Anda di halaman 1dari 6

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974

TENTANG
PERKAWINAN

TUGAS
CAPAIAN 1 (CP1)
PENEMUAN HUKUM

MOHAMMAD SUARNO NUR


NIM : 12219017

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA SURABAYA
2019
Undang-undang No 1 Tahun 1974
Tentang
Perkawinan

Bila Hukum Positif Bertentangan dengan Asas Hukum

Berkaitan dengan asas hukum, tiap aturan hukum itu berakar pada suatu asas
hukum, yakni ‘suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat
secara tepat dan adil’. Mengutip Paul Scholten, ia mengatakan bahwa asas hukum
adalah ‘pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem
hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
putusan-putusan individual tersebut dapat dipandang sebagai penjabarannya’.

Dengan demikian, menurut Arief Sidharta, ‘asas hukum merupakan meta-kaidah


yang berada di belakang kaidah, yang memuat kriteria nilai yang untuk dapat
menjadi pedoman berperilaku memerlukan penjabaran atau konkretisasi ke dalam
aturan-aturan hukum’.

Asas-asas hukum berfungsi, antara lain, untuk menetapkan wilayah penerapan


aturan hukum pada penafsiran atau penemuan hukum, sebagai kaidah kritis
terhadap aturan hukum, kaidah penilai dalam menetapkan legitimitas aturan
hukum, kaidah yang mempersatukan aturan-aturan atau kaidah-kaidah hukum,
menjaga/memelihara konsistensi dan koherensi aturan-aturan hukum.

Asas hukum dapat diidentifikasi dengan mengeneralisasi putusan-putusan hakim


dan dengan mengabstraksi dari sejumlah aturan-aturan hukum yang terkait pada
masalah kemasyarakatan yang sama. Dengan kata lain, asas hukum dapat
ditemukan dari putusan hakim ataupun hukum positif pada umumnya. Semestinya
tiap hukum positif memuat asas hukum, baik secara tersurat (dalam bentuk pasal)
ataupun tersirat.
Dalam praktik, berbagai asas hukum dapat saja saling bertentangan. Dalam hal
terjadi demikian, penggunaan asas hukum tertentu akan ditentukan oleh akal budi
dan nurani manusia. Arief Sidharta mengutip D.H.M. Meuwissen, menggolongkan
asas-asas hukum ke dalam klasifikasi berikut:
1. asas-asas hukum materiil:
1. respek terhadap kepribadian manusia
2. respek terhadap aspek-aspek kerohanian dan aspek-aspek
kejasmanian dari keberadaan manusia sebagai pribadi
3. asas kepercayaan yang menuntut sikap timbal-balik
4. asas pertanggungjawaban
5. asas keadilan
2. asas-asas hukum formal:
1. asas konsistensi
2. asas kepastian
3. asas persamaan.

Selain asas-asas hukum yang bersifat umum di atas, pada setiap bidang hukum
terdapat berbagai asas hukum yang bersifat khusus. Dalam bidang hukum perdata
misalnya, dikenal asas kebebasan berkontrak, atau dalam bidang hukum tata negara
dikenal adanya asas pembagian atau pemisahan kekuasaan, dalam bidang hukum
administrasi dikenal asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan sebagainya.

Kekaburan Norma
Sebagai contoh, selama ini dalam hukum perkawinan dikenal asas bahwa anak
yang lahir di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu
kandung (dan keluarga ibunya). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, mengubah asas yang mendasari Pasal 43 ayat (1) undang-undang
tersebut secara fundamental. Putusan tersebut menegaskan bahwa anak yang lahir
di luar perkawinan, tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya, namun juga dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya (vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 37).

Dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, bahwa:

“hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata


karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapatjuga didasarkan pada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak denganlaki-laki tersebut
sebagai bapak” ( vide Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 35).

Artinya, putusan tersebut juga melegitimasi hubungan keperdataan antara anak -


bapak, tanpa didasarkan adanya ikatan “perkawinan” (bukan sekedar tidak
dicatatkan). Walaupun Mahkamah Konstitusi mendasarkan putusan tersebut atas
dasar perlindungan hukum terhadap anak, namun sangat mungkin substansi
putusan tersebut, tidak dapat diterima oleh mayoritas masyarakat pada umumnya.
Hal ini disebabkan, hubungan seksual tanpa didahului perkawinan, apalagi yang
berakibat pada kehamilan dan kelahiran anak, dianggap sebagai tindakan yang
melanggar kesusilaan. Putusan tersebut menunjukkan adanya hukum positif yang
tidak mengindahkan, atau bahkan mengubah asas hukum secara fundamental, yang
jika dilihat dari segi dasar keberlakuan hukum, kurang memenuhi dasar berlaku
dari aspek sosiologis (penerimaan oleh masyarakat) dan aspek filosofis (pandangan
dan nilai-nilai dalam masyarakat). Hal tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat
efektifitas dan keampuhan (efficacy) putusan tersebut dalam praktik.

Konflik Norma
Harta Dalam Perkawinan Menurut KUH Perdata dan UU Perkawinan
Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta
bersama. Di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”) disebutkan:
Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum
terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal
itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri.

Lebih lanjut, setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi
dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa
mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.[1]

Soal harta benda dalam perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun


1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) mengatur sebagai berikut:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Perjanjian Perkawinan/Prenuptial Agreement


Para calon suami istri dengan perjanjian perkawinan dapat menyimpang dari
peraturan undang-undang mengenai harta bersama asalkan hal itu tidak
bertentangan dengan tata susila yang baik atau dengan tata tertib umum.[2]

Menjawab pertanyaan Anda soal hal-hal yang diatur dalam Perjanjian Perkawinan,
materi yang diatur dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon
istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan
atau kesusilaan.

Namun dalam praktiknya, sebagaimana kami kutip dari artikel Perkawinan


Campuran (2), menurut advokat Anita D.A. Kolopaking, perjanjian perkawinan
yang lazim disepakati antara lain berisi:
1. Harta bawaan dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-
masing maupun dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh
masing-masing selama perkawinan.
2. Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka
yang dibuat oleh mereka selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan
suami atau istri.
3. Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak dan dengan tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik
hartanya itu maupun pekerjaannya atau sumber lain
4. Untuk mengurus hartanya itu, istri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari
suami.
5. dan lain sebagainya.

Perjanjian perkawinan kini boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam
ikatan perkawinan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan
jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:
(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan
perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat
mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah
atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak
merugikan pihak ketiga.

Menjawab pertanyaan Anda lainnya, merujuk pada pasal di atas, perjanjian


perkawinan dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan
atau notaris. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
ini tersangkut.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai