtua melihat anak lain berkembang menjadi lebih mandiri
dibandingkan anaknya. Upaya keluarga untuk beradaptasi dengan anak dengan
penyakit kronis mengakibatkan adanya peningkatan level stress, kecemasan dan
depresi pada orangtuanya (Brownbridge & Fielding, dalam Setia Asyanti, 2013).
Depresi berlebih yang dialami oleh keluarga dengan anak penyakit kronis
dapat menyebabkan terjadinya gangguan kecemasan atau anxiety disorder pada
orangtua karena terlalu khawatir mengenai kondisi anak mereka. (Menurut Stuart
dalam Reta Renylda, 2018), kecemasan merupakan timbulnya rasa takut yang
tidak jelas dan disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi
dan ketidakamanan. Faktor kecemasan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti usia, jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kondisi medis (diagnosis
penyakit), tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Usia merupakan salah satu
faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya kecemasan, dimana usia muda
lebih mudah mengalami kecemasan dibanding yang tua, namun dapat pula
sebaliknya. Pada dewasa lanjut, kecemasan karena faktor usia dapat muncul
karena usia sedikit banyaknya berkaitan dengan pengalaman masa lalu terhadap
hal yang sama (Kaplan & Saddock dalam Reta Renylda, 2018). Selain usia dan
tingkat pendidikan, kecemasan juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan jenis kelamin. Kecemasan merupakan respon emosional orang tua yang
sering dialami oleh orang tua ketika ada masalah kesehatan yang terjadi pada
anaknya. Adanya dukungan dan informasi kesehatan yang adekuat tentang
penyakit yang diderita anaknya akan dapat membantu mengurangi kecemasan.
Apabila dilihat lebih spesifik, seorang ibu memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami permasalahan psikologis bila dibandingkan dengan ayah. Dalam studi
longitudinal yang dilakukan oleh (Watson dalam Setia Asyanti, 2013) terhadap
keluarga yang memiliki anak dengan penyakit kronis ditemukan hasil yaitu:
1) Ibu memiliki skor stress dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ayah,
2) Ibu dan ayah yang memiliki anak yang usianya lebih dari 10 tahun
memiliki skor stress dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
orangtua yang memiliki anak yang kurang dari 10 tahun.
3) Ibu dengan beban perawatan yang tinggi memiliki peningkatan skor
stress, kecemasan dan depresi.
Hal tersebut dapat terjadi disebabkan ibu secara tradisional, merupakan
perawat utama ketika anak sakit, meskipun tidak bisa dipungkiri keterlibatan
ayah dalam perawatan anak juga sangat berpengaruh.
Penyakit kronis pada anak membawa dampak yang unik pada setiap keluarga.
Meskipun disebutkan ada dampak sosial, ekonomi, psikologis namun
pengaruhnya terhadap masing-masing keluarga bisa beragam. Pada satu keluarga
salah satu dampak bisa jadi lebih dominan dibandingkan dampak yang lain.
Sebagai contoh, pada keluarga yang secara ekonomi kurang beruntung, dampak
ekonomi mungkin menjadi hal yang paling dirasakan dibandingkan dampak yang
lain. Lain halnya bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki dukungan
ekonomi yang berlebih. Meskipun demikian, masing-masing dampak tersebut
tidaklah berdiri sendiri. Masalah ekonomi bisa memicu kemunculan masalah lain
seperti tekanan psikologis atau masalah sosial. Sebagai contoh, keluarga yang
kekurangan biaya untuk perawatan anak secara terus menerus bisa mengalami
stress atau perasaan tidak berdaya. Kondisi emosi yang tidak mendukung ini bisa
berakibat memunculkan ketegangan dalam hubungan antara kedua orang.
Dipihak lain, ada keluarga yang awalnya memiliki permasalahan kelelahan baik
fisik maupun psikis akibat merawat anak secara terus menerus. Dampak
kelelahan ini dapat memunculkan emosi negatif seperti kesedihan, stress bahkan
depresi. Sebagai akibatnya kualitas hubungan antar pasangan yang kurang baik
yang pada akhirnya memicu konflik dalam perkawinan
Koping pada orang tua yang memiliki anak dengan penyakit kronis
Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua keluarga merasakan dampak negatif
yang sama bahkan ada sejumlah keluarga yang justru merasakan dampak positif.
Efek dari memiliki anak dengan penyakit kronis pada hubungan orang dewasa
lebih ditentukan oleh beratnya penyakit, perkembangan penyakit, prognosis dan
juga kualitas hubungan sebelum anak sakit. Hasil ini justru sangat menarik,
karena disaat keluarga lain menghadapi problem psikologis dan sosial akibat
penyakit kronis anak, terdapat beberapa keluarga yang justru menjadikan
penyakit tersebut sebagai sarana untuk saling mendekatkan diri dan memberi
dukungan. Meskipun tidak mudah, nampaknya keluarga yang memiliki
kohesivitas yang meningkat justru menjadikan sakit anak dan masalah yang
muncul pada setiap tahapan sebagai sarana untuk bahu membahu, saling berbagi
tanggung jawab dan saling mendukung ketika salah satu merasakan emosi yang
negatif.
Orang tua yang memiliki kualitas hubungan yang baik sebelum anak sakit
akan memberi dampak positif ketika menghadapi anak yang sakit kronis.
Meskipun bukan berarti tidak ada masalah atau tidak terjadi pertengkaran, namun
permasalahan orang tua ini bisa diselesaikan dan tidak menjadi lebih buruk
ketika menghadapi kondisi anak yang sakit kronis. Selain kualitas hubungan
antar orangtua yang baik, orangtua perlu mencari dukungan sosial untuk
menghadapi berbagi permasalahan yang muncul baik saat diagnosa, transisi
perkembangan penyakit, kebutuhan perawatan maupun saat kekambuhan.
Pentingnya dukungan sosial ini diungkapkan oleh (Melnyk dalam Setia Asyanti,
2013)berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya yang menemukan bahwa
berbagai dukungan sosial ternyata berarti bagi orangtua untuk menurunkan level
stress saat menghadapi anak sakit maupun rawat inap.
Meskipun dukungan sosial pada orangtua ini penting, namun intervensi koping
yang terbukti efektif bagi orang tua dalam menghadapi anak sakit kronis
nampaknya masih kurang. Beberapa penelitian mengungkap intervensi yang
sering dilakukan berkisar pada 4 hal yaitu :
a) Intervensi pendidikan mengenai penyakit spesifik anak,
b) Intervensi yang menekankan pada stress
c) Pelatihan ketrampilan pemecahan masalah
d) Intervensi keperilakuan-pendidikan untuk meningkatkan koping (Melnyk
dalam Setia Asyanti, 2013)
Selanjutnya, agar lebih efektif keempat hal tersebut perlu didukung dengan
tim interdisipliner yang bertugas mengkomunikasikan secara rutin tentang
kondisi anak dan rencana tritmen ke depan , membuat petunjuk bagi guru di
sekolah mengenai kondisi anak dan kebutuhan khususnya, menyediakan daftar
sumber daya masyarakat yang bisa dihubungi orang tua anak, advokasi (Melnyk
dalam Setia Asyanti, 2013). Memberdayakan orangtua agar bisa secara optimal
mengatasi permasalahannya akan menjadikan orang tua dalam kondisi lebih siap
dalam menghadapi penyakit anak maupun permasalahan anak sebagai dampak
dari penyakitnya. Kesiapan orang tua ini tidak saja membuat mereka bisa berfikir
jernih, memiliki energi untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang muncul
selama anak mengalami sakit, maupun menemukan cara efektif tersendiri dalam
merespon sakit pada anak. Jika kondisi tersebut terjadi, kerjasama dengan
profesional kesehatan dalam rangka perawatan anak pun akan semakin optimal.
Orang tua akan mampu menghadapi berbagai kejadian saat kekambuhan dan
rawat inap, perawatan sehari-hari yang menyita waktu serta dampak dari
penyakit anak pada berbagai aspek perkembangan anaknya.

J. Peran Perawat
1. Advokat
Perawat dituntut sebagai pembela bagi anak/keluarga pada saat mereka
membutuhkan pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan/menentukan
pilihan, dan meyakinkan keluarga untuk menyadari pelayanan kesehatan yang
tersedia, pengobatan, dan prosedur yang dilakukan dengan cara melibatkan
keluarga.
2. Pendidik
Perawat memberi penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua anak
maupun secara tidak langsung dengan menolong orang tua/anak memahami
pengobatan dan perawatan anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan
anaknya, perawatan anak selama anak di rawat di rumah sakit, serta perawatan
lanjut untuk persiapan pulang ke rumah. Tiga domain yang dapat diubah oleh
perawat melalui pendidikan kesehatan adalah pengetahuan, keterampilan, serta
sikap keluarga dalam hal kesehatan, khususnya perawatan anak sakit.
3. Konselor
Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa
dukungan/ dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat memberi
konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal inilah
yang membedakan layanan konseling dengan pendidikan kesehatan. Dengan
cara mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara fisik,
perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak
tentang masalah anak dan keluarganya, dan membantu mencarikan alternatif
pemecahannya.
4. Koordinator
Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi
dengan anggota tim kesehatan lain, dengan tujuan terlaksananya asuhan yang
holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci untuk menjadi
koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada di samping pasien.
Keluarga adalah mitra perawat. Oleh karena itu, kerja sama dengan keluarga
juga harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan
informasi dari keluarga saja, melainkan seluruh rangkaian proses perawatan
anak harus melibatkan keluarga secara aktif.
5. Pembuat keputusan etik
Perawat diyakini berperan sebagai pembuat keputusan etik dengan penekanan
pada hak pasien untuk membuat otonomi, menghindari hal-hal yang merugikan
pasien dan keuntungan asuhan keperawatan, yaitu meningkatkan kesejahteraan
pasien.
6. Peneliti
Perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh dalam upaya menemukan
masalah-masalah keperawatan anak yang harus diteliti.
Daftar Pustaka

Lewer, Helen. 1996. Learning To Care Pediatric Ward. Jakarta: EGC


Meadow, Sir Roy dan Simon J. Newell. 2003. Lecture Notes: Pediatrika. Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC
Yuliastati dan Nona Suwarno. 2016. Keperawatan Anak. Jakarta: Pusdik SDM
Kesehatan
Bakhtiar. (2010). Faktor Risiko, Diagnosis, dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada
Bayi dan Anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol.9 No.2 Februari 2010:188-198
Dharmayanti, Hapsari, Azhar. (2015). Asma pada Anak di Indonesia: Penyebab dan
Pencetus. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 9, No. 4
Hutahaen, Frederica VA dan Meita. (2017). Hubungan Jumlah Transfusi Dengan
Kadar TSH Pada Thalassemia. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine
Diponegoro University
Rohmadheny, Prima Suci. (2016). Studi Kasus Anak Downsyndrome Case Study Of
Down Syndrome Child. Jurnal CARE Edisi Khusus Temu Ilmiah (Vol. 03 No.3
Maret 2016)
Setiaji, dkk. (2014). Pengaruh Penyuluhan Tentang Penyakit Epilepsi Anak Terhadap
Pengetahuan Masyarakat Umum. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine
Diponegoro University
Utomo AHP. (2013) Cerebral Palsy Tipe Spastic Diplegy Pada Anak Usia Dua
Tahun. Medula, Volume 1, Nomor 4, Oktober 2013
Wulandari, Listya E. (2016). Juvenille Idiopatic Arthritis. Repository Universitas
Gajah Mada Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Smeltzer, S. C & Bare, B. G. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddart. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Bechrman, E Richard. 2000. Ilmu Kesehatan Anak vol. 1. Jakarta: EGC
Jurnal. PALLIATIVE CARE PADA PENDERITA PENYAKIT TERMINAL Cemy
Nur Fitria

Anda mungkin juga menyukai