Anda di halaman 1dari 45

DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

A.

Dasar Hukum Keuangan Negara

Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat


diidentifikasikan sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan
kewajiban negara yang tercantum dalam APBN dan laporan
pelaksanaannya.

Hak-hak Negara yang dimaksud, mencakup antara lain :


Kewajiban negara adalah berupa pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah sesuai dengan pembukaan UUD 1945 yaitu : Hak
monopoli mencetak dan mengedarkan uang Hak untuk
memungut sumber-sumber keuangan, seperti pajak, bea dan
cukai Hak untuk memproduksi barang dan jasa yang dapat
dinikmati oleh khalayak umum, yang dalam hal ini pemerintah
dapat memperoleh (kontra prestasi) sebagai sumber penerima
negara Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluuh
tumpah darah Indonesia Memajukan kesejahteraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa Ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial Pelaksanaan kewajiban atau tugas-tugas
pemerintah tersebut dapat berupa pengeluaran dan diakui
sebagai belanja negara. Dalam UUD 1945 Amandemen IV,
secara khusus diatur mengenai Keuangan Negara, yaitu pada
BAB VIII pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut :

1.

Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan setiap tahun


dengan Undang-Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka
Pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.

2.

Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-


Undang

3.
Jenis dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang

4.

Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-


undang

5.

Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara


diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya
ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, ditetapkan Undang-


undang tentang APBN untuk tahun anggaran bersangkutan.
Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan
konstitusional yang dimaksud pada pasal 23 ayat (1) UUD 1945,
tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang dilaksanakan oleh
pemerintah dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Oleh
karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Strategi
dalam UU Propenas, dan pelaksanaannya dituangkan dalam
UU yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden dan
Menteri-menteri serta pimpinan Lembaga Tinggi Negara
Lainnya.

B.

Dasar Hukum Keuangan Daerah

Berdasarkan pasal 18 UUD 1945, tujuan pembentukan daerah


otonom adalah meningkatkan daya guna penyelenggaraan
pemerintah untuk melayani masyarakat dan melaksanakan
program pembangunan. Dalam rangka penyelenggaraan daerah
otonom, menurut penjelasan pasal 64 Undang-undang No. 5
tanhun 1974, fungsi penyusunan APBD adalah untuk :

1.

Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada Rakyat


Daerah yang bersangkutan

2.

Mewujudkan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab

3.

Memberi isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah


daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena
anggaran pendapatan dan belanja daerah itu menggambarkan
seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah
4.

Melaksanakan pengawasan terhadap pemerintahan daerah


dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna.

5.

Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah


untuk melaksanakan penyelenggaraan Keuangan Daerah
didalam batas-batas tertentu

II.

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK MEMASUKI ERA DESENTRALISASI

Kebijakan desentralisasi telah mengubah sifat hubungan antar


pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara BUMN
dengan Pemerintah Pusat; antar Pemerintah dengan
masyarakat, dan berbagai entitas lain dalam pemerintahan.
Perananan laporan keuangan telah berubah dari posisi
administrasi semata menjadi posisi akuntabilitas di tahun 2000.
Pergeseran peranan laporan keuangan ini telah membuka
peluang bagi posisi akuntansi sektor publik dalam manajemen
pemerintahan dan organisasi sektor publik lainnya. Jadi tujuan
akuntansi sektor publik adalah untuk memastikan kualitas
laporan keuangan dalam pertanggungjawaban publik.

Sebagai perspektif baru, berbagai prasarana akuntansi sektor


publik perlu dibangun, seperti:

a.

Standar Akuntansi Sektor Publik untuk Pemerintahan Pusat,


Pemerintahan Daerah, dan organisasi sektor publik lainnya

b.

Account Code
untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun
organisasi sektor publik lainnya, dimana review terhadap
transaksi yang berkaitan dapat dilakukan dalam rangka
konsolidasi dan audit
c.

Jenis Buku Besar yang menjadi pusat pencatatan data primer


atas semua transaksi keuangan pemerintah

d.

‘’’’’’’’’'Manual sistem Akuntansi Pemerintahan dan Organisasi


lainnya yang menjadi pedoman atas jenis-jenis transaksi dan
perlakuan akuntansinya

Dengan kelengkapan prasarana tersebut, para petugas dibidang


akuntansi dapat melakukan pencatatan, peringkasan, dan
pelaporan keuangan, baik secara manual maupun komputasi.
Akibat tidak tersedianya prasaran diatas, muncul persepsi
bahwa :

a.
Akuntansi adalah sesuatu yang sulit

b.

Akuntansi harus dikerjakan oleh SDM yang terdidik dalam


jangka waktu panjang.

III.

REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

A.

Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi

Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari


pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era pra
reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan
daerah tingkat II yang meliputi kotamadya atau kabupaten.
Disamping itu,ada beberapa peraturan pelaksanaan yang
diturunkan dari perundang-undangan, antara lain:

1.

Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang


Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan
Daerah

2.

Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang


Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah,
dan Penyusunan Perhitungan APBD

3.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980


tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah
4.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang


Pelaksanaan APBD

5.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah


dan Retribusi Daerah

6.

Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan


Susunan Perhitungan APBD

B.
1. Pengertian pemda adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat (1)
UU Nomor 5 Tahun 1975). Artinya tidak terdapat pemisahan secara
kongkret antara lembaga eksekutif dan legistatif.
2. Perhitungan APBD berdiri sendiri, terpisah dari pertanggungjawaban
mkepala daerah (pasal 33 PP Nomor 6 Tahun 1975).
3. Bentuk laporan perhitungan APBD terdiri atas:
a. Perhitungan APBD
b. Nota Perhitungan
c. Perhitungan kas dalam pencocokan antara sisa perhitungan.
Dilengkapi dilengkapi dnegan lampiran Ringkasan Perhitungan
Pendapatab dan Belanja (PP Nomor 6 Tahun 1975 dan Kepmendagri
Nomor 3 Tahun 1999)
4. Pinjaman, baik pinjaman pemda maupun pinjaman BUMD,
diperhitungkan sebagai pendapatan pemda, yang dalam struktur APBD,
menurut Kepmendagri Nomor 903-057 Thaun 1988 tentang
Penyempurnaan Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan Daerah,
masuk dalam pos Penerimaan Pembangunan.
5. Unsur-unsur yang terlibat dalam penyusunan APBD adalah pemda
yang terdiri atas kepala daerah dan DPRD, belum melibatkan
masyarakat.
6. Indikator kinerja pemda mencakup:
a. Perbandingan antara anggaran dan realisasinya
b. Perbandinagn antara standar biaya dengan realisasinya
c. Target dan persentase fisik proyek
Hal ini tercantum dalam penjabaran perhitungan APBD (PP Nomor 6
Tahun 1975 tentang Cara Penyususnan Perhitungan APBD).
7. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan
Laporan Perhitungan APBD, baik yang dibahas DPRD maupun yang
tidak dibahas DPRD, tidak mengandung konsekwensi terhadap masa
jabatan kepala daerah.

Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi

Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem


kehidupan negara. Tuntutan
good governance
diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan
kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan.
Selain itu, partisipasi masyarakat akan mendorong praktik
demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai
dengan jiwa otonomi daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua undang-
undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih
luas. Sebagai penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang
administrasi keuangan daerah,berbagai peraturan
perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun
telah dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain :

1.

Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang


Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3851)

2.

Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3952)

3.
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana
Perimbangan

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang


Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022)

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang


Pinjaman Daerah

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata


Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah
C.

Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi

Paradigma baru dalam


“Reformasi
Manajemen Sektor
Publik”
adalah penerapan akuntansi dalam praktik pemerintah guna
mewujudkan
good governance
. Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah
disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang
Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung
Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh
DPR.
Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara
yang telah dirumuskan dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan
Negara tersebut, yaitu :

1.

Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja

2.

Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi

3.

Pemberdayaan manajer profesional

4.
Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan
mendiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan
pemerintahan.

Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip


desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan
demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara
tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan
reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di NKRI.

Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik

1.

UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara


2.

UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

3.

UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan


Keuangan Negara

4.

UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan


Pembangunan Nasional

5.

UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

6.
UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah

7.

PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan

8.

PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan

D.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di


Indonesia
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1
angka 13, 14, 15, dan 16, dapat dilihat bahwa definisi
pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena
disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah
hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah
kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan
untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan
menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja
diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum
negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1
UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan mengenai
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis
akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun,
artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah
PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah

terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan


Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan
basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut
hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai
diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah
saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya
berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa
basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014.

Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar


Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005.
Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan
aturan-aturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri
Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri
Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda
antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71
tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan
Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan
dilaksanakan selambat-lambatnya mulai tahun 2014,
sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi
Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku
hingga tahun 2014. Lampiran I berlaku sejak tanggal ditetapkan
dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas (strategi
pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan
Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang
belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan
kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat
kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa
perubahan sedikit pun.
Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara
Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut:

Lampiran I

Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi


Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan


Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan
Catatan atas Laporan Keuangan

Lampiran II
-

Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran,


Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan


dihasilkan, otomatis penjelasan pada setiap Pernyataan
Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan
masing-masing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan.

Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah


sebagai berikut:

Lampiran I

Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan

-
PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;

PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis


Kas;

PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;

PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;

PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;


-

PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;

PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;

PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam


Pengerjaan;

PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;


-

PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan


Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan
Operasi yang Tidak Dilanjutkan;

PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian.

PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional.

Lampiran II

Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan


-

PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan;

PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran;

PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas;

PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan;

-
PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan;

PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi;

PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap;

PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam


Pengerjaan;

PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban;


-

PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan


Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa;

PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian;

Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang


diambil oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah saat
mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis
akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang
kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24
tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca
PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas
perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah
memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak
dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting
Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP.
IV.

Barang dan Jasa Publik

Barang Publik

Barang publik yang disediakan oleh instansi pemerintah dengan


menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah ditujukan untuk mendukung
program dan tugas instansi tersebut, sebagai contoh:

1. penyediaan Tamiflu untuk flu burung yang pengadaannya


menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara di
Departemen Kesehatan;
2. kapal penumpang yang dikelola oleh PT (Persero) PELNI untuk
memperlancar pelayanan perhubungan antar pulau yang
pengadaannya menggunakan anggaran pendapatan dan belanja
negara di Departemen Perhubungan;
3. penyediaan infrastruktur transportasi perkotaan yang
pengadaannya menggunakan anggaran pendapatan dan belanja
daerah.

Barang publik yang ketersediaannya merupakan hasil dari kegiatan


badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah yang
mendapat pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik
(public service obligation), sebagai contoh:

 listrik hasil pengelolaan PT (Persero) PLN; dan


 air bersih hasil pengelolaan perusahaan daerah air minum

Misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu,


kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan
kepentingan dan manfaat orang banyak, sebagai contoh:
 kebijakan menugaskan PT (Persero) Pertamina dalam menyalurkan
bahan bakar minyak jenis premium dengan harga yang sama untuk
eceran di seluruh Indonesia;
 kebijakan memberikan subsidi agar harga pupuk dijual lebih murah
guna mendorong petani berproduksi;
 kebijakan memberantas atau mengurangi penyakit gondok yang
dilakukan melalui pemberian yodium pada setiap garam (di luar
garam industri);
 kebijakan menjamin harga jual gabah di tingkat petani melalui
penetapan harga pembelian gabah yang dibeli oleh Perum Badan
Usaha Logistik;
 kebijakan pengamanan cadangan pangan melalui pengamanan
harga pangan pokok, pengelolaan cadangan dan distribusi pangan
kepada golongan masyarakat tertentu;
 kebijakan pengadaan tabung gas tiga kilo gram untuk kelompok
masyarakat tertentu dalam rangka konversi minyak tanah ke gas.

Jasa Publik

penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau


seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;

Jasa publik dalam ketentuan ini sebagai contoh, antara lain pelayanan
kesehatan (rumah sakit dan puskesmas), pelayanan pendidikan (sekolah
dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan
perguruan tinggi), pelayanan navigasi laut (mercu suar dan lampu suar),
pelayanan peradilan, pelayanan kelalulintasan (lampu lalu lintas),
pelayanan keamanan (jasa kepolisian), dan pelayanan pasar.

penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau
kekayaan daerah yang dipisahkan;

Jasa publik dalam ketentuan ini adalah jasa yang dihasilkan oleh badan
usaha milik negara/badan usaha milik daerah yang mendapat
pelimpahan tugas untuk menyelenggarakan pelayanan publik (public
service obligation), sebagai contoh, antara lain jasa pelayanan
transportasi angkutan udara/laut/darat yang dilakukan oleh PT (Persero)
Garuda Indonesia, PT (Persero) Merpati Airlines, PT (Persero) PELNI,
PT (Persero) KAI, dan PT (Persero) DAMRI, serta jasa penyediaan air
bersih yang dilakukan oleh perusahaan daerah air minum.

Misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu,


kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan
kepentingan dan manfaat orang banyak, sebagai contoh:

 jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin oleh rumah sakit


swasta;
 jasa penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta harus
mengikuti ketentuan penyelenggaraan pendidikan nasional;
 jasa pelayanan angkutan bus antarkota atau dalam kota, rute dan
tarifnya ditentukan oleh pemerintah;
 jasa pelayanan angkutan udara kelas ekonomi, tarif batas atasnya
ditetapkan oleh pemerintah;
 jasa pendirian panti-panti sosial; dan
 jasa pelayanan keamanan.

A.

Barang dan Jasa Publik vs Barang dan Jasa Swasta

Barang publik adalah barang kolektif yang seharusnya dikuasai


oleh Negara atau pemerintah. Sifatnya tidak eksklusif dan
diperuntukkan bagi kepentingan seluruh warga dalam skala
yang luas, dan dapat dinikmati warga secara gratis, misalnya
udara bersih, air bersih, dan lingkungan yang aman. Sedangkan
barang swasta adalah barang spesifik yang dimiliki oleh pihak
swasta. Sifatnya eksklusif dan hanya bias dinikmati oleh mereka
yang mampu membelinya, karena harganya disesuaikan dengan
harga pasar menurut penjual,yaitu harus untung sebesar-
besarnya,misalnya perumahan mewah, villa, dan hotel. Dan ada
juga setengah kolektif yang dimiliki oleh swasta atau pemilik
gabungan antara swasta dan pemerintah. Seharusnya barang
ini tidak boleh bersifat eksklusif, dan pemerintah harus ikut
menentukan harga penjualannya, yang biasanya tidak
terjangkau oleh rakyat kecil, misalnya sekolah dan rumah sakit.

B.

Konsep-Konsep Pokok Barang dan Jasa Publik

Suatu barang dikategorikan sebagai barang


„swasta‟
atau
„publik‟
dalam kaitannya dengan tingkat excludability dan
persaingannya. Tingkat excludablity suatu barang ditentukan
dengan kondisi dimana konsumen dan produsen barang atau
pelayanan bisa memastikan bahwa orang lain tidak
memperoleh manfaat dari barang/pelayanan tersebut. Jika
suatu barang memiliki daya saing yang tinggi, barang tersebut
dipergunakan secara perorangan ; apabila daya saingnya
rendah, barang tersebut dapat dimanfaatkan secara bersama-
sama. Contoh taman umum daya saingnya rendah, sedangkan
„ipod‟
daya saingnya tinggi.

1.

Secara umum, barang publik memiliki tingkat excludability dan


daya saing yang rendah. Ini berarti bahwa jika barang itu
diproduksi, barang tersebut dapat dipergunakan oleh banyak
orang. Barang publik ini dimanfaatkan oleh banyak orang,
sehingga umumnya dibiayai dari dana publik.

2.
Barang swasta adalah barang yang punya excludability dan
daya saing tinggi. Orang-orang yang memanfaatkanya jelas,
sehingga mudah dikenakan biaya. 3.

Barang yang excludable, tetapi daya saingnya rendah disebut


toll goods. Contohnya sperti jalan tol.

4.

Barang yang berdaya saing tinggi, tetapi non-excludable,


disebut common pool goods. Contohnya adalah pengadaan air
disebuah desa; meskipun termasuk barang yang non-
excudable, namun penggunaannya secara berlebihan akan
mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk
menggunakannya.

C.

Penyedia Pelayanan
Barang atau pelayanan yang dibiayai secara publik dapat
dikontrakkan kepada sektor swasta misalnya, penggunaan
kontraktor swasta dalam pembangunan lapangan terbang, atau
sebaliknya misalnya sekolah pemerintah menerima
pembayaran dari orang tua murid dalam bentuk pemakai
pelayanan. Setor swasta mempunyai kecendrungan bekerja
lebih efisien dan efektif karena :

1.

Sektor swasta memiliki fleksibilitas dalam pengolahan sumber


daya sehingga permintaan pasar dapat ditanggapi.

2.

Persaingan pelayanan mendorong lebih baiknya mutu


pelayanan dengan harga yang lebih murah bagi pelanggan.

D.

Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Publik


Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Publik mempunyai tugas mengkaji, menyiapkan perumusan
kebijakan, perencanaan kebijakan pengadaan barang/jasa
nasional, serta melaksanakan sosialisasi, pemantauan dan
penilaian atas pelaksanaannya. Dalam melaksanakan tugasnya,
Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa
Publik menyelenggarakan fungsi:

1.

penyiapan dan perumusan kebijakan dan sistem pengadaan


nasional

2.

penyiapan dan perumusan kebijakan pengembangan dan


pembinaan sumber daya manusia di bidang pengadaan

3.
pelayanan bimbingan teknis, pemberian pendapat dan
rekomendasi, serta koordinasi penyelesaian masalah di bidang
pengadaan

4.

pengembangan sistem informasi nasional di bidang pengadaan

5.

pengawasan pelaksanaan pelayanan pengadaan barang/jasa


dengan teknologi informasi

6.

melaksanakan sosialisasi, pemantauan, dan penilaian


pelaksanaan kebijakan dan sistem pengadaan nasional
V.

ETIKA PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK

Pihak member amanah (principal) percaya bahwa pihak


pemegang amanah (agent) mempunyai
“kapasitas”
yang menandai untuk menjalankan amanah yang
didelegasikan. Makna kapasistas disini hanya dilihat dari
kompetensi pada bidang kerja, tetapi juga dilihat dari perilaku
etis. Perilaku etis nampaknya sangat menunjang kepercayaan
para partner dan teman kerja.

Etika sering hanya dilihat dari segala sesuatu yang terwujud


(tangible). Di tengah masyarakat yang masih mempercayai
symbol-simbol (symbols, tanda-tanda (signals), dan berbagai
bentuk aksesoris fisik lain, satandar etika amat diperlukan
untuk menetukan perilaku etis.

Etika bisnis adalah bagaimana tindakan atau perbuatan yang


dapat dikatagorikan sebagai etis atau tidak etis. Dalam banyak
pembahasan tentang teori etika, para ahli filosofi umumnya
menitikberatkan pada etika secara umum daripada etika dari
suatu kelompok kecil, misalnya profesi dan bidang pekerjaan
tertentu. Berbagai tulisan yang dibuat oleh para ahli filsafat
sering jadikan acuan atau pedoman untuk memahami nilai
rasionalisasi suatu sikap dan perbuatan yang disebut etis.
Berikut ini adalah beberapa pemikiran dari para filsafat
mengenai etika :

1.

Socrates

Beliau berpendapat bahwa semua pengetahuan (knowledge)


dari seseorang itu sebetulnya bersifat baik dan menjunjung
nilai-nilai kebijakan. Tanpa didukung pengetahuan, seseorang
tidak mungkin dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
berbudi luhur.

2.
Hume

Beliau berpendapat bahwa perilaku seseorang (personal merit)


yang beretika sebenarnya mempunyai beberapa nilai kualitas
karakter dan kepribadian yang bermanfaat dan diterima baik
oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

3.

John

Beliau berpendapat bahwa kebenaran, perilaku etis, dan prinsip


moral seseorang sebenarnya tidak dibawa sejak lahir. Berbagai
pedoman etika bisa diperoleh melalui suatu persepsi dan
konsepsi. Ia juga mengemukakan bahwa hukum (law)
merupakan sebuah kriteria untuk memutuskan apakah suatu
perbuatan itu baik atau buruk. Tiga tipe dari hukum ini yaitu :
divine law (hukum yang berkaitan dengan Ketuhanan), civil law
(hukum yang berlaku di masyarakat), law of opinion and
reputation (hukum yang berhububgan dengan opini dan
reputasi).
4.

Kant

Beliau berpendapat bahwa pentingnya standar formal sebagai


pedoman umum untuk menilai perilaku seseorang. Tetapi ia
tidak setuju dengan perilaku etis ini dibentuk dari suatu
tekanan (hukum) yang disertai hukuman tertentu.

Dalam menyikapi pro-kontra terhadap suatu perbuatan,


pengkategorian perilaku etis sebaiknya berpedoman pada etika
umum, antara lain : pengetahuan (knowledge), kesadaran akan
hidup bermasyarakat, respek terhadap divine law (hukum yang
berkaitan dengan Ketuhanan), memahami bahwa suatu
pekerjaan membutuhkan pertanggungjawaban, menyadari
bahwa norma dari perilaku etis yang diakui masyarakat berlaku
untuk semua jenis pekerjaan apapun.

VI.
KEDUDUKAN DAN PERAN PEMERINTAH DALAM MEMPERBAIKI
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

Semua masyarakat memiliki hak yang sama atas jaminan sosial


dan ekonomi dari pemerintah sebagai konsekuensi langsung
atas pembayaran pajak yang telah dipenuhi. Kebijakan dan
regulasi yang ditetapkan pemerintah bisa berimbas pada
bidang yang lain. Pemerintah mempunyai peran menentukan
kualitas tingkat kehidupan masyarakat secara individual.

Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui


perbaikan manajemen kualitas jasa, yakni upaya meminimasi
kesenjangan antara tingkat layanan dengan harapan konsumen.
Kinerja organisasi layanan publik harus diukur dari outcome-
nya, karena outcome merupakan variabel kinerja yang mewakili
misi organisasi dan aktivitas oprasional, baik aspek keuangan
dan nonkeuangan. Dalam penentuan outcome sangat perlu
untuk mempertimbangkan dimensi kualitas (Mardiasmo 2007).
Selanjutnya, monitoring kinerja perlu dilakukan untuk
mengevaluasi pelayanan publik dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Langkah-langkah penting dalam monitoring kinerja organisasi
layanan publik antara lain : mengembangkan indikator kinerja
yang mengembangkan pencapaian tujuan organisasi,
memaparkan hasil pencapaian tujuan berdasarkan indikator
kinerja diatas, mengidentifikasi apakah kegiatan pelayanan
sudah efektif dan efisien sebagai dasar pengusulan program
perbaikan kualitas pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai