Anda di halaman 1dari 16

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Postpartum

Postpartum adalah masa pulih kembali, mulai dari bayi sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Lama masa ini adalah 6 minggu atau
42 hari (Bobak, 2005).

Persalinan merupakan proses pergerakan keluarnya janin, plasenta, dan membran dari
dalam rahim melalui jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi serviks
sebagai akibat kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang teratur. Mula-
mula kekuatan yang muncul kecil, kemudian terus meningkat sampai pada puncaknya
pembukaan serviks lengkap sehingga siap untuk pengeluaran janin dari rahim. (Rohani,
2011).

Persalinan spontan adalah proses lahirnya bayi pada letak belakang kepala dengan
tenaga ibu sendiri tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi, umumnya
berlangsung kurang dari 24 jam. Persalinan normal dianggap normal jika prosesnya terjadi
pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai penyulit( Rohani, 2011).

Berdasarkan pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa post partum


spontan adalah periode setelah kelahiran janin dan plasenta dari dalam uterus melalui jalan
lahir kedunia luar tanpa ada komplikasi, yang berlangsung dengan tenaga ibu sendiri tanpa
bantuan alat-alat dari luar.

Adapun tahap-tahapan masa nifas (post partum / puerperium) adalah:

1. Puerperium dini : masa kepulihan, yakni saat-saat ibu dibolehkan berdiri dan

berjalan.

2. Puerperium intermedial :masa kepulihn menyeluruh dari orgn-organ genital, antara

6-8 minggu.

3. Remote puerperium : waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna

terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan mempunyai komplikasi.


2.2 Patofisiologi

2.2.1 Perubahan Fisiologis

1. Perubahan Uterus
Setelah kelahiran plasenta, uterus menjadi massa jaringan yang hampir padat.
Dinding belakang dan depan uterus yang tebal saling menutup, yang menyebabkan
rongga di bagian tengah merata. Ukuran uterus akan tetap sama selama 2 hari pertama
setelah kelahiran, tetapi kemudian secara cepat ukurannya berkurang oleh involusi
(Reeder, 2011).
2. Lochea
Lochea keluar dari uterus setelah bayi lahir sampai dengan 3 atau 4 minggu
post partum. Perubahan lochea terjadi dalam tiga tahap yaitu lokia rubra, lochea
serosa, dan alba. Lokia rubra merupakan darah pertama yang keluar dan berasal dari
tempat lepasnya plasenta. Setelah beberapa hari, lokia berubah warna menjadi
kecoklatan yang terdiri dari darah dan serum yang berisi leukosit serta jaringan yang
disebut lochea serosa. Pada minggu ke-2, lochea berwarna putih kekuningan yang
terdiri dari mukus serviks, leukosit dan jaringan ( Bahiyatun, 2009).
Adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa

nifas. Lochea terbagi menjadi 4 jenis yaitu :

a) Lokia Rubra : berwarna merah karena berisi darah segar dan sisa-sisa selaput
ketuban, inilah lokia yang akan keluar selama 2 sampai 3 hari postpartum.
b) Lokia Sanguilenta : berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang
keluar pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan.
c) Lokia Serosa : Lochea ini berbentuk serum dan berwarna merah jambu
kemudian menjadi kuning. Cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7 sampai
hari ke-14 pasca persalinan.
d) Lokia Alba : dimulai dari hari ke-14 kemudian makin lama makin sedikit
hingga sama sekali berhenti sampai satu dua minggu berikutnya. Bentuknya
seperti cairan putih berbentuk krim serta terdiri atas leukosit dan sel-sel
desidua.
3. Perubahan Serviks dan Segmen Bawah Uterus
Tepi luar seviks, yang berhubungan dengan os eksternum, biasanya
mengalami laserasi terutama di bagian lateral. Ostium seviks berkontraksi perlahan,
dan beberapa hari setelah bersalin ostium serviks hanya dapat ditembus oleh dua jari.
Pada akhir minggu pertama, ostium tersebut telah menyampit.
4. Perubahan sistem endokrin
Saat plasenta terlepas dari dinding uterus, kadar HCG dan HPL secara
berangsur turun dan normal kembali setelah 7 hari post partum. HCG tidak terdapat
dalam urine ibu setelah 2 hari post partum. HPL tidak lagi terdapat pada plasenta
(Bahiyatun, 2009).
5. Perubahan Sistem Perkemihan
Pelvis ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama kehamilan
kembali normal pada akhir minggu ke-4 setelah melahirkan. Diuresis yang normal
dimulai segera setelah bersalin sampai hari ke-5 setelah persalinan. Jumlah urine yang
keluar dapat melebihi 3000 ml/harinya. Kandung kemih pada puerperium mempunyai
kapasitas yang meningkat secara relatif. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami
distensi akan kembali normal pada 2-8 minggu setelah persalinan (Saleha, 2009).
6. Perubahan perkemihan
Saluran kencing kembali normal dalam waktu 2 sampai 8 minggu, tergantung
pada keadaan / status sebelum persalinan, lama partus kala 2 dilalui, besarnya tekanan
kepala yang menekan pada saat persalinan.
Disamping itu, dari hasil pemeriksaan sitoscopic segera setelah persalinan tidak
menunjukan adanya edema dan hyperemia dinding vesica urinaria, akan tetapi sering
terjadi ekstravasasi ( extravasation, keluarnya darah dari pembuluh-pembuluh darah di
dalam badan) ke mukosa.
Adanya urine residual dan bacteriuria pada vesica urinaria yang mengalami
cidera, ditambah dengan dilatasi pelvis renalis dan ureter, membentuk kondisi yang
optimal untuk tumbuhnya infeksi saluran kencing. Ureter dan pelvis renalis yang
mengalami dilatasi kembali ke keadaan sebelum hamil mulai dari 2-8 minggu setelah
persalinan.
Pengaruh persalinan pada fungsi vesica urinaria post partum, yang dipelajari
menggunakan teknik urodinamik, dapat diketahui bahwa bila persalinan lama dapat
dihindari, dan bila dilakukan keteterisasi secepatnya dikerjakan, pada vesica urinaria
yang besar, maka tidak akan terjadi hipotonia vesica urinaria, meskipun dilaporkan
pula dari hasil mempelajari dengan cara tersebut di atas, bahwa analgesia epidural
tidak merupakan presdisposisi hipotonia vesica urinaria post partum.
7. Perubahan sistem pencernaan
Setelah kelahiran plasenta, terjadi pula penurunan produksi progesteron, sehingga
menyebabkan nyeri ulu hati (beartburn) dan konstipasi, terutama dalam beberapa hari
pertama. Hal ini terjadi karena inaktivitas motilitas usus akibat kurangnya
keseimbangan cairan selama persalinan dan adanya refleks hambatan defekasi karena
adanya rasa nyeri pada perineum akibat episiotomi.
8. Perubahan payudara
a) Anatomi Payudara
Secara vertikal payudara terletak diantara kosta II dan IV, secara horisontal

mulai dari pinggir sternum sampai linea aksilaris medialis. Kelenjar susu berada di

jaringan sub kutan, tepatnya diantara jaringan sub kutan superfisial dan profundus,

yang menutupi muskulus pectolaris mayor. Ukuran normal 10-12 cm dengan

beratnya pada wanita hamil adalah 200 gram, pada wanita hamil aterm 400-600

gram dan pada masa laktasi sekitar 600-800 gram. Bentuk dan ukuran payudara

akan bervariasi menurut aktifitas fungsionalnya. Payudara menjadi besar saat

hamil dan menyusui dan biasanya mengecil setelah menopause (Ambarwati &

Wulandari, 2009).

Ada 3 bagian utama payudara, yaitu :


 Korpus (badan)
Bagian yang membesar.

 Areola
Areolla mamae (kalang payudara) letaknya mengelilingi puting susu
dan berwarna kegelapan yang disebabkan oleh penipisan dan penimbunan
pigmen pada kulitnya. Perubahan warna ini tergantung dari corak kulit dan
adanya kehamilan.
 Papilla (puting)
Puting susu terletak setinggi interkosta IV, tetapi berhubung adanya
variasi bentuk dan ukuran payudara maka letaknya pun akan bervariasi pula.
Pada tempat ini terdapat lubang-lubang kecil yang merupakan muara dari
duktus laktiferus, ujung-ujung serat otot polos yang tersusun secara sirkuler
sehingga bila ada kontraksi maka duktus laktiferus akan memadat dan
menyebabkan puting susu ereksi, sedangkan serat-serat otot yang longitudinal
akan menarik kembali puting susu tersebut (Ambarwati & Wulandari, 2009).
Ada empat macam bentuk puting yaitu bentuk yang normal/umum,

pendek/datar, panjang dan terbenam (inverted). Namun bentuk-bentuk puting

ini tidak terlalu berpengaruh pada proses laktasi, yang penting adalah bahwa

puting susu dan areola dapat ditarik sehingga membentuk tonjolan atau “dot”

kedalam mulut bayi (Ambarwati & Wulandari, 2009).

b) Proses Terbentuknya ASI


 Proses Pembentukan Laktogen
- Laktogenesis I
Pada fase terakhir kehamilan, payudara wanita memasuki fase
laktogenesis I. Saat itu payudara memproduksi kolostrum, yaitu berupa cairan
kental yang kekuningan. Pada saat itu, tingkat progesteron yang tinggi
mencegah produksi ASI yang sebenarnya.Apabila ibu hamil mengeluarkan
(bocor) kolostrum sebelum bayinya lahir, hal ini bukan merupakan indikasi
sedikit atau banyaknya produksi ASI sebenarnya nanti.
- Laktogenesis II
Saat melahirkan, keluarnya plasenta menyebabkan turunnya tingkat
hormon progesteron, esterogen, dan HPL secara tiba-tiba, namun hormon
prolaktin tetap tinggi.Hal ini menyebabkan produksi ASI besar-besaran yang
dikenal dengan fase laktogenesis II. Apabila payudara dirangsang, jumlah
prolaktin dalam darah akan meningkat dan mencapai puncaknya dalam
periode 45 menit, kemudian kembali ke level sebelum rangsangan tiga jam
kemudian. Keluarnya hormon prolaktin menstimulasi sel didalam alveoli
untuk memproduksi ASI, dan hormon ini juga keluar dalam ASI itu sendiri.
- Laktogenesis III
Sistem kontrol hormon endokrin mengatur produksi ASI selama
kehamilan dan beberapa hari pertama setelah melahirkan.Kebutuhan produksi
ASI mulai stabil, sistem kontrol oktokrin dimulai.Fase ini dinamakan fase
laktogenesis III. Pada tahap ini apabila ASI tidak dikeluarkan, payudara akan
memproduksi ASI dengan banyak.Dengan demikian, produksi ASI sangat
dipengaruhi oleh seberapa sering dan seberapa baik bayi mengisap, juga
seberapa sering payudara dikosongkan (Saleha, 2009).
 Hormon Yang Mempengaruhi Pembentukan ASI
- Progesteron : mempengaruhi pertumbuhan dan ukuran alveoli. Kadar
progesteron dan esterogen menurun sesaat setelah melahirkan. Hal ini
menstimulasi produksi ASI secara besar-besaran.
- Esterogen : menstimulasi sistem saluran ASI untuk membesar. Kadar
esterogen dalam tubuh menurun saat melahirkan dan tetap rendah untuk
beberapa bulan selama tetap menyusui.
- Prolaktin : berperan dalam membesarnya alveoli pada masa kehamilan.
- Oksitosin : mengencangkan otot halus dalam rahim pada saat melahirkan
dan setelahnya, seperti halnya juga dalam orgasme. Setelah melahirkan,
oksitosin juga mengencangkan otot halus di sekitar alveoli untuk memeras
ASI menuju saluran susu. Oksitosin berperan dalam proses turunnya susu.
- Human placental lactogen (HPL) : sejak bulan kedua kehamilan, plasenta
mengeluarkan banyak HPL yang berperan dalam pertumbuhan payudara,
puting dan areola sebelum melahirkan. Pada bulan kelima dan keenam
kehamilan, payudara siap memproduksi ASI. Namun, ASI bisa juga
diproduksi tanpa kehamilan (induced lactasion). (Saleha, 2009).
 Refleks Dalam Proses Laktasi
- Refleks Prolaktin
Sewaktu bayi menyusu, ujung saraf peraba yang terdapat pada puting
susu terangsang. Rangsangan tersebut oleh serabut afferent dibawa ke
hipotalamus di dasar otak, lalu memacu hipofise anterior untuk
mengeluarkan hormon prolaktin kedalam darah.Melalui sirkulasi prolaktin
memacu sel kelenjar (alveoli) untuk memproduksi air susu. Jumlah
prolaktin yang disekresi dan jumlah susu yang diproduksi berkaitan
dengan stimulus isapan, yaitu frekuensi, intensitas, dan lamanya bayi
menghisap.
- Refleks aliran (Let Down Reflex)
Rangsangan yang ditimbulkan oleh bayi saat menyusu selain
mempengaruhi hipofise anterior mengeluarkan hormon prolaktin juga
mempengaruhi hipofise posterior mengeluarkan hormon oksitosin.Dimana
setelah oksitosin dilepas kedalam darah akan mengacu otot-otot polos
yang mengelilingi alveoli dan duktulus berkonsentrasi sehingga memeras
air susu dari alveoli dan duktulus berkontraksi sehingga memeras air
susudari alveoli, duktulus, dan sinus menuju puting susu. Refleks let down
dapat dirasakan sebagai sensasi kesemutan atau dapat juga ibu merasakan
sensasi apapun. Tanda-tanda lain dari let down adalah tetesan pada
payudara lainyang sedang dihisap oleh bayi. Refleks ini dipengaruhi oleh
kejiwaan ibu (Ambarwati & Wulandari, 2009).
c) Perubahan Payudara Pasca Partum
Hingga hari kertiga pasca partum, efek prolaktin pada payudara mulai bisa
dirasakan pembuluh darah payudara menjadi bengkak terisi darah, sehingga
timbul rasa hangat, bengkak, dan rasa sakit. Oksitosin merangsang refleks
mengalirkan sehingga menyebabkan ejeksi ASI melalui sinus aktiferus payudara
ke duktus yang terdapat pada puting. Ketika ASI dialirkan karena isapan bayi, sel-
sel ini terangsang untuk menghasilkan ASI lebih banyak (Saleha, 2009).

2.2.2 Perubahan Psikologis

Adaptasi psikologi ibu post partum dibagi menjadi 3 fase yaitu :

1. Fase Taking In / ketergantungan

Fase ini dapat terjadi pada hari pertama sampai kedua postpartum. Pada saat itu

fokus perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Pengalaman selama proses

persalinan sering berulang di ceritakannya. Kelelahan membuat ibu cukup istirahat

untuk mencegah gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung. Pada fase ini ibu

perlu di perhatikan pemberian ekstra makanan untuk proses pemulihannya

disamping nafsu makan ibu memang meningkat.

2. Fase Taking Hold / ketergantungan mandiri

Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari ke sepuluh postpartum pada masa

ini ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa tanggung jawabnya dalam

merawat bayi. Selain itu perasaannya sangat sensitive sehingga mudah tersinggung

jika komunikasi kurang hati-hati. Oleh karena itu ibu memerlukan dukungan karena
saat ini merupakan kesempatan yang baik untuk menerima berbagai penyuluhan

dalam merawat diri dan bayinya sehingga tumbuh rasa percaya diri.

3. Fase Letting Go / kemandirian


Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran barunya yang
berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai menyesuaikan diri
dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya
meningkat pada fase ini.
2.3 Komplikasi
1. Hemoragi post partum
Perdarahan post partum adalah kehilangan darah sebanyak 500cc atau lebih dari
traktus genetalia setelah melahirkan.
2. Infeksi masa nifas
Infeksi masa nifas atau sepsis puerperalis adalah infeksi pada traktus genetalia
yang terjadi pada setiap saat antara awitan pecah ketuban (ruptur membran) atau
persalinan dan 42 hari setelah persalinan atau abortus dimana terdapat tanda-tanda
nyeri pelvik, demam 38,5 °C atau lebih, vagina yang berbau busuk, keterlambatan
dalam kecepatan penurunan uterus.
3. Kelainan payudara
Komplikasi post partum ( Suherni, dkk, 2009 )
a) Bendunangan air susu
Payudara sering mengalami distensi menjadi keras dan berbenjol-benjol.
Keadaan ini yang disebut bendungan air susu (caked breast), sering menyebabkan
rasa nyeri yang cukup berat dan bisa disertai kenaikan suhu.
b) Mastitis
Inflamasi perinkimatosa glandula mamae merupakan komplikasi yang jarang
terjadi tetapi kadang-kadang dijumpai pada masa nifas dan laktasi.

2.4 Perawatan Masa nifas

1. Ambulasi
Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi dan mencegah resiki tromboflebitis,
meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan kandung kemih, sehingga mencegah
distensi abdominal dan konstipasi. Terkadang ibu enggan untuk banyak bergerak
karena letih dan sakit. Jika keadaan tersebut tidak diatasi, ibu akan terancam
mengalami trobosis vena. Untuk mencegah terjadinya trombosis vena, perlu
dilakukan ambulasi dini oleh ibu nifas.
Pada persalinan normal dan keadaan ibu normal, biasanya ibu diperbolehkan
untuk mandi dan ke WC dengan bantuan orang lain, yaitu pada 2 jam setelah
persalinan. Sebelum waktu ini, ibu harus diminta untuk latihan menarik nafas dalam
serta latihan tungkai yang sederhana dan harus duduk serta mengayunkan tungkainya
ditepi tempat tidur.
Sebaiknya, ibu nifas turun dari tempat tidur sedini mungkin setelah persalinan.
Ambulasi dini dapat mengurangi kejadian komplikasi kandung kemih, konstipasi,
trombosis vena pueperalis, dan emboli pulmonal. Disamping itu, ibu merasa lebih
sehat dan kuat serta dapat segera merawat bayinya. Ibu harus didorong berjalan dan
tidak hanya duduk di tempat tidur. Pada ambulasi pertama, sebaiknya ibu dibantu
karena biasanya pada saat ini ibu merasa pusing ketika pertama kali bangun setelah
melahirkan ( Suherni, dkk, 2009).
2. Eliminasi

a) Buang air kecil


Dalam enam jam ibu nifas harus bisa berkemih spontan, kebanyakan ibu bisa
berkemih spontan dalam waktu 8 jam. Urin dalam jumlah banyak akan
diproduksi dalam 12-36 jam setelah melahirkan. Ureter yang berdilatasi akan
kembali normal dalam waktu 6 minggu (Suherni, dkk, 2009)
Perawat harus megobservasi adanya distensi abdomen dengan cara memalpasi

dan mengauskultasi abdomen, berkemih harus terjadi dalam 4-8 jam pertama dan

minimal 200 cc. Anjurkan ibu untuk minum banyak air dan ambulasi.

Rangsangan untuk berkemih dapat dilakukan dengan rendaam duduk (sitz bath)

untuk mengurangi edema dan relaksasi sfingter, lalu kompres hangat/dingin

(Bahiyatun, 2009).

b) Buang air besar


BAB biasanya tertunda selama 2 sampai 3 hari, kerena enema persalinan, diit
cairan, obat-obatan analgesik, dan perinium yang sakit. Bila lebih dari tiga hari
bisa diberikan obat laksansia, ambulasi dini dan teratur akan membantu dalam
regulasi BAB, asupan cairan dan diit tinggi serat sangat dianjurkan (Bahiyatun,
2009).
3. Higiene
Sering membersihkan area perinium akan meningkatkan kenyamanan dan
mencegah infeksi. Tindakan ini paling sering menggunakan air hangat yang dialirkan
( dapat ditambah dengan larutan antiseptik) ke atas perineum setelah berkemih atau
defekasi, hindari penyemprotan langsung. Ajarkan ibu untuk membersihkan sendiri.
Luka pada perinium akibat episiotomi, ruptura atau laserasi merupakan daerah yang
tidak mudah untuk dijaga agar tetap bersih dan kering. Tindakan membersihkan
vulva dapat memberi kesempatan melakukan inspeksi secara seksama daerah
perineum. Payudara juga harus diperhatikan kebersihannya. Jika puting terbenam
lakukan masase payudara secara perlahan dan tarik keluar secara hati-hati.

2.5 Asuhan Keperawatan Post Partum

Asuhan masa nifas adalah penatalaksanaan asuhan yang diberikan pada pasien mulai
dari saat setelah bayi sampai dengan kembalinya tubuh dalam keadaan seperti sebelum hamil
atau mendekati keadaan sebelum hamil (Saleha, 2009).

2.5.1 Pengkajian Keperawatan


Suatu pengkajian fisik lengkap termasuk pengukuran tanda-tanda vital,

dilakukan pada saat masuk ke unit pasca partum. Selain itu komponen pengkajian

awal yang lain yang perlu dikaji pada ibu postpartum adalah sebagai berikut

(Bahiyatun, dkk, 2009)

1. Mengkaji riwayat

a) Ambulasi

apakah ibu melakukan ambulasi, seberapa sering, apakah kesulitan,

apakah ibu pusing ketika melakukan ambulasi.

b) Berkemih

Bagaimana frekuensinya, jumlah, apakah ada nyeri, atau disuria.

c) Defeksi
Bagaimana frekuensi buang air besarnya, jumlah, warna dan

konsistensi.

d) Nafsu makan

Apa yang dimakan, seberapa sering, apakah ada rasa mual dan muntah.

e) Gangguan ketidaknyamanan

Lokasi nyeri, kapan, kualitas, apa yang dapat mengurangi nyeri.

f) Psikologis

Bagaimana perhatian terhadap dirinya sendiri dan bayinya, perasaan

terhadap bayinya dan persalinan.

g) Istirahat dan tidur

Apakah ibu mengalami gangguan tidur, apakah ibu mengalami

kelelahan.

h) Menyusui

Bagaimana proses menyusui dikaitkan dengan dirinya dan bayi, kaji

pengetahuan ibu mengenai pentingnya menyusui.

2. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan darah

Beberapa uji laboratorium bisa segera dilakukan pada periode pasca

partum. Nilai hemoglobin dan hematokrit seringkali dibutuhkan pada hari

pertama pada post partum untuk mengkaji kehilangan darah pada saat

melahirkan.

 Pemeriksaan urin

Pengambilan sampel urin dilakukan dengan menggunakan kateter atau

dengan teknik pengambilan bersih (clean – cath) spesimen ini dikirim ke

laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan urinalisis rutin atau kultur dan


sensitivitas terutama jika cateter indwelling dipakai selama paska inpartum.

Selain itu catatan prenatal ibu harus di kaji untuk menentukan status rubella

dan rhesus dan kebutuhan terapi yang mungkin.

2.5.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Bobak, dkk (2005) diagnosa keperawatan pada post partum, sebagai berikut:

1. Nyeri yang berhubungan dengan involusi rahim, trauma pada perineum,

episiotomi, hemoroid, pembengkakan payudara.

2. Ketidakefektifan menyusui yang berhubungan dengan nyeri, pengaturan posisi

bayi, respon fisiologis normal.

3. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan trauma jalan lahir

4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya kehilangan

volume cairan aktif/perdarahan.

5. Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan pentingnya buang air kecil untuk

mencegah perdarahan.

2.5.3 Intervensi Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan laserasi atau trauma jalan lahir .

NOC : Nyeri pasien berkurang / hilang atau terkontrol.

Kriteria hasil :

a) Klien menyatakan tidak nyeri

b) Klien menyatakan nyaman

c) Skala nyeri berkurang

d) Klien dapat beraktivitas tanpa merasa nyeri.

e) Ekspresi klien nyaman.

NIC

a) Kaji karakteristik nyeri, tingkat nyeri, tempat nyeri, skala nyeri.


b) Inspeksi daerah perineum dan daerah episiotomi. Perhatikan adanya udem,

nyeri tekan lokal, purulen.

c) Berikan kompres panas atau dingin pada perineum, khususnya selama 24

jam pertama setelah melahirkan.

d) Berikan kompres panas lembab ( mis, rendam duduk/bak mandi ) diantara

100º dan 105º F ( 38,0º sampai 43,2º C ) selama 20 menit, 3sampai 4 kali

sehari, setelah 24 jam pertama.

e) Kolaborasi pemberian analgetik.

2. Risiko terhadap ketidakefektifan menyusui yang berhubungan dengan tidak

berpengalaman dan / atau payudara membengkak.

NOC : Pasien mengetahui tentang cara perawatan payudara bagi ibu menyusui

Kriteria hasil :

a) Klien mengetahui cara merawat payudara bagi ibu menyusui

b) Asi keluar

c) Payudara bersih

d) Payudara tidak bengkak dan tidak nyeri

e) Bayi mau menyusu

NIC

a) Kaji pengetahuan pasien mengenai manajemen laktasi dan perawatan

payudara.

b) Berikan informasi, verbal dan tertulis, mengenai fisiologi dan keuntungan

menyusui, perawatan puting dan payudara, kebutuhan diet khusus, dan

faktor-faktor yang memudahkan atau mengganggu keberhasilan menyusui.

c) Kaji puting klien, anjurkan untuk melihat puting setiap habis menyusui.
d) Anjurkan klien untuk mengeringkan puting dengan udara selama 20-30

menit setelah menyusui. Insruksikan klien menghindari penggunaan sabun

atau penggunaan bantalan bra berlapis plastik,dan mengganti pembalut bila

basah atau lembab.

3. Resiko terhadap infeksi yang berhubungan dengan invasi bakteri sekunder

akibat trauma selama proses persalinan.

NOC : Tidak terjadi infeksi dan pengetahuan pasienbertambah.

Kriteria hasil :

a) Klien meyertakan perawatan bagi dirinya

b) Klien bisa membersihkan vagina dan perineumnya secara mandiri.

c) Jahitan perineum besar

d) Vulva bersih dan tidak infeksi

e) Tidak ada tanda perawatan

f) Vital sign dalam batas normal

NIC

a) Pantau vital sign

b) Kaji daerah perineum dan vulva (tanda peradangan)

c) Pertahankan lingkungan yang bersih

d) Kaji pengetahuan pasien mengenai cara perawatan ibu postpartum

e) Ajarkan perawatan vulva bagi pasien

f) Anjurkan pasien mencuci tangan sebelum memegang daerah vulvanya

g) Lakukan perawatan hygiene

4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya kehilangan

volume cairan aktif/perdarahan.

NOC: Kebutuhan cairan pasien terpenuhi dan mencapai keseimbangan.


Kriteria hasil

a) Intake dan output seimbang

b) Tanda-tanda vital normal

c) Berat badan pasien ideal

NIC

a) Monitor vital sign

b) Monitor intake dan output

c) Mengkaji jumlah dan karakter lhokea

d) Pertahankan tonus rahim

e) Mencegah distensi kandung kemih

f) Anjurkan klien untuk meningkatkan intake cairan sedikitnya 8 gelas sehari

g) Kolaborasi pemberian cairan intravena dan oksitoksin.

5. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan bayi berhubungan dengan

kurang mengingat, kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber.

NOC : Kurang pengetahuan dapat teratasi

Kriteria hasil

a) Klien mengungkapkan pemahaman

b) Klien mampu melakukan aktivitas dengan menjelakan alasan

NIC

a) Klien mengetahui cara merawat payudara bagi ibu menyusui Kaji kesiapan

klien dan motivasi untuk belajar. Bantu klien / pasangan dalam

mengidentifikasi kebutuhan - kebutuhan.

b) Berikan informasi tentang peran program latihan pascapartum progresif.

c) Berikan informasi tentang perawatan diri, termasuk perawatan perineal dan

hygiene, perubahan fisiologis, termasuk kemajuan normal dari rabas lokhia,


kebutuhan untuk tidur dan istirahat, perubahan peran, dan perubahan

emosional. Biarkan klien mendemonstrasikan materi yang dipelajari, bila

diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai