Transfer zat aktif dari zat pembawa yang melebur atau terlarut pada mukosa rektum (merupakan tahap penentu dalam rangkaian proses yang terkait) tidak hanya sebagai fungsi dari sifat lapisan yang terpapar namun juga keadaannya dalam supositoria dan beberapa sifat fisiko-kimianya. 1) Sifat zat aktif dalam supositoria Sebagai fungsi dari kelarutannya dalam zat pembawa, zat aktif dalam supositoria dapat dibuat tersuspensi atau terlarut. Sekarang banyak zat yang terlarut dalam basis tetapi dilepaskan lebih lambat dan lebih teratur bila disuspensikan dalam basisnya. Jadi, diperlukan pemakaian zat aktif yang larut-air dan hidrofil. Pemakaian basis hidrofil untuk senyawa yang lipofil tidak selalu diperlukan, karena laju pelarutan zat pembawa dan kekentalan akhir dalam cairan rektum merupakan faktor yang paling penting. Dari semua pembawa, pelepasan yang paling lambat terjadi dari pembawa lemak. Sebaliknya, penggunaan supositoria dengan zat aktif teremulsi tampaknya tidak memperbaiki pelepasan zat aktif, karena zat aktif tersebut terlarut dalam butiran air yang teremulsi dalam fase lemak. Pengurangan laju pemindahan zat aktif dapat juga terjadi bila supositoria mengandung zat aktif larut-air yang disuspensikan dalam zat berlemak dengan indeks hidroksil yang tinggi. Pada kontak dengan cairan rektum, adanya zat mono atau digliserida dalam pembawa akan mempermudah proses pengemulsian sebagian cairan rektum didalam leburan pembawa lemak. Cairan tersebut selanjutnya akan melarutkan zat aktif dalam tetesan (dalam bentuk larutan jenuh), yang teremulsi dalam leburan pembawa dan membatasi perpindahan zat aktif. Indeks hidroksil zat pembawa tidak berperan bila nilainya lebih kecil dari 50. 2) Kelarutan zat aktif Bila zat aktif sangat larut-lemak dan dalam dosis kecil maka kecil pula untuk menembus cairan rektum yang sedikit. Sebaliknya, jika zat aktif yang larut-lemak tetapi konsentrasinya mendekati jenuh akan menembus cairan rektum dengan mudah. 3) Koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan cairan rektum Zat aktif larut-lemak mula-mula akan terlarut dalam basis supositoria sebelum melewati permukaan film-cair dengan berbagai mekanisme difusi sederhana. Zat aktif yang larut air harus dapat mencapai permukaan film cairan dengan berbagai mekanisme transpor, misalnya dengan pengendapan. Setelah mencapai permukaan tersebut, zat aktif selanjutnya akan dibasahi oleh fase air dan lepas dari basis dengan proses pelarutan. Bila senyawa semakin larut maka pencapaian permukaan tersebut semakin cepat. Koefisien partisi zat aktif diantara basis berlemak dan cairan rektum lebih besar dibandingkan koefisien partisi zat aktif dalam fase lemak dan air, karena terlebih dahulu terjadi keseimbangan antara dua kelarutan. 4) Ukuran partikel zat aktif Dalam sediaan supositoria tidak dianjurkan menggunakan partikel yang berukuran terlalu kecil karena dapat menyebabkan peningkatan kekentalan dari massa yang melebur dan selanjutnya akan menghambat tahap lanjutan. Kristal yang kecil dapat terpapar lebih baik, larut lebih cepat dalam cairan rektum dan segera dapat meninggalkan fase lemak. Sedangkan partikel besar akan mengendap lebih cepat dan segara kontak dengan mukosa. Bila zat aktif telah terlarut maka selanjutnya akan menembus membran biologik dan mencapai peredaran darah atau tinggal dan memberikan efek setempat.
3.2.2 Faktor yang mempengaruhi kinetika penyerapan zat aktif yang diberikan per-rektum
1) Kedudukan supositoria setelah pemakaian
Bila zat aktif dilepaskan pada ampula recti bagian atas maka zat tersebut oleh darah akan dibawa kehati atau mengikuti “perlintasan hati pertama”. 2) Waktu-tinggal supositoria didalam rektum Untuk suatu alasan yang belum jelas (terutama intoleransi), supositoria ditolak oleh subyek hingga jumlah yang diserap berkurang. 3) pH cairan rektum Membran rektum terdiri dari sel epitel yang sifat lipidnya serupa dengan mukosa lambung. Pada keadaan tersebut penyerapan terjadi terutama oleh mekanisme transpor pasif yang tergantung pada : - Koefisien partisi zat aktif dalam minyak/air - pKa zat aktif - pH cairan yang merendam membran Penyerapan rektum tergantung pada derajat ionisasi zat aktif. Zat aktif yang tak terionkan pada pH rektum (7,2-7,4) akan diserap lebih cepat. Karena kemampuan mendapar yang rendah dari cairan rektum, maka pH rektum mudah diubah dengan penambahan dapar yang sesuai dengan pH pembawa yang digunakan pada pembuatan supositoria, sehingga dapat meningkatkan penyerapan sejumlah zat aktif. 4) Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum Mekanisme perlintasan membran terutama terjadi secara difusi pasif, laju perpindahan secara langsung tergantung pada konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum, semakin tinggi konsentrasi maka semakin cepat laju penyerapan. Oleh sebab itulah maka senyawa organik tertentu (seperti garam natrium tolbutamida, barbiturat, asam salisilat) diserap lebih cepat dari bentuk asam yang bersangkutan. Penyerapan zat aktif dalam dosis kecil lebih sempurna dibandingkan dosis besar yang memungkinkan penyerapan diperlama. Konsentrasi zat aktif dalam cairan rektum merupakan fungsi dari kelarutan dan laju pelarutan zat aktif dalam cairan tersebut. Kelarutan itu sendiri tergantung pada sifat zat aktif (garam, ukuran kristal, bentuk kristal dan lain-lain) dan kelarutan tersebut dapat diubah dengan mengubah tetapan dielektrik cairan atau dosis (parasetamol, PEG) asal tidak melewati batas tertentu karena bila tidak akan terjadi penurunan penyerapan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan pembentukan kompleks antara zat aktif dengan zat pembawa yang dapat menghambat terjadinya penyerapan dan hal itu sesungguhnya merupakan ketidakcampuran obat. Penyerapan zat aktif dari supositoria tidak segera terjadi dan aktivitas farmakologinya sering menampakkan sedikit penyimpangan waktu dibandingkan dengan pemberian cara oral. Jumlah keseluruhan zat aktif yang diserap dari suatu supositoria dapat dihitung menurut cara Ritschel dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Higuchi untuk bentuk salep. Bila zat aktif larut dalam zat pembawa Jumlah Q zat aktif yang diserap setiap satuan luas permukaan dihitung menurut persamaan sebagai berikut :
h = Tebal lapisan leburan supositoria yang menutupi mukosa
C0 = Konsentrasi zat aktif yang terlarut dalam pembawa (g.cm-3) D = Koefisien difusi zat aktif dalam pembawa (cm2.s-1) t = Waktu setelah pemakaian supositoria (detik)
Jumlah (%) yang mencapai organ sasaran R dihitung dengan
persamaan berikut ini : R = 100 Q h . C0 Persamaan tersebut telah disederhanakan oleh W.I. Higuchi dan berlaku hingga 30-50% zat aktif dilepaskan. Q = 2 C0 √D . t π
R = 200 √D . t π . h2
Menurut Weiss, pada persamaan tersebut harus dipertimbangkan
koefisien partisi zat aktif. Bila zat aktif tersuspensi dalam pembawa, maka dipakai hipotesa sebagai berikut : 1) Partikel zat aktif dalam keadaan halus, jadi ukurannya lebih kecil dari tebal lapisan leburan basis supositoria 2) Konsentrasi zat aktif yang tersuspensi setiap satuan volume lebih besar dari yang terlarut dalam volume yang sama 3) Laju pelarutan partikel yang tersuspensi lebih tinggi dari laju difusi 4) Tidak ada interaksi antara pembawa yang melebur dan mukosa 5) Zat aktif yang dilepaskan pada permukaan leburan pembawa- mukosa diserap dengan cepat oleh mukosa 6) Jarak rata-rata antara partikel yang tersuspensi kecil
Dengan demikian harga Q dapat dihitung menurut persamaan
sebagai berikut : Q = jumlah yang diserap setiap satuan luas C0 = konsentrasi zat aktif yang tersuspensi dalam pembawa Cs = kelarutan zat aktif dalam pembawa D = tetapan difusi zat aktif dalam pembawa
Dengan penyusunan kembali, diperoleh persamaan :
Q =√ (2C0 - Cs) . Cs . D . t Persamaan tersebut berlaku sampai semua partikel zat aktif terlarut. Bila Cs dapat diabaikan terhadap C0 maka diperoleh persamaan : Q =√ 2 C0 . Cs . D . t
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa jumlah zat aktif
tersuspensi, yang dilepaskan dan diserap setelah difusi, berbanding lurus dengan akar kuadrat konsentrasi zat aktif yang tak terlarut, kelarutannya dalam pembawa, koefisien difusi dalam pembawa dan lama pemberian. Proses difusi dapat dihambat oleh bahan pengental seperti bentonit, koloid silika.