Anda di halaman 1dari 11

Manusia dalam Perspektif Islam

Oleh: Harun Suaidi Isnaini

Disusun sebagai tugas mata kuliah Orientasi Baru Pendidikan Islam di Jurusan Teknologi Pendidikan,
Fakultas Pascasarjana, Universitas Ibnu Khaldun.

Pendahuluan
Alkisah, di Yunani sekitar abad ke-4 SM, Plato mengajarkan Filsafat di Akademi.
Sebagai seorang filsuf, tugasnya adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang fundamental agar
orang-orang dapat mencapai kebijaksanaan. Salah satu pertanyaan yang datang padanya adalah:
apakah manusia itu? Dengan proses pemikiran yang tidak bisa kita telusuri hari ini, Plato sampai
pada jawaban: hewan berkaki dua yang tidak berbulu. Jawaban ini sampai ke telinga Diogenes.
Didatanginya Akademi Plato sambil membawa seekor ayam yang sudah dicabuti bulunya. Ia
tunjukkan apa yang ada di tangannya di hadapan hadirin, "Lihatlah ini, saudara-saudara! Inilah
manusia menurut Plato!" Konon, akibat kejadian tersebut Akademi Plato kemudian merevisi
definisi manusia menjadi: hewan berkaki dua yang tidak berbulu dan berkuku rata.

Kisah di atas adalah sebuah anekdot yang menunjukkan bahwa mendefinisikan manusia
bukanlah hal yang sederhana, bahkan--atau lebih tepatnya terutama--bagi manusia itu sendiri.
Selama ribuan tahun manusia telah mencoba mendefinisikan siapa dirinya. Hingga saat makalah
ini ditulis, penulis belum menemukan adanya mufakat dalam hal ini.

Sebagai seorang muslim, kita meyakini bahwa jawaban dari pertanyaan ini ada di dalam
korpus pengetahuan agama Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah. Maka, melalui
makalah ini, penulis hendak membahas manusia dalam pandangan Islam dengan mengambil
sumber dari Al-Quran, Hadits, serta penjelasan ulama terkait hakikat dan sifat-sifat manusia.

Dalam makalah ini, penjelasan tentang manusia dibagi ke dalam beberapa bagian.
Pertama, makna kata "manusia" dalam Bahasa Arab. Kedua, proses penciptaan manusia. Ketiga,
tujuan diciptakannya manusia. Keempat, hakikat kehidupan manusia. Kelima, hubungan manusia
dengan Allah. Keenam, sifat-sifat manusia. Terakhir, makalah ini ditutup dengan simpulan.
Dengan cara ini, diharapkan akan didapatkan pengertian yang komprehensif tentang manusia
dalam pandangan Islam.

Makna Manusia Secara Bahasa


Dalam Bahasa Arab, manusia disebut insan (‫)إنسان‬. Kata insan diambil dari kata
nasi/yansa/nasyan (‫ نسي‬/ ‫ ينسى‬/ ‫ ) نسيان‬yang berarti "lupa"1. Ini sesuai dengan ungkapan yang

1
https://studioarabiya.com/blog/appreciating-arabic-three-letter-roots-1. Diakses tanggal 23/11/2019

1
mahsyur manusia adalah tempatnya salah dan lupa (‫)الخطاء محل االنسان‬. Bersesuaian dengan
ungkapan itu, terdapat pula hadits yang berbunyi:

Setiap anak Adam pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat dari
kesalahannya. (HR. At Tirmidzi no. 2499, Hasan)2

Berdasarkan pengertian ini, maka sifat lupa merupakan bagian dari sifat dasar manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan ini biasa digunakan sebagai dasar untuk bersikap pemaaf
terhadap sesama. Penggunaan yang kurang mengenakkan adalah ketika pemaafan atas kesalahan
tersebut dipaksakan oleh si pembuat kesalahan, dengan alasan manusia adalah tempatnya salah
dan lupa. Ini tentu bukan pemahaman yang baik ataupun bermanfaat.

Dalam konteks beragama, manusia sebagai makhluk yang pelupa membutuhkan


pengingat, yakni ibadah dan dzikir. Kata dzikir (‫ ) ذكر‬sendiri memiliki makna harfiah
"mengingat", yakni antonim dari kata lupa. Dzikir merupakan pengertian yang terkandung dalam
seluruh ibadah, yakni bertujuan untuk mengingat Allah. Sebbagai contoh, dalam surat Thaha
ayat 14 dikatakan:

Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Q.S. Taha [20]: 14)

Begitu pula dalam Al-Quran berbagai ayat dimulai dengan frasa "ingatlah ketika..." atau "dan
ingatlah...", menekankan bahwa lupa adalah sifat manusia.

Adapun hadits yang memperkuat pandangan ini antara lain3:

Pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat dzuhur lima rakaat. Beliau
kemudian ditanya, “Apakah jumlah rakaat ini memang ditambah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
menjawab, “Mengapa demikian?” Sahabat yang tadinya menjadi makmum mengatakan, “Anda telah
melaksanakan shalat Dzuhur lima rakaat.” Lantas beliau pun sujud sebanyak dua kali setelah selesai
salam itu. (HR. Bukhari)

dan,

“Saya adalah manusia biasa. Saya juga bisa lupa sebagaimana kalian bisa lupa. Oleh karena itu, jika
saya lupa, ingatkanlah” (HR. Muslim)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka tepat dikatakan bahwa secara bahasa, kata
"manusia" berasal dari kata "lupa". Salah dan lupa merupakan sebagian dari sifat dasar manusia.
Dzikir dan ibadah secara umum merupakan cara mengingat kembali hakikat manusia.

Proses Penciptaan Manusia

2
https://syariahonline-depok.com/konsultasi/manusia-tempatnya-salah-dan-lupa-2.html. Diakses tanggal
23/11/2019
3
https://bersamadakwah.net/rasulullah-lupa-jumlah-rakaat-shalat/. Diakses tanggal 23/11/2019

2
Sebelum memulai pembahasan penciptaan manusia, penting untuk ditegaskan bahwa
pandangan Islam dan sains berbeda. Makalah ini tidaklah bertujuan untuk mempertentangkan
keduanya. Alih-alih, perlu dipahami bahwa Islam dan sains memiliki landasan epistemologi yang
berbeda, sehingga sampai pada kebenaran yang berbeda pula. Karena itu, pernyataan semisal
"manusia berasal dari tanah" (pandangan Islam) dan "manusia merupakan hasil evolusi"
(pandangan sains modern) memiliki nilai kebenaran yang berbeda jenisnya. Keduanya perlu
ditempatkan pada konteksnya masing-masing dan tidak dicampuradukkan atau dipertentangkan
untuk dicari "mana yang lebih benar". Hal tersebut tidaklah bermanfaat dan hanya akan
menimbulkan kebingungan.

Alasan lain yakni adalah bahwa upaya mencocokkan Al-Quran dengan sains merupakan
gejala dari ketidakpercayaan diri seorang muslim atas kitab sucinya sendiri. Dengan mengatakan
"Al-Quran pasti sesuai dengan sains" sebenarnya di sini terdapat pengakuan implisit bahwa
pemegang kunci kebenaran adalah sains, dan segala yang benar pastilah sesuai dengan sains 4. Ini
tentu tidak sesuai dengan aqidah Islam di mana Al-Quran dan Sunnah adalah kebenaran tertinggi
yang tidak membutuhkan konfirmasi dari sains untuk menjadi benar.

Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan air mani. Hal ini
disebutkan dalam banyak ayat. Empat di antaranya:

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang
diberi bentuk. (Q.S. Al-Hijr [15]:26)

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami
jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian,
Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al-
Mu'minun [23]: 12-14)

Proses pembentukan wujud manusia merupakan hak dan perbuatan Allah, sebagaimana
dikatakan dalam Q.S. 23:14 yang telah dikemukakan di atas. Ini adalah perwujudan dari salah
satu nama Allah yakni Al-Mushawwir (‫ )المصور‬yang berarti Yang Maha Membentuk.

“Dialah yang membentukmu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Rabb (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]:6)

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri
mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi
kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Q.S. Fussilat [41]: 53)

4
Dalam artikel berjudul "Science, Evolution, Quantum Theory, and the Quran" yang ditulis sebagai status
Facebook-nya, penulis dan peneliti neuroscience asal Kanada, Mohamed Ghilan mengemukakan hal ini, "When you
claim there's no contradiction between the Quran and science, you're presuming an equivalency between the
authority of the two for you to make that statement. But it doesn't stop there, because the next step is to show how
consistent the Quran is with science, which tacitly assumes that science is the real authority and arbiter of Truth.
Instead of the Quran, science becomes al-Furqan."

3
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (Q.S. AT-Tin [95]:4)

Dari ayat-ayat di atas diketahui bahwa unsur pembentuk utama dari manusia adalah
tanah. Ini berbeda dengan jin yang diciptakan dari api dan malaikat dari cahaya 5. Proses
penciptakan manusia adalah pertama-tama sebagai air mani yang diproses di dalam rahim.
Manusia dibentuk oleh Allah. Penciptaan manusia merupakan tanda kebesaran dan kekuasaan
Allah sebagai Tuhan Semesta Alam.

Tujuan Penciptaan Manusia


Sejak hari ini kita (umat Islam) hidup di dalam hegemoni pemikiran Barat, maka sebelum
memaparkan tujuan penciptaan manusia, ada baiknya dipaparkan pandangan Barat secara umum
terkait tujuan penciptaan manusia.

Sepanjang sejarah, para filsuf Barat telah mencoba merumuskan makna kehidupan6.
Mereka pun telah sampai pada simpulan-simpulan seperti:

 Menggapai pengetahuan tertinggi yang sejati (Platonisme).


 Hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kebaikan (virtue) (Aristotelianisme).
 Hidup selaras dengan keharmonisan hukum alam (Stoisisme).
 Hidup bebas sebagai individu (Liberalisme Klasik).
 Menciptakan makna bagi diri sendiri (Eksistensialisme).
 Hidup pada dasarnya tidak memiliki tujuan obyektif (Nihilisme).

Seluruh filosofi ini mewarnai khazanah pemikiran Barat, namun tidak terjadi mufakat atas hal
ini. Yang dapat terlihat jelas adalah bahwa tren pemikiran global hari ini menekankan pada
kebebasan individu di atas kewajiban sosialnya dan telah sepenuhnya lepas dari kewajibanya
pada Tuhannya. Humanistik sekuler Barat yang memandang manusia tidak memiliki tujuan yang
secara intrinsik hadir bersama keberadaannya di dunia ini. Bahkan, kredo filsafat
Eksistensialisme yang terkenal menyatakan keberadaan mendahului hakikat (existence precedes
essence). Pandangan Barat ini menjadikan manusia pada dasarnya bebas menentukan tujuan
untuk dirinya sendiri.

Dalam Islam, manusia diciptakan dengan tujuan khusus yang diberikan langsung oleh
Penciptanya. Tujuan tersebut secara umum adalah ibadah. Secara khusus dijelaskan bahwa
manusia memiliki peran sebagai khalifah atau wakil Allah di muka bumi yang mewarisi bumi
sesuai dengan kehendak-Nya. Islam dengan tegas menolak pandangan yang menyatakan
kehadiran manusia di bumi tidak memiliki tujuan tertentu. Manusia diciptakan dengan tujuan dan
di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Ayat-ayat yang menerangkan hal ini antara lain:

5
HR Muslim No. 2966, dalam https://muslim.or.id/25445-mengenal-alam-malaikat-1.html. Diakses tanggal
23/11/2019
6
https://en.wikipedia.org/wiki/Meaning_of_life. Diakses tanggal 23/11/2019

4
Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (Q.S. Al-Mu'minun [23]:115)

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. Az-
Zariyat [51]: 56).

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di
bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman,
“Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:30)

Surat Al-Baqarah ayat 20 di atas layak untuk mendapatkan pembahasan lebih lanjut.
Ulama besar Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan khalifah adalah orang yang menjadi wakil Allah di muka bumi yang berhukum
dengan syariat-Nya, menyebarkan dakwah tauhid, dan mengikhlaskan peribadatan hanya
kepada-Nya7.

Keputusan Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi dipertanyakan oleh para
malaikat. Malaikat mengetahui, berdasarkan pengetahuan mereka tentang makhluk penghuni
bumi yang telah diciptakan sebelumnya8, bahwa manusia akan berbuat kerusakan, sehingga
mereka belum memahami keputusan Allah untuk menjadikan manusia, alih-alih makhluk lain,
sebagai khalifah di bumi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengemukakan bahwa pertanyaan ini
bukanlah merupakan bentuk protes, melainkan sekadar meminta penjelasan9. Pertanyaan ini
dijawab oleh Allah dengan menekankan kebesaran dan keluasan ilmu-Nya yang tak terbatas,
"Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui."

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah
untuk beribadah dan menjadi khalifah Allah di muka bumi yang hidup sesuai dengan ketetapan-
Nya.

Hakikat Kehidupan Manusia


Hakikat kehidupan manusia adalah ujian. Setelah melalui ujian, manusia akan di-hisab,
dihitung amal baik dan buruknya, lalu dengan keputusan Allah dimasukkan ke surga atau ke
neraka. Dalam kerangka inilah manusia seyogyanya memaknai hidupnya. Ayat-ayat yang
menerangkan hal ini antara lain:

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (Q.S. Al-Mulk [67]:2)

7
https://muslim.or.id/27258-apa-makna-khalifah-di-muka-bumi.html. Diakses tanggal 23/11/2019
8
Ibnu Katsir menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa penghuni bumi sebelum Adam adalah golongan jin. Syaikh Abdul
Aziz bin Baz mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat golongan tersebut adalah sekelompok manusia dan
makhluk lain yang disebut al-jinn dan al-hinn. Wallahu a'lam.
9
http://www.ibnukatsironline.com/2014/08/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-30.html. Diakses tanggal 23/11/2019

5
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami. (Q.S. Al-Anbiya' [21]:35)

Dalam menjalani hidup sebagai ujian, manusia senantiasa dihadapkan pada hal-hal yang
memberatkannya. Karena itu, tema besar dalam kehidupan manusia menurut Islam adalah
bersabar di atas ketentuan-Nya. Hal ini dijelaskan dalam berbagai ayat Al-Quran, di antaranya:

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-
buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik
Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari
Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-Baqarah [2]:155-157).

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah [2]:167)

Dalam hadits riwayat Muslim dikatakan, "Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan
surga bagi orang kafir.10" Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan,

“Orang mukmin terpenjara di dunia karena mesti menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan
dimakruhkan. Orang mukmin juga diperintah untuk melakukan ketaatan. Ketika ia mati, barulah ia rehat
dari hal itu. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah janjikan dengan kenikmatan dunia yang
kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang. Adapun orang kafir, dunia yang ia peroleh
sedikit atau pun banyak, ketika ia meninggal dunia, ia akan mendapatkan azab (siksa) yang kekal abadi. ”
(H.R. Muslim no. 2392)

Hakikat dunia sebagai ujian ini dapat ditemukan pula dalam perenungan atas kisah Nabi
Adam a.s. turun ke dunia. Dunia adalah tempat hukuman Nabi Adam. Rumah yang hakiki adalah
surga, tempat di mana ia hidup sebelumnya. Karena itu, Bani Adam (manusia) seyogyanya
bersabar dan selalu meminta petunjuk selama berada di dunia.

Hakikat dunia sebagai ujian tidak lepas dari makhluk yang diciptakan Allah untuk
berperan sebagai penggoda manusia agar gagal dalam ujian, yaitu iblis. Iblis yang sebelumnya
hidup di surga bersikap sombong dan karenanya dihukum. Ia kemudian bersumpah untuk
menghalangi manusia dari jalan Allah11. Pengikut iblis dari kalangan jin dan manusia disebut
syaithan. Iblis dan syaithan adalah musuh abadi manusia hingga hari kiamat. Maka, perjuangan
dan inti dari kesabaran manusia dalam menjalani ujian adalah menolak godaan syaithan. Berbeda
dengan keyakinan populer orang-orang Kristen di mana di neraka nantinya mereka akan disiksa
oleh syaithan (Satan)12, aqidah Islam menyatakan syaithan menggoda manusia di dunia dan di
akhirat nanti berlepas diri dari kesalahan manusia yang mengikutinya.

10
https://rumaysho.com/11513-dunia-itu-penjara-bagi-orang-mukmin.html. Diakses tanggal 23/11/2019
11
https://almanhaj.or.id/7487-sumpah-iblis-untuk-menyesatkan-manusia.html. Diakses tanggal 23/11/2019
12
Diskusi tentang hal ini bisa dilihat di https://christianity.stackexchange.com/questions/44106/what-is-the-origin-
of-the-belief-that-satan-tortures-the-unsaved-in-hell. Diakses tanggal 24/11/2019

6
Sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian, lalu Kami bentuk tubuh kalian, kemudian Kami katakan
kepada para malaikat, ‘Bersujudlah kalian kepada Adam’, maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia
tidak termasuk orang-orang yang bersujud. Allâh berfirman, ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis pun menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya. Engkau
ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allâh berfirman, ‘Turunlah kamu dari surga
itu; karena kamu sudah sepantasnya tidak menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah,
sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina.’ Iblis menjawab, “Beri tangguhlah saya sampai
waktu mereka dibangkitkan. Allâh berfirman, ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’
Iblis menjawab, ‘Karena Engkau telah menghukumku tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-
halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari
belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka
bersyukur. (Q.S. Al-A'raf [7]:11-17)

Dan setan berkata ketika perkara (hisab) telah diselesaikan, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan
kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Tidak ada
kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku,
oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu,
dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu
mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan
yang pedih. (Q.S. At-Tur [52]:22)

Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa kebanyakan manusia tidak beriman,
dan karenanya akan berakhir di neraka. Menjadi orang beriman berarti menjadi minoritas, yang
berarti berdiri secara diametral dengan kebanyakan manusia. Ini menjadi bagian dari ujian di
dunia yang harus dilalui dengan kesabaran. Hal ini diterangkan dalam ayat Al-Quran dan hadits:

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang
orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat
petunjuk." (Al-An’am[6]:116-117)

“Dan sebagian besar manusia tidakakan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (Yusuf [12]:
103)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat
menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr [103]: 1-3)

"Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah
orang-orang yang asing tersebut." (HR. Muslim no. 145/232)13

“Perumpamaanku dengan umatku ialah bagaikan seorang yang menyalakan api. Akhirnya, serangga-
serangga berterbangan menjatuhkan diri ke dalam api tersebut. Padahal aku telah berusaha menghalaunya.
Aku pun telah mencegah kamu semua agar tidak jatuh ke api, tetapi kamu meloloskan diri dari tanganku.”
(HR. Muslim no. 2285).14

13
https://almanhaj.or.id/6531-jika-beragama-mengikuti-kebanyakan-orang.htm. Diakses tanggal 24/11/2019
14
https://rumaysho.com/3625-manusia-yang-tidak-mau-taat-rasul.html. Diakses tanggal 24/11/2019

7
Hubungan Manusia dengan Allah
Ada berbagai konsep ketuhanan dan karenanya, di antara agama-agama yang ada, ada
perbedaan konsep antara hubungan manusia dengan Tuhannya. Sebagian agama, terkhusus
agama samawi termasuk Islam, memandang pencipta sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang
absolut. Sebagian agama lain, terutama agama-agama politeistik, memandang pencipta sebagai
salah satu dari sebagian dewa-dewa. Sebagian agama, seperti Buddhisme, menolak keberadaan
dewa/tuhan pencipta15. Jika ditambahkan konsep-konsep filsafati yang beragam tentang
keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, maka akan didapati lebih banyak lagi perbedaan tentang
hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti: apakah Tuhan menciptakan manusia? Apakah
Tuhan menetapkan takdir? Apakah Tuhan perlu/meminta untuk disembah? Dan seterusnya.

Dalam Islam, Allah adalah Tuhan yang menciptakan dan menguasai seluruh alam
semesta termasuk manusia. Kekuasaan Allah bersifat absolut dan abadi. Karena itu, hubungan
manusia dengan Allah sebagaimana hubungan antara hamba sahaya dengan tuannya. Allah
berhak atas manusia; berhak menghidupkan ataupun mematikannya; berhak menetapkan apapun
untuknya; berhak memberi dan mengambil kembali; dan berhak memasukkannya ke dalam surga
ataupun neraka sesuai dengan kehendak-Nya.

Dalam Bahasa Arab, kata "tuhan" dapat diterjemahkan ke dalam dua kata yang berbeda:
"rabb" (‫ )رب‬dan "ilah" (‫)إله‬. Rabb bermakna Tuhan yang menciptakan dan menguasai. Ilah
berarti yang disembah. Masyarakat Arab jahiliyyah mengakui Allah sebagai rabb, tapi tidak
sebagai satu-satunya ilah. Karena itulah mereka disebut sebagai musyrikin, yakni orang-orang
yang membuat sekutu (syarikah) atas Allah, sehingga mereka menyembah tuhan-tuhan selain
Allah. Beberapa ayat dalam Al-Quran yang menerangkan hal ini antara lain:

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati
dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka
akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus
[10]: 31)

“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya,
dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ?
Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. an-Naml
[27]: 62)

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. az-
Zukhruf [43]: 87)

Konsep hubungan yang mengesakan Allah dan menolak adanya sesembahan selain-Nya
disebut sebagai tauhid. Tauhid adalah inti dakwah para nabi-nabi sejak Nabi Adam hingga

15
https://en.wikipedia.org/wiki/Creator_deity. Diakses tanggal 24/11/2019

8
Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Sepanjang sejarah, dakwah para nabi
mendapat penolakan. Dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyyah secara khusus, keberadaan
tuhan-tuhan lain justru dianggap sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah.

“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat- dekatnya.” (QS. Az Zumar [39]: 3).

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi.Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang
yang bersyukur.” (QS. Az Zumar [39]: 65-66).

Salah satu anggapan yang keliru adalah bahwa setelah Islam datang kesyirikan sudah
terhapuskan. Kenyataannya, praktik-praktik kesyirikan masih hidup hingga sekarang di berbagai
belahan dunia. Sebagian masyarakat memandang ritual-ritual peninggalan masa lalu sebelum
Islam datang sebagai ibadah yang mendekatkan diri pada Allah, meskipun ibadah-ibadah
tersebut nyata-nyata merupakan praktik kesyirikan, seperti membuat sesajen dan
menggantungkan jimat.

Berdasarkan kenyataan ini, maka dakwah tauhid yang mengembalikan manusia ke dalam
hubungan dengan yang benar dengan Allah akan selalu relevan hingga hari kiamat. Sebagaimana
kalimat syahadat: Laa ilaha ilallah, Muhammadar rasulullah yang berarti "Tidak ada tuhan yang
berhak disembah selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah".

Sifat-Sifat Manusia
Setiap manusia berbeda antara yang satu dengan yang lain. Kendati demikian, terdapat
sifat-sifat dasar manusia yang mana setiap manusia memiliki kecenderungan kepadanya.
Beberapa sifat-sifat tersebut diterangkan dalam berbagai ayat Al-Quran:

“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.”
(QS al-Baqarah [2]: 243)

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110)

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau
berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat),
seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan bahaya yang telah menimpanya.
Begitulah orang-orang yang melampui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS.
Yunus [10]: 12)

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (QS an-Nahl
[16]:4)

9
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang kafir.” (QS An-Nahl [16]: 83)

“Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia
bersifat tergesa-gesa.” (QS Al-Isra’ [17]: 11)

“Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia; dan membelakang
dengan sikap yang sombong; dan appabila dia ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa.” (Al-Isra’ [17]:
83)

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampui batas” (QS. Al-'Alaq [96]: 6)

Dari paparan di atas, terlihat bahwa manusia memiliki sifat-sifat buruk yang membuatnya
tidak memahami hakikat kehidupannya dan menjauhkannya dari Allah. Kendati demikian, pada
dasarnya manusia selalu memiliki kecenderungan pada kebaikan dan keburukan. Terkadang
manusia taat, di lain waktu bermaksiat. Sebagian besar manusia cenderung pada keburukan dan
kesesatan serta lalai dari mengingat Allah, namun Allah memberikan jalan keluar. Hal ini
merupakan sunnatullah (ketetapan) Allah atas manusia. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran:

"Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang
menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya. (Q.S. As-Syams [91]:8-10)

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebajikan; maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya." (Q.S. At-Tin [95]:4-6)

"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran."
(Q.S. Al-'Asr [103]:1-3)

Cara untuk mendapatkan keselamatan adalah dengan beriman pada Allah dan beramal
shalih. Menurut aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, iman bertambah dan berkurang. Saat
beribadah, iman bertambah. Saat bermaksiat, iman berkurang. Karena itu, manusia
membutuhkan ibadah agar terus berada dalam kondisi iman yang baik. Hal ini termaktub dalam
berbagai ayat, hadits, serta perkataan para ulama16:

“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang
mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu
takutlah kepada mereka”, Maka Perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab:
“Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung“.” (QS Ali Imron [3]:
173).

“Iman itu lebih dari tujuh puluh atau lebih dari enampuluh. Yang paling utama adalah perkataan: “Laa
Ilaaha Illa Allah” dan yang terendah adalah membersihkan gangguan dari jalanan dan rasa malu adalah satu
cabang dari iman.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

16
https://muslim.or.id/1993-iman-bisa-bertambah-dan-berkurang. Diakses tanggal 21/11/2019.

10
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan mukmin dan tidaklah minum minuman keras ketika
minumnya dalam keadaan mukmin serta tidaklah mencuri ketika mencuri dalam keadaan mukmin”. (H.R.
Bukhari dan Muslim)

“Iman itu adalah perkataan dan perbuatan bertambah dan berkurang.” (Imam Syafi'i)

Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan, “Iman itu sebagiannya lebih unggul dari yang lainnya,
bertambah dan berkurang. Bertambahnya iman adalah dengan beramal. Sedangkan berkurangnya iman
dengan tidak beramal. Dan perkataan adalah yang mengakuinya.” (Imam Ahmad bin Hambal)

Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

 Manusia dalam bahasa Arab disebut insan yang memiliki akar kata yang berarti "lupa".
Hal ini merupakan sifat dasar manusia.
 Manusia diciptakan oleh Allah dari tanah. Prosesnya berawal dari wujud berupa air mani
yang kemudian dibentuk oleh Allah selaku Al-Mushawwir di dalam rahim sebelum lahir
ke dunia. Perbedaan antara pandangan Islam dan sains modern tidak perlu dipersoalkan.
 Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dan menjadi
khalifah di bumi yang hidup berdasarkan syariat-Nya.
 Hakikat kehidupan manusia di dunia adalah ujian yang harus dilalui dengan kesabaran.
Musuh utama manusia di dunia adalah syaithan yang menghalangi manusia dari jalan
Allah.
 Manusia memiliki sifat baik dan buruk. Kebanyakan manusia bersifat kufur, lemah, dan
tidak beriman. Sebagian kecil manusia beriman, bersabar, dan mengingat Allah di tengah
naik dan turunnya iman.

Setelah memahami konsep manusia menurut Islam, diharapkan penulis dan pembaca mendapat
pemahaman yang bermanfaat dalam meningkatkan kualitas keimanan dengan beramal dan
mendorong penulis dan pembaca untuk berpegang teguh pada tauhid. Sebagai penutup, izinkan
penulis menyematkan doa:

"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (H.R. Tirmidzi
no. 3522)17

Wa billahi taufiq wal hidayah. Wallahu a'lam.

17
https://rumaysho.com/13301-ini-ceritanya-kenapa-nabi-terus-berdoa-meminta-istiqamah.html. Diakses tanggal
24/11/2019.

11

Anda mungkin juga menyukai