Disusun Oleh:
Mahasiswa/i Keperawatan Anak II
Kelas Tutor F
A. Pengertian
Penyakit Kronis adalah permasalahan kesehatan serius dan penyebab
kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2008,, penyakit kronis menyebabkan
kematian pada 36 juta orang di seluruh dunia atau setara dengan 36% jumlah
kematian di dunia (WHO, 2013).
Menurut Mattson (dalam Bradford, 2002) menjelaskan bahwa penyakit kronis
adalah suatu penyakit menahun yang dapat berlangsung lama dan fatal, penyakit
ini diasosiasikan dengan kerusakan atau penurunan fungsi fisik dan mental.
Menurut Taylor (2012) penyakit kronis juga merupakan penyakit yang
berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun, namun biasanya tidak dapat
disembuhkan melainkan hanya diberikan penanganan kesehatan.
Sedangkan penyakit terminal adalah suatu proses yang progresif menuju
kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu.
B. Etiologi
1. Genetik : Diabetes Melitus tipe 1, thalassemia, sindroma down,
fenilketonurea, sinroma fragil.
2. Penyakit Infeksi sekunder : ensefalitis, polio, jantung, HIV/ADIS, CMV,
toxoplasma
3. Lingkungan : keracunan logam berat
4. Nutrisi : defiensi nutria, vitamin A, lodium
5. Cedera : kecelakaan, kekerasan
6. Yang tidak diketahui sebabnya : kanker, autism, ADHD, cacat bawaan
genetic, dan ada juga penyakit alergi seperti asma.
C. Penyakit Terminal Pada Anak
1. PENGERTIAN
Keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat
tidak ada harapan lagi bagi klien untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat
disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.
Kondisi terminal adalah suatu proses progresif menuju kematian berjalan
melaui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi
individu (Kubler-Ross. 1969)
Kondisi terminal adalah suatu proses progresif menuju kematian berjalan
melaui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi
individu (Carpeni-to, 2007)
2. JENIS PENYAKIT TERMINAL
a. HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan
penyakit AIDS yang termasuk kelompok retrovirus. Seseorang yang
terinfeksi HIV, akan mengalami infeksi seumur hidup. Kebanyakan orang
dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap asimtomatik (tanpa tanda dan gejala dari
suatu penyakit) untuk jangka waktu lama. Meski demikian, sebetulnya
mereka telah dapat menulari orang lain (Permenkes, 2013). AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome. “Acquired” artinya
tidak diturunkan, tetapi didapat; “Immune” adalah sistem daya tangkal atau
kekebalan tubuh terhadap penyakit; “Deficiency” artinya tidak cukup atau
kurang; dan “Syndrome” adalah kumpulan tanda dan gejala penyakit. AIDS
adalah bentuk lanjut dari infeksi HIV, yang merupakan kumpulan gejala
menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV berjalan sangat progresif
merusak sistem kekebalan tubuh, sehingga penderita tidak dapat menahan
serangan infeksi jamur, bakteri atau virus (Permenkes, 2013).
Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak Ada tiga faktor
utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu faktor
ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.
1) Faktor Ibu
Jumlah virus (viral load)
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan
dan jumlah virus dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya
sangat mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak. Risiko
penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang
dari 1.000 kopi/ml) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000
kopi/ml.
Jumlah sel CD4
Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke
bayinya. Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV
semakin besar. - Status gizi selama hamil Berat badan rendah serta
kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah
virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, Infeksi Menular Seksual, infeksi
saluran reproduksi lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko penularan HIV ke bayi.
Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses,
dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV
melalui ASI.
2) Faktor Bayi
Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir
Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih
rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan
tubuhnya belum berkembang dengan baik.
Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan
semakin besar.
Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika
diberikan ASI.
3) Faktor obstetrik
Pada saat persalinan, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir.
Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari
ibu ke anak selama persalinan adalah :
Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada
persalinan melalui bedah sesar (sectio caesaria).
Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya
kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu.
Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan
risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban
pecah kurang dari 4 jam.
Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan
risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
(Permenkes, 2013).
Perawatan paliatif dan fase terminal Pada anak dengan infeksi HIV sering
merasa tidak nyaman sehingga perawatan menjadi sangat penting. Buatlah
semua keputusan bersama ibunya dan komunikasikan secara jelas kepada
petugas yang lain. Pertimbangkan perawatn paliatif di rumah, beberapa
pengobatan untuk mengatasi rasa nyeri dan menghilangkan kondisi sulit
b. Leukimia
Leukemia merupakan penyakit akibat proliferasi (bertambah banyak atau
multiplikasi) patologi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan
biasanya berakhir fatal. (Nursalam, susilaningrum dan Utami, 2005).
Leukemia merupakan keganasan pada anak. Leukemia merupakan kanker
yang berasal dari sumsum tulang dengan karakteristik meningkatnya jumlah
sel darah putih.
Jenis Leukemia
Berdasarkan perjalanan penyakitnya , leukemia dapat dibgi menjadi :
1) Leukemia Lymphoblastik Akut (LLA)
2) Leukemia Myeloblastik Akut (LMA)
3) Leukemia Lymphoblastik Kronik (LLK)
4) Leukemia Myeloblastik Kronik (LMK).
Di antara jenis-jenis leukemia tersebut maka jenis LLA adalah yang paling
banyak terjadi pada anak-anak.
Penyebab Penyebab leukemia sampai sekarang belum diketahui secara jelas,
diduga bahwa factor infeksi, virus, zat kimia, radiasi dan obat-obatan dapat
mempengaruhi leukemia. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sebagai
pemicu terjadinya leukemia. Faktor keturunan diduga mempengaruhi
timbulnya kanker. Terpapar sinar X pada ibu dengan kehamilan muda dapat
beresiko terjadinya kanker pada janin yang dikandungnya. (Nursalam,
Susilaningrum dan utami, 2005).
c. Penyakit / Cacat jantung
Penyakit Jantung Bawaan
Penyakit jantung bawaan (PJB) disebut juga defek jantung bawaan,
merupakan istilah umum untuk kelainan pada struktur jantung dan pembuluh
darah besar yang muncul sejak lahir yang sering ditemukan dan merupakan
penyebab kematian terbanyak dari semua jenis kelainan bawaan. Secara
umum, insiden PJB adalah 8 sampai 10 dari 1000 kelahiran hidup. Namun,
frekuensi ini hanya estimasi dan kurang akurat. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa terdapat variasi secara geografik pada insiden PJB.1,2
Sebagian besar PJB ini terjadi akibat kesalahan embriogenesis antara minggu
ke-3 sampai minggu ke8 gestasi, ketika struktur utama jantung sudah
terbentuk dan mulai untuk berfungsi. Pada sebagian besar kasus, penyebab
PJB tidak diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, pajanan terhadap
sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen penyakit jantung
bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan dapat
menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai jenis penyakit
genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti
sindrom Down, Turner, dan lain-lain.
d. Tumor
1) Tumor Wilm (Nefroblastoma)
Nefroblastoma merupakan tumor ginjal embrionik yang biasanya timbul
sebagai massa abdominal unilateral selama masa anak-anak awal. Massa
ini seringkali solid dan kistik dalam ginjal. Hematuria mikroskopik
ditemukan pada sepertiga kasus, namun hematuria makroskopik jarang
ditemukan. Eksisi bedah dan kemoterapi sering menghasilkan
penyembuhan sempurna.
2) Tumor tulang
Sarcoma Ewnig dan osteosarcoma biasanya terjadi pada tulang panjang
dan memberikan gejala nyeri, pembekakan, atau fraktur patologis. Terapi
ditujukan pada pengangkatan tumor, kemudian diikuti dengan penggantian
sendi dengan endoprostetik sehingga menghindarkan amputasi.
Kemoterapi juga diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Radioterapi
mungkin diperlukan. Setengah anak bisa hidup dalam jangka panjang.
e. Fibrosis kistik
Gangguan herediter dimana sejumlah besar material kental disekresikan.
Fibrosis kistik mempengaruhi kelenjar keringat, bronki, pancreas, dan
kelenjar pensekresi-mukus dari usus halus. Gambaran patologis mencakup
konsentrasi natrium dan klorida yang tinggi dalam keringat dan sekresi
mucus serta eliminasi abnormal. Sekresi mucus kental melalui jalan napas
yang menimbulkan obstruksi jalan napas yang mengakibatkan berbagai
kombinasi atelektasis, pneumonia, bronchitis, emfisema, dan kondisi
pernapasan lain.
E. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki
faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan
kerusakan fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara
sempurna (Smeltzer & Bare, 2010). Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah
batuk dan demam yang berlangsung lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda,
diare berkepanjangan, kesulitan dalam buang air kecil, dan warna kulit abnormal.
Manajemen penyakit
Ciri hidup yang signifikan dengan seorang anak dengan kondisi jangka
panjang terkait dengan memberikan intervensi medis dan keperawatan. Untuk
mengendalikan kondisi anak mereka, orang tua perlu: pengetahuan tentang
kondisi dan perawatan untuk belajar dari episode penyakit dan menggunakan
pengalaman ini untuk mengidentifikasi dan merespons gejala penyakit
berikutnya pada anak mereka dan untuk mengembangkan hubungan yang
efektif dengan para profesional kesehatan.
Orang tua menginginkan informasi tentang: penyakit dan perawatan yang
mengakses layanan dan mendukung jaringan dan strategi yang akan
membantu mereka mengatasinya. Orang tua menggambarkan kesulitan dalam
mendapatkan informasi dan banyak yang tidak puas dengan informasi yang
diberikan oleh para profesional kesehatan terutama pada saat diagnosis awal.
Kepuasan orang tua dengan hubungan mereka dengan profesional kesehatan
bervariasi dan mereka mengidentifikasi berkomunikasi dengan profesional
sebagai stres. Hubungan dibangun atas dasar saling menghormati dan
kepercayaan yang bertahan dari waktu ke waktu dan menyediakan mekanisme
dukungan yang konsisten setelah dikembangkan. Hubungannya buruk ketika
orang tua merasa diremehkan misalnya dicap sebagai 'tidak patuh' jika
keputusan tentang perawatan anak mereka tidak sesuai dengan perspektif
profesional.
Konteks sosial
Kehidupan keluarga terganggu karena ketidakpastian kondisi anak seperti
frekuensi masuk rumah sakit yang akut dan harus menemani anak untuk terapi
dan janji temu klinik. Untuk mengelola gangguan ini, satu orangtua
merespons kebutuhan anak dengan kondisi jangka panjang, sementara yang
lain memenuhi kebutuhan saudara kandung.
Meskipun berfungsi sebagai dua 'subunit' yang menghalangi upaya
mempertahankan normalitas, ada aspek-aspek positif dari gangguan ini.
Misalnya, kohesi keluarga menguat karena harus berkomunikasi secara efektif
tentang berbagi tugas memberi perawatan dan keluarga setiap hari. Terlepas
dari diagnosis anak, orang tua berusaha untuk menciptakan lingkungan
keluarga yang normal, yang lebih mungkin dicapai jika orang tua memiliki
pandangan positif hidup dengan anak mereka dengan kondisi jangka panjang,
berbagi tanggung jawab untuk rutinitas merawat dan proaktif dalam
mengelola mereka. kondisi anak.
Hubungan keluarga tegang, terlepas dari kondisi anak, dan persepsi orang tua
yang hidup dengan anak dengan kondisi jangka panjang menempatkan mereka
pada risiko gangguan perkawinan. Hambatan utama untuk mempertahankan
kohesi keluarga adalah waktu yang diperlukan untuk memenuhi komitmen
pengasuhan sehingga orang tua memiliki kesempatan terbatas untuk
menghabiskan waktu sendirian. Berbagai pendekatan untuk mengelola kondisi
anak juga menciptakan ketegangan keluarga.
Sebaliknya, beberapa penelitian melaporkan hubungan orang tua diperkuat, ini
dikaitkan dengan komitmen bersama untuk memenuhi kebutuhan anak mereka
dan pengakuan beban perawatan yang ditempatkan pada pengasuh utama
anak. Membangun jejaring dukungan sosial merupakan aspek penting dalam
mengatasi kondisi anak. Informasi tentang ketersediaan kelompok pendukung
dan jaringan spesialis terjadi secara kebetulan alih-alih diberikan sebagai
bagian integral dari pemberian perawatan.
3. Pengalaman Keluarga II
Hasil Penelitian
Dari hasil wawancara dengan responden secara langsung mengenai
pengalaman keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis, maka
peneliti mengidentifikasikan uraian hasil wawancara tersebut dalam empat
katagori, yaitu pengalaman awal mengasuh anak dengan penyakit kronis ,
pengalaman tanpa akhir, dampak penyakit kronis terhadap keluarga dan
kekhawatiran masa depan anak dengan penyakit kronis.
1. Pengalaman Awal Mengasuh Anak dengan Penyakit Kronis
a. Respon Emosional
Masing-masing responden merasakan respon emosional yang berbeda-beda
pada awal pengasuhan anak mereka. Perasaan sedih, bingung dan cemas
merupakan hal pertama yang dirasakan oleh keluarga. Hal itu dapat dilihat
dari beberapa pernyataan responden yang mengungkapkan hal tersebut secara
langsung maupun melalui ekspresi responden. Dua orang responden mengaku
sedih begitu mengetahui anak mereka menderita penyakit kronis.
b. Membawa Anaknya ke Pengobatan di luar Medis
Dua orang responden membawa anaknya ke pengobatan non medis berupa
pengobatan alternatif ataupun tradisional dan sekaligus memanfaatkan
pelayanan medis untuk merawat anaknya. Namun, akhirnya mereka memilih
untuk konsisten membawa anak mereka ke pelayanan medis.
c. Mencari Informasi
Semua responden menyatakan bahwa mereka bertanya dan mencari informasi
tentang penyakit kepada petugas kesehatan maupun orang di sekitar tentang
penyakit dan bagaimana perawatannnya. Namun, tidak semua responden
melakukan hal tersebut secara aktif, beberapa di anataranya cukup menerima
informasi yang diberikan oleh Dokter ataupun Perawat ketika anak mereka
dirawat di rumah sakit.
d. Aspek Budaya
Dua responden mengakui adanya suatu doa atau upacara bersama yang biasa
dilakukan untuk anak yang sakit menurut budaya mereka.
2. Pengalaman Tanpa Akhir
a. Stres
Semua responden menyatakan adanya stress selama mengasuh anak mereka
ketika merawat di rumah dan di rumah sakit.
b. Tekanan Ekonomi
Rata-rata responden merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat dalam
mengasuh anak yang sakit kronis disebabkan oleh berbagai macam alasan.
Orang tua harus mengeluarkan dana untuk biaya perawatan rutin dan harus
memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus memenuhi biaya pendidikan
anaknya.
c. Gangguan Fisiologis dan fisik
Gangguan fisiologis dan fisik seperti ganggguan tidur dan kelelahan adalah
hal yang biasa dialami oleh responden selama merawat anak yang sakit
terutama ketika harus menjaga di rumah sakit.
d. Pasrah dan Menunjukkan Penerimaan
Setelah menjalani dan mengikuti beberapa kali pengobatan terhadap anaknya,
stress responden mengalami penurunan. Keluarga menjadi pasrah dan sudah
menerima keaadaan anak mereka termasuk masa depannya maupun semua
prosedur perawatan yang akan mereka jalani untuk anaknya.
e. Mencari Bantuan dari Keluarga, Lingkungan maupun Lembaga Terkait
Responden mengatakan membutuhkan bantuan dari keluarga mereka,
lingkungan maupun lembaga-lembaga yang behubungan dengan penyakit
anak mereka dalam bentuk dukungan, materi maupun informasi.
3. Dampak Penyakit Kronis Terhadap Keluarga
a. Keterbatasan
Keluarga yang bertanggungjawab dalam perawatan anak atau anggota
keluarga mereka yang sakit kronis memiliki keterbatasan dalam ruang gerak
karena pengaruh dari penyakit kronis yang diderita anak mereka.
b. Persaingan Saudara Sekandung
Dua responden mengeluhkan adanya persaingan antar saudara sekandung
dalam bentuk perasaan cemburu dan iri karena perbedaan perhatian dari orang
tua.
c. Lebih Perhatian dengan Pola Hidup dan Nutrisi Anak
Lima orang Responden menyadari bahwa pola hidup dan nutrisi yang dijalani
oleh anak-anak mereka akan mempengaruhi kehidupan dan kesehatan anak
mereka. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi bagian dari tugas keluarga
untuk lebih menjaga dan memperhatikannya.
4. Kekhawatiran terhadap Masa Depan Anak
Tiga orang responden menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap masa
depan anaknya jika ditanyakan tentang bagaimana harapan mereka terhadap
anaknya di masa yang akan datang.
I. Dampak atau Permasalahan yang di Alami Oleh Orangtua yang Memiliki
Anak Sakit Kronis
(Friedman dalam Setia Asyanti, 2013) menyebutkan bahwa keluarga
sebenarnya memiliki 5 fungsi dasar yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi
reproduksi, fungsi ekonomi dan fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan.
Berkaitan dengan fungsi yang terakhir, keluarga memiliki kewajiban
melaksanakan praktik asuhan kesehatan yaitu mencegah terjadinya gangguan
kesehatan dan atau merawat anggota keluarga yang sedang sakit. Pada penyakit
kronis yang lebih berfokus pada perawatan, orangtua seringkali merasa sendirian
dalam berjuang menghadapi stressor yang terus berlangsung dan beragam.
Meskipun stressor ini bervariasi sepanjang waktu, namun bisa dikategorisasikan
dalam 4 macam situasi yaitu saat diagnosa, selama waktu transisi perkembangan
penyakit, hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan perawatan kesehatan anak,
dan ketika anak mengalami kekambuhan penyakit dan rawat inap. Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Saat diagnosa
Ketidakpastian tentang kondisi anak atau potensi yang akan terjadi pada
anak merupakan stressor terbesar bagi orangtua selain itu potensi berpisah
dengan anak, perubahan peran pengasuhan dan keterbatasan peran juga
diidentifikasi sebagai sumber stressor bagi orang tua (Mu dan Tomlinson
dalam Setia Asyanti, 2013). Berbagai masalah tersebut, tentunya
menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada orang tua, dalam berbagai
penelitian terbukti bahwa perasaan orangtua beragam saat menerima
diagnosis penyakit anaknya, mulai dari shock, tidak percaya, menolak, dan
marah (Austin dalam Setia Asyanti, 2013). Perasaan lain yang muncul
adalah putus asa, depresi, frustasi dan bingung. Perasaan bersalah, merasa iri
kurang berarti, kurang percaya diri juga merupakan respon yang umum
terjadi (Mintzer dkk, dalam Setia Asyanti, 2013), (Stevens, dalam Setia
Asyanti, 2013).
2. Selama transisi perkembangan penyakit
Anak yang menderita sakit kronis tetap perlu mencapai perkembangan
seperti anak yang sehat pada umumnya. Hanya saja kondisi sakit kronis ini
sering kali menghambat mereka dalam memenuhi tuntutan perkembangan
kognitif, fisik dan emosi. Hal inilah yang sering kali membuat orang tua
berulang kali merasakan kesedihan amat mendalam dan merasa bahwa diri
mereka tidak bisa mengurus anak mereka dengan baik. Orang tua yang
mengalami cemas dikarenakan anaknya menderita thalaemia akan
melakukan tindakan overprotektif, perasaan tanggung jawab dan rasa
bersalah pada anaknya, mengalami gangguan tidur serta merasa tidak
berharga dalam menghadapi masalah (Jenerette & Valrie, 2010). Penelitian
Yumazaki (2006) pada orang tua dengan anak thalasemia kecenderungan
mengalami gangguan pada mental dan fungsi sosial. Gangguan psikologis
yang ditemukan seperti perasaan bersalah, marah, sedih, dan tidak percaya,
takut tertekan dan cemas dapat dirasakan menetap sampai 5 tahun dan dapat
kembali normal setelah beberapa tahun (Norberg & Boman, 2008).
3. Berkaitan dengan kebutuhan perawatan anak
Banyak saran perawatan kesehatan untuk anak mereka dalam kesehariannya
yang cukup menyita waktu, tidak menyenangkan bahkan dirasakan
memberatkan. Melihat anak mereka yang merasakan kesakitan akibat
perawatan ini sering kali membuat orang tua merasa bersalah dan merasa
kurang berharga
4. Ketika anak mengalami kekambuhan dan rawat inap
Kekambuhan merupakan sebuah situasi yang terkadang mengharuskan anak
untuk menjalani rawat inap rumah sakit. Rawat inap ini akan mengganggu
rutinitas keluarga dan menempatkan orangtua pada posisi membagi waktu
antara tanggung jawab normal dan anak yang di rumah sakit. Selain itu,
kehilangan kontrol dan perasaan tidak berdaya membuat orangtua
melakukan perilaku mengontrol yang berlebihan dan terlalu melindungi anak
(Faulner, dalam Setia Asyanti, 2013).
Tidak semua keluarga dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan cepat
ketika menghadapi stressor tersebut. Dampak yang dirasakan sangat beragam,
baik secara sosial, ekonomi maupun psikologis. Berkaitan dengan dampak sosial,
(Lawrence dalam Setia Asyanti, 2013) menyebutkan hasil beberapa studi tentang
kondisi keluarga dengan anak berpenyakit kronis yang membawa dampak negatif
terhadap hubungan antar pasangan, termasuk kurangnya waktu untuk pasangan,
problem komunikasi, angka perceraian lebih tinggi, meningkatnya konflik dalam
hubungan, meningkatnya tuntutan peran yang berlebihan dan menurunnya
kepuasan hubungan.
Selain yang berkaitan dengan hubungan antar orangtua, penyakit kronis anak
juga berdampak pada kondisi ekonomi keluarga. Perawatan pada anak dengan
penyakit kronis membutuhkan biaya yang sangat mahal, dan biaya ini menjadi
lebih mahal lagi karena penyakit ini tetap ada dalam periode yang cukup panjang.
Selain itu juga dapat berdampak pada masalah psikologis keluarga yang
memiliki anak dengan penyakit kronik. Karakteristik yang umum terjadi pada
keluarga biasanya dapat berupa kesedihan mendalam orangtua, meskipun
orangtua biasanya tidak menampakkan depresi secara nyata dan suasana hati
orang tua membaik seiring berlalunya waktu dan beberapa masalah teratasi.
Namun depresi ini bisa menyerang sewaktu-waktu. Depresi cenderung menjadi
akut ketika orang tua menyadari bahwa anak tidak mencapai perkembangan yang
berarti atau ketika orangtua melihat anak lain berkembang menjadi lebih mandiri
dibandingkan anaknya. Upaya keluarga untuk beradaptasi dengan anak dengan
penyakit kronis mengakibatkan adanya peningkatan level stress, kecemasan dan
depresi pada orangtuanya (Brownbridge & Fielding, dalam Setia Asyanti, 2013).
Depresi berlebih yang dialami oleh keluarga dengan anak penyakit kronis
dapat menyebabkan terjadinya gangguan kecemasan atau anxiety disorder pada
orangtua karena terlalu khawatir mengenai kondisi anak mereka. (Menurut Stuart
dalam Reta Renylda, 2018), kecemasan merupakan timbulnya rasa takut yang
tidak jelas dan disertai dengan perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan, isolasi
dan ketidakamanan. Faktor kecemasan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti usia, jenis kelamin, pengalaman sebelumnya, kondisi medis (diagnosis
penyakit), tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Usia merupakan salah satu
faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya kecemasan, dimana usia muda
lebih mudah mengalami kecemasan dibanding yang tua, namun dapat pula
sebaliknya. Pada dewasa lanjut, kecemasan karena faktor usia dapat muncul
karena usia sedikit banyaknya berkaitan dengan pengalaman masa lalu terhadap
hal yang sama (Kaplan & Saddock dalam Reta Renylda, 2018). Selain usia dan
tingkat pendidikan, kecemasan juga dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan jenis kelamin. Kecemasan merupakan respon emosional orang tua yang
sering dialami oleh orang tua ketika ada masalah kesehatan yang terjadi pada
anaknya. Adanya dukungan dan informasi kesehatan yang adekuat tentang
penyakit yang diderita anaknya akan dapat membantu mengurangi kecemasan.
Apabila dilihat lebih spesifik, seorang ibu memiliki kemungkinan lebih besar
mengalami permasalahan psikologis bila dibandingkan dengan ayah. Dalam studi
longitudinal yang dilakukan oleh (Watson dalam Setia Asyanti, 2013) terhadap
keluarga yang memiliki anak dengan penyakit kronis ditemukan hasil yaitu:
1) Ibu memiliki skor stress dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan ayah,
2) Ibu dan ayah yang memiliki anak yang usianya lebih dari 10 tahun
memiliki skor stress dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan
orangtua yang memiliki anak yang kurang dari 10 tahun.
3) Ibu dengan beban perawatan yang tinggi memiliki peningkatan skor
stress, kecemasan dan depresi.
Hal tersebut dapat terjadi disebabkan ibu secara tradisional, merupakan
perawat utama ketika anak sakit, meskipun tidak bisa dipungkiri keterlibatan
ayah dalam perawatan anak juga sangat berpengaruh.
Penyakit kronis pada anak membawa dampak yang unik pada setiap keluarga.
Meskipun disebutkan ada dampak sosial, ekonomi, psikologis namun
pengaruhnya terhadap masing-masing keluarga bisa beragam. Pada satu keluarga
salah satu dampak bisa jadi lebih dominan dibandingkan dampak yang lain.
Sebagai contoh, pada keluarga yang secara ekonomi kurang beruntung, dampak
ekonomi mungkin menjadi hal yang paling dirasakan dibandingkan dampak yang
lain. Lain halnya bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki dukungan
ekonomi yang berlebih. Meskipun demikian, masing-masing dampak tersebut
tidaklah berdiri sendiri. Masalah ekonomi bisa memicu kemunculan masalah lain
seperti tekanan psikologis atau masalah sosial. Sebagai contoh, keluarga yang
kekurangan biaya untuk perawatan anak secara terus menerus bisa mengalami
stress atau perasaan tidak berdaya. Kondisi emosi yang tidak mendukung ini bisa
berakibat memunculkan ketegangan dalam hubungan antara kedua orang.
Dipihak lain, ada keluarga yang awalnya memiliki permasalahan kelelahan baik
fisik maupun psikis akibat merawat anak secara terus menerus. Dampak
kelelahan ini dapat memunculkan emosi negatif seperti kesedihan, stress bahkan
depresi. Sebagai akibatnya kualitas hubungan antar pasangan yang kurang baik
yang pada akhirnya memicu konflik dalam perkawinan
Koping pada orang tua yang memiliki anak dengan penyakit kronis
Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua keluarga merasakan dampak negatif
yang sama bahkan ada sejumlah keluarga yang justru merasakan dampak positif.
Efek dari memiliki anak dengan penyakit kronis pada hubungan orang dewasa
lebih ditentukan oleh beratnya penyakit, perkembangan penyakit, prognosis dan
juga kualitas hubungan sebelum anak sakit. Hasil ini justru sangat menarik,
karena disaat keluarga lain menghadapi problem psikologis dan sosial akibat
penyakit kronis anak, terdapat beberapa keluarga yang justru menjadikan
penyakit tersebut sebagai sarana untuk saling mendekatkan diri dan memberi
dukungan. Meskipun tidak mudah, nampaknya keluarga yang memiliki
kohesivitas yang meningkat justru menjadikan sakit anak dan masalah yang
muncul pada setiap tahapan sebagai sarana untuk bahu membahu, saling berbagi
tanggung jawab dan saling mendukung ketika salah satu merasakan emosi yang
negatif.
Orang tua yang memiliki kualitas hubungan yang baik sebelum anak sakit
akan memberi dampak positif ketika menghadapi anak yang sakit kronis.
Meskipun bukan berarti tidak ada masalah atau tidak terjadi pertengkaran, namun
permasalahan orang tua ini bisa diselesaikan dan tidak menjadi lebih buruk
ketika menghadapi kondisi anak yang sakit kronis. Selain kualitas hubungan
antar orangtua yang baik, orangtua perlu mencari dukungan sosial untuk
menghadapi berbagi permasalahan yang muncul baik saat diagnosa, transisi
perkembangan penyakit, kebutuhan perawatan maupun saat kekambuhan.
Pentingnya dukungan sosial ini diungkapkan oleh (Melnyk dalam Setia Asyanti,
2013)berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya yang menemukan bahwa
berbagai dukungan sosial ternyata berarti bagi orangtua untuk menurunkan level
stress saat menghadapi anak sakit maupun rawat inap.
Meskipun dukungan sosial pada orangtua ini penting, namun intervensi koping
yang terbukti efektif bagi orang tua dalam menghadapi anak sakit kronis
nampaknya masih kurang. Beberapa penelitian mengungkap intervensi yang
sering dilakukan berkisar pada 4 hal yaitu :
a) Intervensi pendidikan mengenai penyakit spesifik anak,
b) Intervensi yang menekankan pada stress
c) Pelatihan ketrampilan pemecahan masalah
d) Intervensi keperilakuan-pendidikan untuk meningkatkan koping (Melnyk
dalam Setia Asyanti, 2013)
Selanjutnya, agar lebih efektif keempat hal tersebut perlu didukung dengan
tim interdisipliner yang bertugas mengkomunikasikan secara rutin tentang
kondisi anak dan rencana tritmen ke depan , membuat petunjuk bagi guru di
sekolah mengenai kondisi anak dan kebutuhan khususnya, menyediakan daftar
sumber daya masyarakat yang bisa dihubungi orang tua anak, advokasi (Melnyk
dalam Setia Asyanti, 2013). Memberdayakan orangtua agar bisa secara optimal
mengatasi permasalahannya akan menjadikan orang tua dalam kondisi lebih siap
dalam menghadapi penyakit anak maupun permasalahan anak sebagai dampak
dari penyakitnya. Kesiapan orang tua ini tidak saja membuat mereka bisa berfikir
jernih, memiliki energi untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang muncul
selama anak mengalami sakit, maupun menemukan cara efektif tersendiri dalam
merespon sakit pada anak. Jika kondisi tersebut terjadi, kerjasama dengan
profesional kesehatan dalam rangka perawatan anak pun akan semakin optimal.
Orang tua akan mampu menghadapi berbagai kejadian saat kekambuhan dan
rawat inap, perawatan sehari-hari yang menyita waktu serta dampak dari
penyakit anak pada berbagai aspek perkembangan anaknya.
J. Peran Perawat
1. Advokat
Perawat dituntut sebagai pembela bagi anak/keluarga pada saat mereka
membutuhkan pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan/menentukan
pilihan, dan meyakinkan keluarga untuk menyadari pelayanan kesehatan yang
tersedia, pengobatan, dan prosedur yang dilakukan dengan cara melibatkan
keluarga.
2. Pendidik
Perawat memberi penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua anak
maupun secara tidak langsung dengan menolong orang tua/anak memahami
pengobatan dan perawatan anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan
anaknya, perawatan anak selama anak di rawat di rumah sakit, serta perawatan
lanjut untuk persiapan pulang ke rumah. Tiga domain yang dapat diubah oleh
perawat melalui pendidikan kesehatan adalah pengetahuan, keterampilan, serta
sikap keluarga dalam hal kesehatan, khususnya perawatan anak sakit.
3. Konselor
Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa
dukungan/ dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat memberi
konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal inilah
yang membedakan layanan konseling dengan pendidikan kesehatan. Dengan
cara mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara fisik,
perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak
tentang masalah anak dan keluarganya, dan membantu mencarikan alternatif
pemecahannya.
4. Koordinator
Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi
dengan anggota tim kesehatan lain, dengan tujuan terlaksananya asuhan yang
holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci untuk menjadi
koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada di samping pasien.
Keluarga adalah mitra perawat. Oleh karena itu, kerja sama dengan keluarga
juga harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan
informasi dari keluarga saja, melainkan seluruh rangkaian proses perawatan
anak harus melibatkan keluarga secara aktif.
5. Pembuat keputusan etik
Perawat diyakini berperan sebagai pembuat keputusan etik dengan penekanan
pada hak pasien untuk membuat otonomi, menghindari hal-hal yang merugikan
pasien dan keuntungan asuhan keperawatan, yaitu meningkatkan kesejahteraan
pasien.
6. Peneliti
Perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh dalam upaya menemukan
masalah-masalah keperawatan anak yang harus diteliti.
Daftar Pustaka