Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk memenuhi nutrisi dalam tubuh kita sehingga kita dapat beraktifitas salah
satu caranya yaitu dengan makan. Makan merupakan kebutuhan pokok manusia yang
diperlukan setiap saat untuk bertahan hidup, menurut kamus besar Bahasa Indonesia
makan merupakan suatu tindakan memasukkan sesuatu kedalam mulut serta
mengunyah dan menelannya. Namun jika kita memiliki masalah menelan maupun
makan, maka nutrisi itu akan sulit masuk ke dalam tubuh kita.
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung (Skavaria & Schroeder, 1998; Logemann,1998 dalam Jenny et.al (2014)).
Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua kelompok usia dan
sering berhubungan dengan multiple systemic disorders , misalnya: diabetes melitus,
hipertiroidisme, lupus eritema-tosus, dermatomiositis, stroke, serta penyakit
Parkinson dan Alzheimer (Skavaria & Schroeder, 1998; Fass & Gasiorowska, 2009).
Disfagia dapat mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi, infeksi saluran napas,
bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh sebab itu, diagnosis
dan penanganan dini terhadap disfagia sangat penting dilakukan (Falsetti et.al, 2009
dalam Jenny et.al (2014)).
Untuk melaksanakan tugas tersebut dibutuhkan tenaga kesehatan yang
kompeten dalam memberikan pelayanan kesehatan. Karena itu untuk mendapatkan
hasil yang optimal dibutuhkan pengetahuan dan juga pengalaman. Salah satu cara
memperoleh pengalaman adalah melalui RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya
Masyarakat di wilayah RT 04 RW 08 Kelurahan Plesungan Kecamatan Gondangrejo
Kabupaten Karanganyar. RBM adalah sebuah program rehabilitasi untuk difabel non
panti (difabel yang hidup masyarakat, yang tidak ditangani atau tidak tinggal di
panti). Dalam RBM juga diusahakan adanya transfer pengetahuan dan ketrampilan
dari professional kepada keluarga dan masyarakat agar mereka mau dan mampu
terlibat dalam upaya membantu kemandirian hidup difabel agar kualitas hidupnya
2

meningkat. Konsep dan pelaksanaan RBM kemudian berkembang pesat dan


dilaksanakan di lebih dari 90 negara, termasuk mencakup kesehatan, pendidikan,
mata pencaharian, sosial, dan pemberdayaan. Termasuk di dalamnya adalah upaya
advokasi dan pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu terkait difabel dan difabilitas
dalam agenda pembangunan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan RBM penulis
mengambil kasus keluarga binaan pada kasus Tn. Wi dengan kasus Dysphagia di
Dusun Ingasrejo, Kelurahan Plesungan, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten
Karanganyar.

B. Tujuan Kegiatan
1. Tujuan Umum
Mampu melakukan rehabilitasi bersumberdaya masyarakat terhadap anggota
masyarakat yang mengalami permasalahan yang menjadi bidang garap terapi
wicara dalam upaya intervensi Terapi Wicara pada kemampuan makan dan
menelan di Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengkajian pada keluarga dan Tn. Wi dengan kasus
Dysphagia menggunakan metode RBM.
b. Mendeskripsikan masalah pada Tn. Wi dengan kasus Dysphagia
menggunakan metode RBM.
c. Mendeskripsikan implementasi dan intervensi pada Tn. Wi dengan kasus
Dysphagia menggunakan metode RBM.
d. Mendeskripsikan evaluasi pada Tn. Wi dengan kasus Dysphagia
menggunakan metode RBM.

C. Manfaat Kegiatan
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari laporan praktik Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
Mahasiswa Program Studi Sarjana Terapan Terapi Wicara Poltekkes Kemenkes
Surakarta ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan keilmuan,
penelitian dan pengkajian Penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus
Dysphagia.
3

2. Manfaat Praktisi
a. Bagi instansi pendidikan kesehatan
Sebagai referensi atau tambahan ilmu tentang penatalaksanaan Terapi
Wicara pada kasus dysphagia. .
b. Bagi penulis
Dari hasil penulisan laporan pelaksanaan Rehabilitasi Bersumberdaya
Masyarakat (RBM) Mahasiswa sarjana terapan Terapi Wicara Poltekkes
Kemenkes Surakarta ini dapat menambah ilmu dan pengetahuan serta
sebagai sarana untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang
penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus dysphagia.
c. Bagi Masyarakat
Diharapkan dari hasil penulisan laporan pelaksanaan Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat (RBM) Mahasiswa sarjana terapan Terapi
Wicara Poltekkes Kemenkes Surakarta ini dapat memberikan infomasi bagi
seluruh masyarakat khususnya terapis wicara mengenai penatalaksanaan
Terapi Wicara pada kasus dysphagia
d. Bagi keluarga
Penulisan laporan pelaksanaan Rehabilitasi Bersumberdaya
Masyarakat (RBM) Mahasiswa sarjana terapan Terapi Wicara Poltekkes
Kemenkes Surakarta ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan
keluarga khususnya dalam penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus
dysphagia.

D. Gambaran Review Literatur


1. Konsep Keluarga
a. Pengertian
Menurut Harmoko (2012) keluarga adalah perkumpulan dua atau lebih
individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi, dan tiap-
tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu sama lain. Keluarga adalah dua
orang atau lebih yang di satukan oleh kebersamaan dan kedekatan emosional
serta yang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari keluarga (Friedman,
2010).
4

b. Tipe Keluarga
Berikut merupakan tipe keluarga secara tradisional, yaitu:
1) Keluarga Inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya.
2) Keluarga Besar (Extended Family) adalah keluarga inti ditambah
anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah
(kakeknenek, paman-bibi).
c. Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (2010), terdapat lima fungsi keluarga, yaitu:
1) Fungsi afektif (The Affective Function)
Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga yang
merupakan basis kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna untuk
pemenuhan psikologis.
2) Fungsi sosialisasi
Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang
menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan
sosialnya.
3) Fungsi reproduksi (The Reproduction Function)
Untuk mempertahankan kontinuitas keluarga selama beberapa
generasi dan untuk berlangsungnya hidup masyarakat.
4) Fungsi ekonomi (The Economic Function)
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara
ekonomi dan tempat untuk engembangkan kemampuan individu
meningkatkan penghsilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5) Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care
Function)
Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan yaitu fungsi untuk
mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap
memiliki produktivitas tinggi.
d. Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai
tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Freedman
5

(2010) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus


dilakukan yaitu :
1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi
keluarga
3) Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat
membantu dirinya sensiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.
4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan
dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.
5) Mempertimbangkan hubungan timbal balik antara keluarga dan
lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada)
(Herlinawati, 2013).

2. RBM (Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat)


RBM adalah sebuah program rehabilitasi untuk difabel non panti (difabel
yang hidup masyarakat, yang tidak ditangani atau tidak tinggal di panti). Dalam
RBM juga diusahakan adanya transfer pengetahuan dan ketrampilan dari
professional kepada keluarga dan masyarakat agar mereka mau dan mampu
terlibat dalam upaya membantu kemandirian hidup difabel agar kualitas
hidupnya meningkat. Konsep dan pelaksanaan RBM kemudian berkembang
pesat dan dilaksanakan di lebih dari 90 negara, termasuk mencakup kesehatan,
pendidikan, mata pencaharian, sosial, dan pemberdayaan. Termasuk di dalamnya
adalah upaya advokasi dan pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu terkait
difabel dan difabilitas dalam agenda pembangunan.

3. Konsep Disfagia
a. Definisi Dysphagia
Dysphagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan
phagein yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi
yang sering digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari
mulut ke dalam lambung (Skavaria & Schroeder, 1998; Logemann,1998
dalam Jenny et.al (2014)). Definisi yang lebih luas menyertakan semua
6

perilaku sensorik, persiapan motorik untuk menelan, termasuk kesadaran


kognitif situasi makan, pengenalan visual makanan, dan semua tanggapan
fisiologis terhadap bau/ penciuman dan kehadiran air liur pada saat makan
(Leapold & Kagel, 1996 dalam Jenny et.al (2014))
Disfagia sering ditemukan dalam praktek klinik pada semua
kelompok usia dan sering berhubungan dengan multiple systemic disorders,
misalnya: diabetes melitus, hipertiroidisme, lupus eritema-tosus,
dermatomiositis, stroke, serta penyakit Parkinson dan Alzheimer (Skavaria
& Schroeder, 1998; Fass & Gasiorowska, 2009). Disfagia dapat
mengakibatkan terjadinya malnutrisi, dehidrasi, infeksi saluran napas,
bertambahnya jumlah hari rawat inap, dan bahkan kematian; oleh sebab itu,
diagnosis dan penanganan dini terhadap disfagia sangat penting dilakukan
(Falsetti et.al, 2009 dalam Jenny et.al (2014)).
Proses menelan menurut Logemann (1998) & Zorowitz (1997) dalam
Jenny et.al (2014) dibagi menjadi 4 fase yaitu: 1) fase persiapan oral; 2) fase
oral; 3) fase faringeal; dan 4) fase esofageal.
1) Fase Persiapan Oral
Selama fase persiapan oral makanan dimanipulasi dan dikunyah.
Proses mengu-nyah sendiri merupakan suatu pola siklik berulang dari
gerakan rotasi lateral otot-otot labial dan mandibular. Lidah memo-
sisikan makanan di atas gigi saat gigi atas dan bawah bertemu dan
menghancurkan material diatasnya. Makanan akan jatuh ke arah medial
menuju lidah dan lidah akan mengembalikan material tersebut ke atas
gigi pada saat mandibula dibuka. Selama mengunyah, lidah mencampur
makanan dengan saliva. Tekanan dalam otot bukal akan menutup
sulkus lateral dan mencegah makanan jatuh ke arah lateral ke dalam
sulkus di antara mandibula dan pipi (Logemann (1998), Zorowitz
(1997), & Palmer et.al (2007) dalam Jenny et.al (2014).
2) Fase oral
Fase oral diawali saat lidah memulai pergerakan posterior dari
bolus makanan. Selama fase ini lidah mendorong bolus ke arah
posterior sampai terjadi pemicuan fase faring. Bagian tengah lidah
7

secara ber-urutan menekan bolus ke arah posterior melawan palatum


durum. Suatu fase oral yang normal membutuhkan otot labial yang
intak untuk memastikan penutupan bibir yang sempurna sehingga
mencegah makanan keluar dari rongga mulut; pergerakan lidah yang
lengkap untuk mendorong bolus ke posterior; otot bukalis yang intak
untuk memastikan material tidak jatuh ke dalam sulkus lateralis; dan
otot palatum yang normal serta kemampuan untuk bernapas secara
normal melalui hidung. Oral transit time adalah waktu yang dihitung
sejak awal pergerakan lidah untuk memulai fase oral sampai saat bolus
head melewati titik antara arkus faringeus anterior dan titik dimana
batas bawah mandibula menyilang dasar lidah, dengan nilai normal
sekitar 1-1,5 detik (Logemann (1998) & Zorowitz (1997) dalam Jenny
et.al (2014).
Pada saat lidah bergerak membawa bolus ke arah posterior,
reseptor sensorik pada orofaring dan lidah sendiri dirangsang untuk
mengirimkan informasi sensorik ke korteks dan batang otak.
Selanjutnya, pusat pengenalan sensorik pada medula dalam nukleus
traktus solitaris mengidentifikasi stimulus menelan dan mengirimkan
infor-masi ke nukleus ambigus yang kemudian menginisiasi fase
faringeal. Pada saat bolus head melewati setiap titik yang terletak antara
arkus faringeus bagian anterior dan daerah dimana dasar lidah melintasi
tepi bawah mandibula, fase oral berakhir dan fase faringeal dipicu
(Logemann (1998) & Zorowitz (1997) dalam Jenny et.al (2014).
3) Fase Faringeal
Fase faringeal dimulai saat terjadi proses pemicuan. Pada fase ini
terjadi beberapa aktifitas: 1) elevasi dan retraksi velum serta penutupan
sempurna dari port velopharyngeal untuk mencegah masuknya material
ke dalam rongga hidung; 2) elevasi dan pergerakan anterior dari hioid
dan laring; 3) penutupan laring oleh 3 sfingter untuk mencegah
masuknya material ke dalam jalan napas; 4) terbukanya sfingter
krikofaringeal untuk memungkinkan masuknya material dari faring ke
esofagus; 5) melandainya dasar lidah untuk membawa bolus ke faring
8

diikuti retraksi dasar lidah untuk menyentuh bagian anterior dari


bulging posterior dinding faring; dan 6) kontraksi dari atas ke bawah
yang progresif dari otot-otot konstriktor faringeal. Pharyngeal transit
time adalah waktu yang dihitung sejak bolus bergerak dari titik dimana
fase faringeal dipicu melewati cricopharyngeal juncture ke dalam
esofagus,dengan nilai normal 0,35-0,48 detik, dan maksimum bisa
sampai 1 detik (Logemann (1998) & Palmer,et.al (2007) dalam Jenny
et.al (2014).
4) Fase Esofageal
Waktu transit esofageal diukur dari saat bolus memasuki esofagus
pada UES, melewatinya, dan masuk ke dalam lambung melalui LES,
dengan nilai normal ber-variasi 8-20 detik. Gerakan peristaltik yang
dimulai pada puncak esofagus mendorong bolus dengan pola berurutan ke
arah kaudal sepanjang esofagus sampai LES terbuka dan memungkinkan
bolus memasuki lambung. Fase esofageal ini tidak dapat diintervensi
dengan terapi latihan atau teknik kompensasi apapun; oleh sebab itu, bila
ditemukan kecurigaan adanya gangguan pada fase esofageal, penderita
perlu dirujuk ke ahli gastroenterologi sehingga bisa dilakukan pemeriksaan
dan penanganan lebih lanjut (Logemann (1998) , Miller et.al ( 2005) &
Zorowitz (1997) dalam Jenny et.al (2014).
b. Penyebab Dysphagia

Disfagia dapat terjadi karena berbagai penyebab diantaranya akibat


kerusakan sistem saraf pusat (SSP) dan / atau saraf kranial, esi kortikal dan
subkortikal unilateral, karena :

1) pukulan
2) cedera otak
3) cedera tulang belakang
4) demensia
5) Penyakit Parkinson
6) multiple sclerosis
7) distrofi otot
9

8) cacat perkembangan pada populasi orang dewasa (yaitu, cerebral palsy)


9) sindrom post-polio
10) myasthenia gravis.

Selain itu disfagia juga dapat terjadi karena masalah yang


mempengaruhi kepala dan leher, termasuk :

1) kanker di rongga mulut, faring, nasofaring, atau kerongkongan


2) kemoradiasi untuk perawatan kanker kepala dan leher
3) trauma atau operasi yang melibatkan kepala dan leher
4) kerusakan gigi
5) perawatan kritis yang mungkin termasuk intubasi oral dan / atau
trakeostomi
6) obat-obatan tertentu
7) pada pasien dengan gangguan metabolisme tertentu
8) pada pasien dengan penyakit menular (misalnya, sepsis, sindrom
defisiensi imun yang didapat (AIDS)
9) pada pasien dengan berbagai penyakit paru (misalnya, penyakit paru
obstruktif jantung (COPD)
10) pada pasien dengan GERD
11) pada pasien yang mengikuti operasi kardiotoraks
12) pada pasien tua dekompensasi.

c. Karakteristik Dysphagia
Karakteristik disfagia atau swallowing disorder adalah
ketidakmampuan dalam mengenali makanan, kesulitan dalam penempatan
makanan di mulut, ketidakmampuan dalam kontrol makanan atau saliva
dalam mulut, tersedak sebelum, selama, atau sesudah menelan, sering
tersedak ketika menjelang akhir makan atau beberapa saat setelah makan,
pneumonia, kehilangan berat badan tanpa sebab, gurgly voice atau
peningkatan sekresi di dalam faring atau dada setelah menelan atau
menjelang selesai makan atau setelah makan, dan keluhan-keluhan pasien
adalah kesulitan dalam menelan. Tugas pertama seorang terapis adalah
10

mengidentifikasi pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi mengalami


orofaringeal disfagia.

Anda mungkin juga menyukai