Anda di halaman 1dari 29

REFLEKSI KASUS

(LONG CASE)
DEMAM TIFOID
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal

Disusun oleh :
Arini Azkha
30101507390

Pembimbing:
dr. Firza Olivia Susan, Sp.A,M.Si.Med

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD DR.SOEWONDO KENDAL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2019

1
DAFTAR I
Daftar Isi..................................................................................................................... 2
Lembar Pengesahan ................................................................................................... 3
Identitas Penderita ...................................................................................................... 4
I. Data Dasar: Anamnesis ...................................................................................... 4
II. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 9
III. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................... 11
IV. Resume ............................................................................................................ 13
Tinjauan Pustaka ........................................................................................................ 18

2
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Arini Azkha


NIM : 30101507390
UNIVERSITAS : Fakultas Kedokteran Universitas Sultan Agung
JUDUL KASUS : Demam Typhoid
BAGIAN : Ilmu Kesehatan Anak - RSUD dr. H. Soewondo Kendal
PEMBIMBING : dr. Firza Olivia Susan, Sp.A, M.Si Med

Kendal, 14 Agustus 2019

dr. Firza Olivia Susan, Sp.A, M.Si Med

3
A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. Z
Umur : 5 Tahun 5 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sijeruk-Kendal
No. CM : 585xxx
Bangsal : Dahlia
Tanggal masuk : 9 Agustus 2019
Tanggal keluar : 13 Agustus 2019

B. IDENTITAS ORANGTUA
Nama Ayah : Tn. H
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Nama Ibu : Ny.R
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

B. DATA DASAR

I. ANAMNESIS (Alloanamnesis)
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien di Bangsal Dahlia RSUD Dr. H.
Soewondo Kendal pada tanggal 13 Agustus 2019 serta didukung catatan medis
pasien.
Keluhan utama : Demam
Keluhan tambahan : Demam

Sebelum masuk rumah sakit:


SMRS pasien mengalami demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, anak

4
tampak lesu, tidak bersemangat sejak 4 hari sebelum masuk rs, anak mulai panas
tidak mendadak muncul perlahan dan tidak terlalu tinggi namun berangsur-angsur
meningkat setiap harinya. Demam dirasakan tinggi pada sore dan malam hari
disertai menggigil tidak berkeringat , tidak ada kejang. Oleh ibunya anak diberi obat
penurun panas, panas turun beberapa saat diberikan obat kemudian naik lagi. Selain
itu anak mengeluh perut kembung, nafsu makan turun, sakit kepala dan batuk pilek.

Setelah masuk rumah sakit


Setelah masuk rumah sakit, pasien dirawat di Bangsal Dahlia . Pasien terlihat
lebih tenang. Pasien sudah tidak demam (turun setelah minum obat penurun panas),
tidak menggigil, tidak berkeringat dingin, tidak kejang. BAB & BAK dalam batas
normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien pernah demam sejak 1 tahun yang lalu kemudian berobat ke puskesmas
diberikan obat penurun panas kemudian sembuh. Riwayat batuk lama, penyakit
kuning, kejang disangkal oleh ibu pasien dan riwayat alergi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan:


Ayah, ibu, keluarga dan tetangga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa.

Riwayat Sosial Ekonomi:


Ayah pasien sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta. Sumber biaya
pengobatan berasal dari BPJS.

Kesan: Keadaan sosial ekonomi cukup

Riwayat Prenatal

Ibu rutin memeriksakan kandungannya ke bidan terdekat. Mulai saat

5
mengetahui kehamilan berusia 1 bulan hingga usia kehamilan 9 bulan dengan
interval 1 kali tiap bulan. Ibu mengaku tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan. Riwayat muntah berlebih ,perdarahan, hipertensi, DM dan trauma saat
hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter, minum jamu, ataupun
pijat hamil disangkal.
Kesan: riwayat kesehatan prenatal baik

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Anak perempuan lahir dari ibu G3P2A0, hamil 40 minggu, lahir spontan
ditolong oleh bidan, langsung menangis, berat badan lahir 3100 gram, panjang
badan, lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir ibu pasien tidak ingat, langsung
menangis, tidak ada kelainan bawaan, dan dirawat gabung dengan ibu.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan:


Pertumbuhan:
Berat badan lahir 3100 gram, panjang badan lahir lingkar kepala dan lingkar dada,
lingkar kepala dan lingkar dada ibu tidak ingat. Berat badan sekarang 17 kg.
Perkembangan :
 Mengangkat kepala : 2 bulan

 Memiringkan badan : 3 bulan

 Tengkurap dan mempertahankan posisi kepala : 4 bulan

 Duduk : 5 bulan

 Merangkak : 9 bulan

Kesan: Pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur.

6
Riwayat postnatal
Pemeliharaan postnatal dilakukan di posyandu dan mendapat imunisasi dasar
Kesan : riwayat pemeliharaan postnatal baik

Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : Lahir, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Polio : 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
BCG : 1 bulan
DPT : 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan
Campak : 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Makan dan minum anak


ASI : Sejak lahir
MPASI : Usia 6 Bulan

Status Gizi
Jenis Kelamin : perempuan
Berat badan : 17 kg
Tinggi Badan :-
Usia : 5 Tahun 5 Bulan

7
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2019 di Bangsal Dahlia RSUD dr. H.
Soewondo Kendal
Kesan umum : Composmentis tampak rewel
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 5 Tahun 5 Bulan
Tinggi Badan :-
Berat Badan : 17 kg

Tanda Vital
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 23 x/ menit
Temperatur : 36,6o C per axial
Saturasi oksigen : 99%

Status Internus
a. Kepala : Normocephale.
b. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
c. Mata : Pupil bulat, isokor, Ø 4mm/ 4mm, refleks cahaya (+/+) normal,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-), palpebra udem (-/-)
d. Hidung : simetris, sekret (-/-), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-)
e. Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri tekan tragus
(-/-)
f. Mulut: bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), karies (-), ginggiva
bleeding (-)
g. Tenggorok: tonsil ukuran T1-T1, permukaan rata, kripte tonsil tidak melebar,
tidak hiperemis, faring hiperemis (-)

8
h. Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe, kaku kuduk (-)
i. Kulit : sianosis (-). Turgor kembali cepat, akral dingin (-)
j. Kuku : Capillary Refill Time <2 detik
Thorax
Paru
 Inspeksi : Hemithorax sinistra dan dextra simetris dalam statis
dan dinamis, ada retraksi suprasternal (-)
 Palpasi : Sterm fremitus kanan sama dengan sterm fremitus kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+. Suara tambahan wheezing -
-/-, ronkhi -/-
Jantung
o Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
o Palpasi :Iktus kordis teraba di sela iga IV, linea medioclavikula
sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar
o Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
o Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, suara tambahan (-)

Abdomen
 Inspeksi : datar, tidak ada gambaran usus ataupun vena
 Palpasi : supel, turgor cukup
 Hepar : tidak teraba membesar
 Lien : tidak teraba membesar
 Perkusi : timpani di seluruh kuadran
 Auskultasi: Bising usus (+) 8 kali/menit
Genital : dalam batas normal
Anorectal : dalam batas normal

9
Anggota gerak
Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2 detik/< 2detik < 2 detik/< 2detik

Pergerakan motorik
Motorik Superior Inferior
Pergerakan Normoaktif/ Normoaktif Normoaktif/
Normoaktif
Tonus Normotonus/Normotonus Normotonus/
Normotonus
Trofi Eutrofi / Eutrofi Eutrofi/
Eutrofi

Reflek ekstremitas atas


Dextra Sinistra
Biceps N N
Triceps N N
Hoffman - -
Trommer - -

Reflek ekstremitas bawah


Dekstra Sinistra
Patella N N
Achilles N N
Babinski - -

10
Chaddock - -

Pemeriksaan Rangsang Meningeal


 Kaku kuduk : negatif
 Kernig sign : negatif
 Brudzinski I (Neck sign) : negatif
 Brudzinski II (Chick sign) : negatif
 Brudzinski III (Symphisis sign) : negatif
 Brudzinski IV (leg sign) : negatif

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah
tanggal 10 Agustus 2019

HEMATOLOGI

DARAH RUTIN
Hemoglobin 11,6 gr/dL (11,5 – 16,5)
Leukosit 7,8x103/uL (4,0 – 10,0)
Trombosit 225x103/uL (150 – 500)
Hematokrit 34,9 % (35,0 – 49,0)

PEMERIKSAAN SEROLOGI
IgM Salmonella thyposa (+)
IV. RESUME
SMRS pasien mengalami demam sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit, anak
tampak lesu, tidak bersemangat sejak 4 hari sebelum masuk rs, anak mulai
panas,tidak mendadak muncul perlahan dan tidak terlalu tinggi namun berangsur-

11
angsur meningkat setiap harinya. Demam dirasakan tinggi pada sore dan malam hari
disertai menggigil tidak berkeringat , tidak ada kejang. Oleh ibunya anak diberi obat
penurun panas, panas turun beberapa saat diberikan obat kemudian naik lagi. Selain
itu anak mengeluh perut kembung, nafsu makan turun, sakit kepala dan batuk pilek.
Kesan umum : composmentis, tampak lemah
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 85 x/menit
Frekuensi napas : 23 x/ menit
Temperatur : 36,6o C per axial
Saturasi oksigen : 99%
 Paru
 Inspeksi : Hemithorax sinistra dan dextra simetris dalam statis
dan dinamis, ada retraksi suprasternal (-)
 Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan sterm fremitus kiri
 Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+. Suara tambahan wheezing -
-/-, ronkhi -/-

C. DIAGNOSIS BANDING
 Demam Typhoid
 ISK (infeksi saluran kemih)
 Malaria

D. DIAGNOSIS SEMENTARA
 Demam Typhoid

E. INITIAL PLAN
 Initial plan diagnosis :

12
- Pemeriksaan darah rutin
- Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah (IgM/IgG Salmonella
thyposa)
- Tes widal
 Initial plan terapi :
- Infus RL 20 tpm
- Infus paracetamol 3 x 500 mg (bila suhu >38 0c)
- Inj ranitidine 3 x 1 amp
- Inj. Ceftriaxone 1 x 1,5 gr

1. Initial Plan Monitoring


a. Monitoring gejala klinis
Anamnesis  keluhan demam, nafsu makan, BAK-BAB
b. Monitoring tanda klinis
PF  keadaan umum : keaktifan, sianosis/ tdk ; tanda vital : HR, RR suhu
(untuk menilai masih demam tidak), pemeriksaan ekstremitas (akral dingin
dan capillary refill)
2. Initial Plan Edukasi
Memberitahukan pada keluarga pasien tentang penyakit demam thypoid
• Meyakinkan bahwa demam thypoid umumnya mempunyai prognosis
baik
• Memberikan informasi mengenai kemungkinan demam thypoid
kembali
• Memberitahukan cara penanganan bila terjadi demam kembali yaitu
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
c. Ukur suhu, observasi dan catat berapa hari

13
d. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila demam berlangsung 7 hari atau
lebih
F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

FOLLOW UP
Tgl 10 Agustus 2019
S  Demam (+), perut kembung, batuk pilek
 BAK (+) BAB (+)

O  S: 38,3ºC N: 88x/mnt RR: 20x/mnt SpO2 : 98 %

A  Obs febris

- RL 20 tpm
P - Ambroxol
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg

Tgl 11 Agustus 2019


S  Demam (+), batuk pilek
 BAK (+) BAB (+)
O  S: T: 38,2 ºC N:82 x/mnt RR: 20 x/mnt SpO2 : 98%

A  Febris thypoid

14
P - RL 20 tpm
- Ambroxol
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Ceftriaxone 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg

Tgl 12 Agustus 2019

S  Demam (+), batuk pilek -


 BAK (+) BAB (+)
O  S: 37,5 ºC N: 80x/mnt RR: 18x/mnt SpO2 : 98%

A  Febris thypoid

P - RL 20 tpm
- Injeksi ranitidine 1 x 1,5 gr
- Ceftriaxone 1 x 1,5 gr
- Inj Paracetamol 3 x 500 mg

Tgl 13 Agustus 2019


S  Demam (-), kembung -, batuk pilek -
 BAK (+) BAB (+)
O  S: 36,4 ºC N: 83x/mnt RR: 21x/mnt SpO2 : 99%

A  Febris thypoid

15
P - BLPL

TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM TIFOID

A.Demam Tifoid

Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010). Selain itu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun
2006 tentang pengendalian demam tifoid, demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan
oleh kumam berbentuk basil yaitu Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau
minuman yang tercemar feses manusia.

Etiologi

Salmonella merupakan bakteri batang gram-negatif. Karena habitat aslinya yang


berada di dalam usus manusia maupun binatang, bakteri ini dikelompokkan ke dalam
Enterobacteriaceae. Walaupun begitu banyak serotip dari Salmonella, namun telah
disepakati bahwa hanya terdapat dua spesies, yakni Salmonella bongori dan Salmonella
enterica dengan enam subspesies (Winn, 2005). Penyebab demam tifoid adalah Salmonella
typhi dari spesies Salmonella enterica.

Patogenesis

16
Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan
memasuki saluran cerna. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis ataupun
subklinis pada manusia adalah sebesar 105 – 108 salmonella (mungkin cukup dengan 103
organisme Salmonella typhi). Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam
lambung, namun yang lolos akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan melakukan penetrasi
pada mukosa baik usus halus maupun usus besar dan tinggal secara intraseluler dimana
mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa
menanganinya, maka akan terjadi degenerasi brush border (Brooks, 2007). Sel-sel M, sel
epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella
typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ
hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear
di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe. Setelah peride tertentu
(inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun
pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus
masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat predileksinya adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja (Soedarmo et al, 2010).
Peranan endotoksin dalam patogenesis demam tifoid telah dipelajari secara mendalam.
Pernah dicoba pemberian suntikan endotoksin 0.5 mcg pada sukarelawan-sukarelawan,
dalam waktu enam puluh menit mereka menjadi sakit kepala, dingin, rasa tak enak pada
perut. Bakteriolisis yang dilakukan oleh sistem retikuloendotelial merupakan upaya
pertahanan tubuh di dalam pembasmian kuman. Akibat bakteriolisis maka dibebaskan suatu
zat endotoksin, yaitu suatu lipopolisakarida (LPS), yang akan merangsang pelepasan
pirogen endogen dari leukosit, sel-sel limpa, dan sel-sel kupffer hati, makrofag, sel
polimorfonuklear dan monosit. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler
dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

17
pernapasan, dan gangguan organik lainnya (Santoso, 2009).

Manifestasi Klinis

a. Masa inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, seperti gejala
influenza, berupa : anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor,
dan nyeri perut. (Parry et al, 2002)

b. Minggu pertama (awal terinfeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu
setinggi 39ºC hingga 40ºC, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual , muntah,
batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat
dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tidak enak, sedangkan diare
dan sembelit dapat terjadi bergantian. Pada akhir minggu pertama,diare lebih sering terjadi.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau
tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan
beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit
(rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan
tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan
sempurna (Brusch, 2011). Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih
yaitu berupa makula merah tua ukuran 1-5 mm, berkelompok, timbul paling sering pada
kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan (Soedarmo
et al, 2010).

18
c. Minggu kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari.
Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi/demam (Kemenkes, 2006). Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Gejala
toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium.
Gangguan

pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering,merah mengkilat. Nadi semakin cepat
sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-
kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut
kembung dan sering berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai
kacau jika berkomunikasi dan lain-lain (Supriyono, 2011).

d. Minggu ketiga

Pada minggu ketiga, demam semakin memberat dan terjadi anoreksia dengan
pengurangan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi, dan pasien mengalami
takipnu dengan suara crakcles di basis paru. Jarang terjadi distensi abdominal. Beberapa
individu mungkin akan jatuh pada fase toksik yang ditandai dengan apatis, bingung, dan
bahkan psikosis. Nekrosis pada Peyer’s patch mungkin dapat menyebabkan perforasi
saluran cerna dan peritonitis (Brusch, 2011). Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga
(Asdie, 2005).

e. Minggu keempat

Pada minggu ke empat demam turun perlahan secara lisis, kecuali jika fokus
infeksi terjasi seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap

19
(Soedarmo et al, 2010). Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian
juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah,kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan
primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer
tersebut.Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan
timbulnya relaps (Supriyono, 2011).

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis klinis perlu ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium.Pemeriksaan


tambahan ini dapat dilakukan dengan dan tanpa biakan kuman.

1. Darah tepi

Pada penderita demam tifoid didapatkan anemia normokromi normositik yang


terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang.Terdapat gambaran
leukopeni (3000-8000 per mm3), tetapi bisa juga normal atau meningkat.Kadang-
kadang didapatkan trombositopeni dan pada hitung jenis didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif.Leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif
pada hari kesepuluh dari demam, menunjukkan arah diagnosis demam tifoid
menjadi jelas.

2. Pemeriksaan Widal
Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi
dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satusatunya
pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis.
Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum
berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H
hari ke 10-12 sejak awal penyakit. 5 Interpretasi pemeriksaan Widal harus

20
dilakukan secara hati-hati karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara
lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas
penyakit tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi
demam tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen
yang digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel
biakan positif demam tifoid. 5 Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%,
spesifisitas 91,4%, dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal
positif palsu dapat terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal
Salmonella, enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis
infeksi dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen
komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik. Pemeriksaan
Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga kenaikan 4 kali,
terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang penting untuk demam
tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda dari >1/806 sampai >1/320
antar laboratorium tergantung endemisitas demam tifoid di masyarakat setempat
dengan catatan 8 bulan terakhir tidak mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari
demam tifoid. 5,7 Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak
mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan,
yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan
kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah endemis, reaksi silang terhadap
nonSalmonella lain, dan kurangnya kemampuan reprodusibilitas hasil
pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin Salmonella seperti
pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.8

3. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah


Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex
yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi.
Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap

21
antigen S. typhi berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
berkembang. Antigen dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme
antara lain: liposakarida (LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H),
dan kapsul (virulence [Vi] antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan
bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada
pasien demam tifoid dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi
IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex)R dan IgM terhadap
S.typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan
80%.9,2, 10Tabel 2 memperlihatkan perbandingan beberapa pemeriksaan
penunjang untuk demam tifoid. Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca
secara visual dalam waktu 10 menit dengan membandingkan warna akhir reaksi
terhadap skala warna dan nilai > 6 dianggap sebagai positif kuat. Namun
interpretasi hasil serologi yang positif harus dilakukan secara hati-hati pada
kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis karena IgM dapat bertahan
sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.

4. Isolasi kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dilakukan dengan isolasi Salmonella
Typhi.Isolasi kuman ini dapat dilakukan dengan melakukan biakan dari
berbagai tempat dalam tubuh.Diagnosis dapat ditegakkan melalui isolasi kuman
dari darah. Pada dua minggu pertama sakit , kemungkinan mengisolasi kuman
dari darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya.Biakan yang
dilakukan pada urin dan feses kemungkinan keberhasilan lebih kecil, karena
positif setelah terjadi septikemia sekunder.Sedangkan biakan spesimen yang
berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, tetapi
prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek
seharihari.Selain itu dapat pula dilakukan biakan spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik

22
.

Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar, yaitu tatalaksana
umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa pemberian antibiotik sebagai
pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid juga bukan hanya tatalaksana yang
ditujukan kepada penderita penyakit tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita
karier salmonella typhi, pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan
profilaksis bagi traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam
tifoid

Tatalaksana umum
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam

23
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta
transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki
kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak
lebih ringan dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa
komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta
istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi
sehat dari penyakit tersebut.

Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan
ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan

24
demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang. Hal ini berbeda dengan
dewasa, dimana obat antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon,
seperti ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan
pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat
antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut
dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol
, yang pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap
obat ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap

fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik


untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa
komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk demam tifoid
yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan parenteral

25
26
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan demam tifoid masih menganut trilogi penatalaksanaan
yang meliputi : istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (baik
simptomatik maupun suportif), serta pemberian antimikroba. Selain itu
diperlukan pula tatalaksana komplikasi demam tifoid yang meliputi komplikasi
intestinal maupun ekstraintestinal (Kemenkes, 2006).
 Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah
baring dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum, mandi, dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah
dukubitus dan pnemonia orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
 Diet dan Terapi Penunjang
Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat, yaitu berupa:
a. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus, dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini
dilakukan untuk menghindari komplikasi. perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan
umum dan mempercepat proses penyembuhan.
b. Cairan yang adekuat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual
muntah dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan
saja penderita sudah tidak mengalami mual lagi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Juwono R. Penyakit tropik dan menular : Demam tifoid. Dalam: Noer MS,
Waspadji S, Rachman AM, et al, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1996. h. 435-442.

2. Kaspan MF, Soejoso DA, Soegijanto S, et al. Penyakit tropik dan menular: Demam
tifoid. Dalam: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penunting. Pedoman
diagnosis dan terapi lab/UPF ilmu kesehatan anak. Surabaya: Rumah Sakit Umum
Daerah Dokter Soetomo. 1994. h. 187-189.

3. Sumarno, Nathin MA, Ismael S. Tumbelaka WAFJ. Masalah Demam Tifoid pada
Anak. Medika 1980; 20.

4. Rampenan TH, Laurentz. Demam tifoid. Dalam: Rampenan TH, penyunting.


Infeksi tropik pada anak:. Jakarta: EGC. 1995. h. 53-71.

5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Tifus abdominalis. Dalam: Hasan R, Alatas H, Latief A, et al, penyunting. Buku
kuliah ilmu kesehatan anak jilid 2. Jakarta: Infomedika. 1985. h. 593-598.

6. Gunawan G. Infeksi: Demam tifoid. Dalam: Yunanto A, Gunawan G dan Muhyi R,


penyunting. Pedoman diagnosis dan terapi bagian/SMF ilmu kesehatan anak. Edisi
I. Banjarmasin: Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. 2000. h. 16-17

7. Wheeler DT. typhoid fever. Department of ophthalmology, Oregon health scienses


university; 2001 (online). Available from: URL:
http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm.

28
8. Corales R. Typhoid fever. Department of infectious disease and tropical medicine,
Birmingham heartlands hospital; 2004 (online). Available from: URL:
http://www.emedicine.com/med/topic2331.htm

9. Jonggu MCH. Demam Tifoid dengan Renjatan Septik. MKUH volume 7. 1986: 16-
18.

10. Alatas H. Demam tifoid. Dalam : Sunoto, Tambunan T, Madiyono B, Alatas H,


penyunting. Buku panduan tata laksana prosedur baku pediatrik UPF anak rumah
sakit cipto mangunkusumo fakultas kedokteran universitas indonesia. Jakarta: UPF
Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1990. h. 278-280.

29

Anda mungkin juga menyukai