Anda di halaman 1dari 10

PERANAN MOTIVASI SEBAGAI FAKTOR UTAMA DALAM

PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

(SEBUAH STUDI KASUS PADA PEMBELAJAR BAHASA INGGRIS YANG

BERHASIL)

Oleh:

Haryanto Atmowardoyo

FBS Universitas Negeri Makassar

ABTRACT

This article was derived from a case study toward a subject


named Indra, a good language learner from a senior high school
(SMA) in Purbalingga, Central Java. The study was initially
conducted to explore any factor influencing the succes in English
language leaerning. However, in the process of analysis
MOTIVATION emerged as the key to the success. This issue is not
new, of course. However, the way motivation interacts each other
to other factors reveals some substantive theroies about the
interrelation of motivation to the other variables in the process of
contributing the success in foreign langage learning.

Key words: case study, motivation, good language learner.

ABSTRAK
Artikel ini diturunkan dari sebuah studi kasus yang dilakukan
terhadap seorang pembelajar Bahasa Inggris yang berhasil bernama
Indra. Dia adalah seorang siswa salah satu SMA di Purbalingga,
Jawa Tengah. Penelitian ini semula ditujukan untuk mengungkap
faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
Indra dalam belajar Bahasa Inggris. Akan tetapi, dalam proses
analisis terkuak bahwa faktor motivasi merupakan kunci
keberhasilan Indra.
Peran motivasi sebagai faktor kunci tentu bukanlah hal baru.
Namun demikian, cara bagaimana motivasi saling berinteraksi
dengan faktor-faktor lain tentu merupakan hal baru yang
mengimplikasikan berbagai teori substantif mengenai hubungan
faktor motivasi dengan faktor-faktor lain dalam menunjang proses
pembelajaran bahasa asing yang bermuara pada keberhasilan.

Kata kunci: studi kasus, motivasi, pembelajar bahasa yang berhasil


PENDAHULUAN
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa sebagian besar
pembelajar Bahasa Inggris di Indonesia mengalami kagagalan dan hanya
sebagian kecil saja yang berhasil. Sebagai contoh adalah Huda (1991) yang
melakukan survey terhadap 4000 orang siswa SLTP dan SMA. Ia menemukan
hanya 4,5% yang berhasil; sisanya gagal. Contoh lain adalah Hamied (1996)
yang menemukan bahwa hanya 23,6% siswa yang dapat meraih nilai 7,61
keatas.
Kenyataan tersebut memunculkan berbagai macam pertanyaan yang
perlu diselidiki lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan dapat muncul dari kutub
kegagalan dan kutub keberhasilan. Dari kutub kegagalan dapat
dipermsalahkan mengapa sebagian besar siswa gagal; faktor-faktor apa yang
menjadi penyebab kegagalan, dls. Sedangkan dari kutub keberhasilan muncul
masalah mengapa ada sedikit pembelajar yang dapat meraih sukses, faktor-
faktor apa yang membuat mereka sukses, dls.
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti lebih tertarik pada
masalah yang muncul dari kutub keberhasilan. Ada dua alasan yang
mendasari pemilihan masalah itu. Pertama, masalah ini belum banyak
diselidiki, khususnya di Indonesia. Kedua, penelitian tentang masalah ini
berpotensi menghasilkan deskripsi mengenai proses pembelajaran bahasa
asing yang bermuara pada keberhasilan.
Penelitian ini mula-mula terfokus pada proses pembelajaran yang
dilalui oleh pembelajar bahasa Inggris yang berhasil. Setelah diadakan studi
penjajakan, fokus tersebut berkembang ke masalah yang lebih spesifik, yaitu
peristiwa-peristiwa dan tindakan-tindakan penting yang mengantar
pembelajar pada keberhasilan. Dengan fokus tersebut, masalah penelitian
dapat dirumuskan dalam beberapa butir: (a) kejadian-kejaian apa yang
membuat pembelajar pertama kali termotivasi dalam belajar Bahasa Inggris?;
(b) kejadian-kejadian apa yang membuat ia tetap termotivasi?; (c) kejadian-
kejadian apa yang membuat ia kurang termotivasi?; (d) tindakan-tindakan
yang ia lakukan sebagai konsekuensi dari semua kejadian tersebut?
Penyelidikan terhadap kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan
pembelajar yang berhasil itu amat potensial untuk melahirkan teori-teori
tentang pembelajaran bahasa asing. Teori-teori itu berisi deskripsi mengenai
jenis-jenis faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran bahasa
asing serta hubungan antar faktor-faktor yang teridentifikasi.
Deskripsi tersebut bermafaat bagi beberapa pihak yang memiliki
kepedulian terhadap peningkatan kualitas pembelajaran bahasa asing,
khususnya Bahasa Inggris di Indonesia. Pertama, bagi para pakar
pembelajaran bahasa asing deskripsi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan
untuk memverifikasi teoti-teori yang telah ada sebelumnya. Teori-teori yang
ada pada umumnya berakar dari penelitian kasus-kasus di luar negeri. Hasil
penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pembanding oleh karena itu teori
yang dihasilkan berakar dari tempat yang berbeda, yakni dari Indonesia. Bagi
penulis buku ajar bahasa Inggris, temuan ini dapat dipergunakan sebagai
bahan pertimnbangan untuk menyusun buku yang lebih tepat untuk
memenuhi kebutuhan pelajar. Bagi guru bahasa Inggris, temuan ini menjadi
masukan penting untuk meningkatkan profesionalisme mereka di dalam
mengajar bahasa Inggris. Dan untuk para orang tua, temuan ini dapat
dipergunakan sebagai advis dalam memfasilitasi anak untuk belajar bahasa
inggris.

LATAR BELAKANG TEORETIS


Dari telaah perpustakaan diperoleh bahwa kajian terhadap pembelajar
yang berhasil telah dilakukan sejak tahun tujuhpuluhan. Adalah, Rubin (1975)
orang yang pertama kali menyelidiki karakteristik pembelajar bahasa asing
yang sukses. Dengan menggunakan metode pengamatan dan pemnfaatan
intuisi ia menemukan bahwa pembelajar bahasa asing yang berhasil memiliki
karakteristik: (a) memiliki dorongan kuat untuk berkomunikasi; (b) tidak
merasa terhambat, dalam arti berani berbuat kesalahan yang konyol
sekalipun dalam latihan berbahasa; (c) secara konstan berusaha menemukan
pola-pola bahasa; (d) melakukan latihan-latihan; (e) memonitor ujaran sendiri
maupun ujaran orang lain; dan (f) memperhatikan makna ujaran. Peneliti lain
Stern (1975) menemukan bahwa pembelajar bahasa asing yang sukses
memiliki karakteristik (a) melakukan perencanaan aktif; melakukan
pembelajaran secara formal; dan menerapkan strategi afektif. Selain Rubin
dan Stern masih ada beberapa peneliti lain yang menyelidiki kasus pembelajar
bahasa Inggris yang berhasil di luar negeri. Hasil-hasil penelitian tersebut
telah memberi konstribusi cukup banyak terhadap teori dan praksis
pembelajaran bahasa asing.
Di dalam negeri penelitian terhadap pembelajar Bahasa Inggris yang
berhasil telah dilakukan oleh Sadtono (1996) yang menyelidiki tiga orang
dosen Bahasa Inggris yang sedang mengikuti program pascasarjana pada
IKIP Malang. Dua dari subjek tersebut merupkan pembalajar yang sukses
(good language learners) dan satu orang yang dikatakan gagal. Dari
penyelidikan terhadap dua pembelajar yang berhasil itu diperoleh kisah yang
berbeda, namun memiliki sedikit kesamaan. Keberhasilan subjek pertama
dipengaruhi oleh faktor bakat bahasa, sikap proaktif, sikap mandiri, dan
keberanian untuk berbuat salah. Keberhasilan subjek kedua dipengaruhi oleh
faktor intelegensi, motuvasi instrumental, sikap proaktif, sikap mandiri,
didiplin yang tinggi, dan guru yang baik.
Peneliti lain adalah Weda (2005) yang mengkaji strategi-strategi
belajar yang dipergunakan oleh pembelajar bahasa Ingris yang berhasil di
SMA 9 Makassar. Dengan menggunakan SILL (Strategy Inventory for
Language Learning) ia melakukan penyebaran kuesionaire kepada sejumlah
siswa sampel. Weda selanjut menyimpulkan bahwa pembelajar Bahasa
Inggris yang berhasil cenderung menggunakan Attend to Meaning dan
Monitor Speech sebagai strategi belajar mereka.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan dengan
pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah grounded theory,
sebuah metode penelitian naturalistik yang diperkenalkan oleh Glaser dan
Strauss (1967). Langkah-langkah yang ditempuh meliputi studi penjajakan
untuk menentukan subjek, melakukan wawancara dan pengamatan terbuka,
menentukan focus penelitian, melakukan wawancara dan pengamatan
terfokus, membuat cacatan lapangan, melakukan analisis terhadap cacatan
lapangan, dan merumuskan hasil analisis ke dalam teori.
Proses analisis cacatan lapangan atau data itu sendiri dilakukan
dengan mengadopsi prosedur dan teknik yang diperkerkenalkan oleh Strauss
dan Corbin (1990). Prosedur dan teknik itu dikenal dengan kodifikasi (coding)
dan meliputi tiga macam: kodifikasi terbuka, kodifikasi aksial, dan kodifikasi
selektif. Hasil kodifikasi terbuka berupa sejumlah datar kategori atau
fenomena. Kategori-kategori itu dihubung-hubungkan secara paradigmatik
(sebab  fenomena  tindakan  hasil) melalui proses kodifikasi aksial.
Selanjutnya, dilakukan kodifikasi selektif untuk menentukan alur cerita ( story
line). Alur ceriata ini kemudian diambil sebagai kategori inti yang kemudian
dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan teori.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Latar Subjek
Subjek penelitian ini bernama Indra (nama samaran), seorang siswa
kelas II pada salah satu SMA di Purbalingga. Berdasarkan berbagai fakta,
Indra dapat dikategorikan sebagai anak yang cerdas. Hasil telaah dokumen,
khususnya rapor, menunjukkan bahwa Indra tidak pernah lepas dari lima
terbaik di kelasnya. Bahkan seringkali ia memperoleh peringkat pertama atau
kedua dalam kelasnya. Bukti tersebut diperkuat oleh hasil wawancara
terhadap para guru yang mengenalnya. Selain itu juga diperkuat oleh
pengamatan dan tes intelegensi yang dilakukan dan di berikan oleh peneliti.
IQ Indra menunjukkan angka 122, yang berarti termasuk dalam kategori
sangat baik.
Indra berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang sopir taxi
yang hanya berpendidikan formal sampai sekolah dasar. Ibunya seorang
penjahit dan berpendidikan hingga SLTA. Indra adalah anak pertama dari tiga
bersaudara.
Keluarga Indra tinggal di sebuah desa pinggir kota. Mereka tinggal
dalam sebuah bangunan rumah semi permanen dengan bahasa yang
dipergunakan sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat sekitarnya adalah
bahasa Jawa Ngoko dan Kromo Inggil.
Kemampuan Indra dalam bahasa Inggris amat menonjol. Kesimpulan
ini ditarik dari sejumlah fakta yang meliputi nilai rapor, pengkuan guru, hasil
tes, dan skor TOEFL Equivalent yang menunjukkan angka 537 saat Indra
duduk di kelas II SMA

2. Kejadian-Kejadian Penting
a. Motivasi Muncul
Motivasi belajar bahasa Inggris Indra muncul pertama kali ketika ia
mengenal pelajaran bahasa Inggris di kelas I SMP. Pada saat itu di dalam
kelas secara kebetulan ia duduk dengan seorang siswa yang ‘cakap’ dalam
bahasa Inggris, dalam arti mampu merespon pelajaran bahasa Inggris
dengan baik. Dalam kondisi itu muncul keinginan dalam diri subjek untuk bisa
menyaingi teman sebangkunya itu. Untuk memenuhi keinginan itu, subjek
malakukan pendekatan dengan kawan tersebut. Setelah dekat, subjek
bertanya tentang berbagai persoalan bahasa Inggris yang ia hadapi di dalam
kelas. Hasil dari tindakan itu adalah bahwa subjek kemudian dapat mengikuti
pelajaran bahasa inggris denan baik. Ia pun memperoleh prestasi yang amat
memuaskan dalam mata pelajaran itu.
b. Motivasi Menggebu
Kejadian kedua adalah munculnya keinginan subjek yang semakin
menggebu-gebu untuk menguiasai bahasa inggris. Ini muncul sebagai akibat
dari akumulasi dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam kurun
waktu satu tahun. Selain oleh karena pertemuannya dengan teman yang
‘cakap’ tadi, motivasi bertambah meningkat oleh karena pengalamannya
ketika diajar oleh seorang guru bernama Pak Tjong dan pengalamannya
ketika belajar komputer. Di hadapan kelas, di mana subjek berada, Pak Tjong
yang memang peneliti kenal sebagai seorang guru senior, pernah sekali
mendemonstrasikan kemampuannya menggunakan bahasa Inggris secara
lisan. Subjek mengaguminya, dan selanjutnya kejadian itu memicu
motivasinya untuk dapat berbuat sama. Kemudian, kesulitan berhadapan
dengan perintah-perintah komputer telah memicu pula munculnya rasa butuh
yang pada gilirannya berakibat pada timbulnya motivasi untuk belajar bahasa
Inggris secara lebih intensif. Ini terjadi pada waktu subjek duduk di kelas I
SMP dimana mata pelajaran keterampilan komputer menjadi salah satu mata
pelajaran yang harus diikuti oleh siswa kelas I di sekolah itu.
c. Motivasi tetap Menggebu
Dalam kursus di LPK AQ subjek bersama dengan dua orang temannya
diajar oleh seorang guru yang bernama Pak Yono. Subjek mengakui bahwa
pembelajaran bersama guru ini amat mengesankan. Pembawaan Pak Yono
yang energik dan penampilannya dalam berbahasa yang ‘bagus’ membuat
kelas menjadi aktif. Lebih-lebih materi yang diberikannya juga ‘menarik’ dan
‘menantang’
d. Motivasi Menurun
Selepas level tiga, subjek sebenarnya hendak melanjutkan kursus ke
level berikutnya. Akan tetapi, setelah mengikuti beberapa kali pertemuan,
subjek merasa kurang cocok dengan pengajarnya yang baru, yang ternyata
bukan lagi Pak Yono lagi. Guru barunya di kursus kurang energik dan tidak
mampu menghidupkan suasana. Sikap negative ini mengakibatkan motivasi
belajar di kursus itu menjadi turun. Akhirnya, Indra memutuskan untuk
berhenti.
e. Motivasi muncul kembali
Motivasi subjek muncul kembali ketika ia menerima brosur penawaran
kursus tertulis bahasa Inggris jarak jauh. Tawaran itu diresponnya dengan
mendaftarkan diri sebagai peserta.
f. Motivasi menurun kembali
Sayang sekali bahwa motivasi Indra yang amat tinggi itu tidak
terpelihara dengan baik oleh pelayanan kursus tertulis itu. Materi yang
diterima dari kursus itu berupa buku paket yang didesain mirip kamus
ungkapan. Materi itu dinilainya ‘tidak menarik’ dan ‘tidak menantang’.
Akibatnya subjek tidak berminat untuk membacanya.
g. Motivasi meningkat di sekolah
Meskipun secara umum pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dinilai
tidak menarik, pernah suatu kali ia merasa termotivasi untuk mengikutinya.
Ini terjadi ketika dia duduk di kelas I SMU dimana ia diajar oleh seorang guru
yang simpatik, enerjik dan antusias dalam mengajar. Guru tersebut adalah
Pak Totok (bukan nama sebenarnya), yang justru seorang guru pinjaman.
Efek dari motivasi yang meningkat itu adalah bahwa subjek mengikuti
pelajaran dengan baik. Semua tugas pekerjaan Bahasa Inggris dikerjakan
dengan sepenuh hati.
h. Motivasi kurang terpelihara di Sekolah
Motivasi yang telah terbangun oleh penampilan Pak Totok rupanya
tidak terpelihara dengan baik oleh guru-guru yang lain. Pembelajaran dia
pada waktu-waktu lain dengan guru lain dinilai ‘mati’ atau kurang
mengesankan oleh karena kelas tidak hidup. Ini disebabkan oleh kurangnya
kemampuan guru dalam mengelola kelas.
Dampak dari kurang terpeliharanya motivasi itu adalah bahwa subjek
tidak sepenuh hati mengikuti kegiatan kelas. Tugas-tugas yang diberikan
dikerjakan sekedar untuk memenuhi kewajiban, tanpa adanya dorongan yang
kuat untuk menguasainya.
i. Motivasi Belajar secara Autodidak
Di samping mengikuti kursus dan mengikuti pembelajaran secara
formal di sekolah, subjek juga melakukan tindakan belajar secara mandiri
dengan mengunakan buku-buku, TV, dan radio. Motivasi belajar dengan buku
muncul ketika subjek melihat guru kursusnya membawa-bawa buku English
Grammar in use. Subjek termotivasi untuk memilikinya, lalu membeli dan
mempelajarinya secara mandiri. Buku ini memang dirancang untuk self-
learning.

3. Pembahasan
Analisis terhadap kejadian-kejadian penting tersebut dapat diturunkan
ke dalam teori substantif sebagai berikut:
Pertama, keberhasilan pembelajaran Bahasa Ingris subjek dipengaruhi
oleh bermacam-macam faktor. Akan tetapi, dari beberapa faktor yang tersirat
dalam kejadian-kejadian tadi, motivasi muncul sebagai faktor inti. Teori
substantif yang menyebutkan bahwa motivasi merupakan faktor yang amat
dominan tersebut tampak sejalan dengan teori yang telah ada sebelumnya.
Banyak pakar yang menyebutkan bahwa motivasi merupakan kunci sukses
bagi setiap usaha. Brown (1987) menyebutkan bahwa “motivation is the most
catch-all term in explaining the success or the failure of virtually any complex
task…” Dalam bidang pembelajaran, berbagai bukti penelitian telah dilakukan
untuk membuktikan teori tersebut, dan amat banyak yang menyebutkan
bahwa motivasi menjadi faktor kunci dalam pembelajaran. Pernyataan ini
didasarkan pada Brown (1994) yang menyebutkan, “countless studies have
shown that motivation is a key of learning”.
Kedua, munculnya motivasi belajar bahasa Inggris subjek disebabkan
oleh karena faktor lingkungan sekolah yang menantang. Perkenalannya
dengan seorang teman sebangku yang ternyata ‘cakap’ dalam mata pelajaran
itu telah membuatnya tertantang untuk menyainginya. Motivasi yang terpicu
itu diikuti oleh tindakan bertanya kepada teman setiap kali menemukan
kesulitan. Konsekuensi yang dihasilkan adalah bahwa kemampuannya dalam
Bahasa Inggris meningkat pesat.
Teori tersebut berkaitan dengan penjenisan motivasi yang dilakukan
oleh para pakar. Dalam teori pembelajaran bahasa asing dikenal beberapa
penjenisan motivasi. Ada pakar yang membagi motivasi berdasarkan asal-
usulnya: motivasi intrinsik, keinginan yang muncul dari dalam; dan motivasi
ekstrinsik, yang muncul karena faktor dari luar. Ada pula klasifikasi yang
membagi motivasi berdasarkan tujuannya, yakni motivasi instrumental dan
motivasi integrative. Motivasi instrumental mengacu pada keinginan
menguasai bahasa asing sebagai alat komunikasi; motivasi integratif adalah
keinginan menguasai bahasa asing agar dapat masuk ke dalam budaya
penutur asl bahasa asing tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, peneliti cenderung menggologkan
motivasi subjek sebagai motivasi instrumental yang bersifat intrinsik-
ekstrinsik. Ini didasarkan pada bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa
motivasi yang melekat pada diri subjek ternyata tidak dapat dipilah menjadi
motivasi intrinsik-ekstrinsik. Motivasi tersebut muncul dari dalam, namun
setelah terpicu oleh faktor eksternal, dalam hal ini kondisi teman sebangku.
Oleh karena itu, motivasi subjek, yang terbukti menjadi menjadi faktor kunci
keberhasilan menguasai bahasa Inggris lebih tepat disebut sebagai motivasi
intrinsik-ekstrinsik. Kenyataan ini ternyata sejalan dengan pengamatan
Sadtono (1996) yang menyebutkan bahwa pada kenyataannya motivasi
intrinsik amat sulit dipisahkan dari motvasi ekstrinsik.
Menyangkut tujuan yang diinginkan, motivasi subjek lebih tepat
disebut sebagai motivasi instrumental. Motivasi tersebut terbangun oleh
keinginan subjek untuk menguasai bahasa Inggris agar kelak mampu
berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, keinginan itu tidak didasari
atas hasrat untuk masuk ke dalam budaya penutur asli bahasa Inggris
sehingga tidak dapat di kategorikan sebagai motivasi integratif.
Ketiga, kejadian meningkatnya motivasi tampak dipengaruhi oleh
faktor lingkunan sekolah, sikap positif terhadap guru, dan kebijakan sekolah.
Kondisi teman sebangku yang ‘cakap’, penampilan guru yang ‘mengagumkan’,
dan rasa butuh terhadap bahasa Inggris yang timbul sebagai akibat dari
kebijakan sekolah melalui pemberian keterampilan komputer secara bersama-
sama telah muncul sebagai kondisi kausal dari meningkatnya motivasi subjek
untuk mempelajari Bahasa Inggris. Sebagian dari hipotesis ini sejalan dengan
teori motivasi yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh adalah teori yang
dikemukakan oleh Charrington (1991) yang menyebutkan bahwa salah satu
variabel penting yang berpengaruh terhadap munculnya motivasi adalah
“sense of needs” (rasa butuh).
Keempat, pasang dan surutnya motivasi juga tidak terlapas dari
pengaruh-pengaruh faktor lain. Dalam konteks pembelajaran formal maupun
non-formal terbukti bahwa faktor guru amat berpengaruh terhadap pasang
dan surutnya motivasi. Guru yang enerjik dan mampu menghidupkan kelas
berperan besar dalam memlihara dan meningkatkan motivasi. Sebaliknya,
guru yang lemah menjadi penyeba bmenurunnya motivasi subjek.
Selain faktor guru, faktor materi pelajaran juga amat berpengaruh
terhadap pasang surut motivasi. Materi pelajaran yang menarik dan
menantang membuat subjek termotivasi untuk belajar, sebaliknya, materi
pelajaran yang didesain kurang menarik dan tidak menantang menyurutkan
motivasi balajar.
Kelima, dalam kondisi dimana subjek ditunjang oleh dukungan orang
tua secara moral maupun material, faktor motivasi itu sendiri menjadi
penyebab dilakukannya berbagai macam tindakan belajar yang pada
gilirannya menetukan keberhasilan dalam belajar bahasa Inggris. Selain
pembelajaran secara formal di sekolah, tindakan-tindakan tersebut juga
meliputi tndakan belajar dari teman, mengikuti kursus konvensional,
mengikuti kursus tertulis, belajar mandiri dengan menggunakan buku-buku,
radio, dan TV.
Teori kelima tersebut dapat dikaitkan dengan temuan berbagai
penelitian mengenai karakteristik pembelajar yang berhasil. Penelitian Naiman
dkk. (1983) dan Sadtono (1996) menyebutkan bahwa salah satu karakteristik
pembelajar yan berhasil adalah melakukan pendekatan tugas aktif, dalam arti
bahwa pembelajar melakukan aktivitas belajar tambahan diluar kelas dengan
berbagai macam cara. Temuan penelitian ini tampak memperkuat pernyataan
tersebut oleh karena karakteristik tersebut rupanya juga melekat pada subjek
penelitian ini.

KESIMPULAN DAN SARAN


Sebagai sebuah penelitian kualitatif yang menggunakan metode
grounded theory, penelitian ini telah menghasilan sebuah teori substantif
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan
pembelajaran bahasa asing. Faktor-faktor yang teridentifikasi itu meliputi
sikap, motivasi, strategi belajar, peranan guru, materi pelajaran, peranan
orang tua, kondisi lingkungan sekolah, dan kebijakan sekolah. Faktor-faktor
tersebut secara bersama-sama dan saling terkait berpengaruh terhadap
kelangsungan proses pembelajaran Bahasa Inggris subjek. Namun demikian,
dari kejadian-kejadian terlihat dengan jelas bahwa motivasi merupakan faktor
kunci keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.
Hasil penelitian ini juga telah menemukan informasi bahwa diantara
jenis-jenis motivasi yang berpengaruh positif terhadap kaberhasilan
pembelajaran bahasa asing adalah motivasi instrumental yang bersifat
intrinsik-ekstrinsik. Tumbuh, berkembang, dan menurunnya motivasi tersebut
amat dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekolah, guru, desain materi
pelajaran, dan kebijakan sekolah yang menumbuhkan sense of needs
terhadap bahasa tersebut.
Terkait dengan kesimpulan tersebut dikemukakan saran kepada
beberapa pihak. Pertama, guru Bahasa Inggris semestinya berpenampilan
enerjik dan antusias dalam kelas, mampu menunjukkan kompetensinya dalam
bahasa asing yang diajarkan, serta memberikan perhatian secara individual
kepada masing-masing siswa. Penampilan itu diperlukan agar motivasi belajar
siswa berkembang dan terpelihara.
Kedua, bagi para peneliti, salah satu temuan penelitian ini
memperlihatkan bahwa kondisi linkungan sekolah yang menantang telah
menjadi penyebab munculnya motivasi belajar bahasa Inggris subjek yang
terbukti memiliki kecerdasan cukup tinggi. Akan tetapi, dalam teori-teori yang
lain dikemukakan bahwa lingkungan yang menantang juga bisa menurunkan
motivasi belajar. Oleh karena itu perlu diteliti lebih lanjut terhadap pembelajar
mana faktor tersebut berpengaruh positif dan terhadap siapa berpengaruh
negatif.
Ketiga, para penulis buku pelajaran semestinya mempertimbangkan
desain buku yang menarik dan menantang oleh karena desain buku amat
berpengaruh terhadap motivasi pembelajar.
Keempat, sekolah-sekolah perlu merumuskan kebijakan yang dapat
menumbuhkan rasa butuh siswa terhadap bahasa asing. Pemberian
keterampilan konputer dengan program-program bahasa Inggris telah
terbukti menjadi salah satu kebijakan yang memici motivasi pembelajar
bahasa asing.
Kelima, para orang tua semestinya memberikan keluasan sebanyak-
banyak kepada anak-anak mereka untuk mengikuti kegiatan yang bersifat
positif. Orang tua Indra telah memberi contoh bahwa meskipun mereka
berlatar belakang ekonomi sederhana dan berpendidikan rendah, mereka
amat mendukung kegiatan belajar yang dilakukan anak mereka. Dukungan
tersebut telah terbukti menjadi salah satu faktor yang menunjang
keberhasilan subjek dalam belajar Bahasa Inggris.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching.


Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall
_________________. 1994. Teaching by Principles: An Interactive Approach to
Language Paedagogy. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall
Charrington, David J. 1991. “Need Theories and Motivation” dalam Richard M.
Steers dan Lyman W. Porter. Motivation and Work Behavior. New York:
McGraw-Hill Inc.
Glasser, Barney dan Anselm Strauss. 1967. The Discovery of Grounded Theory.
Chicago: Aldine
Hamied, Fuad Abdul. 1996. “EFL Surveys in Indonesian Schools”, dalam George
Jacob (ed.) Language Classrooms for Tomorrow: Issues and Responses,
Anthology Series 38, Singapore: SEAMEO RELC hh. 67-77.
Huda, Nuril. 1991. “Cuplikan Survei Pengajaran Bahasa Inggris di SMP dan SMA
Tahap I di Delapan Propinsi”. Makalah disajikan dalam Seminar Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris FPBS IKIP Malang.
Naiman, Neil, Maria Frolich, dan H.H. Stern. 1983. “The Good Language Learner”.
Research in Education No. 7, Toronto: Ontario Institute for Education.
Rubin, Joan. 1975. “What the Good Language Learner Can Teach Us”, TESOL
Quarterly 9 (I) pp. 41-51.
Sadtono, E. 1996. “Wanted: Good Language Learners”, TEFLIN Journal VIII (1) pp.
42-56.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. 1990. Basics of Qualitative Research: Grounded
Theory Procedures and Techniques. Newbury Park: Sage Publications.
Weda, Sukardi (2005). “English Language Learning Strategies Employed by Senior
Secondary School Students”, Makalah disajikan pada KOLITA 3, Pusat
Kajian Bahasa dan Budaya Universitas katolik Atmajaya Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai