Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana

bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Salah satu cara untuk meningkatkan

taraf hidup adalah dengan mengembangkan perekonomian dan

perdagangan.

Lembaga perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai

peran strategis dalam pengadaan dana, dalam bentuk pemenuhan

kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberikan

pinjaman uang atau kredit melalui kredit perbankan, yaitu berupa

perjanjian kredit antara kreditor sebagai pihak pemberi pinjaman dengan

debitor sebagai pihak yang berhutang.

Dalam Pasal 1 (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan, “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan uang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan

pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak

peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan

pemberian bunga.” Salah satu hal yang dipersyaratkan bank dalam

pemberian kredit yaitu adanya perlindungan berupa jaminan yang harus

diberikan debitur guna menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan


2

kepastian hukum, apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan debitur

tidak melunasi hutangnya atau melakukan wanprestasi.

Barang jaminan baik dapat berupa benda bergerak maupun benda

tidak bergerak bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh kreditur, karena

perjanjian kredit bukanlah merupakan suatu perjanjian jual beli yang

mengakibatkan perpindahan hak milik atas suatu barang, akan tetapi

barang jaminan tersebut jadi sah dipergunakan untuk melunasi utang

dengan cara barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi

utang debitur, dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan

kepada debitor.

Sebenarnya kegunaan dari agunan atau jaminan itu adalah untuk

memberikan hak kepada pihak kreditor agar pihak debitor melakukan

pelunasan terhadap kredit yang diambil, jika pada waktu yang telah

ditetapkan pihak debitor tetap belum bisa melunasi maka sebagai gantinya

adalah barang yang dijaminkan tersebut.

Didalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yang berbunyi : “Segala kebendaan si berutang, baik yang

bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang

baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan”, pasa tersebut merupakan ketentuan jaminan yang

bersifat umum. Sedangkan jaminan yang bersifat khusus diatur dalam

Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana “Kebendaan

tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang


3

mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagibagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang

masingmasing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-

alasan yang sah untuk didahulukan”.1 Apabila seorang debitur mempunyai

beberapa kreditur maka kedudukan para krditur adalah sama (partias

creditorium). Kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-

alasan yang sah untuk didahulukan, maka jaminan tersebut dapat

memberikan perlindungan khusus bagi kreditur, salah satunya adalah hak

jaminan atas tanah yang dibebankan dengan Hak Tanggungan atau disebut

dengan Hak Tanggungan.

Hak Tanggungan berdasarkan UUHT Pasal 1 Angka 1 adalah hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

kepada kreditur-kreditur lain.

Mengenai Hak Tanggungan, yang merupakan hak jaminan atas

tanah guna pelunasan utang tertentu, memberi kedudukan yang

diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain,

bahwa jika debitur wanprestasi, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan

berhak menjual objek yang dijadikan jaminan dengan hak mendahulu para

1
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 2006), hal. 291.
4

krediturkreditur lainnya (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996). Menurut Penjelasan Umum UUHT pada Angka 4, yang dimaksud

dengan “memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur

pemegang Hak Tanggungan” yaitu jika debitor cidera janji, maka kreditur

pemegang Hak Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan

(objek Hak Tanggungan) melalui pelelangan umum, dengan hak

mendahulu daripada kreditur-kreditur lainnya (droit de preference).

Dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan, maka Hak

Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah

dalam Hukum Tanah Nasional yang tertulis.2

Didalam penjelasan umum UUHT disebutkan ciri-ciri dari Hak

Tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah yang kuat adalah :

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegangnya.

2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun

obyek itu berada.

3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat

pihak ketiga dan memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, dan

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

2
Boedi Harsono dalam R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit
Menurut Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hal 402.
5

Dengan demikian dapat dijadikan alasan, bahwa keberadaan

jaminan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit, merupakan prioritas

utama untuk dapat direalisasinya kredit yang dimohonkan oleh debitur.

Dalam proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui

2 (dua) tahap kegiatan, yaitu :

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian utang

piutang yang dijamin.

2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan yang merupakan saat

lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.

Pada asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan

sendiri oleh Pemberi Hak Tanggungan, dan apabila Pemberi Hak

Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) maka didalam kebutuhannya wajib menunjuk pihak lain

sebagai kuasanya dengan dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Sedangkan pasal

15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan juga menentukan bahwa

SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan

kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik namun pilihannya

bukan hanya dengan akta Notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan

akta PPAT.

SKMHT harus diberikan langsung oleh Pemberi Hak Tanggungan

dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya, sebagaimana


6

ditetapkan pada Pasal 15 UUHT. Tidak dipenuhinya persyaratan

mengenai muatan SKMHT ini mengakibatkan surat kuasa yang

bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang

bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak permohonan

untuk membuat APHT apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh

Pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan mengenai

muatannya. Persyaratan-persyaratan mengenai muatannya tersebut

menunjukan bahwa SKMHT memang sengaja dibuat khusus untuk

tujuan pemasangan Hak Tanggungan, kemudian mencerminkan

adanya kepastian hukum, kepastian subjek dan objek haknya,

kepastian tanggal pembuatannya sehingga sulit untuk dibantah

mengenai keabsahannya. Didalam pemasangan dan pendaftaran Hak

Tanggungan dalam kondisi tertentu diperlukan terlebih dahulu

pembuatan SKMHT, terkait dengan kondisi objek Hak Tanggungan.

Dinamisasi hukum di sisi lain adalah sebuah keniscayaan yang

memperhitungkan aspek kemungkinan dan ketidakmungkinan.

Rutinitas yang sangat beragam dan berimplikasi pada kemungkinan

berhalangan hadir pada saat seharusnya penandatanganan APHT

dilakukan, memberi sinyalemen bahwa tidak mungkin untuk dilakukan

penandatanganan akta secara langsung pada saat itu. Dalam kondisi

demikian hukum memberikan solusi dengan cara pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan dalam bentuk SKMHT yang


7

bentuknya telah ditetapkan. Fungsi dan kegunaan dari SKMHT adalah

sebagai alat untuk mengatasi apabila pemberi Hak Tanggungan tidak

dapat hadir dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dan surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh

pemberi Hak Tanggungan.

B. Identifikasi Masalah

1. Apakah dasar hukum dan isi SKMHT berdasarkan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan?

2. Apakah hambatan-hambatan yang di hadapi dalam pelaksanaan

pemberian SKMHT?

C. Perumusan Masalah

1. Bagaimana dasar hukum dan isi SKMHT berdasarkan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

2. Bagaimana hambatan-hambatan yang di hadapi dalam pelaksanaan

pemberian SKMHT.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Utnuk memberikan gambaran mengenai dasar hukum dan isi SKMHT

berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan.

2. Untuk menggambarkan hambatan-hambatan yang di hadapi dalam

pelaksanaan pemberian SKMHT.


8

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Untuk mendapatkan masukan yang berharga sehingga diharapkan

dapat menambah pengetahuan bagi penulis serta dapat memberikan

sumbangan pemikiran yang berguna bagi masyarakat pada umumnya

dan khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Pamulang Tangerang

Selatan.

2. Manfaat Praktis

Untuk mendapatkan gambaran yang cukup jelas mengenai dasar

hukum, dan isi; pelaksanaan pemberian SKMHT dan akibat hukum

tidak dilaksanakannya SKMHT berdasarkan ketentuan Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan beserta

hambatan dalam pelaksanaannya.

E. Kerangka Teori

Pengertian Hak Tanggungan menurut Adrian Sutedi adalah hak

jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur

lain. Dalam arti, jika Debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak

Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang

dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditur yang lain.

Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi

preferensi piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku.


9

Sedangkan Henry S. Siswosoediro berpendapat bahwa Hak

Tanggungan adalah jaminan atas tanah dan tidak termasuk gadai, kreditur

hanya menguasai tanah dan rumah secara yuridis saja berdasarkan

Undang-Undang Hak Tanggungan. Debitur tetap merupakan pemegang

Hak Tanggungan, yang menguasai secara yuridis dan fisik hak atas tanah

tersebut.

Menurut Salim H.S, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang

dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu

yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

dan terhadap kreditur-kreditur lainnya.

Pengertian jaminan menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah

“suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan/atau pihak

ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu

perikatan.

Menurut Guse Prayudi, “tanah yang termasuk benda tetap dapat

dijadikan jaminan dalam perjanjian utang piutang, tetapi yang dijaminkan

bukan tanahnya akan tetapi dalam bentuk hak atas tanahnya.

F. Metode Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan

suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati,


10

tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan

manusia, maka metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-

prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam

melakukan penelitian.3

Metode berasal dari bahasa yunani “Methodos“ yang artinya

adalah cara atau jalan.metode ini menyangkut masala cara kerja, yaitu cara

kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.4

G. Sistematika Peulisan

Untuk memudahkan penulisan dan pembahasan hasil penelitian

dibuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang

penulisan, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode peneliitan

dan sistematika penulisan.

3
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.
6.
4
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, CV
Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 6.
11

DAFTAR PUSTAKA

https://centrausaha.com/barang-aset-jaminan-pinjaman-bank/ di

akses tanggal 16 Mei 2019 pukul 08.15 WIB.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

(Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), hal. 291.

Boedi Harsono dalam R. Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk

Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya

Bakti, 1989), hal 402.

http://merryyunitakandi.blogspot.com/2014/12/ciri-hak-

tanggungan.html di akses tanggal 16 Mei 2019 pukul 08.34 WIB.

Anda mungkin juga menyukai