Penurunan fungsi organ menyebabkan lansia rawan terhadap gangguan kesehatan. Patah
tulang (fraktur) merupakan salah satu dari sindrom geriatrik. Seiring dengan bertambahnya
usia, terdapat peningkatan hilangnya massa tulang secara linear. Tingkat hilangnya massa
tulang ini sekitar 0,5 - 1% per tahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pria
lebih dari 80 tahun. Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan tendon.
Masalah yang berhubungan dngan struktur ini sangat sering terjadi dan mengenai semua
kelompok usia. Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu dari
sedemikian banyak kasus geriatri yang lazim dijumpai di praktik sehari-hari. Pada usia lanjut
dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta perlambatan
remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan usia
duapuluhan (di bawah usia 30 tahun).
Fraktur panggul merupakan fraktur yang paling sering terjadi pada lansia, namun selain
fraktur panggul lansia juga sering mengalami fraktur humerus. Umumnya karena jatuh pada
bahu dan bisa disertai dengan dislokasi bahu. Ini adalah cedera yang umum pada lanjut usia
bahkan setelah jatuh. Fraktur Midshaft humerus sebagian besar terjadi setelah jatuh pada siku
atau kecelakaan di jalan, karena saraf radialis berjalan sangat dekat ke bagian tulang humerus
sehingga dapat terluka karena trauma primer, atau karena terjebak antara ujung tulang retak,
atau bahkan selama pengobatan. Oleh karena itu, perawatan harus dilakukan di setiap langkah
untuk memastikan integritas dari saraf.
B. Tujuan Penulisan
1. TujuanUmum.
Tujuan umum dalam makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami patah tulang
pada lansia.
2. Tujuan Khusus
a) Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami konsep patah tulang pada lansia.
b) Mahasiswa mampu mengetahui proses penyembuhan tulang pada lansia.
c) Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan patah tulang pada lansia.
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud fraktur ?
2. Apa etiologi (penyabab) dari fraktur?
3. Apa anatomi dan fisiologi tulang humerus?
4. Bagaimana perjalanan (patofisiologi) fraktur?
5. Bagaimana proses penyembuhan tulang khusunya pada lansia?
6. Apa komplikasi pada fraktur ?
7. Bagaimana pengelolaan/asuhan keperawatan fraktur yang terjadi pada lansia? Commented [n3]: Tidak usah dibuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang
disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. (L J
Carpenito,2010). Patah tulang merupakan terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan
(Kapita selekta kedokteran,2012).Patah Tulang Humerus adalah diskontinuitas atauhilangnya
struktur dari tulang humerus.
B. ETIOLOGI
Menurut Long (2006:356) penyebab fraktur antara lain :
D. Fungsi Tulang
Berikut ini adalah beberapa fungsi tulang :
1. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2. Tempat melekatnya otot.
3. Melindungi organ .
4. Tempat pembuatan sel darah.
5. Tempat penyimpanan garam mineral (Ignatavicius, Donna D,2008)
2. Berdasarkan jenisnya
a) Fraktur komplit :Garis fraktur mengenai seluruh korteks tulang.
b) Fraktur tidak komplit : Garis fraktur tidak mengenai seluruh korteks.
3. Berdasarkan garis fraktur
a) Fraktur transversa : Garis fraktur memotong secara transversal. Sumbu longitudinal.
b) Fraktur obliq :Garis fraktur memotong secara miring sumbu longitudinal.
c) Fraktur spiral: Garis fraktur berbentuk spiral.
d) Fraktur butterfly : Bagian tengah dari fragmen tulang tajam dan melebar ke samping.
e) Fraktur impacted (kompresi) : Kerusakan tulang disebabkan oleh gaya tekanan searah
sumbu tulang.
f) Fraktur avulsi : Lepasnya fragmen tulang akibat tarikan yang kuat dari ligamen.
G. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan
tekanan (Apley, A. Graham, 2006). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari
yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 2006). Setelah terjadi fraktur,
periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah
hematoma di rongga medula tulang.Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M,
et al, 2008)
H. Manifestasi Klinis
1. Deformitas.
2. Bengkak
3. Spasme otot karena kontraksi involunter di sekitar fraktur.
4. Nyeri, karena kerusakan jaringan dan perubahan fraktur yang meningkat karena
penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian fraktur.
5. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan saraf, di mana saraf ini
dapat terjepit atau terputus oleh fragmen tulang.
6. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang, nyeri atau
spasme otot.
7. Pergerakan abnormal (menurunnya rentang gerak).
8. Krepitasi yang dapat dirasakan atau didengar bila fraktur digerakkan.
I. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi
merupakan respon terhadap klien terhadap penyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur
hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
1. Terhadap Klien
a) Bio,Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma,
peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi
perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
b) Psiko,Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur,
perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan
lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
c) Sosio,Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan
ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti
biasanya.
d) Spiritual,Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan
keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena
rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
2. Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur
adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan
sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini
sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain itu, keluarga harus bisa
menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menjadi beban bagi
keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa
timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien.
Sebuah pemulihan fraktur humerus lengkap memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan, yang
mencakup beberapa bulan untuk penyembuhan fraktur humerus diikuti dengan penggunaan
brace pelindung fraktur humerus selama beberapa bulan untuk mendukung latihan dan
rehabilitasi fraktur humerus.
L. Komplikasi fraktur
1. Komplikasi Awal
a) Kerusakan Arteri,Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada
yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya
otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu
karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c) Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah
yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d) Infeksi,System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e) Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f) Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler
yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a) Delayed Union, merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a
penurunan supai darah ke tulang.
b) Nonunion,merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c) Malunion,merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.(Black, J.M, et al, 2008)
3. Penatalaksanaan Fraktur
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
a) Recognisi/pengenalan,Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur
harus jelas.
b) Reduksi/manipulasi.Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin
dapat kembali seperti letak asalnya.
c) Retensi/memperhatikan reduksi,Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk
menahan fragmen
d) Traksi,Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan
memakai katrol dan tahanan beban untuk menyokong tulang.
e) Gips,Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu
dengan mempergunakan alat tertentu.
f) Operation/pembedahan,Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan
pembedahan. Metode ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Dengan tindakan
operasi tersebut, maka fraktur akan direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi
dengan menggunakan orthopedi yang sesuai
1. PENGKAJIAN
Anamnesis. Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan
a) Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, asuransi, nomor
registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS) dan diagnose medis.Pada
umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur humerus adalah nyeri. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien, perawat dapat
menggunakan metode PQRST.
Provoking Incedent: Hal yang menjadi faktor presipitas nyeri adalah trauma pada
lengan atas.
Quality Of Plain: Klien yang merasakan nyeri yang seperti apa.
Region, Radiation, Relief: Nyeri terjadi dilengan atas. Nyeri dapat reda dengan apa?
dengan imobilitas atau istirahat? Nyeri dapat menjalar atau menyebar tidak?
Severity (Scale) of Plain: secara subjektif, klien merasakan nyeri dengan skala berapa
(1-10)
Time: Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam
hari atau siang hari.
2. Riwayat penyakit sekarang.
Pengumpulan data dilakukan untuk menentukan penyebab fraktur yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
3. Riwayat penyakit dahulu.
Pada pengkajian ini, perawat dapat menemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
mendapat petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit- penyakit
tertentu, seperti kanker tulang dan penyakit yang menyebabkan faktor patologis
sehingga tulang sulit menyambung.
4. Riwayat penyakit keluarga.
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti, osteoporosis yang terjadi pada beberapa
keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
5. Riwayat psikososial spiritual.
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam keluarga
dan masyarakat , serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
6. Pengkajian fokus pola fungsional gordon
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa
takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, juga
dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat
steroid yang dapat menganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alcohol yang
dapat menganggu keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahgara atau
tidak.
b) Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran sementara dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
c) Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbulnya
ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
d) Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
dapat membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium dan protein. kurangnya
paparan sinar matahari merupakan faktor predisposisi masalah musculoskeletal
terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
e) Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan pola eliminasi, tetapi
perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna, dan bau feses pada pola eliminasi alvi.
Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Pada
kedua pola tersebut juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
f) Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
g) Pola penanggulangan stres. Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya,
yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditembuh klien dapat tidak efektif.
h) Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan
baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat disebabkan
oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien.
i) Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentuk aktivitas
klien menjadi berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang lain. hal lain yang
perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan klien karena beberapa
pekerjaan berisiko terjadinya fraktur.
j) Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya terbatas
sehingga dapat menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu, dilakukan
pengkajian lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan
penggunaan obat tidur.
7. Pemeriksaan fisik
Ada dua macam pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan umum (status general) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (local).
a) Keadaan umum : keadaan baik dan buruknya klien. tanda – tanda yang perlu dicatat
adalah sebagai berikut :
Kesadaran klien : Apatis, spoor, koma, gelisa, compos mentis yang bergantung pada
keadaan klien.
Kesakitan, Keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
Tanda- tanda vital tidak normal karena ada ganguan local, baik fungsi maupun bentuk.
i. B1 (Breating). Pada pemeriksaan sistem pernapasan , didapatkan bahwa klien fraktur
humerus tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks, didapatkan
taktilfremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi, tidak ditemukan suara napas
tambahan kecuali jika memang klien mempunyai penyakit paru.
ii. B2 ( Blood) Palpasi nadi.
iii. B3 ( Brain)
b) Tingkat kesadaran
1. Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada penonjolan, ada
atau tidak nya sakit kepala.
2. Leher : ada atau tidaknya gangguan menelan, ada tidaknya benjolan pada leher
3. Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan tidak ada perubahan fungsi dan bentuk,
Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
4. Mata: ada tidaknya gangguan pengelihatan,pemakaian alat bantu pengelihatan, s
konjungtiva anemis/tidak, sklera ikterik/tidak, pupil isokor/anisokor.
5. Telinga: Ada tidaknya gangguan pendengaran, ada tidaknya alat bantu mendengar
6. Hidung: tidak ada tidaknya pernapasan cuping hidung, polip
7. Mulut dan Faring: ada tidaknya pembesaran tonsil, gusi perdarahan/tidak, mukosa
mulut pucat/tidak, gigi lengkap atau ompong, ada tidaknya gigi palsu.
8. Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan dan tingkah laku
klien. Ada tidaknya perubahan tingkah laku
iv. B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputiwarna, jumlah dan karakteristik urine,
termasuk berat jenis urine. Ada tidaknya nyeri berkemih
v. B5 (Bowel) Inspeksi abdomen : Bentuk datar/cembung, simetris,ada tidaknya hernia.
Palpasi : Turgor kulit?,. Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus nomal 20 kali/menit.
vi. B6 (Bone). Adanya fraktur pada humerus akan menganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
1. Look. Pada sistem integumenterdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma, bengkak,
edema, dan nyeri tekan. Perhatikan adanya pembengkakan yang tidak biasa
(abnormal). Perhatikan adanya sindrom kompartemen pada lengan bagian distal fraktur
humerus. Apabila terjadi fraktur terbuka, ada tanda-tanda trauma jaringan lunak sampai
kerusakan intergritas kulit. Fraktur oblik, spiral, dan bergeser mengakibatkan
pemendekan batang humerus. kaji adanya tanda-tanda cedera dan kemungkinan
keterlibatan berkas neurovascular (saraf dan pembuluh darah) lengan, seperti
bengkak/edema.Lumpuh pergelangan tangan merupakan petunjuk adanya cedera saraf
radialis. Pengkajian neurovascular awal sangat penting untuk membedakan antara
trauma akibat cedera dan komplikasi akibat penanganan. Klien tidak mampu
menggerakan lengan dan kekuatan otot lengan menurun dalam melakukan pergerakan.
Pada keadaan tertentu, klien fraktur humerus sering mengalami sindrom kompartemen
pada fase awal setelah patah tulang. Perawat perlu mengkaji apakah ada pembengkakan
pada lengan atas menganggu sirkulasi darah kebagian bawahnya. Otot, lemak, saraf,
dan pembuluh darah terjebak dalam sindrom kompartemen sehingga memerlukan
perhatian perawat secara serius agar organ di bawah lengan atas tidak menjadi nekrosis.
Tanda khas sindrom kompartemen pada fraktur humerus adalah perfusi yang tidak baik
pada bagian distal, seperti jari-jari tangan, lengan bawah pada sisi fraktur bengkak,
adanya keluhan nyeri pada lengan, dan timbul bula yang banyak menyelimuti bagian
bawah fraktur humerus.
2. Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah lengan atas.
3. Move. Setelah dilakukan pemeriksaan feel, pemeriksaan dilanjutkan dengan
menggerakkan ekstermitas, kemudian perawat mencatat apakah ada keluhan nyeri pada
pergerakan. Pencatatan rentang gerak ini perlu dilakukan agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan dimulai dari titik 0 (posisi netral), atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. Hasil pemeriksaan yang didapat
adalah adanya gangguan/ keterbatasan gerak lengan dan bahu.Pada waktu akan palpasi,
posisi klien diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). pada dasarnya, hal ini
merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah baik pemeriksa maupun
klien.
M. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang,
nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko cedera
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
N. Rencana Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang (misal : dari skala 7 ke skala 4) nyeri hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi,
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak gelisah.
Skalanyeri dari.. ke ...
Intervensi:
a) Kaji nyeri dengan skala 0-10.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan menggunakan
skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat cidera.
b) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang
menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
c) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
d) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan
noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
efektif dalam mengurangi nyeri.
e) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2 padajaringan
terpenuhi dan nyeri berkurang.
f) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman,
misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan meningkatkan
kenyamanan.
g) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
3. Risiko cedera
Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
a) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
Rasional : meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulanng dan
jaringan lunak sekitarnya
b) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan sirkulasi perifer
Rasional : Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini adanya
gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas
c) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut agar posisi
tetap netral
Rasional : mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan
keamanan
d) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
Rasional : bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi
e) Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan local/sistemik, seperti
peningkatan nyeri, edema, dan demam)
Rasional : menilai perkembangan masalah klien
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem muskuloskeletal meliputi tulang, persendian, otot dan tendon. Masalah yang
berhubungan dngan struktur ini sangat sering terjadi dan mengenai semua kelompok usia.
Seiring bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih beresiko terhadap terjadinya penurunan
dari massa tulang atau tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah saat orang tersebut terjatuh.
Pada usia lanjut dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium tubuh, serta
perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai puncak pada pertengahan
usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun). Proses degenerasi juga terjadi pada persendian dapat
dijumpai pada hampir semua manusia usia lanjut. Faktor- faktor seperti predisposisi genetik,
riwayat trauma pada persendian, obesitas, nutrisi, dan overuse dapat berinteraksi secara
kompleks dalam proses degenerasi sendi. Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh
yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang,
yaitu: Pembentukan Hematoma, Proliferasi Seluler, Pembentukan Kallus, Konsolidasi
Remodelling. Pemulihan fraktur juga didasarkan pada beberapa faktor, yaitu : Jumlah dan
dislokasi fragmen tulang, tingkat keparahan fraktur humerus dan cedera jaringan lunak, usia
penderita, Lokasi dan konfigurasi fraktur, pergeseran awal fraktur, vaskularisasi pada kedua
fragmen, reduksi serta imobilisasi,waktu imobilisasi, waktu tunda antara cedera dan
pengobatan, latihan rehabilitasi Fraktur humerus. Sebuah pemulihan fraktur humerus lengkap
memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan, yang mencakup beberapa bulan untuk penyembuhan
fraktur humerus diikuti dengan penggunaan brace pelindung fraktur humerus selama beberapa
bulan untuk mendukung latihan dan rehabilitasi fraktur humerus.Asuhan keperawatan pada
lansia tidak begitu berbeda jauh dengan asuhan keperawatan fraktur pada dewasa atau anak-
anak umunya, hanya kepada lansia perawat harus benar-benar memperhatikan dan memerlukan
ketelitian karena sebagaimana kita pahami bahwa pada lansia telah mengalami penurunan, baik
secara fisiologis ataupun psikologis. Disinilah peran dan kolaborasi keluarga sangat
diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham ,2006. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika,
Jakarta.
Carpenito (2010), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Dudley (2012), Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi 11, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Dunphy & Botsford (2007), Pemeriksaan Fisik Bedah, Yayasan Essentia Medica, Jakarta.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 – NANDA
International
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi 9). Jakarta: ECG