Anda di halaman 1dari 1

Meredefinisi Mayoritas dan Minoritas

Uraian tak berfaedah ini terilhami oleh keresahan, kegalauan, dan kegundahan melihat beberapa
fenomena yang terjadi. Biasanya para stand-up comedian membuat skrip (tanpa si) yang mempunyai
pokok-pokok berupa keresahan-keresahan yang dialami. Keresahan-keresahan tersebut dituturkan
dengan cara yang unik sehingga membuat para audiens tertawa (baca: terhibur).

Saya tidak bermaksud menguraikan keresahan saya ini untuk menyinggung klean. Bukan pula untuk
melawak. Tapi mudah-mudahan klean terhibur secara akademik dan moral.

Inti daripada inti, core of the core isu-isu yang berkembang bertitik tolak pada ihwal identitas. Lalu
dipolitisir (baku: dipolitisasi) menjadi produk komersial brand new yang disebut politik identitas. Yang
dalam penyajian selanjutnya diracik dengan narasi-narasi mayoritas minoritas.

Brand new tersebut diiklankan secara massif dan intensif oleh para cukong dan pemilik modal untuk
kepentingan politik mereka. Manifestasi paling kentara terwujud dalam perhelatan hajatan politik di
tingkat lokal sampai level nasional. Isu identitas dalam kaitan mayoritas dan minoritas begitu kental
dimainkan para elite.

Tidak lain dan tidak bukan untuk memenangkan kompetisi dengan cara memikat para pemilihnya yang
mayoritas. Memikat dengan isu identitas. Menunjukkan keberpihakan sang kandidat politik kepada
“yang paling banyak.” Apakah mau para citizen yang juga netizen mau direduksi pada ukuran kuantitas
daripada kualitas?

Apakah banyak akan mengalahkan yang sehat (secara akal dan budi)? Apakah sedikit harus selalu
termarginalkan (secara politik dan sosial)?

Pertanyaan-pertanyaan tadi membuat perlu kita (gua dan elu aja kali) mengartikan ulang apa makna
mayoritas dan minoritas. Masih relevankah di era kuantum ini? Di mana Google telah meraih supremasi
kuantum. Namun klean masih meributkan soal keindonesiaan Agnez Mo.

Apakah mayoritas dan minoritas itu selalu terkait jumlah? Lalu, mengapa Urang Kanekes/Badui Dalam
yang jumlahnya lebih sedikit dari etnis Tionghoa di Indonesia jarang sekali terdengar dilabeli atau pun
melabeli diri sebagai minoritas?

Lalu, mengapa para napi lapas Sukamiskin yang jumlahnya sangat minoritas bisa sangat kejam menindas
rakyat Indonesia yang mayoritas melalui tindakan-tindakan korupsinya? Lalu, mengapa para anggota
DPR yang minoritas bergeming terhadap tuntutan para mahasiswa yang ingin menolak revisi RUU KPK?
Yang sewaktu demonstrasi jumlahnya melebihi total anggota DPR yang terhormat nan mulia.

Seharusnya kita sadar bahwa jumlah bukan penentu segala-galanya. Sejalan dengan prinsip itu yang
termaktub dalam sila ke-4 Pancasila. Berbunyi “… kebijaksanaan dalam permusyawaratan ..” Tak
berbunyi “… kebijaksanaan dalam voting …”

Mendahulukan musyawarah sebelum voting. Bukan tentang siapa yang banyak mengalahkan yang
sedikit. Tetapi bagaimana mencari tujuan-tujuan yang baik dengan dialog dan diskusi. Apakah berarti
intisari Pancasila mendukung Pilpres melalui MPR, bukan direct vote? Lha kok jadi ke sini ya arahnya?
Hehe.

Anda mungkin juga menyukai