Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN KARDIOLOGI & LAPORAN KASUS

KEDOKTERAN VASKULAR DESEMBER 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

STEMI EXTENSIVE WHOLE ANTERIOR


WALL ONSET 7 HOURS KILLIP 2

DISUSUN OLEH :
Hizkia Siahaan
Reinaldo Mukti
Ichlas Adhi Putra
Romita Jeng
Irvin Nickolas Lusikooy

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD, Sp.JP (K), FIHA, FAcSS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Hizkia Siahaan
NIM : C014182030
Universitas : Universitas Hasanuddin
Judul Laporan Kasus : STEMI Extensive Whole Anterior Wall Onset 7 Hours
Killip 2

telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Kardiologi dan


Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 13 Desember 2019

Supervisor Pembimbing

Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD, Sp.JP (K), FIHA, FAcSS

2
DAFTAR ISI

Halaman sampul ..................................................................................................... 1

Halaman pengesahan .............................................................................................. 2

Daftar Isi................................................................................................................. 3

BAB I Laporan Kasus ............................................................................................ 4

BAB II Diskusi Kasus……….…………………………………………….....…13

Daftar Pustaka ………………………..................................................................33

3
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. NA
Tanggal Lahir / Usia : 23-09-1976 / 43 tahun
No.Rekam Medis : 903160
Status Perkawinan : Kawin
Masuk RS : 29/11/2019

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada sejak 3 hari yang lalu,.
Terasa seperti tertekan, durasi >20 menit, menjalar hingga punggung dan lengan
kiri dan disertai Diaforesis. Mual dan muntah tidak ada. Tidak ada sesak dan
tidak ada riwayat sesak.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:

 Riwayat hipertensi diketahui sejak 2 bulan lalu tetapi pengobatan tidak


teratur
 Riwayat diabetes mellitus disangkal
 Riwayat penyakit jantung sebelumnya tidak ada
 Riwayat penyakit jantung keluarga disangkal
 Riwayat meminum alkohol tidak ada
 Pengobatan dari RS Pelamonia yaitu Clopidogrel 300 mg dan ISDN 5 mg.

PEMERIKSAAN FISIS
 Status generalis
Sakit sedang / gizi baik / compos mentis
4
 Tanda vital
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi: 86 kali per menit
Pernapasan :20 kali per menit
Suhu: 36.5° C
 Pemeriksaan Kepala dan Leher
Kepala : normosefal
Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Pupil : isokor, diameter 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya langsung
ada.
Hidung : dalam batas normal
Bibir : Sianosis tidak ada
Leher : JVP R+ 2 cm H2O, pembesaran kelenjar limfe tidak ada,
tidak ada pembesaran thyroid.
 Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis
Palpasi : Massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS VI kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan:ronchi -/- , wheezing -/-
 Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung teraba, thrill tidak ada
Perkusi : Batas jantung atas ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ: S I/II regular, Murmur tidak ada
 Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : timpani (+), asites (-)
5
 Pemeriksaan Ekstremitas
Edema (-)
C. ELEKTROKARDIOGRAM
RS PELAMONIA(29-10-2019)

Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 93 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (50o)
5. Gelombang P : 0,08s
6. Interval P-R : 0,12s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V6, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T normal

6
Kesimpulan :

• Sinus rhythm, HR 93 x/min. Normoaxis, extensive whole anterior Wall MI

PJT(29-10-2019)

Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 83 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (50o)
5. Gelombang P : 0,08s
6. Interval P-R : 0,16s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V5, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T normal

Kesimpulan :

• Sinus rhythm, HR 83 x/min. Normoaxis, extensive whole anterior Wall MI

7
EKG POST TROMBOLITIK

Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 80 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (75o)
5. Gelombang P : 0,04s
6. Interval P-R : 0,14s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V5, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T inverted Lead I, aVL, V2-4, V6

Kesimpulan :

• Sinus rhythm, HR 80 x/min. Normoaxis, extensive whole anterior Wall MI


post Thrombolitik

8
D. LABORATORIUM
WBC 20.8 103/mm3 4-10 x 103/mm3

Neut 90.3 % 52.0 – 75.0

Lymph 7.9 % 20.0 – 40.0

EO 0.0 % 1.00 – 3.00

HGB 14.7 g/dl 14-18

PLT 434 103/mm3 150-400 x 103/mm3

SGOT 88 U/L < 38

SGPT 82 U/L < 41

Hs Trop I 2142.2 ng/ml <0,01

Ureum 20 mg/dl 10-50

Creatinin 0,55 mg/dl <1,3

eGFR 114.9

PT 11.3 s 10 – 14

Aptt 25.3 s 22.0 – 30.0

INR 1.10 -

Natrium 141 mmol/l 136 – 145

Kalium 4.5 mmol/l 3.5 – 5.1

9
Klorida 106 mmol/l 97 – 111

GDS 143 mg/dl 140

Tabel 1: Pemeriksaan Laboratorium


E. RADIOGRAPHY IMAGING

Interpretasi:
-Corakan Bronchovascular normal
-Tidak ada proses spesifik pada lapangan paru
-Cor normal, aorta normal
-Kedua sinus dan diafragma kesan normal
-Tulang dan jaringan lunak intak

Kesimpulan:
Chest X-Ray Normal

10
F. ECHOCARDIOGRAPHY
• Decreased LV systolic function, EF 49.4% (TEICH), 42.2 % (Biplane)
• Cardiac chamber dimension : normal cardiac chamber
• LVEDd 3.83cm, LVEDs 2.89 cm, LA Mayor 4.6 cm, LA Minor 2.7 cm,
RA Mayor 3,6 cm, RA Minor 2,8 cm, RVDB 1.7 cm,
• Left Ventricular Hypertrophy: (+) concentric (LVMI 104 g/m2, RWT
0,51)
• Myocard movement: akinetic basal mid, anteroseptal, inferoseptal,
apicoanterior, apicoseptal, hypokinetic basal mid anterior
• Normal RV systolic function TAPSE 2.0 cm
• Valves :
o Mitral : normal structure and function
o Aorta : normal structure and function
o Tricuspid : normal structure and function
o Pulmonal : normal structure and function
E/A > 1 (pseudonormal) , average E/E’ lateral 12.1, E/E’ medial 16.6, Average
E/E’ 14.35
eRap 8 mmHg, IVC exp/ins (1,19 cm/ 0.54 cm )
Kesimpulan:
• Decreased LV systolic function, EF 42.2 % (Biplane)
• Left Ventricel Hypertrophy concentric
• Segmental akinetic and hypokinetic
• Moderate diastolic dysfunction

G. ASSESSMENT
STEMI Extensive Whole Anterior Wall Onset 7 Hours Killip 2

H. TERAPI
1. NaCl 0.9% 500cc/24 jam/intravenous
2. Thrombolysis:
 Actylise 15mg/intravena

11
 Actylise 50mg/30 menit/syringe pump
 Actylise 35 mg/60 menit/syringe pump
3. Aspilet 160mg/loading/oral
4. Aspilet 80 mg/24 jam/oral
5. Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
6. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral
7. Fondaparinux 2,5 mg/24 jam/subcutan
8. Nitrogliseryn 10 mcg/menit/syringe pump
9. Alprazolam 0.5mg/24 jam/oral
10. Laxadyne syr 10cc/24 jam/oral

I. PLANNING
1. Echocardiography
2. X-Ray Thorax

J. RESUME
Seorang wanita, 43 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada
dirasakan sejak 3 hari dan memburuk 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dada dirasakan seperti tertekan, durasi >20 menit, menjalar didaerah
punggung dan lengan kiri dan disertai diaphoresis. Riwayat hipertensi
diketahui 2 bulan lalu pengobatan tidak teratur. Pada pemeriksaan EKG
ditemukan sinus rithym dengan HR 93 kali permenit, whole extensive anterior
wall myocard infarction. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan Troponin I 2142 ng/ml.

12
BAB II
DISKUSI
1. Definisi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation
Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST,
dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard akut dengan elevasi ST
(STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid.9
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisura, ruptur, atau
ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti
kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri
atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.9
2. Epidemiologi
Di dunia, penyakit jantung iskemik menjadi penyebab tunggal yang
paling sering mengakibatkan kematian dengan frekuensinya yang semakin
meningkat. Namun, di Eropa, telah menjadi tren dalam upaya pengurangan
mortalitas dari penyakit jantung iskemik selama tiga dekade terakhir.
Penyakit jantung iskemik sekarang menyumbang hampir 1,8 juta kematian
per tahunnya, atau 20% dari semua kematian di Eropa, meskipun dengan
variasi besar antar negara (ESC, 2017).
13
Insidensi relatif STEMI dan NSTEMI menurun dan meningkat,
masingmasing. Mungkin kejadian STEMI di Eropa paling komprehensif
ditemukan di Swedia, di mana kejadiannya adalah 58 per 100.000 per tahun
pada tahun 2015. Di lain negara-negara lain di Eropa, tingkat insiden
berkisar antara 43 hingga 144 per 100.000 per tahun. Demikian pula, di
Amerika Serikat insiden terlaporkan menurun dari 133 per 100.000 di
tahun 1999 menjadi 50 per 100.000 di tahun 2008, sedangkan kejadian
NSTEMI tetap konstan atau sedikit meningkat. Terdapat pola yang
tersendiri yang konsisten terhadap kejadian STEMI dimana menjadi relatif
lebih umum pada yang lebih muda daripada pada orang tua, dan lebih
banyak terjadi pada pria daripada pada wanita (ESC, 2017).

Angka mortalitas penyakit kardiovaskular di Indonesia mengalami


peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004
dibandingkan sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data
terakhir dari National Heart Survey, menunjukkan bahwa penyakit
serebrokardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di Indonesia.
Studi kohort selama 13 tahun di tiga daerah di provinsi Jakarta
menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama kematian di Jakarta.
Data dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) dari tahun 2008-2009
mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana sebanyak 654
orang mengalami STEMI (Irmalita, 2015)

Angka mortalitas STEMI dipengaruhi oleh berbagai jenis faktor,


antara lain : usia, kategori killip, waktu hingga mendapatkan terapi, adanya
emergency medical system (EMS) – based STEMI networks, strategi
pengobatan, riawat infark miokard, diabetes mellitus, gagal ginjal, jumlah
pembuluh darah arteri yang terlibat, dan left ventricular ejection fraction
(LVEF) (ESC, 2017).

3. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi:
1) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevationmyocardial infarction)
2) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segmentelevation myocardial infarction)
3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

14
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke
jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati (Guyton, 2007). Infark
miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer.8

4. Faktor Risiko
Faktor risiko biologis infark miokard:
a. Tidak dapat diubah
 Umur seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit
jantung akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini
terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang makin
besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah
yang makin menurun seiring dengan bertambahnya umur .7
 Jenis kelamin  lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita
menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan asumsi faktor
esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan
menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C serta trigliserid .7
 Genetik  terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria
brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media
.7
b. Dapat diubah
 Merokok  zat-zat yang terkandung di dalam rokok serta asap rokok
merupakan zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan dapat merusak
pembuluh darah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya
penurunan elastisitas maupun kesehatan dari jantung, yang bisa juga
menjadi premature tidak lagi mengacu pada umur .7
 Hipertensi  dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa beban usaha
serta kontraksi jantung telah meningkat untuk mengompensasi kondisi di

15
perifer yang kemungkinan telah mengalami atherosclerosis. Dan tidaklah
tidak mungkin bahwa plak yang ada di perifer tersebut akan mengalami
ruptur dan menyumbat pembuluh darah koroner .7
 Diabetes mellitus  Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia
memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi
sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL-C dan kadar HDL-C yang
rendah .7
 Dislipidemia  Dislipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl
dan tinggi apabila mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40
mg/dl. Risiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat
teroksidasi dan menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah.
Sedangkan kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko
karena faktor protektif dari HDL yang rendah seiring dengan kadarnya
yang kurang .7
5. Patofisiologi
Sumbatan akut pada arteri koronaria timbul karena adanya plak
aterosklerotik yang menyebabkan bekuan darah lokal yang disebut trombus.
Biasanya trombus timbul dimana plak telah menembus endotel, jadi
berhubungan langsung dengan darah yang mengalir. Karena plak membuat
lapisan kasar bagi darah, maka trombosit mulai melekat, fibrin mulai
tertimbun, dan sel-sel darah terjebak untuk membentuk bekuan yang
semakin besar sampai menyumbat pembuluh darah tersebut, dan atau plak
aterosklerosis terlepas dari perlekatannya dan mengalir ke cabang yang
lebih perifer dari arteri koronaria dan menyumbat pembuluh darah distal.6

16
Gambar 1. Mekanisme terbentuknya thrombus koroner
Plak atheroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein
pada tunika intima. Kemudian terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein.
Hal ini menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya akan menyebabkan
peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi dari molekul
adhesi yang mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/
monocyte chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke
tunika intima. Selanjutnya akan terjadi stimulasi macrophage colony
stimulating factor yang menyebabkan ekspresi dari reseptor scavenger.
Reseptor ini memediasi uptake modified lipoprotein yang menyebabkan
terbentuknya foam cells. Foam cells merupakan sumber dari sitokin,
molekul efektor seperti anion superoksida dan matrix metalloproteinase.
Kemudian akan terjadi migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika
intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan intima. Pada stage
akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis.6

17
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses
rupture plak yang akan memaparkan elemen darah terhadap substansi
trombogenik dan disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi
dan antotrombotik. Rupturnya plak merupakan pemicu utama. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak, stress fisik.6

Gambar 2. Mekanisme terbentuknya atherosklerosis


Komposisi dari plak atheroma dipengaruhi oleh mekanisme sintesis
dan degradasi. Sintesis sel otot polos membuat formasi fibrous cap
disamping kolagen dan elastin. Foam sel meningkatkan aktivasi dan enzim
proteolitik seperti matrix metalloproteinase yang mendegradasi kolagen dan
elastolitik katepsin. Derivate dari sel limfosit T juga merusak fibrous cap.
Plak dengan fibrous cap yang tipis mudah menjadi rupture jika ada stress
yang tinggi baik secara spontan maupun saat aktivitas fisik.6
Setelah terjadi rupturnya plak akan terjadi pemaparan platelet
terhadap lapisan kolagen subendotelial sehingga platelet terkativasi dan
menjadi beragregasi. Mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi.
Mekanismenya dapat dilihat pada gambar di bawah. Disfungsi endotel akan
menyebabkan penurunan produksi vasodilator dam antiplatelet.6

18
Gambar 3. Mekanisme terbentuknya thrombus koroner

Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu


aktivasi trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan
memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang
poten). Selain itu, aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa. Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang terlarut (integrin) seperti
faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah
molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara
simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi setelah mengalami
konversi fungsinya.9
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue activator pada sel
endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi
protombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan mengalami oklusi oleh
trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.9
5. DIAGNOSIS
Diagnosis Sindrom Koroner Akut ditegakkan bila didapatkan dua atau lebih dari 3
kriteria, yaitu

1. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat
biasa.

19
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
3. Peningkatan marker jantung

1. Anamnesis

Keluhan pasien yang paling penting dalam menegakkan diagnosis


yaitu riwayat penyakit jantung koroner dan nyeri dada yang menjalar ke
leher, rahang bawah, atau tangan kiri. Beberapa pasien juga menampakkan
keluhan yang atipikal seperti sesak napas, mual muntah, lemas, palpitasi,
atau syncope (ESC, 2017). Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada
pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut
dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas,
terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK)
(PERKI, 2018). Penurunan nyeri dada dengan pemberian nitroglycerin
(glyceryl trinitrate) dapat membuat diagnosis yang salah sehingga tidak
direkomendasikan sebagai manuver diagnostik (ESC, 2017).

2. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus


iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah
halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral
akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena
perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta
akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara napas yang
tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA. (PERKI, 2018)

3. Elektrocardiogram/EKG

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.

20
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali. (PERKI, 2018)

Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2


sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk
diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan
adalah 0,1 mV. Nilai ambang untuk diagnostik pada berbagai sadapan
beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin (Tabel 1). Depresi segmen
ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan permukaan tubuh
segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika STEMI
terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen
ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat
terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia. (PERKI,

2018)

Sadapan Jenis Kelamin dan Usia Nila


Amb
elev
ST
V1-
Laki –laki <40 tahun Perempuan usia berapapun ≥0.2
mV

V3R dan Laki-laki & Perempuan ≥0.0


mV
V4R Laki-laki <30 tahun
≥0.1
V7- ≥0.0
mV
Tabel 1. Nilai ambang diagnostik elevasi segmen ST

Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark

V1 – V2 Septal

V3 – V4 Anterior

V5 – V6, aVL Lateral

21
Lead II, III, aVF Inferior

V7 – V9 Posterior

V3R, V4R Ventrikel Kanan

Tabel 2. Perkiraan Lokasi Infark Berdasarkan Gambaran Elevasi Segmen ST

Persangka adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG


pasien dengan LBBB baru/prasangka baru juga disertai dengan elevasi
segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3. (PERKI, 2018)

Pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di bawah ini:

Gambar 4. Evolusi EKG pada STEMI

4. Pemeriksaan Enzim Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis


miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab
koroner/nonkoroner). Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal

22
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka
bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini,
troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. (PERKI,
2018)

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau


troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB
yang meningkat dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot
skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih
untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural. (PERKI, 2018)

Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium


sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung
(point of care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau
semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of
care testing sebagai alat diagnostic rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu
pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam. Jika marka
jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral. (PERKI, 2018)

5. Pemeriksaan Non-Invasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat


memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk
menetukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding
ventrikel kiri dapat terlihat iskemia dan menjadi normal saat iskemia
menghilang. Selain itu, diagnosis banding seperti stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropik, atau diseksi aorta dapat terdeteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat
darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin pada pasien
tersangka SKA. Stress test seperti EKG exercise yang telah dibahas
sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK

23
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan
marka jantung yang negatif.

Multislice cardiac CT (MSCT) dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK


sebagai penyebab utama nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK
rendah sampai menengah, dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak
meyakinkan.

6. Pemeriksaan invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan


tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk
tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis
banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya
pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang
mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh
multiple dan pasien dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki
risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius, angiografi
koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding
regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi
penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas,
batas yang ireguler, ulserasi, penampakan yang kabur, dan filling defect
yang mengesankan adanya trombus intrakoroner. (PERKI,2018)

7. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus


dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah
sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA. (PERKI, 2018)

8. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang


gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus
dilakukan di ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan
adalah untuk membuat diagnosis banding,identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta. (PERKI, 2018)

24
6. Penatalaksanaan

Tatalaksana IMA dengan elevasi ST mengacu pada data-data dari evidence


based berdasarkan penelitian randomized clinical trial yang terus berkembang
ataupun konsensus dari para ahli sesuai pedoman (guideline). 9
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi
reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,
memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam
tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan ESC
tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-
masing tempat dan kemampuan ahli yang ada. 3.9.
6.1. Tatalaksana awal

6.1.1 Tatalaksana Pra Rumah Sakit


Kematian di luar rumah sakit pada STEMI sebagian besar diakibatkan
adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang terjadi dalam 24 jam pertama onset
gejala dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama, sehingga elemen
utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain1.3.
1) Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2) Pemanggilan tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
3) Transportasi pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4) Melakukan terapi reperfusi
Keterlambatan terbanyak pada penanganan pasien disebabkan oleh lamanya
waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta
pertolongan. Hal ini dapat diatasi dengan cara edukasi kepada masyarakat oleh
tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. 1.3
Pemberian fibrinolitik pre hospital hanya bisa dikerjakan jika ada
paramedik di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan
managemen STEMI serta ada kendali komando medis online yang bertanggung
jawab pada pemberian terapi.1.3

25
6.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI 1.3.9.
1) Bed Rest total
2) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
3) Obat-obatan:
 Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan
aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan interval 5 menit.
 Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
 Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan
peroral dengan dosis 75-162 mg.
 Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral

26
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
dengan 100 mg tiap 12 jam.2
6.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-
12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod
di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan
secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari). 1.3.9

a. Terapi pada pasien STEMI


a. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.2
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit. 3.9
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor
penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat
fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian. 3.9

27
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan
pada pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan
fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik,
maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia,
maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat
dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu
utama apakah PCI dapat dikerjakan. 3.9
a.1 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa
jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit. 3.9
a.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik
antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin. 3.9
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri
dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit

28
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada
graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA,
cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
A. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien
yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intrakranial yang rendah.2
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) :Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.2
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen
activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA
b. Terapi lainnya
1). Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase
awal STEMI berperan dalam memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan

29
mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar
49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk
mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan
abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera
pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
3.9

Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek


klinis adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang
diberikan sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat
trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan
memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg
(maksimum 4000U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam
(maksimum 1000 U/jam).Activated partial thromboplastin time
selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. 3.9
2). Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan
manfaat yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan
secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat
diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat
beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark,
dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.2
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk
sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien
dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat
menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
3.9

30
3). Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE,
dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien
dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior,
riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri
menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah
pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
` Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada
pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa
batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi
ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif. 3.9
7. Komplikasi
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan
lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri
yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk. 3.9

2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. 3.9

3) Syok kardiogenik
31
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel. 3.9

4) Infark ventrikel kanan


Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa
hipotensi. 3.9

5) Aritmia paska STEMI


Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona
iskemi miokard.3.9

6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI. 3.9

7) Takikardia dan fibrilasi ventrikel


Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.3.9

8. Prognosis
Untuk menentukan prognosis infark miokard digunakan klasifikasi Killip
yang dinilai berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik 9

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut


Kelas Definisi Mortalitas (%)

I Tak ada tanda gagal 6


jantung

32
II +S3 dan atau ronki 17
basah
III Edema Paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

33
DAFTAR PUSTAKA

1 Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the


ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice Guidelines.
2008;51:210–247.
2 Dorland, W. A. N. 2012. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi tiga belas.
EGC. Jakarta.
3 Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal
Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.
4 Firdaus, Isman., dkk. 2016. Panduan Praktis Klinis dan Clinical Pathway
Penyakit jantung dan Pembuluh Darah. Perhimpunan dokter spesialis kardio
vaskuler Indonesia. hal. 13-20
5 Guyton, A.C. dan Hall, J. E., 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
kesembilan. EGC. Jakarta
6 Guyton, A.C. dan Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
kesembilan. EGC. Jakarta
7 Jackson G. Acute Coronary Syndrome. New York: Oxford Press; 2008. p
4-10.
8 Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto By, Tobing DPL, Firman D, et al.
Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. 3rd ed. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2018
9 Sudoyo, A.W., B. Setiyohadi, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
10 Budi Siswanto, Bambang, dkk. 2009. Pedoman tatalaksana Penyakit
Kardiovaskuler di Indonesia. Perhimpunan dokter spesialis kardio vaskuler
Indonesia. hal. 87-93

34

Anda mungkin juga menyukai