Anda di halaman 1dari 5

pembahasan sebelumnya Dalil-Dalil Akal (Dalil ‘Aqli) yang Menunjukkan Tercelanya Bid’ah (Bag.

1)

Ahlu bid’ah berarti memposisikan dirinya seolah-olah sebagai pembuat syari’at

Hal ini karena Allah Ta’ala telah menetapkan syariat ini dan mewajibkan manusia untuk mengikutinya.
Sehingga, Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk menetapkan syariat. Allah-lah yang
memutuskan perselisihan yang terjadi di antara manusia dengan hukum-Nya. Jika manusia berhak
membuat syariat sendiri, konsekuensinya Allah tidak perlu menurunkan syariat ini melalui Rasulullah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, jika manusia memiliki hak untuk menetapkan syariat,
niscaya syariat yang ada akan beraneka ragam, sesuai dengan akal dan keinginan manusia masing-
masing.

Oleh karena itu, ahlu bid’ah secara tidak langsung telah memposisikan dirinya seolah-olah sebagai sekutu
bagi Allah Ta’ala dalam membuat dan menetapkan syariat. Baik dengan membuat berbagai macam
aqidah, atau dengan membuat model tata cara ibadah yang tidak Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam ajarkan. Allah Ta’ala berfirman,

‫أأمم لأههمم هشأرأكاَهء أشأرهعوُا لأههمم ممأن الدديِّمن أماَ لأمم يِّأأمأذمن بممه ا‬
‫اه‬

“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka
agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syuura [21]: 21)

Ahlu bid’ah adalah pengikut hawa nafsu

Jika akal kita tidak mengikuti petunjuk syariat, maka tidaklah tersisa darinya kecuali menjadi pengikut
hawa nafsu dan syahwat. Dan telah kita maklumi bahwa mengikuti hawa nafsu adalah di antara
kesesatan yang nyata. Allah Ta’ala berfirman,

‫ام لأههمم أعأذا ب‬


‫ب‬ ‫ضللوُأن أعمن أسمبيِمل ا‬ ‫ام إمان الامذيِّأن يِّأ م‬
‫ك أعمن أسمبيِمل ا‬ ‫ق أوُأل تأتابممع املهأأوُىَ فأيِه م‬
‫ضل ا أ‬ ‫س مباَملأح د‬ ‫ك أخمليِفأةة مفيِ املأمر م‬
‫ض أفاَمحهكمم بأميِأن الاناَ م‬ ‫أيِّاَ أداهوُوُهد إماناَ أجأعملأناَ أ‬
‫أشمديِّبد بمأماَ نأهسوُا يِّأموُأم املمحأساَ م‬
‫ب‬
“Wahai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi. Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu,
karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah
akan mendapatkan adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.“ (QS. Shaad [38]: 26)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala membatasi dua perkara saja, yaitu mengikuti petunjuk kebenaran atau
hawa nafsu, tidak ada yang ke tiga. Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

‫أوُأل تهمطمع أممن أأمغفأملأناَ قأملبأهه أعمن مذمكمرأناَ أوُاتابأأع هأأوُاهه‬

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta
menuruti hawa nafsunya.“ (QS. Al-Kahfi [18]: 28)

Allah Ta’ala pun menegaskan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang-orang yang lebih
mengikuti hawa nafsunya. Allah Ta’ala berfirman,

‫أوُأممن أأ أ‬
‫ضلل مماممن اتابأأع هأأوُاهه بمأغميِمر ههةدىَ ممأن ا‬
‫ام‬

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak
mendapatkan petunjuk Allah sedikit pun.“ (QS. Al-Qashash [28]: 50)

Inilah kondisi ahlu bid’ah, yaitu lebih mengikuti hawa nafsu dan mencampakkan petunjuk syariat. Mereka
mengikuti hawa nafsu tanpa ada petunjuk dari Allah Ta’ala. Petunjuk Allah Ta’ala, itulah Al-Qur’an dan As-
Sunnah.

Ahlu bid’ah, mereka terlebih dahulu mengikuti hawa nafsunya untuk pertama kalinya, kemudian
mencari-cari dalih pembenar dari ayat-ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang multi tafsir, belum jelas,
sehingga bisa ditarik maknanya sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka tersebut. Allah Ta’ala
menjelaskan keadaan mereka ini,
‫ب أوُأهأخهر همتأأشاَبمأهاَ ب‬
‫ت فأأ أاماَ الامذيِّأن مفيِ قههلوُبممهمم أزميِّبغ فأيِأتابمهعوُأن أماَ تأأشاَبأهأ مممنهه امبتمأغاَأء املفممتنأمة‬ ‫ت ههان أهلم املمكأتاَ م‬ ‫ك املمكأتاَ أ‬
‫ب مممنهه آأيِّاَ ب‬
‫ت هممحأكأماَ ب‬ ‫ههأوُ الامذيِ أأمنأزأل أعلأميِ أ‬
‫م‬
‫أوُامبتمأغاَأء تأأموُيِّلممه‬

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara isinya, ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwil-nya.“ (QS. Ali ‘Imran [3]: 7)

Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menjelaskan kondisi orang-orang yang menyimpang. Mereka itu
berpaling dari kebenaran terlebih dahulu karena mengikuti hawa nafsunya. Setelah itu, mereka pun
mencari-cari ayat-ayat mutasyabih untuk membenarkan tindakan mereka, dengan membuang dan tidak
peduli terhadap ayat-ayat yang jelas maknanya (ayat muhkamaat). Sehingga bagi ahlu bid’ah, dalil syar’i
(dalil naqli) itu bukan pokok, namun hanya sebagai pendukung dan penguat saja. Jika dalil syar’i tersebut
tidak sesuai dengan perbuatan dan keyakinan mereka, mereka pun men-takwil dalil-dalil tersebut sesuai
dengan keinginan mereka.

Hal ini sekaligus sebagai penjelasan bahwa sebab timbulnya bid’ah bukanlah ayat-ayat mutasyabih. Akan
tetapi, sebab bid’ah adalah hati yang berpaling dari kebenaran dengan mengikuti hawa nafsu yang
kemudian mencari dalih pembenar dari ayat mutasyabih dan meninggalkan ayat yang muhkamat.
Hendaknya hal ini diperhatikan dan dicamkan baik-baik.

Ahlu bid’ah berarti lebih mendahulukan akalnya daripada wahyu

Kita telah mengetahui bahwa akal manusia itu terbatas, dan tidak bisa mengetahui semua hal yang bisa
bermanfaat untuk kehidupan manusia di dunia ini. Demikian pula, akal manusia tidak bisa mengetahui
semua keburukan yang membahayakan kehidupan manusia di dunia. Jika demikian kondisinya untuk
kehidupan manusia di dunia, lebih-lebih lagi dalam hal kebaikan dan keburukan untuk kehidupan akhirat.

Hal-hal yang bermanfaat bagi manusia untuk kehidupannya di akhirat, mustahil akal mengetahuinya
secara terperinci. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
menjelaskan secara rinci kepada manusia apa yang bermanfaat untuk mereka, baik dari sisi aqidah,
ibadah, akhlak atau muamalah.
Akal kita tidaklah bisa menjangkau untuk mengetahui detail ibadah yang mendekatkan diri kita kepada
Allah Ta’ala. Sahabat yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

‫ُ أوُقأمد أرأأميِّ ه‬،‫ح مممن أأمعألهه‬ ‫م‬


‫صالىَ اه أعلأميِمه أوُأسلاأم يِّأممأسهح أعألىَ أ‬
‫ظاَمهمر هخفاميِمه‬ ‫ت أرهسوُأل ا‬
‫ام أ‬ ‫ف أأموُألىَ مباَملأممس م‬
‫يِ لأأكاَأن أأمسفأهل املهخ د‬
‫لأموُ أكاَأن الدديِّهن مباَلارأ م‬

“Jika agama ini berdasarkan logika, maka sisi bawah sepatu itu lebih layak untuk diusap daripada sisi
atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas
sepatunya.” (HR. Abu Dawud no. 162, Al-Baihaqi 1: 292, Ad-Daruquthni 1: 75, dan lain-lain, shahih)

Jika ibadah ini semata-mata berdasarkan akal logika manusia dalam menentukan mana yang baik, mana
yang buruk, maka tentu saja menurut logika kita, bagian bawah sepatu itu yang seharusnya diusap,
karena bagian itulah yang kotor. Sedangkan yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
mengusap bagian atasnya.

Demikian pula, sahabat yang mulia, ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata ketika beliau
mencium hajar aswad,

‫ك أماَ قأباملته أ‬
‫ك‬ ‫صالىَ اه أعلأميِمه أوُأسلاأم قأبالأ أ‬ ‫ُ أوُلأموُأل أأدنيِ أرأأميِّ ه‬،‫ضلر أوُأل تأمنفأهع‬
‫ت أرهسوُأل ام أ‬ ‫ُ أوُأأنا أ‬،‫ك أحأجبر‬
‫ك أل تأ ه‬ ‫ُ إمدنيِ ألهقأبدله أ‬،‫ا‬
‫ُ أوُإمدنيِ أأمعلأهم أأنا أ‬،‫ك‬ ‫أوُ م‬

“Demi Allah, aku sungguh-sungguh menciummu. Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu ini
hanyalah batu (biasa), tidak bisa mendatangkan bahaya, tidak bisa pula mendatangkan manfaat.
Kalaulah bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak
akan menciummu.” (HR. Bukhari no. 1610 dan Muslim no. 1270)

Akal manusia tentu tidak bisa menjangkau bahwa di dalam perbuatan mencium hajar aswad terdapat
keutamaan. Namun demikianlah yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga kita pun mengikuti apa yang beliau ajarkan (mencium hajar aswad).

Prinsip ini dibalik 180 derajat oleh ahlu bid’ah. Hal ini karena mereka lebih mendahulukan akalnya untuk
menetapkan apa yang baik menurut mereka untuk mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala dari
berbagai macam ibadah yang mereka buat-buat dengan alasan “ini adalah perbuatan baik dan
bermanfaat”. Dengan kreasi akal mereka, dibuatlah berbagai model tata cara ibadah yang sama sekali
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga tidak dicontohkan oleh para
sahabatnya yang mulia.

[Selesai]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 22 Syawwal 1439/ 6 Juli 2018

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

Referen

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/42223-dalil-dalil-akal-dalil-aqli-yang-menunjukkan-


tercelanya-bidah-bag-2.html

Anda mungkin juga menyukai