The Correlation Between The Level Of Family Knowledge About Treatment Of Hallucinatory Patient
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Perkembangan jaman dan arus globalisasi yang begitu pesat memunculkan berbagai macam fenomena dan
permasalahan dalam kehidupan masyarakat, salah satunya masalah kesehatan jiwa, (Maramis, 2015).
Tantangan terbesar dalam penanganan masalah gangguan jiwa terletak pada keluarga.Keluarga tidak hanya
bertugas membawa anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa ke Rumah Sakit Jiwa (Maramis W. ,
2014).Sampai sekarang penanganan gangguan jiwa masih mengalami kendala, hal ini disebabkan
ketidaktahuan keluarga maupun masyarakat terhadap jenis gangguan jiwa diantaranya adalah masih terdapat
pandangan yang negatif (stigma) yang mengganggap penyakit gangguan jiwa adalah aib dan bahwa gangguan
jiwa bukanlah suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan.hal tersebut menyebabkan penderita
gangguan jiwa mengalami perlakuan yang diskriminatif dan tidak mendapatkan perawatan yang baik (Harawi,
2012)
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2016memperkirakan bahwa 1 % populasi
penduduk dunia menderita skizofrenia atau sekitar 21 juta jiwa. Berdasarakan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia 2018, Hasil riset kesehatan dasar menunjukkan data prevalensi gangguan jiwa berat di indonesia,
seperti skizofrenia mencapai sekitar 14 juta orang atau sebanyak 7 per 1.000 penduduk, jumlah pasien
skizofrenia meningkat dibandingkan hasil Riskesdas 2013 sebanyak 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000
penduduk, privalensi tertinggi terdapat di bali yaitu sebanyak 11 per mil, posisi kedua diikuti oleh yogyakarta dan
NTB sebanyak 10 per mil. Dinkes Provinsi bali (2018). Penderita gangguan jiwa mencapai 4.829 orang. Tabanan
menjadi kabupaten tertinggi yaitu mencapai 1.766 orang, Klungkung sebanyak 548 orang, Denpasar sebanyak
525 orang, Buleleng sebanyak 517 orang, Jembrana sebanyak 388 orang, Badung sebanyak 372 orang, Bangli
sebanyak 322 orang, Gianyar 285 orang dan Karangasem sebanyak 106 orang.
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indra tanpa adanya rangsangan dari luar
yang dapat meliputi semua sistem pengindraan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh/baik.
Individu yang mengalami halusinasi seringkali beranggapan sumber atau penyebab halusinasi itu berasal dari
lingkungannya, padahal rangsangan primer dari halusinasi adalah kebutuhan perlindungan diri secara psikologik
terhadap kejadian traumatik sehubungan dengan rasa bersalah, rasa sepi, marah, rasa takut di tinggalkan oleh
orang yang di cintai, tidak dapat meninggalkan dorongan ego, pikiran dan perasaan sendiri. Halusinasi timbul
tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain
(Guntur, 2013).
Pasien halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata
pada satu arah tertentu, tersenyum dan berbicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain,
gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang
1
halusinasi yang dialaminya (apa yang dilihat, didengar atau dirasakan) (Guntur, 2013).Pasien dengan halusinasi
memiliki kesulitan dalam menjalankan pekerjaan bahkan dalam merawat diri sendiri. Akibatnya pasien halusinasi
cenderung tergantung tergantung pada orang lain. Sehingga akan berdampak pada keluarga. (Agustina, 2017)
Keluarga merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan pada pasien
halusinasi. Keluarga yang mendukung pasien secara konsisten akan membuat pasien mampu mempertahankan
program pengobatan secara optimal. Namun demikian jika keluarga tidak mampu merawat pasien, maka pasien
akan kambuh bahkan untuk memulihkannya lagi akan sangat sulit. Hal ini tentunya tidak lepas dari tingkat
pengetahuan dan kemampuan keluarga merawat anggota keluarganya (Yusnipah, 2012).Memberikan
kepercayaan dan motivasi bagi penderita gangguan jiwa dalam menjalani kehidupannya.Selain itu, dorongan
yang kuat dari dalam dirinya tentu dapat memotivasi pasien kembali menempatkan dirinya dalam masyarakat
(Yusnipah, 2012).keluarga merupakan fungsi yang dilakukan keluarga sehubungan dengan pengaturan meliputi
pengambilan keputusan dalam keluarga, membuat peraturan, ketepatan dukungan finansial, cara menghadapi
lingkungan di luar keluarga dan perencanaan masa depan (Varcarolis., 2015)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek.Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Tanpa pengetahuan seseorang tidak akan mempunyai dasar untuk mengambil
keputusan dan tindakan terhadap masalahyang dihadapi. Maksud dari mengambil keputusan tersebut ialah
keluarga harus mempunyai pengetahuan agar bisamerawat pasien gangguan jiwa (Notoatmodjo,
2014).Sehingga semakin tinggi pengetahuan seseorang dalam merawat pasien gangguan jiwa di harapkan
mampu mengurangi kejadian angka kekambuhan pasien gangguan jiwa.
Kekambuhan merupakan keadaan dimana muncul gejala yang sama seperti sebelumnya dan
mengakibatkan pasien harus di rawat kembali (Andri, 2012). Pada gangguan jiwa, diperkirakan 50% penderita
gangguan jiwa akan mengalami kekambuhan pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua. Kekambuhan
biasanya terjadi akibat hal-hal buruk yang mennimpa penderita, seperti diasingkan oleh keluarganya (Taufik,
2014).Adapun perlakuan umum yang terjadi seperti kurang tidur, penarikan diri, kehidupan sosial yang
memburuk, kekacauan berfikir, berbicara ngawur, halusinasi penglihatan dan pendengaran (Hasmila Sari, 2015).
Keluarga berperan penting dalam menentukan cara atau asuhan keperawatan yang diperlukan oleh
pasien di rumah sehingga akan menurunkan angka kekambuhan (Nurdiana, 2007). Hasil penelitian tersebut
dipertegas oleh penelitan lain yang dilakukan oleh (Hasmila, 2011), menyatakan bahwa Dukungan Keluarga
merupakan pendukungan utama yang berperan sangat penting dalam proses penyembuhan pasien gangguan
jiwa terutama untuk mencegah terjadinya kekambuhan.
Berdasarkan studi dokumentasi dari catatan medik dan survey ke ruangan, jumlah total pasien yang
masuk di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dari bulan oktobersampai dengan desember 2018 adalah684 orang.
Pasien yang didiagnoseskizofrenia sebanyak 550 orang, kemudianyang mengalami halusinasi sebanyak 193
orang, resiko prilaku kekerasan sebanyak 126, waham sebanyak 36, isolasi sosial sebanyak 36, harga diri
rendah sebanyak 24 orang, resiko bunuh diri 9 orang, dan defisit perawatan diri sebanyak 126 orang, adapun
data halusinasi yang terdiri dari bulan Oktober sebanyak 66 orang, bulan November sebanyak 60 orang dan
Desember sebanayk 67 orang. Diperkirakan sebanyak 70% pasien dengan halusinasi mengalami kekambuhan.
Hasil wawancara pada studi pendahuluan terhadap 10 orang keluarga pasien yang membawa pasien
untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali¸ menyatakan bahwa semua anggota keluarga mengetahui
anggota keluarganya mengalami halusinasi,dengan gejala seperti bicara dan tertawa sendiri,bicara tidak
jelas,marah- marah tanpa sebab dan lain sebagainya. Pada studi pendahuluan ini juga didapatkan 7 dari 10
keluarga menyatakan pasien mengalami kekambuhan ≥ 2 kali dalam setahun dan 3 orang keluarga mengatakan
kambuh kurang dari ≤ 1 kali dalam setahun. Keluarga juga tidak tahu harus melakukan apa untuk mengatasi
masalah anggota keluarganya yang menderita halusinasi. Tindakan yang dilakukan keluarga antara lain hanya
membiarkan pasien mengurung dalam rumah atau kamar dan jika pasien membahayakan orang lain atau
lingkungan baru kemudian dibawa ke Rumah Sakit.
Tingginya angka pasien yang mengalami halusinasi dan kekambuhan pasien memerlukan upaya
diantaranya program intervensi dan terapi yang implementasinya bukan di rumah sakit tetapi di lingkungan
masyarakat.Maka dari itu pengetahuan dan peran serta keluarga dalam merawat anggota keluarga yang
mengalami halusinasi sangat dibutuhkan untuk mengurangi angka kejadian halusinasi.Keluarga merupakan
sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sakit pasien khususnya
ketika pasien di rumah.Umumnya, keluarga meminta tenaga kesehatan jika mereka tidak mampu lagi
merawatnya.Perawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan penderita, tetapi
bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan serta kemampuan keluarga dalam mengatasi
2
masalah kesehatan dalam keluarga tersebut (Yusnipah, 2012).
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan
tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan halusinasi dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi di
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
No Umur Frekuensi %
1 28-40 tahun 22 38,6%
2 41-53 tahun 24 42,1%
3 54-65 tahun 11 19,3%
Total 57 100 %
Hasil distribusi berdasarkan umur responden dapat diketahui bawhwa umur 28 – 40 tahun sebanyak 24
responden atau 42,1%, 41 – 53 tahun sebanyak 22 responden atau 38,6% dan 54 – 65 sebanyak 11 responden
atau 19,3%. Maka dapat disimpulkan bahwa umur responden sebagian besar 41 – 53 tahun yaitu sebanyak 24
responden atau 42,1 %.
Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Pendidikan Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
No Pendidikan Frekuensi %
1 Perguruan Tinggi 4 7,0%
2 SMA 21 36,8%
3 SMP 14 24,6%
4 SD 13 22,8%
5 Tidak sekolah 5 8,8%
3
Total 57 100 %
Hasil distrinusi berdasarkan pendidikan responden dapat diketahui bahwa pendidikan terakhir
perguruan tinggi sebanyak 4 responden atau 7,0%, SMA sebanyak 21 responden atau 36,8%, SMP sebanyak
14 responden atau 24,6%, SD sebanyak 13 responden atau 22,8%, dan tidak sekolah sebanyak 5 responden
atau 8,8%. Maka dapat di simpulkan sebagian besar responden pendidikan terakhirnya SMA dengan 21
responden atau 36,8%
Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
No Pekerjaan Frekuensi %
1 Swasta 13 22,8%
2 Wiraswasta 11 19,3%
3 Buruh 8 14,0%
4 Petani 14 24,6%
5 PNS 3 5,3%
6 Tidak Bekerja 8 14,0%
Total 57 100 %
Hasil distribusi berdasarkan pekerjaan responden dapat diketahui swasta sebanyak 13 responden atau
22,8%, wiraswasta sebanyak 11 responden atau 19,3%, buruh sebanyak 8 responden atau 14,0%, petani
sebanyak 14 responden atau 24,6%, PNS sebanyak 3 responden atau 5,3%,dan tidak bekerja sebanyak 8
responden atau 14,0%. Maka dapat disimpulkan sebagian besar responden bekerja sebagai petani yaitu
sebanyak 14 responden atau 24,6%.
Data yang didapatkan berdasarkan variable penelitian sebagai berikut:
Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Keluarga Di Poliklinik Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali
No Tingkat Pengetahuan Keluarga Frekuensi %
1 Tinggi 37 64,9%
2 Sedang 13 22,8%
3 Rendah 7 12,3%
Total 57 100 %
Hasil perhitungan berdasarkan tingkat pengetahuan responden dapat diketahui bahwa tingkat
pengetahuan pada kategori tinggi sebanyak 37 responden atau 64,9%, sedang sebanyak 13 responden atau
22,8%, dan rendah sebanyak 7 responden atau 12,3%. Maka dapet disimpulkan sebagian besar responden
penelitian dengan tingkat pengetahuan pada kategori tinggi, yaitu sebanyak 37 responden atau 64,9%.
Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Kekambuhan Halusinasi Di Poliklinik Rumah Sakit
Jiwa Provinsi Bali
No Tingkat Kekambuhan Halusinasi Frekuensi %
1 Tinggi 13 22,8%
2 Rendah 44 77,2%
Total 57 100 %
Hasil perhitungan berdasarkan tingkat kekambuhan pasien halusinasi dapat diketahui bahwa pada
kategori tinggi sebanyak 13 responden atau 22,8%, dan kategori rendah sebanyak 44 responden atau 77,2%.
Maka dapat disimpulkan sebagian besar pasien halusinasi dengan tinggkat kekambuhan rendah, yaitu sebanayk
44 responden atau 77,2%.
4
Hasil analisis data
Tabel 4.7
Analisis Bivariat Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Perawatan Pasien Halusinasi Dengan Tingkat
Kekambuhan Pasien Halusinasi Di Poliklinik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
Hasil perhitungan pada tabel diketahui tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan pasien
halusinasi kategori rendah dengan tingkat kekambuhan kategori tinggi sebanayk 6 orang (46,2%) sedangkan
kategori rendah dengan tingkat kekambuhan kategori rendah sebanyak 1 orang (12,3%),tingkat pengetahuan
keluarga tentang perawatan pasien halusinasi kategori sedang dengan tingkat kekambuhan pasien halusinasi
kategori tinggi 4 orang (30,8%) sedangkan kategori sedang dengan tingkat kekambuhan kategori rendan 9 orang
(20,5%), dan tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan pasien halusinasi kategori tinggi dengan tingkat
kekambuhan kategori tinggi sebanyak 3 orang (23,1%) sedangkan kategori tingkat pengetahuan tinggi dengan
tingkat kekambuhan rendah sebanyak 34 orang (77,3%).
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan analisis data dan melihat hasilnya, dalam sub bab ini penelitian akan membahas hasil
penelitian yang sudah diuraikan sebelumnya, untuk akhirnya menjawab tujuan dari penelitian yang dilakukan.
Berdasarkan karakteristik responden :
Umur Responden, Hasil penelitian karakteristik tingkat pengetahuan keluarga berdasarkan umur
responden dapat diketahui bawhwa umur 28 – 40 tahun sebanyak 24 responden atau 42,1%, 41 – 53 tahun
sebanyak 22 responden atau 38,6% dan 54 – 65 sebanyak 11 responden atau 19,3%.
Menurut (Notoatmodjo, 2014) umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin
bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga yang diperolehnya
semakin membaik.
Menurut peneliti sebelumnya (Andriani, 2015) tentang tingkat pengetuan keluarga dalam merawat
pasien halusinasi bahwa umur responden sebagian besar 41 – 53 tahun yaitu sebanyak 45 responden atau
48,9%.Umur yang lebih dewasa lebih memiliki banyak pengalaman, sehingga dapat diartikan bahwa semakin
dewasa umur seseorang maka semakin tinggi tingkat pengalamannya.
Menurut penelitiumur semakin bertambahnya usia maka akan semakin berkembang pula daya tangkap
dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin membaik dan bertambah, akan
tetapi ketika memasuki usia lansia seseorang akan mulai menurun tingkat pengetahuannya. Sehingga usia yang
dewasa tua merupakan usia paling bagus tingkat pengetahuannya
Pendidikan Responden, Hasil penelitian karakteristik berdasarkan pendidikan responden dapat
diketahui bahwa pendidikan terakhir perguruan tinggi sebanyak 4 responden atau 7,0%, SMA sebanyak 21
responden atau 36,8%, SMP sebanyak 14 responden atau 24,6%, SD sebanyak 13 responden atau 22,8%, dan
tidak sekolah sebanyak 5 responden atau 8,8%. Maka dapat di simpulkan sebagian besar responden pendidikan
terakhirnya SMA dengan 21 responden atau 36,8%.
Menurut (Notoatmodjo, 2014)Faktor pendidikan memberikan wawasan yang baru kepada
seseorang.Secara umum, orang yang berpendidikan memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang luas
dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya rendah.
Menurut penelitian sebelumnya (Andriani, 2015) dalam tingkat pengetahuan keluarga dalam merawat
pasien halusinasi bahwa sebagian besar responden berpendidikan SMA yaitu sebanyak 58,7%, semaakin tinggi
Pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada ahkrinya makin banyak pula
pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat
perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru diperkenalkan
5
Menurut peneliti semakin tinggi pendidikan seseorang semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki
seseorang, hal ini menyebabkan seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima
dan menerapkan ilmu yang dimilikinya
Pekerjaan Responden, Hasil distribusi berdasarkan pekerjaan responden dapat diketahui swasta
sebanyak 13 responden atau 22,8%, wiraswasta sebanyak 11 responden atau 19,3%, buruh sebanyak 8
responden atau 14,0%, petani sebanyak 14 responden atau 24,6%, PNS sebanyak 3 responden atau 5,3%,dan
tidak bekerja sebanyak 8 responden atau 14,0%. Maka dapat disimpulkan sebagian besar responden bekerja
sebagai petani yaitu sebanyak 14 responden atau 24,6%.
Menurut (Notoatmodjo, 2014)Pengalaman belajar dalam bekerja yang berkembang memberikan
pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat
mengembangkan kemampuan mengambil keputusan. Pekerjaan juga dapat memperoleh pengalaman sehingga
dari pengalaman tersebut akan memperoleh pengetahuan yang lebih luas.
Menurutpenelitian sebelumnya (Saragih, 2013) dalam gambaran tingkat pengetahuan dan sikap
keluarga tentang perawatan pasien perilaku kekerasan di rumah bahwa pasien rata bekerja sebagai wiraswata
sebanyak 42,4%. Pekerjaan adalah kegiatan yang harus dilakukan seseorang dalam menunjang dan
mempertahankan kehidupannya, pekerjaan juga merupakan suatu sarana dalam mendapatkan sumber informasi
dari lingkunangannya.
Menurut peneliti pekerjaan yang lebih banyak mendapatkan waktu luang akan lebih banyak pula
berkesempatan lebih dekat dengan pasien, dimna pasien akan merasa lebih diperhatikan dan akan
mempercepat proses penyembuhannya.
6
mengakibatkan pasien merasa tidak di pedulikan oleh keluarga dan merasa membebani keluarga sehingga
mengakibatkan kekambuhan pasien kembali terulang .