Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TETRALOGY OF FALLOT (TOF)

I. Definisi

Tetralogi Fallot adalah malformasi jantung kongenital sianotik dengan

komponen stenosis pulmonal, defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta yang

menyebabkan pangkal aorta melewati septum ventrikel/ over-riding aorta, serta

hipertrofi ventrikel kanan. Penyakit kompleks tersebut pertama kali dideskripsikan

oleh Fallot pada tahun 1881.4

II. Epidemiologi

TOF merupakan penyakit jantung bawaan sianotik yang paling umum terjadi.

Secara umum, tetralogi Fallot dijumpai pada tiga dari sepuluh ribu bayi baru lahir

hidup dan merupakan lebih kurang 10% dari seluruh kejadian penyakit jantung

bawaan.3,7 Insidensi 3,26% tiap 10.000 kelahiran hidup, atau sekitar 1.300 kasus

baru setiap tahunnya di Amerika Serikat. Data dari Rumah Sakit Umum Daerah

(RSUD) Dr. Soetomo Surabaya menunjukkan bahwa sebagian pasien tetralogi

Fallot berusia diatas 5 tahun, serta prevalensinya menurun setelah umur 10 tahun.4

III. Etiologi

TOF disebabkan oleh gangguan perkembangan sistem kardiovaskular pada

masa embrio. Terdapat peranan faktor endogen, eksogen, dan multifaktorial

(gabungan dari kedua faktor tersebut). Para ahli cenderung berpendapat bahwa

3
4

penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang secara terpisah menyebabkan

penyakit jantung bawaan.5

Gambar 1. Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan PJB.

IV. Patogenesis

Embriologi jantung bermulai dari adanya tuba. Terdapat dua bagian tuba,

yaitu trunkus arteriosus dan bulbus kordis yang berkembang menuju satu sama

bawah, menuju bulbus kordis. Perputaran ini akan memisahkan aorta dengan arteri

pulmonal. Deviasi ke arah anterior dari perputaran ini menyebabkan tetralogi

Fallot. Deviasi antero-septal pada pembentukan lubang septum ventrikular dapat

disertai dengan pembentukan jaringan fibrosa pada septum yang gagal mengalami

proses muskularisasi. Deviasi ini dapat ditemukan pada absennya obsrtuksi

subpulmonal, seperti pada defek septum ventrikel Eisenmenger. Oleh karena itu,

pada pasien dengan tetralogi Fallot, perlu dipastikan adanya morfologi abnormal

dari trabekula septoparietal yang melingkari traktur aliran subpulmonal. Kombinasi


5

adanya deviasi septum dan trabekulasi septoparietal yang hipertrofi menghasilkan

karakteristik adanya obstruksi aliran ventrikel kanan. Deviasi jaringan muskular

pada lubang septum juga menyebabkan adanya defek septum ventrikel dengan

gangguan alignment dan menyebabkan munculnya overriding dari aorta. Hipertrofi

miokardium ventrikel kanan merupakan konsekuensi hemodinamik akibat adanya

lesi yang disebabkan oleh deviasi lubang septum.6

Gambar 2. Kelainan anatomi pada TOF.

V. Patofisiologi

Komponen penting untuk menentukan derajat beratnya penyakit adalah

stenosis pulmonal, yang bervariasi dari sangat ringan sampai sangat berat, bahkan

dapat berupa atresia pulmonal. Stenosis pulmonal ini bersifat progresif. Tekanan

yang meningkat akibat stenosis pulmonal menyebabkan darah yang terdeoksigenasi


6

(yang berasal dari vena) keluar dari ventrikel kanan menuju ventrikel kiri melalui

defek septum ventrikel dan ke sirkulasi sistemik melalui aorta. Hal tersebut

menyebabkan hipoksemia sistemik dan sianosis. Bila stenosis pulmonal semakin

berat, maka semakin banyak darah dari ventrikel kanan menuju ke aorta. Pada

stenosis pulmonal yang ringan, darah dari ventrikel kanan menuju ke paru, dan

hanya pada aktivitas fisik akan terjadi pirau dari kanan ke kiri. Semakin

bertambahnya usia, maka infundibulum akan semakin hipertrofik, sehingga pasien

akan semakin sianotik. Obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan ini

menyebabkan kurangnya aliran darah ke paru yang menyebabkan hipoksia, maka

kompensasi untuk hipoksia adalah terjadinya polisitemia dan dibentuknya sirkulasi

kolateral (jangka panjang).5,7

Gambar 3. Aliran darah jantung pada TOF.

Terdapatnya defek septum ventrikel yang besar disertai stenosis pulmonal,

maka tekanan sistolik puncak (peak systolic pressure) ventrikel kanan menjadi
7

sama dengan tekanan sistolik puncak ventrikel kiri. Karena tekanan ventrikel kiri

berada dalam pengawasan baroreseptor, maka tekanan sistolik ventrikel kanan tidak

akan melampaui tekanan sistemik. Hal inilah yang menerangkan mengapa pada

tetralogi Fallot tidak atau jarang terjadi gagal jantung, karena tidak ada beban

volume sehingga ukuran jantung umumnya normal.5

Mekanisme terjadinya serangan sianotik belum diketahui secara pasti, namun

beberapa hipotesis telah dikemukakan, antara lain peningkatan kontraktilitas

infundibular, vasodilatasi perifer, hiperventilasi, dan stimulasi mekanoreseptor

ventrikel kanan.5

VI. Manifestasi Klinis

Menifestasi klinis tetralogi Fallot mencerminkan derajat hipoksia. Pada

waktu baru lahir biasanya bayi belum sianotik; bayi tampak biru setelah tumbuh.

Manifestasi klinis tetralogi Fallot mula – mula dapat mirip dengan defek septum

ventrikel dengan pirau dari kiri ke kanan dengan stenosis pulmonal ringan, sehingga

anak masih kemerahan. Apabila derajat stenosis bertambah, akan timbul sianosis.5

Salah satu manifestasi yang penting pada tetralogi Fallot adalah terjadinya

serangan sianotik (cyanotic spells, hypoxic spells, paroxysmal hyperpnea) yang

ditandai oleh timbulnya sesak napas mendadak, napas cepat dan dalam, sianosis

bertambah, lemas, bahkan dapat pula disertai kejang atau sinkop. Serangan tersebut

dapat berlangsung selama beberapa menit hingga jam, sehingga hipoksemia dapat

berujung pada kerusakan sel – sel otak. Frekuensi serangan sianotik bertambah pada

musim panas dan ada infeksi. Kateterisasi jantung dan supraventricular

tachycardia juga dikatakan dapat memicu terjadinya serangan.5,6


8

Anak dengan tetralogi Fallot biasanya belajar untuk meringankan gejala yang

dialaminya dengan posisi jongkok (squatting position) setelah dapat berjalan;

setelah berjalan beberapa lama, anak akan berjongkok untuk beberapa waktu

sebelum ia berjalan kembali. Posisi jongkok dapat menyebabkan peningkatan

resistensi sistemik vaskular dengan melekukkan arteri femoralis, sehingga

menurunkan pirau kanan ke kiri dan meningkatkan aliran darah ke paru.5

Pada bayi bentuk dada normal, namun pada anak yang lebih besar dapat

tampak menonjol akibat pelebaran ventrikel kanan. Jari tabuh (clubbing fingers)

dapat mulai terlihat setelah pasien berusia 6 bulan. Anak dapat menjadi iritatif

dalam keadaan kadar oksigen berkurang, atau memerlukan asupan oksigen yang

lebih banyak, anak dapat menjadi mudah lelah, mengantuk, atau bahkan tidak

merespons ketika dipanggil, menyusu yang terputus-putus.5

Pada anak dengan tetralogi Fallot, biasanya dijumpai keterlambatan

pertumbuhan, tinggi dan berat badan dan ukuran tubuh kurus yang tidak sesuai

dengan usia anak.5 Dalam perjalanan penyakit tetralogi Fallot, hal – hal berikut

dapat terjadi:5,7

• Polisitemia sebagai mekanisme kompensasi hipoksia / sianosis.

• Defisiensi relatif zat besi (anemia hipokromik).

• Spell hipoksik pada bayi.

• Gangguan pertumbuhan terjadi bila sianosis berat

• Abses otak dan kejadian serebrovaskular akibat gangguan peredaran darah otak.

• Endokarditis infektif.

• Regurgitasi aorta pada tetralogi Fallot berat dengan aorta yang dilatasi hebat.
9

• Koagulopati akibat sianosis berat yang lama.

VII. Diagnosis

Tetralogi Fallot dapat didiagnosis sebelum bayi lahir saat gambaran anatomi

jantung mulaiterlihat jelas pada ekokardiografi fetus, biasanya pada usia gestasi 12

minggu. Segera setelah didiagnosis, disarankan pengamatan antenatal serial dengan

interval 6 minggu untuk mengikuti pertumbuhan arteri pulmonalis, untuk menilai

kembali arah arteri paru utama dan aliran duktal dan untuk mengevaluasi, jika ada,

kelainan di luar jantung.1,5

Pada anamnesis, tidak hanya ditanyakan riwayat adanya manifestasi klinis

dari tetralogi Fallot, tetapi juga riwayat kehamilan, kelahiran, keluarga, serta

pertumbuhan dan perkembangan pasien. Pada semua pasien, terutama pada

neonatus, harus dibedakan apakah sianosis sentral atau perifer. Sianosis sentral

disebabkan oleh faktor jantung atau bukan. Kebanyakan neonatus normal

menunjukkan sianosis perifer pada tangan dan kaki yang kadang cukup hebat

terutama bila udara luar sangat dingin, biasanya menghilang dalam 48 jam dan

jarang nampak setelah 72 jam. Sianosis sentral yang terjadi segera pascalahir adalah

manifestasi hipoventilasi. Sianosis sentral pada saat lahir pada umumnya

disebabkan oleh penyakit jantung bawaan.5

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan berbagai manifestasi tetralogi

Fallot seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Getaran bising jantung jarang

teraba. Suara jantung 1 (S1) normal, sedangkan suara jantung 2 (S2) biasanya

tunggal (yakni A2). Terdengar bising ejeksi sistolik di daerah pulmonal, yang

makin melemah dengan bertambahnya derajat obstruksi (berlawanan dengan


10

stenosis pulmonal murni). Bising ini adalah bising stenosis pulmonal, bukan bising

defek septum ventrikel; darah dari ventrikel kanan yang melintas ke ventrikel kiri

dan aorta tidak mengalami turbulensi oleh karena tekanan sistolik antara ventrikel

kanan dan kiri hampir sama.5

Pada pemeriksaan laboratorium umumnya didapatkan kenaikan jumlah

eritrosit dan hematokrit yang sesuai dengan derajat desaturasi dan stenosis. Pasien

tetralogi Fallot dengan kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah atau normal

mungkin menderita defisiensi besi.5

Gambaran radiologis dada pada bayi dengan tetralogi Fallot umumnya

menunjukkan situs viseral normal, levokardia, ukuran jantung normal, penurunan

gambaran vaskular paru, dan mungkin arkus aorta terletak di sebelah kanan. Apeks

jantung nampak kecil dan terangkat, dan konus pulmonalis cekung. Gambaran ini

mirip dengan bentuk sepatu.5,7

Pada neonatus EKG tidak berbeda dengan anak normal. Pada anak mungkin

gelombang T positif di V1, disertai deviasi axis ke kanan dan hipertrofi ventrikel

kanan. Gelombang P di Lead II dapat tinggi (P pulmonal). Hipertrofi biventrikuler

dapat terlihat pada anak dengan tetralogi Fallot yang tidak menunjukkan sianosis.

Hipertrofi atrium kanan kadang terlihat.5

Kateterisasi jantung tidak diperlukan bila pasien akan dilakukan tindakan

bedah paliatif, misalnya pembuatan pintasan Blalock-Taussig. Akan tetapi

kateterisasi biasanya diperlukan sebelum tindakan bedah koreksi dengan maksud

untuk:

 Mengetahui terdapatnya defek septum ventrikel multipel (5%).


11

 Mendeteksi kelainan arteri koroner (5%).

 Mendeteksi stenosis pulmonal perifer (28%).

Tindakan katerisasi dapat dikonfirmasikan terdapatnya penurunan saturasi

oksigen setinggi aorta, peningkatan tekanan di ventrikel kanan, dengan tekanan

arteri pulmonalis normal atau rendah. Dimensi serta kontraktilitas ventrikel kiri,

morfologi dan ukuran arteri pulmonalis, terdapatnya kolateral, serta anatomi arteri

koroner dapat didemonstrasikan dengan angiokardiografi. Hal – hal tersebut sering

tidak dapat diperoleh dengan pemeriksaan ekokardiografi. Pada pasien tetralogi

Fallot, kateterisasi dilakukan untuk jantung kanan dan kiri, serta dilakukan pula

diventrikulografi dan aortografi.5

VIII. Tatalaksana

Tatalaksana terhadap pasien terdiri dari perawatan medis serta tindakan

bedah. Tatalaksana medis yang baik diperlukan untuk persiapan prabedah dan

perawatan pascabedah.5

Tatalaksana medis:5

 Pada serangan sianotik akut:

 Pasien diletakkan dalam knee – chest position.

 Diberikan O2 masker 5 – 8 liter / menit.

 Morfin sulfat 0,1 – 0,2 mg /kgBB/subkutan (sebagian ahli menyarankan

intramuscular).

 Diberikan sodium bikarbonat 1 meq/kgBB/IV untuk koreksi asidosis.

 Diberikan transfusi darah bila kadar hemoglobin <15 g/dl, jumlah darah rata

– rata yang diberikan adalah 5 ml/kgBB.


12

 Diberikan propanolol 0,1 mg/kgBB/IV secara bolus.

 Jangan memberikan Digoxin pada saat pasien menderita serangan sianotik

karena akan memperburuk keadaan.

 Apabila tidak segera dilakukan operasi, dapat diberikan propranolol rumat

dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. Bila pasien mengalami

serangan sianotik disertai dengan anemia relatif, maka diperlukan preparat

Fe. Dengan Fe ini akan terjadi retikulosistosis dan kadar hemoglobin

meningkat.

 Hiegene mulut dan gigi perlu diperhatikan, untuk meniadakan sumber

infeksi untuk terjadi endocarditis infektif atau abses otak.

 Terjadinya dehidrasi harus dicegah khususnya pada infeksi interkuren.

 Orang tua perlu diedukasi atau diajarkan untuk mengenali serangan sianotik

dan penanganannya.

 Tatalaksana intervensi non bedah:

o Dilatasi alur keluar ventrikel kanan dan katup pulmonal dengan

balon, kadang dilakukan untuk megalami gejala berat.

o Pemasangan stent pada duktus arteriosus persisten bisa juga

dikerjakan bila stenosis pulmonal berat atau atretik.

 Tatalaksana bedah terdiri dari 2 jenis, yakni operasi paliatif untuk

menambah aliran darah baru, dan bedah korektif. Bedah paliatif bertujuan

meningkatkan aliran darah pulmoner, dilakukan pada:

o Neonatus tetraogi Fallot berat / atresia pulmonar dengan hipoksia

berat.
13

o Bayi tetraogi Fallot denga annulus pulmonary atau arteri pulmonalis

hipoplastik.

o Bayi tetralogi Fallot dengan usia < 3-4 bulan dengan spell berulang

yang gagal diterapi.

o Bayi tetralogi Fallot dengan berat < 2,5 kg.

o Anak tetralogi Fallot dengan hipoplastik cabang – cabang arteri

pulmonalis (diameter dibawah ukuran tengah yang dibuat oleh

Kirklin).

o Anomali arteri koroner yang melintang di depan alur keluar

ventrikel kanan.

IX. Komplikasi

Satu atau lebih komplikasi berikut dapat terjadi pada pasien tetralogi Fallot

yang tidak dikoreksi:5

 Bencana serebrovaskular (cerebrovascular accident) dapat terjadi pada pasien

berumur kurang dari 5 tahun, biasanya terjadi setelah serangan sianotik, pasca

kateterisasi jantung, atau dehidrasi.

 Abses otak dapat terjadi pada pasien yang berusia pada pasien yang berusia lebih

dari 5 tahun, dengan gejala sakit kepala, muntah – muntah, disertai gejala

neurologis.

 Endokarditis infektif dapat terjadi pascabedah rongga mulut dan tenggorok,

seperti manipulasi gigi, tonsilektomi, dan lain – lain. Infeksi lokal di kulit, tonsil,

dan nasofaring juga merupakan sumber infeksi yang dapat mengakibatkan

endokarditis.
14

 Anemia relatif, yang ditandai dengan hematokrit yang tinggi dibandinkan

dengan kadar hemoglobin. Pada darah tepi didapatkan hipokromia, mikrositosis,

dan anisositosis.

 Trombosis paru. Trombosis lokal pada pumbuluh darah paru kecil, ini akan

menambah sianosis.

 Perdarahan. Pada polisitemia hebat, trombosit dan fibrinogen menurun hingga

dapat terjadi ptekie, perdarahan gusi. Hemoptisis terjadi pada pasien yang lebih

tua karena lesi trombotik di paru.

X. Prognosis

Pada pasien tetralogi Fallot, apabila tidak dilakukan operasi, dapat terjadi

salah satu atau lebih kemungkinan berikut: 1) pasien meninggal akibat serangan

sianotik, 2) stenosis infundibular makin hebat, sehingga pasien makin sianotik, atau

3) terjadi abses otak atau komplikasi lain.3 Secara alamiah, 50% pasien tetralogi

Fallot yang tidak dikoreksi akan meninggal pada umur sekitar 5 tahun, 25% pada

usia sekitar 10 tahun, dan hanya 11% saja yang bisa bertahan hidup sampai umur

25 tahun, 6% sampai umur 30 tahun, dan hanya 3% yang mencapai usia 40 tahun.5

Prognosis pasien yang lahir pada era saat ini diharapkan akan jauh lebih

dengan adanya kemajuan teknologi dan penanganan medis dan operatif pada

dekade – decade terakhir. Dari seluruh pasien dengan malformasi kongenital pada

jantung, penanganan pasien tetralogi Fallot tidak berhenti pada saat setelah

perbaikan penuh, tetapi berlanjut seumur hidup dengan pemantauan atau kontrol

berkala dengan kardiolog yang ahli dengan penyakit jantung bawaan.


15

B. DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

I. Definisi

Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF)

adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi

klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam,

limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan

hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan

dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai

oleh renjatan/syok.8

II. Etiologi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan

RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul

lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus

Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60

nm, mempunyai RNA positif sense yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif

terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC

4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4.8

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri,

terdapat 2 faktor lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus

dengue dikatakan menyerang manusia dan primata yang lebih rendah. Vektor

utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula Aedes

albopictus betina.
16

III. Patofisiologi

Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel

hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia

sebagai pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein.

Persaingan tersebut sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik

maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah

maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan

kematian.7

Patogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial.

Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder

(teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.

Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami

infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog

mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi

heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan

menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian

berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh

karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga

akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai

antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan

infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan

terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian


17

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga

mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.9

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary

heterologous infection dapat dilihat pada Gambar 4 yang dirumuskan oleh Suvatte,

tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan

pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu

beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan

menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus

dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya

virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus

kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan

mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi

C3dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien

dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan

berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya,

peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di

dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara

adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh

karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.9,10


18

Gambar 4. Patogenesis terjadinya syok pada DBD.10

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi

selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.

Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi

trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada

membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat),

sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga

terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran

platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi

intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen

degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.9

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,

sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan
19

baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen

sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan

permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan

masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan

(akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.10

Gambar 5. Patogenesis terjadinya perdarahan pada DBD.

IV. Manifestasi Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari

interaksi antara kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi

virus dengue dapat tidak menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi

klinis ringan yaitu demam tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan

bermanifestasi berat dengan demam berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau

sindrom syok dengue (SSD). Namun, untuk alasan praktis, infeksi dengue yang
20

tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu

pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.10

Gambar 6. Spektrum klinis infeksi virus dengue.

Masa tunas atau inkubasi selama 3-15 hari sejak seseorang terserang virus

dengue, Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala

demam berdarah sebagai berikut:8

1) Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38-400 C).

2) Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya jentik (purpura) perdarahan.

3) Adanya bentuk perdarahan di kelopak mata bagian dalam (konjungtiva),

Mimisan (Epitaksis), Buang air besar dengan kotoran (Peaces) berupa lendir

bercampur darah (Melena), dan lain-lainnya.

4) Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).

5) Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.


21

6) Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3-7 terjadi penurunan

trombosit di bawah 100.000 /mm3 (Trombositopenia), terjadi peningkatan

nilai Hematokrit di atas 20% dari nilai normal (Hemokonsentrasi).

7) Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah,

penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang

dan sakit kepala.

8) Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.

9) Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal atau sakit

pada persendian.

10) Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah

V. Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan

severe dengue dapat dilihat pada Gambar 7.11


22

Gambar 7. Klasifikasi infeksi dengue.

WHO membagi DBD menjadi 4:

a. Derajat 1

Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala

klinis(nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan

spontan,trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.

b. Derajat 2

Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain seperti

mimisan,muntah darah dan berak darah.


23

c. Derajat 3

Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah

rendah(hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar

mulut, hidung dan jari(tanda-tand adini renjatan).

d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4

Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur

a) Pemeriksaan Laboratorium8,9

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang

diagnosis DBD adalah pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan

isolasi virus. Yang signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap,

selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif dengan isolasi virus,

identifikasi virus dan serologis.

- Darah lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin,

hematokrit, jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu

dijumpai pada DBD merupakan indikator terjadinya perembesan plasma,

Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan leukopenia.

- Uji serologi

1. Uji hemaglutinasi inhibasi (Haemagglutination Inhibition Test = HI

test)

Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering

dipakai dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis.

2. IgM Elisa (IgM Captured Elisa = Mac Elisa)


24

Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak

sekali dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM

dalam serum pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac

elisa adalah :

a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul

IgM yang diikuti oleh IgG.

b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat

ditentukan diagnosis yang tepat.

c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu

diulang.

d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai

negatif.

e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah

adanya infeksi. Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga

dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh

dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan

kasus.

f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI,

dengan kelebihan uji mac elisa hanya memerlukan satu serum

akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI.

3. IgG Elisa

Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji

HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk
25

infeksi dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG

elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya, hasil uji serologi

dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap

titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).

b) Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain :

1. Dilatasi pembuluh darah paru

2. Efusi pleura

3. Kardiomegali atau efusi perikard

4. Hepatomegali

5. Cairan dalam rongga peritoneum

6. Penebalan dinding vesika felea

VI. Tatalaksana12

Pasien anak bukanlah pasien dewasa yang berukuran kecil. Ada banyak

aspek yang harus diperhatikan ketika merawat pasien anak. Pasien anak memiliki

sistem organ yang sedang tumbuh, tidak sematang pasien dewasa. Terapi cairan

yang terlalu agresif atau tidak adekuat akan berbahaya bagi pasien anak. Terapi

cairan yang proporsional diharapkan akan memberikan outcome klinis yang baik.

Indikasi pemberian terapi cairan pada pasien DBD adalah:

1. Trombositopenia < 100.000/mm3

2. Peningkatan Hematokrit > 10-20%

3. Pasien tidak dapat makan-minum melalui jalur oral

4. Tanda-tanda syok yang jelas


26

Jenis cairan yang dapat dipilih adalah cairan kristaloid atau koloid. Jumlah

cairan yang diberikan bergantung fase penyakit dan berat badan pasien. Pada pasien

DBD yang memasuki fase kritis, jumlah cairan yang harus diberikan adalah jumlah

cairan rumatan ditambah deficit 5-8%. Jumlah tersebut setara dengan jumlah cairan

yang dibutuhkan pada kondisi dehidrasi sedang. Pada pasien dengan berat badan

lebih dari 40 kg, total cairan intravena yang diberikan setara dengan 2 kali jumlah

cairan rumatan. Pada pasien obesitas, perhitungan cairan intravena berdasar atas

berat badan ideal.

Pedoman Tetesan Infus pada Demam Berdarah Dengue Anak

Pada kasus DBD non syok, pasien dengan berat badan 15-40 kg diawali

dengan tetesan 5 mL/kgBB/jam. Sedangkan pada anak dengan berat badan lebih

dari 40 kg, mulai dengan 3-4 mL/kgBB/jam. Pada kasus DBD derajat 3, mulai

dengan tetesan 10 mL/kgBB/jam. Pada anak dengan DBD derajat 4, "grojok" cairan

selama 10-15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur. Kemudian setelah

nadi dan tensi dapat terukur, turunkan pemberian cairan hingga 10 mL/kgBB/jam.

Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase penyembuhan.

Waspadai kemungkinan bahaya overload cairan. Pada pasien seperti ini,

cairan intravena harus diberikan minimal agar tidak terjadi kebocoran ke dalam

rongga pleura dan abdominal yangdapat menyebabkan distres nafas dalam

perjalanan penyakitnya. Indikator klinis yang perlu diperhatikan dalam penentuan

jumlah cairan yang diberikan meliputi:

1. Kondisi klinis: penampilan umum, pengisian kapiler, nafsu makan

2. Tanda vital: tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nafas


27

3. Kadar hematokrit

4. Produksi urin

Monitoring Syok

Setelah syok teratasi, pantau pasien 1-2 jam. Ulangi pemeriksaan

hematokrit bila nadi dan tensi tidak stabil (tekanan nadi cepat dan lemah) dalam 2

jam pertama. Pemeriksaan tersebut penting untuk memutuskan apakah perlu

digunakan cairan koloid sebagai cairan pengganti. Apabila hematokrit terbukti naik

dan tanda vital tetap tidak stabil, ganti cairan kristaloid dengan cairan koloid dengan

tetesan 10 mL/kgBB/jam. Pada kondisi seperti ini, mulai persiapkan darah untuk

transfusi.

Pada pasien DBD derajat 4, apabila kadar hematokrit sejak awal rendah,

pikirkan kemungkinan perdarahan internal. Pantau hematokrit lebih sering. Berikan

transfusi darah segera. Monitoring dan lakukan koreksi jika ada gangguan metabolit

dan atau elektrolit contohnya: hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan

asidosis. Setelah 6 jam pemberian cairan koloid namun hematokrit terus turun dan

tanda vital tetap tidak stabil, pertimbangkan untuk pemberian transfusi darah

segera. Indikasi dilakukan transfusi darah pada pasien DBD derajat 4 adalah bila

dapat dibuktikan kehilangan darah yang bermakna secara klinis dan pasien

mengalami perdarahan yang tersembunyi.

Apabila pasien mengalami kehilangan darah bermakna (>10% volume

darah total), berikan transfusi darah sesuai kebutuhan. Total volume darah adalah

80 ml/kgBB. Dianjurkan menggunakan Packed Red Cell (PRC), namun jika tidak

tersedia maka transfusi darah segar dapat menjadi pilihan. Pada pasien dengan
28

perdarahan tersembunyi, jumlah transfusi yang dianjurkan adalah 10 mL/kgBB/kali

(darah segar) atau 5 mL/kgBB/kali (PRC).

Cairan Koloid Pilihan

Dekstran-40 (10% dekstran dalam normal salin) adalah cairan dengan

osmolaritas 3 kali plasma darah, sehingga diharapkan dapat mengikat air lebih baik.

Tetesan dekstran-40 harus 10 mL/kgBB/jam sehingga dapat mempertahankan

osmolaritas maksimum ketika diberikan kepada pasien anak. Dosis maksimumnya

adalah 30 mL/kgBB/jam. Pemberian yang melebihi dosis maksimum dapat

menyebabkan gagal ginjal akut iatrogenik. Lama pemberian yang dianjurkan tidak

lebih dari 24-48 jam.

Anda mungkin juga menyukai