Lapsus Kardio Fix
Lapsus Kardio Fix
DISUSUN OLEH :
Hizkia Siahaan
Reinaldo Mukti
Ichlas Adhi Putra
Romita Jeng
Irvin Nickolas Lusikooy
SUPERVISOR PEMBIMBING :
Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD, Sp.JP (K), FIHA, FAcSS
Supervisor Pembimbing
Prof. Dr. dr. Ali Aspar Mappahya, Sp.PD, Sp.JP (K), FIHA, FAcSS
2
DAFTAR ISI
Daftar Isi................................................................................................................. 3
3
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. NA
Tanggal Lahir / Usia : 23-09-1976 / 43 tahun
No.Rekam Medis : 903160
Status Perkawinan : Kawin
Masuk RS : 29/11/2019
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada
PEMERIKSAAN FISIS
Status generalis
Sakit sedang / gizi baik / compos mentis
4
Tanda vital
Tekanan darah: 120/80 mmHg
Nadi: 86 kali per menit
Pernapasan :20 kali per menit
Suhu: 36.5° C
Pemeriksaan Kepala dan Leher
Kepala : normosefal
Mata : Anemis tidak ada, ikterus tidak ada
Pupil : isokor, diameter 2,5 mm/2,5 mm, refleks cahaya langsung
ada.
Hidung : dalam batas normal
Bibir : Sianosis tidak ada
Leher : JVP R+ 2 cm H2O, pembesaran kelenjar limfe tidak ada,
tidak ada pembesaran thyroid.
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan saat statis dan dinamis
Palpasi : Massa tumor tidak ada, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS VI kanan
Auskultasi : BP: vesikular, bunyi tambahan:ronchi -/- , wheezing -/-
Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis jantung teraba, thrill tidak ada
Perkusi : Batas jantung atas ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri ICS V Linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ: S I/II regular, Murmur tidak ada
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Cembung, ikut gerak napas
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : timpani (+), asites (-)
5
Pemeriksaan Ekstremitas
Edema (-)
C. ELEKTROKARDIOGRAM
RS PELAMONIA(29-10-2019)
Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 93 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (50o)
5. Gelombang P : 0,08s
6. Interval P-R : 0,12s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V6, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T normal
6
Kesimpulan :
PJT(29-10-2019)
Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 83 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (50o)
5. Gelombang P : 0,08s
6. Interval P-R : 0,16s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V5, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T normal
Kesimpulan :
7
EKG POST TROMBOLITIK
Interpretasi
1. Irama : Sinus
2. Laju QRS : 80 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : Normoaxis (75o)
5. Gelombang P : 0,04s
6. Interval P-R : 0,14s
7. Gelombang Q : Q patologis tidak ada
8. QRS Kompleks :
Axis : Normoaxis
Configuration : narrow
Interva l : 0.04 s
9. ST Segmen : ST Elevasi Lead V2-V5, Lead I, aVL
ST Depresi Lead II, III, aVF
10. Gelombang T : T inverted Lead I, aVL, V2-4, V6
Kesimpulan :
8
D. LABORATORIUM
WBC 20.8 103/mm3 4-10 x 103/mm3
eGFR 114.9
PT 11.3 s 10 – 14
INR 1.10 -
9
Klorida 106 mmol/l 97 – 111
Interpretasi:
-Corakan Bronchovascular normal
-Tidak ada proses spesifik pada lapangan paru
-Cor normal, aorta normal
-Kedua sinus dan diafragma kesan normal
-Tulang dan jaringan lunak intak
Kesimpulan:
Chest X-Ray Normal
10
F. ECHOCARDIOGRAPHY
• Decreased LV systolic function, EF 49.4% (TEICH), 42.2 % (Biplane)
• Cardiac chamber dimension : normal cardiac chamber
• LVEDd 3.83cm, LVEDs 2.89 cm, LA Mayor 4.6 cm, LA Minor 2.7 cm,
RA Mayor 3,6 cm, RA Minor 2,8 cm, RVDB 1.7 cm,
• Left Ventricular Hypertrophy: (+) concentric (LVMI 104 g/m2, RWT
0,51)
• Myocard movement: akinetic basal mid, anteroseptal, inferoseptal,
apicoanterior, apicoseptal, hypokinetic basal mid anterior
• Normal RV systolic function TAPSE 2.0 cm
• Valves :
o Mitral : normal structure and function
o Aorta : normal structure and function
o Tricuspid : normal structure and function
o Pulmonal : normal structure and function
E/A > 1 (pseudonormal) , average E/E’ lateral 12.1, E/E’ medial 16.6, Average
E/E’ 14.35
eRap 8 mmHg, IVC exp/ins (1,19 cm/ 0.54 cm )
Kesimpulan:
• Decreased LV systolic function, EF 42.2 % (Biplane)
• Left Ventricel Hypertrophy concentric
• Segmental akinetic and hypokinetic
• Moderate diastolic dysfunction
G. ASSESSMENT
STEMI Extensive Whole Anterior Wall Onset 7 Hours Killip 2
H. TERAPI
1. NaCl 0.9% 500cc/24 jam/intravenous
2. Thrombolysis:
Actylise 15mg/intravena
11
Actylise 50mg/30 menit/syringe pump
Actylise 35 mg/60 menit/syringe pump
3. Aspilet 160mg/loading/oral
4. Aspilet 80 mg/24 jam/oral
5. Clopidogrel 75 mg/24 jam/oral
6. Atorvastatin 40 mg/24 jam/oral
7. Fondaparinux 2,5 mg/24 jam/subcutan
8. Nitrogliseryn 10 mcg/menit/syringe pump
9. Alprazolam 0.5mg/24 jam/oral
10. Laxadyne syr 10cc/24 jam/oral
I. PLANNING
1. Echocardiography
2. X-Ray Thorax
J. RESUME
Seorang wanita, 43 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri dada
dirasakan sejak 3 hari dan memburuk 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dada dirasakan seperti tertekan, durasi >20 menit, menjalar didaerah
punggung dan lengan kiri dan disertai diaphoresis. Riwayat hipertensi
diketahui 2 bulan lalu pengobatan tidak teratur. Pada pemeriksaan EKG
ditemukan sinus rithym dengan HR 93 kali permenit, whole extensive anterior
wall myocard infarction. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan
peningkatan Troponin I 2142 ng/ml.
12
BAB II
DISKUSI
1. Definisi
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation
Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut
(SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST,
dan IMA dengan elevasi ST. Infark miokard akut dengan elevasi ST
(STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat
oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.
Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi,
dan akumulasi lipid.9
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisura, ruptur, atau
ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan
plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap tipis dan inti
kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI terdiri
atas fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.9
2. Epidemiologi
Di dunia, penyakit jantung iskemik menjadi penyebab tunggal yang
paling sering mengakibatkan kematian dengan frekuensinya yang semakin
meningkat. Namun, di Eropa, telah menjadi tren dalam upaya pengurangan
mortalitas dari penyakit jantung iskemik selama tiga dekade terakhir.
Penyakit jantung iskemik sekarang menyumbang hampir 1,8 juta kematian
per tahunnya, atau 20% dari semua kematian di Eropa, meskipun dengan
variasi besar antar negara (ESC, 2017).
13
Insidensi relatif STEMI dan NSTEMI menurun dan meningkat,
masingmasing. Mungkin kejadian STEMI di Eropa paling komprehensif
ditemukan di Swedia, di mana kejadiannya adalah 58 per 100.000 per tahun
pada tahun 2015. Di lain negara-negara lain di Eropa, tingkat insiden
berkisar antara 43 hingga 144 per 100.000 per tahun. Demikian pula, di
Amerika Serikat insiden terlaporkan menurun dari 133 per 100.000 di
tahun 1999 menjadi 50 per 100.000 di tahun 2008, sedangkan kejadian
NSTEMI tetap konstan atau sedikit meningkat. Terdapat pola yang
tersendiri yang konsisten terhadap kejadian STEMI dimana menjadi relatif
lebih umum pada yang lebih muda daripada pada orang tua, dan lebih
banyak terjadi pada pria daripada pada wanita (ESC, 2017).
3. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi:
1) Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment
elevationmyocardial infarction)
2) Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST
segmentelevation myocardial infarction)
3) Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
14
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke
jantung yang menyebabkan sel otot jantung mati (Guyton, 2007). Infark
miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intevensi koroner perkutan primer.8
4. Faktor Risiko
Faktor risiko biologis infark miokard:
a. Tidak dapat diubah
Umur seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit
jantung akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya. Hal ini
terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis yang makin
besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas pembuluh darah
yang makin menurun seiring dengan bertambahnya umur .7
Jenis kelamin lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah wanita
menopause, insidensi terjadinya hampir sama. Dengan asumsi faktor
esterogen pada wanita yang mempengaruhi kadar lipid, dengan
menurunkan kadar LDL-C, meningkatkan HDL-C serta trigliserid .7
Genetik terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas arteria
brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan tunika media
.7
b. Dapat diubah
Merokok zat-zat yang terkandung di dalam rokok serta asap rokok
merupakan zat radikal bebas yang bersifat oksidatif dan dapat merusak
pembuluh darah. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya
penurunan elastisitas maupun kesehatan dari jantung, yang bisa juga
menjadi premature tidak lagi mengacu pada umur .7
Hipertensi dengan kondisi hipertensi, diketahui bahwa beban usaha
serta kontraksi jantung telah meningkat untuk mengompensasi kondisi di
15
perifer yang kemungkinan telah mengalami atherosclerosis. Dan tidaklah
tidak mungkin bahwa plak yang ada di perifer tersebut akan mengalami
ruptur dan menyumbat pembuluh darah koroner .7
Diabetes mellitus Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolesmia
memungkinan timbulnya aterosklerosis dan berkaitan dengan proliferasi
sel otot polos pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol,
trigliserida, fosfolipid, peningkatan kadar LDL-C dan kadar HDL-C yang
rendah .7
Dislipidemia Dislipidemia dengan batas atas LDL-C 130-159 mg/dl
dan tinggi apabila mencapai >160 mg/dl.dan kadar HDL-C rendah (<40
mg/dl. Risiko aterogenik yaitu kadar tinggi kolesterol LDL yang dapat
teroksidasi dan menimbulkan deposisi di sirkulasi pembuluh darah.
Sedangkan kadar kolesterol HDL yang rendah dapat meningkatkan resiko
karena faktor protektif dari HDL yang rendah seiring dengan kadarnya
yang kurang .7
5. Patofisiologi
Sumbatan akut pada arteri koronaria timbul karena adanya plak
aterosklerotik yang menyebabkan bekuan darah lokal yang disebut trombus.
Biasanya trombus timbul dimana plak telah menembus endotel, jadi
berhubungan langsung dengan darah yang mengalir. Karena plak membuat
lapisan kasar bagi darah, maka trombosit mulai melekat, fibrin mulai
tertimbun, dan sel-sel darah terjebak untuk membentuk bekuan yang
semakin besar sampai menyumbat pembuluh darah tersebut, dan atau plak
aterosklerosis terlepas dari perlekatannya dan mengalir ke cabang yang
lebih perifer dari arteri koronaria dan menyumbat pembuluh darah distal.6
16
Gambar 1. Mekanisme terbentuknya thrombus koroner
Plak atheroma diawali dengan adanya akumulasi dari lipoprotein
pada tunika intima. Kemudian terjadi oksidasi dan glikasi dari lipoprotein.
Hal ini menyebabkan stress oksidatif yang akhirnya akan menyebabkan
peningkatan sitokin. Sitokin tersebut meningkatkan ekspresi dari molekul
adhesi yang mengikat leukosit dan molekul kemoatraktan (seperti MCP-1/
monocyte chemoattractan protein 1) yang menyebabkan migrasi leukosit ke
tunika intima. Selanjutnya akan terjadi stimulasi macrophage colony
stimulating factor yang menyebabkan ekspresi dari reseptor scavenger.
Reseptor ini memediasi uptake modified lipoprotein yang menyebabkan
terbentuknya foam cells. Foam cells merupakan sumber dari sitokin,
molekul efektor seperti anion superoksida dan matrix metalloproteinase.
Kemudian akan terjadi migrasi sel otot polos dari tunika media ke tunika
intima yang akan menyebabkan peningkatan ketebalan intima. Pada stage
akhir dapat terjadi kalsifikasi dan fibrosis.6
17
Pembentukan thrombus dari plak atherosklerotik melibatkan proses
rupture plak yang akan memaparkan elemen darah terhadap substansi
trombogenik dan disfungsi endotel sehingga kehilangan fungsi vasodilatasi
dan antotrombotik. Rupturnya plak merupakan pemicu utama. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor-faktor yang mengurangi stabilitas plak, stress fisik.6
18
Gambar 3. Mekanisme terbentuknya thrombus koroner
1. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak hilang dengan pemberian nitrat
biasa.
19
2. Perubahan elektrokardiografi (EKG)
3. Peningkatan marker jantung
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisis
3. Elektrocardiogram/EKG
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan
sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan,
sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien
dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior.
20
Sementara itu, sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien
angina yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin,
rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang
gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan angina
timbul kembali. (PERKI, 2018)
2018)
V1 – V2 Septal
V3 – V4 Anterior
21
Lead II, III, aVF Inferior
V7 – V9 Posterior
Pada STEMI akan terjadi evolusi gambaran EKG seperti di bawah ini:
22
jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan
nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka
bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi
pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini,
troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T. (PERKI,
2018)
5. Pemeriksaan Non-Invasif
23
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan
marka jantung yang negatif.
7. Pemeriksaan Laboratorium
24
6. Penatalaksanaan
25
6.1.2 Tatalaksana di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,
triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI 1.3.9.
1) Bed Rest total
2) Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
3) Obat-obatan:
Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan
aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis
dengan interval 5 menit.
Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan
merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin
dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan
interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg.
Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan
dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan
peroral dengan dosis 75-162 mg.
Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang
biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total
3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit,
tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan
ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral
26
dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan
dengan 100 mg tiap 12 jam.2
6.1.4 Tatalaksana di rumah sakit
ICCU
1) Aktivitas : pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama
2) Diet : pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-
12 jam karena risiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard.
3) Sedasi : pasien memerlukan sedasi selama perawatan untuk
mempertahankan periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5mg,
oksazepam 15-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali/hari
4) Saluran pencernaan (bowels) : istirahat di tempat tidur dan efek
menggunakan narkotik untuk menghilangkan rasa nyeri sering
mengakibatkan konstipasi, sehingga dianjurkan penggunaan kursi komod
di samping tempat tidur, diet tinggi serat, dan penggunaan pencahar ringan
secara rutin seperti dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari). 1.3.9
27
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan
pada pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan
fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik,
maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia,
maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat
dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu
utama apakah PCI dapat dikerjakan. 3.9
a.1 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa
jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit. 3.9
a.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik
antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan
trombus fibrin. 3.9
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri
dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit
28
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada
graft vena, sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA,
cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
A. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien
yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan
selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak
jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan
insidens perdarahan intrakranial yang rendah.2
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) :Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.2
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial
dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih
panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen
activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B
menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3 flow dan
komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA
b. Terapi lainnya
1). Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase
awal STEMI berperan dalam memantapkan dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait
infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI.
Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan
29
mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal sebesar
49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk
mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan
abciximab dan stenting dengan placebo dan stenting, dengan
hasil penurunan kematian, reinfark, atau revaskularisasi segera
pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan stenting.
3.9
30
3). Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE,
dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien
dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior,
riwayat infark sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri
menurun global). Kejadian infark berulang juga lebih rendah
pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.
` Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada
pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa
batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien
dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi
ventrikel kiri secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan
dinding global, atau pasien hipertensif. 3.9
7. Komplikasi
1) Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan
lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri
yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi
gagal jantung dan prognosis lebih buruk. 3.9
2) Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian
di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi
dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. 3.9
3) Syok kardiogenik
31
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel. 3.9
6) Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam
mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI. 3.9
8. Prognosis
Untuk menentukan prognosis infark miokard digunakan klasifikasi Killip
yang dinilai berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik 9
32
II +S3 dan atau ronki 17
basah
III Edema Paru 30-40
33
DAFTAR PUSTAKA
34